Minggu, 21 Desember 2008

Therapi psiko spiritual

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang optimal bagi masyarakat diadakan berbagai upaya kesehatan, upaya kesehatan tersebut mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan dari penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (Kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dan dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat yang didukung oleh sumber daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan(Depkes RI, 2008).
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang terlibat dalam pembangunan nasional, bidang kesehatan, dan sekaligus merupakan bagian integral dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Keperawatan meyakini bahwa manusia dan kemanusiaan merupakan titik sentral setiap upaya pembangunan dengan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan sesuai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Bertolak dari pandangan ini disusun paradigma keperawatan yang terdiri atas empat konsep dasar yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga kelompok dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hamid, 1998). Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari – hari secara mandiri (Potter and Perry, 2005).
Salah satu pelayanan keperawatan yang holistik perawat harus memandang pasien secara keseluruhan baik fisik, emosional, sosial dan budaya. Namun demikian aspek non fisik seperti pemenuhan kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual terabaikan. Hal ini termasuk tentang kecemasan, kemarahan, dan kesedihan dalam mengatasi masalah dan membantu pasien dalam keadaaan sehat dan sakit. Oleh karena itu perawat diharapkan mampu mengerti tentang perasaan diri, tindakan dan reaksi, juga dapat menerangkan kemampuan emosional (Hamid, 1998).
Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kebutuhan pelayanan kesehatan menuntut perawat profesional saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara holistik. Perawat profesional menjalankan fungsi dalam kaitannya dengan berbagai peran pemberi perawatan, pembuat keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter dan Perry, 2005).
Tugas perawat mulai dari sehat sampai sakit, lahir sampai mati, bahkan perawatan operasi. Pada keperawatan pre operasi yaitu tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan bagi pasien, sehingga tak heran jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang dialami. Kecemasan yang dialami biasanya terkait dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan. Perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik pada masa sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang tepat diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis. Tingkat keberhasilan pembedahan sangat tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara tim kesehatan yang terkait (dokter bedah, dokter anestesi dan perawat) di samping peranan pasien yang kooperatif selama proses perioperatif(Effendy,2005).
Keperawatan pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan fase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi. Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis (Long,1989).
Masalah psikososial khususnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi pembedahan. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti : meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering berkemih (Capernito,2000). Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung atau support system.(Long,1989).
Kecemasan adalah keadaan yang tidak mengenakan dan tidak merasa nyaman (Hamid, 1999). Disamping itu menurut Stuart and sundeen (1998) menyatakan bahwa kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, interval, samar-samar atau konfliktual. Kecemasan merupakan perasaan individu dan pengalaman subyektif yang tidak dapat diamati secara langsung dan perasaan tanpa obyek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman baru.
Gangguan rasa cemas merupakan gejala utama (cemas yang merata atau panik) atau rasa cemas yang dialami bila individu tidak menghindari situasi tertentu atau terpaksa pada pikiran tertentu. Penyebab kecemasan bisa timbul karena berbagai hal, tetapi secara umum kecemasan ditimbulkan karena bahaya yang terdapat dalam diri manusia sendiri yaitu stimulus internal atau juga bahaya dari luar yang bersangkutan ditafsirkan lain karena adanya distorsi persepsi dari realitas eksternal (Salan 1997). Hal ini bisa juga terjadi pada setiap orang termasuk seseorang yang akan mengalami proses operasi. Kondisi seseorang yang pre operasi menunjukkan suatu kejadian yang dirasakan penuh ketidakpastian sehingga menimbulkan perasaan cemas, bahkan ada yang berlanjut sampai panik, karena reaksi pembedahan dapat memunculkan reaksi psikologis pada pasien (Stuart and Sandeen, 1995).
Dalam keadaan cemas, tubuh akan memproduksi hormon kortisol secara berlebihan yang akan berakibat meningkatkan tekanan darah, dada sesak, serta emosi tidak stabil. Akibat dari kecemasan pasien pre operasi yang sangat hebat maka ada kemungkinan operasi tidak bisa dilaksanakan karena pada pasien yang mengalami kecemasan sebelum operasi akan muncul kelainan seperti tekanan darah yang meningkat sehingga apabila tetap dilakukan operasi akan dapat mengakibatkan penyulit terutama dalam menghentikan perdarahan dan bahkan setelah operasipun akan mengganggu proses dari penyembuhan. (Jong, 1997)
Menurut Pooter and Perry (2005) ada berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain adalah takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal (body image), takut akan keganasan bila diagnosa yang ditegakan belum pasti, takut mempunyai kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama, takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas, takut mati pada saat dibius atau tidak akan sadar lagi, takut operasi akan gagal. Salah satu tindakan untuk mengurangi tingkat kecemasan adalah dengan cara mempersiapkan mental dari pasien. Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi (Maramis, 2004).
Agama memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan pribadi, termasuk didalamnya keperawatan pre operatif. Oleh karena itu sudah pada tempatnya jika dalam menghadapi setiap masalah yang timbul selalu dikaitkan dengan kehidupan religius. Manusia mempunyai keyakinan untuk memperoleh ketenangan hidup spiritualnya. Hidup keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan dan percobaan hidup, memberikan bantuan moril di dalam menghadapi krisis, serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana Tuhan menakdirkan-Nya. Hidup yang dilandasi nilai-nilai agama akan tumbuh kepribadian sehat yang didalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh. Tetapi sebaliknya orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama maka individu tersebut akan mudah cemas, marah, putus asa dan kecewa. Pendapat ini diperkuat dengan adanya firman Allah yaitu :
“Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”(QS. Al-Baqarah, 2 : 38). Ayat di atas menguatkan kepercayaan bahwa dengan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama akan membawa ketenangan batin (Hawari , 1998)
Keperawatan spiritual merupakan suatu elemen perawatan kesehatan berkualitas dengan menunjukkan kasih sayang pada klien sehingga terbentuk hubungan saling percaya dan rasa saling percaya diperkuat ketika pemberi perawatan menghargai dan mendukung kesejahteraan spiritual klien (Potter and Perry, 2005). Perawat sebagai orang yang pertama yang secara konsisten selama 24 jam menjalin kontak dengan pasien, berperan dalam memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien. Salah satu implementasi atau pelaksanaan dari perawatan spiritual adalah dengan mengusahakan kemudahan seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan yang diyakini klien, memberi privacy untuk berdoa, ataupun memberi kelonggaran bagi klien untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman (Hamid, 2000).
Ada gambaran penelitian yang dilakukan oleh Larson (1992) terhadap pasien-pasien yang akan dilakukan operasi, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pasien-pasien lanjut usia dan religius (banyak berdoa dan berzikir) kurang mengalami rasa ketakutan dan kecemasan terhadap operasi yang dijalaninya. Mereka tidak merasa takut mati serta tidak menunda-nunda jadwal operasi. Temuan ini berbeda dengan pasien-pasien usia muda dan tidak religius dalam menghadapi operasi, mereka mengalami ketakutan, kecemasan, dan takut mati serta seringkali menuda-nunda operasi. Penelitian lainnya berjudul ”Religious Commitment and Health” (APA,1992) menyimpulkan bahwa komitmen beragama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit, serta mempercepat proses penyembuhan selain terapi medis yang diberikan (Hawari,2002).
Dari beberapa hal diatas yaitu diantaranya persiapan mental spiritual yang tidak baik akan mengalami penundaan atau kegagalan operasi, bebera dapat kami ambil sebuah contoh untuk membuktikan secara signifikan mengenai arti penting dari pemenuhan kebutuhan spiritual khususnya therapi psiko spiritual pada pasien pre operasi sangat penting. Disebut penting karena tindakan pembedahan sendiri merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis dan psikologis (Long,1989)
Dalam studi pendahuluan di rumah sakit PKU Muhammadiyah pada bulan April 2008 didapatkan informasi bahwa rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan rumah sakit swasta di Yogyakarta yang merupakan amal usaha pimpinan pusat persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 15 Februari1923, termasuk rumah sakit tipe C plus dengan terakreditasi pada 12 bidang pelayanan. Rumah sakit PKU Yogyakarta ini melanyani operasi dengan jenis operasi besar, sedang, kecil, dan bedah khusus. Pada tahun 2006 pasien operasi sejumlah 2500 pasien, tahun 2007 sejumlah 2800 pasien, tahun 2008 trimester 1 sejumlah 800 pasien, jadi rata-rata tiap tahun adalah 2600 pasien. Kebanyakan pasien operasi rawat inap dikelas II dan kelas III dengan jumlah rata-rata 150 pasien tiap bulan. Jumlah operasi ringan sebanyak 25 orang, operasi sedang sebanyak 70 orang , operasi besar sebanyak 25 orang, operasi khusus sebanyak 30 orang. Sedangkan menurut kelasnya dibedakan kelas 2 sebanyak 60 orang, kelas 3 sebanyak 90 orang (bagian rekam medis RS PKU Yogyakarta 2008).
Dari wawancara yang dilakukan peneliti dari 10 orang pasien yang akan dilakukan operasi, ternyata didapatkan kurang lebih 60% mengalami kecemasan dari tingkat yang ringan sampai berat, dengan rincian cemas ringan sebanyak 3 orang, cemas sedang 2 orang, cemas berat 1 orang, dan 10% diantaranya ada yang sampai mengalami penundaan operasi karena mengalami kecemasan yang berat dan kurang lebih 30% tidak mengalai kecemasan. Ternyata penyebab utama kecemasan yang dialami pasien adalah ketakutan pasien terhadap proses pelaksanaan operasi dan proses sesudahnya.
Kebijakan dari rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam menghadapi pasien yang akan dilakukan operasi baik yang operasi kecil, sedang, berat maupun khusus diberikan buku doa-doa yang dikeluarkan dari rumah sakit, dibimbing dengan bagian bina rohani Islam, serta dari dokter anestesi memberikan obat premedikasi di ruangan. Dari kebijakan tersebut ternyata beberapa pasien masih merasa kurang diperhatikan masalah psikososial kecemasan karena orang yang paling dekat dengan pasien yaitu perawat, kurang memberikan pemenuhan kebutuhan mental spiritual terutama menjelang operasi yang sering diperhatikan hanya masalah fisik saja. Hal ini dibuktikan dengan beberapa survei dari rumah sakit hasilnya 70 %, perawat jarang menanyakan atau mengurusi masalah psikis atau mental, hanya memperhatikan fisik saja (bidang keperawatan).
Implementasi tindakan keperawatan yang bisa dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritual, khususnya therapy psiko spiritual antara lain : memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa sebelum dan sesudah operasi, memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan berzikir ketika sedang kesakitan. Disamping itu juga therapy psiko spiritual tentang konsep sehat dan sakit dari sudut pandang agama bimbingan berdzikir dan berdoa untuk selalu mengingat Allah. Menurut Potter dan Perry (2005) dukungan psikologis yang perlu dilakukan antara lain : memberikan dukungan emosional pada pasien, berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur induksi, mengkaji status emosional klien, mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan lain.
Dari latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka penulis mempunyai keinginan meneliti pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi.
B. Masalah penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti mencoba merumuskan suatu masalah yaitu :
Adakah pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di ruang rawat inap kelas 2 dan kelas 3 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
C.Tujuan penelitian
1) Tujuan umum
Diketahuinya pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi.
2) Tujuan khusus
a) Diketahuinya therapi psiko spiritual pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
b) Diketahuinya tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dan sesudah dilakukan therapi psiko spiritual.
c) Diketahuinya pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

D.Ruang lingkup penelitian
Tempat penelitian
Tempat penelitian yang akan dilakukan penulis adalah di ruang rawat inap kelas 2 dan kelas 3 RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Waktu penelitian
Waktu penelitian ini adalah bulan November 2008 sampai Desember 2008
Responden penelitian
Responden penelitian ini adalah pasien pre operasi di ruang rawat inap kelas 2 dan kelas 3 RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Materi penelitian
Penelitian ini berkaitan dengan ilmu keperawatan jiwa dengan penekanan pada therapi psiko spiritual yang dihubungkan dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
E. Manfaat penelitian
1. Bagi rumah sakit
Memberikan masukan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan keperawatan, sebagai bahan untuk mengambil kebijakan mengenai therapi psiko spiritual pada pasien yang akan dilakukan operasi sehingga dapat dibuat protap (prosedur tetap pasien yang akan dilakukan operasi).
2. Bagi institusi pendidikan
Sebagai masukan dalam proses belajar mengajar, kalau perlu dimasukan dalam mata ajaran khusus terutama mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan spiritual yang harus dimiliki sebagai modal untuk menjadi perawat yang professional.
Bagi perawat yang lain
Mendapatkan gambaran seberapa besar manfaat therapy psiko spiritual terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi dan juga pedoman pelaksanaan bimbingan spiritual pada pasien pre operasi oleh perawat.
Bagi peneliti yang lain
Sebagai bahan teori dan masukan untuk dasar-dasar penelitian selanjutnya.
F. Keaslian penelitian
Menurut pengetahuan peneliti sejauh ini belum ada yang meneliti mengenai pangaruh bimbingan spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian lain yang hampir mirip dengan yang peneliti lakukan adalah :
Pengaruh terapi psiko religius terhadap tingkat kecemasan pasien gangguan jiwa di RS Grasia Pakem Sleman oleh Suyadi ( 2006). Penelitian ini difokuskan pada pasien gangguan jiwa yang diberikan terapi psikoreligius. Hasil penelitian yang disimpulkan ada pengaruh pemberian terapi psikoreligius terhadap kecemasan pasien gangguan jiwa. Metode yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan rancangan non equivalen kontrol group.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah subyek penelitian dari peneliti sekarang adalah pasien pre operasi dengan tempat penelitian adalah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan metode yang digunakan perbandingan kelompok statis (Static Group Comparason), analisa datanya dengan menggunakan uji t.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.TINJAUAN TEORI
I. Keperawatan perioperatif
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan bagi pasien. Maka tak heran jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang mereka alami(Jong, 1998)
Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan. Perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik pada masa sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang tepat diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis. Tingkat keberhasilan pembedahan sangat tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara tim kesehatan yang terkait yaitu dokter bedah, dokter anestesi dan perawat, di samping peranan pasien yang kooperatif selama dalam menjalani proses perioperatif (Efendi,2005). Ada 3 faktor penting yang terkait dalam pembedahan, yaitu penyakit pasien, jenis pembedahan yang dilakukan dan pasien sendiri (Jong, 1998). Dari ketiga faktor tersebut faktor pasien merupakan hal yang paling penting, karena bagi penyakit tersebut tindakan pembedahan adalah hal yang baik/benar. Tetapi bagi pasien sendiri pembedahan mungkin merupakan hal yang paling mengerikan yang pernah mereka alami. Mengingat hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk melibatkan pasien dalam setiap langkah-langkah perioperatif. Tindakan perawatan perioperatif yang berkesinambungan dan tepat akan sangat berpengaruh terhadap suksesnya pembedahan dan kesembuhan dari pasien itu sendiri (Efendi,2002). Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan. Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah sakit, meskipun beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak memerlukan hospitalisasi dan dilakukan di klinik-klinik bedah dan unit bedah ambulatori. Individu dengan masalah kesehatan yang memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian anastesi atau pembiusan yang meliputi anestesi lokal, regional atau umum (Smeltzer, Bare, 2002).
Menurut Long (1996) keperawatan perioperatif dibagi menjadi 3 tahapan yaitu :
1. Fase pra operatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah, wawancara pra operatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang diberikan dan pembedahan Brunner & Suddarth. (2002).
2. Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath, pemberian medikasi intaravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.
3. Fase pasca operatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan (recovery room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Menurut Wibowo (2001) pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan.
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis (Long, 1989). Contoh dari perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan atau ketakutan antara lain pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan, pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus ditunda.
Menurut Long (1989) ada berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain yaitu takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal gangguan body image, takut keganasan bila diagnosa yang ditegakan belum pasti, takut atau cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama, takut atau ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas, takut mati saat dibius atau tidak sadar lagi, takut operasi akan gagal.
Untuk mengurangi dan mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi antara lain pengalaman operasi sebelumnya, pengertian pasien tentang tujuan atau alasan dilakukan operasi, pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, post operasi), pengetahuan tentang latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setelah operasi, seperti latihan nafas dalam, batuk efektif, ROM, dll(Efendi, 2002).
Menurut Brunner & Suddarth. (2002) persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu . Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga atau orang yang terdekat dengan pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi.
Perawat perlu memberikan dukungan mental pada pasien yang dilakukan operasi. Menurut Efendi (2005) dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu membantu pasien mengetahui tentang tindakan yang dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-hal yang dialami pasien selama proses operasi, menunjukkan kamar operasi, memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi sesuai dengan tingkat perkembangan, gunakan bahasa yang sederhana dan jelas, memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang segala prosedur yang ada, dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien diantar ke kamar operasi, mengoreksi pengertian yang salah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien. Dan juga bisa kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan diazepam sebelum pasien tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien terpenuhi kebutuhan istirahatnya(Smeltzer, Bare, 2002).
Indikasi dan klasifikasi dari dilakukannya tindakan pembedahan diantaranya adalah diagnostik : biopsi atau laparatomi eksplorasi; kuratif : eksisi tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; reparatif : memperbaiki luka multipel; rekonstruktif atau kosmetik : mammoplasty atau bedah plastik; paliatif : seperti menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, contohnya pemasangan selang gastrostomi yang dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan menelan makanan (Abror, 2004).
Menurut urgensinya tindakan pembedahan dapat diklasifikasikan dalam 5 tingkatan yaitu kedaruratan atau emergensi : indikasi pembedahan tanpa ditunda, gangguan mungkin mengancam jiwa; urgen : pembedahan dapat dilakukan dalam waktu 24-30 jam, diperlukan : pembedahan dapat direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan; elektif : indikasi pembedahan, bila tidak dialkukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan, pilihan : indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika(Wibowo, 2001).
Tindakan pembedahan menurut faktor resikonya dibedakan menjadi minor : menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang minim, mayor : menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius (Abror, 2004).
II. Kecemasan
1. Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah keadaan yang tidak mengenakan dan tidak merasa nyaman ( Hamid,2000). Kecemasan merupakan perasaan yang sering dialami manusia pada sepanjang hidupnya (Husodo,1988). Kecemasan muncul sebagai gejala yang normal, dapat pula sebagai gejala yang menyertai gangguan jiwa, juga bisa muncul sebagai sindroma yang disebut sebagai proses atau cemas (Salan, 1997 ). Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, interval, samar-samar atau konfliktual. Kecemasan merupakan perasaan individu dan pengalaman subyektif yang tidak dapat diamati secara langsung dan perasaan tanpa obyek yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman baru (Stuart and Sundeen 1995).
Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa kecemasan adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Kejadian ini dimungkinkan dalam bentuk nyata dan kabur dan dapat bersifat realistik dan tidak realistik.
Ketidakpastian dapat menimbulkan kecemasan yang berwujud pada ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Maramis, 2004). Beratnya tanggung jawab yang dipikul menyebabkan timbulnya berbagai kecemasan akan kehidupan yang akan dilalui di masa yang akan datang.
Kecemasan dapat ditimbulkan oleh beberapa sebab seperti sering mengalami frustasi, pengalaman yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan masa depan dan lain–lain. Perwujudan kecemasan sangat sulit diketahui, tetapi dapat diamati dari reaksi–reaksi yang ditimbulkannya. Freud (dalam Stuart and Laraia (2001) menjelaskan bahwa individu dalam kehidupannya sehari-hari selalu ingin mendapatkan kepuasan. Peranan lingkungan terhadap diri individu dan mereduksi ketegangan, tetapi sebaliknya lingkungan juga dapat mengecewakan individu dan menimbulkan perasaan tidak aman sehingga individu akan merasa cemas, takut dan tegang. Jika ketegangan tersebut tidak bisa dikontrol, terjadilah kecemasan pada diri individu.
Keadaan cemas yang wajar merupakan respons terhadap adanya ancaman atau bahaya luar yang nyata jelas dan tidak bersumber pada adanya konflik. Sedangkan cemas yang sakit (anxietas) merupakan respons terhadap adanya bahaya yang lebih kompleks, tidak jelas sumber penyebabnya, dan lebih banyak melibatkan konflik jiwa yang ada dalam diri sendiri (Husodo, 1998).
Cemas itu timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stress atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun dalam diri sendiri, itu akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung, pembuluh daerah maupun alat-alat gerak. Karena bentuk respons yang demikian, penderita biasanya tidak menyadari hal itu sebagai hubungan sebab akibat (Stuart, and Sundeen, 1995).
Setiap kecemasan selalu melibatkan komponen kejiwaan maupun organo biologik walaupun pada tiap individu bentuknya tidak sama. Kebanyakan gejala tersebut merupakan penampakan dari terangsangnya sistem saraf otonom maupun viceral. Penderita ada yang mengeluh menjadi sering kencing atau malah sulit kencing, mulas, mencret, kembung, perih di lambung, keringat dingin, berdebar-debar, darah tinggi, sakit kepala dan sesak napas. Pada sistem alat gerak dapat timbul kejang-kejang, nyeri otot, keluhan seperti rematik dan lainnya (Salan, 1997).
2. Tingkat kecemasan
Menurut Stuart and Sundeen, (1995), klasifikasi dari tingkat kecemasan dibedakan menjadi empat tingkatan kecemasan yaitu ringan yang mempunyai makna orang lebih waspada terhadap lingkungan, lahan persepsinya meningkat, kecemasan dapat memotivasi belajar; sedang yang mempunyai makna orang akan lebih memfokuskan hal yang mencemaskan, lahan persepsinya mulai menyempit; berat yang mempunyai makna lahan persepsinya semakin sempit, perilaku ditujukan untuk mengurangi kecemasan, selalu mengalihkan hal-hal lain dan memerlukan banyak pengarahan; panik merupakan kecemasan yang sudah mengancam, pengendalian dirinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, terjadi disorganisasi kepribadian
Untuk mengetahui tingkat kecemasan dapat digunakan skala Hamilton Anxiety Scale yang dapat memodifikasi Analog Anxiety Scale (AAS), Anxiety dari Catel, Manifest Anxiety Quistionary dari Sarasor (cit Damarji, 2001). Pada penelitian ini data dikumpulkan menggunakan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Kuesioner TMAS ini diciptakan oleh Taylor pada tahun 1953 di universitas Nort Westrn dan terdiri dari 50 item perrtanyaan. Djuni Utari (1978) dan Sri Hartati Yana (1979) telah menerjemahkan kuesioner TMAS dalam bahasa Indonesia (Sutarman, 1980).

3. Karakteristik kecemasaan
Menurut Carpenito (2000), kecemasan berasal dari sumber internal maupun eksternal, stressor pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidak mampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas sehari-hari, ancaman terhadap sistem diri sendiri dapat membahayakan identitas harga diri, dari fungsi sosial yang terintegrasi seseorang
Menurut Carpenito ( 2000 ), sindrom kecemasan bervariasi tergantung dengan tingkat kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi gejalanya terdiri atas kategori :
1) Gejala fisiologis
Peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah, nafas, diaforesis (berkeringat), gemetar, mual, kadang sampai muntah, sering BAK atau BAB, kadang sampai diare, insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya dada , pinggang, leher, gelisah, pingsan, pusing, rasa panas dingin.
2) Gejala emosional
Individu mengatakan merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup, kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks, individu juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan , tidak sabar, mudah marah, mudah menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain, menarik diri, kurang inisiatif, dan mengutuk diri sendiri.
3) Gejala kognitif
Tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran atau ketidak mampuan untuk mengingat, dan perhatian yang berlebihan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
1) Tingkat pengetahuan
Kecemasan adalah respon manusia yang dapat dipelajari, sehinggga ketidaktahuan menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. Pengalaman terhadap sesuatu yang pernah dialami seseorang juga akan mengubah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat non formal dan sering dibawa dalam situasi yang sama atau mendekati situasi yang pernah terjadi pada dirinya(Notoatmojo,2003).
2) Tingkat pendidikan
Husodo (1998) menyatakan bahwa status pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mengalami stress, dimana stress dan kecemasan yang terjadi pada pendidikan yang rendah disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan orang tersebut.
3) Umur
Soewardi (1997) mengungkapkan bahwa umur yang lebih muda akan mengalami tingkat stress dan kecemasan yang lebih tinggi daripada yang berusia tua.
5. Patofisiologi dari kecemasan
Secara singkat patofisiologi terjadinya kecemasan dapat di gambarkan sebagai berikut (Muslim dalam Purwani, 2004) :
Peristiwa (life events)

Individu Pola hidup (life style)

Sistem saraf pusat

Hipotalamus
-sistem limbic
- sistem aktivasi retik
- sistem aktivasi vialsi / SAR
Gambar 1 patofiologi cemas
6. Teori tentang kecemasan
Menurut Stuard and Laraia (2001) ada berbagai teori dikembangkan untuk menjelaskan tentang kecemasan, diantaranya adalah :
1) Teori psikoanalitik
Freud memandang bahwa pada kecemasan tubuh akan secara otomatis apabila kita menerima stimulus yang berlebihan melampaui kemampuan untuk menanganinya. Stimulus tersebut dapat berasal dari dalam atau dari luar dirinya. Selanjutnya digambarkan dua tajuk kecemasan yaitu primary anxiety, dimana keadaan menegangkan yang disebabkan faktor luar, sedangkan sub sequent anxiety dipandang sebagai konflik emosi diantara elemen kepribadian-kepribadian yaitu id, ego, super ego.
2) Teori interpersonal
Menurut Sullivan (Hendarno, 1997) bahwa kecemasan timbul akibat ketakutan atau ketidakmampuan untuk berhubungan secara interpersonal, serta sebagai akibat penolakan. Hal ini dikaitkan dengan trauma perkembangan, perpisahan, kehilangan dan lain sebagainya. Sullivan mengidentifikasi 2 aspek kecemasan dari hubungan perawat-klien, pertama kecemasan ringan-sedang di ekspresikan dari kecemasan individu, kedua area dalam kepribadian yang disaat kecemasan sering menjadi area penting dalam pertumbuhan, dimana dalam hubungan terapeutik individu belajar untuk mengatasi kecemasan secara konstruktif.
Will (Hendarno, 1997) berpendapat bahwa harga diri seseorang merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kecemasan seseorang yang mempunyai predisposisi mengalami kecemasan adalah orang yang mudah terancam, mempunyai harga diri rendah, mempunyai opini negatif terhadap dirinya, ragu-ragu akan kemampuannya untuk mencapai sukses.
3) Teori biologik
Dalam otak terdapat reseptor spesifik terhadap benzodiazepin, reseptor ini dapat mengatur timbulnya kecemasan. GABA (Gama Amino Batiric Acid) merupakan neurotransmiter penting dalam mengatur inhibisi presipnatik dalam susunan sarap pusat. Efektifitas benzodiazepines dalam pengobatan klien cemas antara lain melalui keterlibatan GABA dalam patofisiologi dari kecemasan disertai dengan gangguan fisik yang menurunkan kapasitas seseorang dalam menghadapi stresor seperti adanya perubahan dalam sistem kardiovaskuler, pernapasan, gastrointestinal dan otot (Salan,1997).

7. Stresor presipitasi kecemasan
Menurut Stuart, and Sundeen (1995), stresor presipitasi dari kecemasan ini dapat disebabkan oleh berbagai sumber yaitu sumber internal maupun sumber eksternal, hal tersebut dibedakan menjadi :
1) Ancaman terhadap integritas fisik merupakan ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kapasitas seseorang untuk melakukan aktifitas sehari-hari meliputi : sumber eksternal : bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, polusi, lingkungan, ancaman keselamatan, injury; sedangkan sumber internal : merupakan kegagalan mekanisme fisik sesorang seperti jantung, sistem imun, termoregulator menurun, perubahan biologis normal seperti kehamilan.
2) Ancaman terhadap self esteem merupakan sesuatu yang terjadi yang dapat merusak identitas harapan diri dan integritas fungsi sosial meliputi sumber eksternal : berbagai kehilangan seperti kehilangan orang tua, teman dekat, perceraian, perubahan status pekerjaan, pindah rumah, tekanan sosial; sedangkan sumber internal : kesulitan dalam hubungan interpersonal dalam rumah, ditempat kerja, di masyarakat.
8. Mekanisme koping kecemasan
Jika mengalami kecemasan individu akan menggunakan koping untuk mencoba mengurangi kecemasan (Stuart,and Sundeen,1995). Ketidakmampuan individu untuk mengatasi kecemasan secara konstruktif adalah penyebab utama terbentuknya perilaku mal adaptif. Koping yang biasa digunakan oleh seseorang pada respon kecemasan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, olah raga, berkhayal, minum-minuman. Dalam hubungan interpersonal seseorang akan menghindari kontak mata, menggunakan kata-kata klise atau menarik diri. Pada kecemasan tingkat sedang, berat, dan panik merupakan ancaman berat pada ego, sehingga memerlukan energi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan menggunakan mekanisme koping.
Menurut Potter and Perry, (2005) ada 2 macam mekanisme koping :
1) Reaksi berorientasi pada tugas (Task oriented reaktion)
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan. Ada 3 macam reaksi berorientasi pada tugas yaitu perilaku menyerang : dapat konstruktif (akan bertindak asertif) dan dapat juga destuktif (akan bertindak agresif dan bermusuhan); perilaku menarik diri (with drawl behavior) : bisa secara fisik berupa melarikan diri atau menarik diri dari sumber stress (menjauhi polusi, menjauhi sumber infeksi), bisa juga secara psikologis yaitu apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai perasaan takut dan bermusuhan; kompromi (compromise), ini merupakan cara yang konstruktif yaitu terjadi pendekatan dan penyelesaian masalah dengan negosiasi.
2) Reaksi berorientasi pada ego (ego oriented reaction)
Sering disebut mekanisme pertahanan mental. Reaksi ini berguna untuk melindungi diri yang merupakan garis pertahanan jiwa pertama. Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan sering berubah untuk mengatasi kecemasan ringan dan sedang karena dapat melindungi individu dari perasaan tidak adekuat, tidak berguna, tidak berharga, dan mencegah kesadaran terhadap cemas. Jika berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan orientasi realistis, hubungan interpersonal dan menurunnya produktivitas. Koping ini berorientasi secara tidak sadar sehingga penyelesaian sering tidak realistis.
Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan untuk mengatasi kecemasan (Stuart, and Sundeen, 1995), antara lain :
a. Rasionalisasi : suatu usaha untuk menghindari konflik jiwa dengan memberi alasan yang rasional.
b. Diplacement : pemindahan tingkah laku kepada tingkah laku yang bentuknya atau obyeknya lain.
c. Identifikasi : cara yang digunakan individu untuk menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian kepribadiannya, ia ingin serupa orang lain dan bersifat seperti orang itu.
d. Over kompensasi / reaction fermation : tingkah laku yang gagal mencapai tujuan, dan tidak mengakui tujuan pertama tersebut dengan melupakan dan melebih-lebihkan tujuan kedua yang biasanya berlawanan dengan tujuan yang pertama.
e. Introspeksi : memasukan dalam pribadi sifat-sifat dari pribadi orang lain.
f. Represi : konflik pikiran, impul-impuls yang tidak dapat diterima dengan paksaan, ditekan ke dalam alam tidak sadar dan sengaja dilupakan.
g. Supresi : menekan konflik, impul-impuls yang tidak dapat diterima dengan secara sadar. Individu tidak mau memikirkan hal-hal yang kurang menyaenangkan dirinya.
h. Denial : mekanisme perilaku penolakan terhadap sesuatu yang tidak meyenangkan dirinya.
i. Fantasi : apabila seseorang ,menghadapi konflik-frustasi, ia menarik diri dengan berkhayal atau fantasi, melamun.
j. Negativisme : perilaku seseorang yang selalu bertentangan atau menentang otoritas orang lain dengan tingkah laku tidak terpuji.
III.
Therapi psiko spiritual
1. Pengertian spiritual
Pentingnya agama dalam kesehatan dapat dilihat dari batasan Organisasi kesehatan se Dunia (WHO, 1984), yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehatan seutuhnya. Bila sebelumnya pada tahun 1947 WHO memberikan batasan sehat hanya dari 3 aspek saja yaitu sehat dalam arti fisik (organobiologi), sehat dalam arti mental (psikologik/psikiatrik) dan sehat dalam arti sosial, maka sejak 1984 batasan tersebut sudah ditambah dengan aspek agama (spiritual), yang oleh American Psychiatric Assosiation(APA) dikenal dengan rumusan “bio-psyko-sosio-spiritual” (Hawari, 2002).
Lokakarya yang diselenggarakan APA pada tahun 1993 dengan judul Religion and Psychiatry Model of Partnership memberikan suatu anjuran untuk menambahkan terapi keagamaan disamping terapi psikis dan medis (Hawari, 2002). Adapun Larson (1992) dan beberapa. pakar lainnya dalam berbagai penelitian yang berjudul Religious Commitment and Health, menyimpulkan bahwa di dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya komitmen agama sebagai suatu kekuatan (spiritual power) jangan diabaikan begitu saja. Agama dapat berperan sebagai pelindung lebih dari pada sebagai penyebab masalah(Hawari, 1998).
Spiritualitas merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha kuasa dan maha mencipta. Menurut Burkhardt (1993) cit Hamid, (2000), spiritualitas meliputi aspek : berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri, mempunyai perasaan keterkaitan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapai stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier,Erb,Blais & Wilkinson, 1995; Murray &Zentner,1993 cit Hamid 2000).
Mickley, Soeken, Blecher (1992) menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multi dimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada Tuhan dan arti kehidupan , sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Stoll (1989), selanjutnya menguraikan bahwa spiritualitas memiliki konsep dua dimensi diantaranya dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson, 1998 cit Hawari, 2002). Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah pertimbangan tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan, terpisah dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, asuhan keperawatan yang kurang sesuai.
2. Keterkaitan antara spiritualitas, kesehatan dan sakit
Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku perawatan diri klien. Beberapa pengaruh dari keyakinan spiritual sebagai berikut yaitu menuntun kebiasaan hidup sehari-hari, sumber dukungan, sumber kekuatan dan penyembuhan, sumber konflik(Hamid,2000).
Perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan manusia di era modernisasi dan globalisasi dapat menyebabkan kekecewaan dan keputusasaan pada manusia baik yang sehat maupun sakit. Manusia yang terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Dari berbagai penelitian menunjukkan dimensi spiritual mempengaruhi penyembuhan pada klien yang sakit (Hawari, 2002). Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien. berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Dalam memenuhi kebutuhan spiritual tersebut perawat memperhatikan tahap perkembangannya, sehingga asuhan yang diberikan dapat terpenuhi sebagaimana mestinya (Hamid, 2000).
Layanan bimbingan spiritual bagi pasien semakin diakui memiliki peran dan manfaat yang efektif bagi penyembuhan. Bahkan di tangan para perawat rumah sakit yang professional, perawatan spiritual, khususnya bimbingan spiritual memberikan kontribusi bagi proses penyembuhan pasien mencapai 20-25 % (Purwanto, 2007). Dari proses komunikasi yang dibangun oleh para perawat rumah sakit yang profesional para pasien bisa memulihkan kondisi psikologisnya. Peningkatan kualitas sumber daya perawat rumah sakit yang profesional menjadi pilihan mutlak rumah sakit, bahkan harus menjadi bagian dari rencana bisnis rumah sakit yang tidak diabaikan. Namun, pada kenyataanya, masih sedikit perawat rumah sakit terutama rumah sakit Islam yang menyadari arti penting pendekatan komunikasi dan psikologis dalam memberikan bimbingan spiritual kepada pasien (Hawari, 2002).
Pendekatan terapi keagamaan khususnya pemenuhan kebutuhan spiritual dalam bidang kedokteran bukan untuk tujuan mengubah keyakinan pasien terhadap agamanya melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penderitaan penyakit atau gangguan pada kesehatannya. Ini menunjukkan bahwa keyakinan spiritual atau beragama sangat berhubungan dengan bidang klinik atau ”Religions commitment is assosited with clinical benefit”, (Larson,1987 cit Hawari, 1997)).
Agama memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan pribadi Sholeh, 2005). Oleh karena itu sudah pada tempatnya jika dalam menghadapi setiap masalah yang timbul selalu dikaitkan dengan kehidupan religius. Hidup keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan dan percobaan hidup, memberikan bantuan moril di dalam menghadapi krisis, serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana Tuhan menakdirkan-Nya. Hidup yang dilandasi nilai-nilai agama akan tumbuh kepribadian sehat yang didalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh. Tetapi sebaliknya orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama maka individu tersebut akan mudah marah, putus asa dan kecewa (Hawari 2002). Pendapat ini diperkuat dengan adanya firman Allah “Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati (QS. Al-Baqarah, 2 : 38). Ayat di atas menguatkan kepercayaan bahwa dengan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama akan membawa ketenangan batin. Daradjat (1992) bahwa keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan ini akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaannya.
Terapi keagamaan yang diberikan berupa bimbingan tentang konsep sehat-sakit dari sudut pandang agama, bimbingan untuk berdzikir dan berdoa. Dengan beragama yang benar, hidup menjadi lebih ikhlas atau pasrah terhadap segala sesuatu yang diberikan oleh Allah, sehingga akan terjadi proses homeostasis (keseimbangan). Semua protektor yang ada didalam tubuh manusia bekerja dengan ketaatan beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pandai bersyukur sehingga tercipta suasana keseimbangan dari neuro transmiter yang ada di dalam otak (Sholeh,2005).
Didalam agama Islam adanya penyakit atau masalah dalam bidang kesehatan itu dianggap sebagai sesuatu cobaan dan ujian keimanan seseorang. Oleh karena itu orang harus bersabar dan tidak boleh berputus asa, berusaha untuk mengobatinya dengan senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Bila dikaji secara mendalam, maka sesungguhnya dalam agama (Islam) banyak ayat maupun hadist yang memberikan tuntunan agar manusia sehat seutuhnya, baik dari segi fisik, kejiwaan, social maupun kerohanian. Sebagai contoh misalnya :
a. “Dan bila aku sakit Dia-Lah yang menyembuhkan (Q.S. Asyu’araa,’26 :80)
b. “Katakanlah : Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar (penyembuh) bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Fushshilat, 41:44).
c. “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit itu akan sembuh” (H.R. Muslim dan Ahmad).
d. “Berobatlah kalian, maka sesungguhnya Allah SWT tidak mendatangkan penyakit kecuali mendatangkan obatnya kecuali penyakit tua (H.R.At.Tirmidzi).
e. “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.(Q.S.AlBaqarah, 2 :153)
f. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S.Al Baqarah,2 :155)
g. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia Ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.(Q.S.Azzumar,39 : 10)
h. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,(Q.S.Al Insyiraah :5)
i. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ,(Q.S.Al Insyiraah :6)
j. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,(Q.S.Al Insyiraah :7)
k. Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. ,(Q.S.Al Insyiraah :8)
3. Proses keperawatan dalam perawatan spiritual
Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual klien tidak sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik dan ritual keagamaan klien. Perlu memahami spiritualitas klien dan kemudian secara tepat mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber yang diperlukan (Potter and Perry,1997). Dengan proses keperawatan sebagai suatu metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan spiritual yaitu :
a) Pengkajian
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan yang dimiliki perawat dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas klien. Pengkajian tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian menunjukkan tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami pendekatan konseptual menyeluruh tentang pengkajian siritual akan menjadi yang paling berhasil (Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997). Pengkajian data subyektif meliputi konsep tentang Tuhan atau ketuhanan, sumber harapan dan kekuatan, praktik agama dan ritual, hubungan antara keyakinan dan kondisi kesehatan. Sedangkan pangkajian data obyektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian obyektif terutama dilakukan melalui observasi. (Hamid, 2000).
b) Diagnosa keperawatan
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan informasi kedalam diagnosa keperawatan yang sesuai, perawat harus mempertimbangkan status kesehatan klien terakhir dari perspektif holistik, dengan spiritualitas sebagai prinsip kesatuan (Farran, 1989). Setiap diagnosa harus mempunyai faktor yang berhubungan dengan akurat sehingga intervensi yang dihasilkan dapat bermakna dan berlangsung (Potter and Perry, 1997).
c) Perencanaan
Dengan menetapkan rencana perawatan, tujuan ditetapkan secara individual, dengan mempertimbangkan riwayat klien, area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data obyektif yang relevan (Hamid, 2000). Menurut (Munley, 1983 cit Potter and Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian perawatan spiritual yaitu klien merasakan perasaan percaya pada pemberi perawatan, klien mampu terkait dengan anggota sistem pendukung, pencarian pribadi klien tentang makna hidup meningkat.
d) Implementasi
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid, 2000) : periksa keyakinan spiritual pribadi perawat, fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya, jangan berasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan sipiritual, mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual klien, berrespon secara singkat, spesifik, aktual, mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien, menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan tehnik mendukung, menerima, bertanya, memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien, meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal klien, bersikap empati yang berarti memahami dan mengalami perasaan klien, memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti menyetujui klien, menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap penyakit, apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan, atau anugrah dari Tuhan, membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agamanya, memberitahu pelayanan spiritual yang ada di rumah sakit.
Menurut Amenta dan Bohnet (1986) cit Govier (2000) ada empat alat/cara untuk membantu perawat dalam menerapkan perawatan spiritual yaitu menyimak dengan perilaku wajar, selalu ada, menyetujui apa yang dikatakan klien, menggunakan pembukaan diri
e) Evaluasi
Perawat mengevaluasi apakah intervensi keperawatan membantu menguatkan spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritualitas klien dengan perilaku dan kebutuhan yang tercata dalam pengkajian keperawatan. Klien harus mengalami emosi sesuai dengan situasi, mengembangkan citra diri yang kuat dan realistis, dan mengalami hubungan interpersonal yang terbuka dan hangat. Keluarga dan teman, dengan siapa klien telah membentuk persahabatan dapat dijadikan sumber informasi evaluatif. Klien harus juga mempertahankan misi dalam hidup dan sebagian individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau Maha Tinggi. Bagi klien dengan penyakit terminal serius, evaluasi difokuskan pada keberhasilan membantu klien meraih kembali harapan hidup (Potter anfd Perry, 1997).
Menurut Hamid (2000) tujuan asuhan keperawatan spiritual tercapai apabila secara umum klien mampu beristirahat dengan tenang, menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika, mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan, menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama, menunjukkan afek yang positif, tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas, menunjukkan perilaku lebih positif, mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.



Tidak cemas
Pasien pre operasi
B. kerangka konsep
→→→→→
Kemasan :
- panik
- berat
- sedang
- ringan
Therapy psiko spiritual:
-pengobatan menurut Islam
-bimbingan berdoa dan berzikir kepada Allah
-konsep sehat sakit dalam Islam




Dipengaruhi :
- usia
- tingkat pendidikan
- faktor genetik
- tingkat pengetahuan




Gambar 2 kerangka konsep
Keterangan :
------------ : lingkup yang diteliti

C. Hipotesis
”Adanya pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta”.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian tentang pengaruh therapi psiko spiritual terhadap tingkat kecemasan ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan pendekatan rancangan penelitian perbandingan kelompok statis (Static Group Comparison). Dalam rancangan penelitian ini dibuat dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok ekaperimen menerima perlakuan (X) yang akan diikuti oleh pengukuran kedua atau observasi melalui postes. Hasil observasi ini kemudian dikontrol atau dibandingkan dengan hasil observasi pada kelompok kontrol yang tidak menerima program atau intervensi. Rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
X 02
02
perlakuan post tes
Kelompok eksperimen
Kelompok kontrol
Gambar 3. kerangka rancangan penelitian
B. VARIABEL PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat dua variable yaitu
1. Variable bebas : therapy psiko spiritual pra operasi
2. Variable terikat : kecemasan pasien operasi
Hubungan antar variabel
Variabel bebas
Therapi psiko spiritual Pra operasi
Variabel terikat
Kecemasan pre operasi



Variabel pengganggu
- usia
- tingkat pendidikan
- pengalaman operasi
- jenis kelamin
- dukungan sosial



Gambar 4. Hubungan antar variabel
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Therapi psiko spiritual adalah therapy yang digunakan dalam rangka pemberian pencerahan dan pengarahan dengan metode relaksasi yang meliputi bimbingan berdoa dan berzikir kepada Allah SWT, konsep sehat dan sakit dalam Islam, diajarkan oleh perawat 2 kali masing-masing selama kurang lebih 20 menit dan dilakukan 1 hari sebelum pasien menjalankan operasi, skala rasio.
2. Kecemasan pasien operasi adalah perasaan takut atau tidak tenang yang dialami oleh pasien sebelum menjalani operasi berdasarkan jumlah skor yang diperoleh setelah menjawab yang tercantum dalam kuesioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) Pengukuran ini dilakukan beberapa jam sebelum pasien dilakukan operasi dan skalanya adalah rasio
D. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
1. Populasi penelitian
Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan dilakukan penelitian (Atmojo, 1993). Sedangkan populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien pre operasi yang rawat inap di ruang kelas 2 (Raudhoh dan Multazam) dan 3 (Arofah dan Marwa) RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam bulan November 2008 sampai bulan Desember 2008 .
2. Sampel penelitian
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang akan diteliti dan dianggap mewakili dari populasi (Atmojo,1993). Menurut Gay bahwa ukuran minimal sampel yang dapat diterima berdasarkan metode penelitian perbandingan kelompok statis minimal 30 subyek (Hasan, 2002). Sampel dari penelitian ini diambil 30 kasus dari seluruh populasi pasien pre operasi pada periode bulan November 2008 sampai bulan Desember tahun 2008 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan sistem purposive sampling. Dimana setiap pasien pre operasi yang ada mempunyai kesempatan untuk terpilih sebagai sampel dari penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi.
Adapun kriteria inklusinya adalah :
a) Pendidikan minimal SD
b) Umur pasien antara 17- 60 tahun.
c) Menjadi pasien pre operasi di ruang kelas 2 dan kelas 3 RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
d) Bersedia menjadi responden dan bisa mebaca dan menulis
e) Beragama Islam
Sedangkan kriteria eksklusinya :
a) pasien pre operasi cito atau segera
b) pasien pre operasi dengan komplikasi (diabetes, hipertensi, IHD/HHD)
E. ALAT DAN METODE PENGUMPULAN DATA
Adapun therapi psiko spiritual yang dilakukan oleh peneliti berupa therapi psikospiitual dengan relaksasi dalam rangka pencerahan dan pengarahan yang meliputi bimbingan berdoa dan berzikir kepada Allah SWT, konsep sehat dan sakit menurut Islam, diajarkan oleh perawat 2 kali masing-masing selama kurang lebih 20 menit dan dilakukan sebelum pasien menjalankan operasi. Alat atau intrumen yang digunakan untuk terapi psiko spiritual berupa leaflet yang berisi terapi psiko spiritual sebanyak 1 buah dan sudah dilakukan uji validitas oleh 3 orang ahli dalam bidangnya. Kriteria ahli disini adalah perawat berpendidikan sarjana, sudah bekerja minimal 15 tahun dan menguasai teori tentang pemenuhan kebutuhan spiritual khususnya therapi psiko spiritual. Pelaksana pemberian therapi psiko spiritual dilakukan oleh peneliti sendiri dan dilakukan secara individu atau setiap pasien sesuai dengan protokol yang telah dibuat peneliti.
Pada penelitian ini untuk kecemasan pada pasien pre operasi sesudah pemberian therapi psiko spiritual menggunakan angket atau kuesioner HRS-A yang terdiri dari 14 pertanyaan tertutup. Kuesioner HSR-A ini merupakan test kecemasan yang sudah standart dan dapat diterima secara internasional sehingga tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas lagi. Keuntungan dari penggunaan kuesioner HSR-A adalah waktu pemeriksaan relatif cepat dan dapat dilakukan responden sendiri, tetapi juga mempunyai kekurangan yaitu respon dari responden sering melebih-lebihkan gejala, disamping itu tidak semua responden cukup intelegensinya untuk dapat memahami isi dari pertanyaan yang ada.
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat di gunakan oleh penelitian untuk mengumpulkan data. Intrumen pengumpulan data merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan pengumpulan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan mudah (Arikunto,1998).
Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi dan juga dengan menggunakan angket. Angket atau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya (Arikunto, 1998).
Langkah – langkah yang digunakan dalam penelitian atau jalannya dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
Pada langkah ini dilakukan pemilihan lahan penelitian dan pengurusan ijin yaitu penelitian di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2008 kemudian mengadakan studi pendahuluan tentang penelitian yang peneliti lakukan dalam menentukan masalah, studi kepustakaan, , menyusun proposal, konsultasi dengan pembimbing, pembuatan intrumen, uji validitas dari instrumen dan dilakukan pemilihan lokasi dan sampel penelitian yaitu pasien pre operasi dikelas 2 dan kelas 3 RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Pada tahap ini dimulai dengan menentukan sampel dari penelitian yaitu pasien pre operasi yang berjumlah 30 orang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kontrol sebanyak 15 orang, kelompok perlakuan sebanyak 15 orang. Setelah itu dilanjutkan pemberian therapi psiko spiritual kepada kelompok eksperimen, sebanyak 2 kali masing-masing selama kurang lebih 20 menit dan kemudian diberikan materi berupa leaflet tentang terapi psiko spiritual sebanyak 1 materi leaflet.
Pemberian therapi psiko spiritual dibagi dalam 2 tahap yaitu pada tahap pertama dimulai dengan pembukaan , memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan therapi psiko spiritual, mengeksplorasi perasaan pasien, memberikan therapi psiko spiritual tentang makna sakit menurut Islam dengan metode relaksasi dan melakukan kontrak waktu untuk pelaksanaan therapi psiko spiritual selanjutnya, hal ini dilakukan selama 20 menit. Kemudian tahap kedua pemberian therapi psiko spiritual tentang tuntunan doa dan berdzikir menurut Islam dengan metode relaksasi, diakhiri dengan diskusi dan evaluasi, juga dilakukan selama 20 menit. Pelaksanaan therapi psiko spiritual ini dilakukan oleh peneliti sendiri dan dilakukan secara individu atau tiap pasien.
Kegiatan berikutnya : melakukan pengukuran kecemasan setelah pemberian therapi psiko spiritual pada kelompok eksperimen sebelum pelaksanaan operasi, dengan menggunakan kuesioner HRS-A kepada sebanyak 15 orang responden, dan juga kelompok kontrol yang tidak mendapatkan therapi psiko spiritual, sebanyak 15 responden, masing-masing selama kurang lebih 20 menit. Hal ini dilakukan 2-3 jam sebelum pelaksanan operasi. Setelah selesai dilanjutkan dengan pengumpulan data dan pengecekan dari kelengkapan pengisian kuesioner oleh peneliti.
F. METODE PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah :
1. Editing
Editing merupakan kegiatan meneliti kembali data yang terkumpul meliputi kesuaian jawaban dan kelengkapan dari pengisian kuesioner.
2. Coding
Coding merupakan pemebrian kode atau tanda untuk mendukung pengolahan data kemudian melakukan langkah selanjutnya.
3. Skoring
Dalam skoring ini meberikan nilai berupa angka pada jawaban pertanyaan tiap kuesioner. Setiap jawaban kuesioner timgkat kecemasan yang sesuai diberikan nilai 1 hingga skor berkisar 0-50, makin tinggi skor makin tinggi kecemasan.
4. Tabulating
Dalam tabulating ini dilakukan penyusunan dan penghitungan data dari hasil dari coding untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan evaluasi..
Teknik analisa data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan uji t. Uji t ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi , dan sampel tersebut sudah disamakan (dimatched). Adapun rumus uji t menurut Sugiyono (2006) adalah sebagai berikut :
T =

Keterangan :
X1 = mean rata-rata kelompok I
X2 = mean rata-rata kelompok II
S1 = standart deviasi I
S2 = standart deviasi II
n = jumlah responden
Menurut Sugiyono(2006), kriteria nilai t test yang didapatkan untuk bisa menyimpulkan hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Jika nilai t test hitung lebih kecil dari nilai t test tabel, maka H0 diterima dan Hα ditolak.
2. Jika nilai t test hitung lebih besar dari nilai t test tabel, maka H0 diterima dan Hα ditolak

Sabtu, 13 Desember 2008

OSTEOPOROSIS WANITA USILA


PROSES menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 1992). Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut yang tidak disebabkan oleh proses penyakit, menyebabkan kenapa penderita geriatrik berbeda dari populasi lain. (Brocklehurst and Allen, 1987).
Penurunan daya ingat ringan, penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan (presbiakusis dan presbiopia) bukanlah suatu penyakit. Seringkali memang susah untuk membedakan antara penurunan akibat proses fisologis dengan yang terjadi karena gangguan patologis, misalnya seperti pada osteoporosis dan aterosklerosis. (Martono,2000 ).
Banyak perubahan fisiologi yang mempengaruhi status gizi terjadi pada proses penuaan diantaranya adalah penurunan kecepatan basal metabolik ( BMR ) sekitar 2 % / dekade setelah usia 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida, pepsin dan asam empedu yang berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.
Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun. Dengan pertambahan usia yang ditandai gejala berkurangnya kemampuan fisik dan mental seseorang, maka beberapa keadaan patologis dapat timbul akibat proses penuaan. Berbagai komplikasi serius dapat timbul akibat adanya perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik yang disebabkan oleh imobilisasi. Dekubitus, osteoporosis, konstipasi, kelemahan dan perubahan psikologik merupakan beberapa komplikasi akibat imobilisasi. (Kahn, 1998).
Osteoporosis menurut etiologinya dapat dikelompokkan dalam osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah yang terjadi pada wanita paska menopause oleh karena proses penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain oleh kelainan endokrin, gangguan fungsi hati, ginjal, defisiensi vitamin D, gangguan hematologi, kelainan saluran cerna dan berbagai macam obat-obatan. Osteoporosis sekunder yang salah satu penyebabnya yang paling sering ditemukan adalah glukokortikoid. Hal ini disebabkan oleh karena glukokortikoid dapat mempengaruhi produksi dari prostaglandin E, sintesis insulin like growth factor, 1 (IGF-1) dan transforming growth factor (TGF).
Imobilisasi juga akan mengakibatkan keseimbangan kalsium negatif yang merupakan manifestasi peningkatan eksresi kalsium dalam feses dan urin. Perubahan ini berkaitan dengan peningkatan reabsorbsi tulang sekunder akibat posisi berbaring dan kurang penyerapan di usus. Kadar serum 1,25 dihydroxyvitamin D juga berkurang. Selama imobilisasi hormon paratyroid akan meningkat bersamaan dengan kadar alkalin fosfatase selama remobilisasi seiring dengan adanya peningkatan reabsorbsi kalsium. (Seiler, 2000).
Pada orang dewasa kira-kira setengah dari alkaline phospatase diperoleh dari tulang dan setengahnya lagi dari hati. Pada osteoporosis aktifitas alkaline phospahatase dalam tulang biasanya meningkat. Pada awal menopause, turn over tulang (formasi atau resorpsi) meningkat kira-kira 2 kali lipat dan terus meningkat selama beberapa tahun, kemudian mulai menurun.
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian rupa sehingga hanya dengan trauma minimal tulang akan patah. Osteoporosis akan menghilangkan elastisitas tulang sehingga menjadi rapuh dan menyebabkan mudah terjadi patah tulang (fraktur).
Menurut Kanis, seorang tokoh WHO dalam bidang osteoporosis, jumlah patah tulang osteoporotik meningkat dengan cepat. Di seluruh dunia pada tahun 1990 terjadi 1,7 juta kasus patah tulang panggul. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup. (Hilmy, 2003).
Dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan kehilangan tulang secara linear. Kehilangan tulang ini lebih nyata pada wanita dibandingkan laki-laki. Tingkat kehilangan tulang ini sekitar 0,5 – 1 % pertahun dari total berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. (Martono,2000)
Pada osteoporosis, penanda bone turn over dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita postmenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporotik dan untuk memantau efikasi pengobatan, terutama terapi anti resorpsi (HRT, bifosfonat dan calsitonin). Bebrapa studi cross-sectional menunjukan bahwa bone turnover meningkat dengan cepat setelah menopaouse, dengan 50 – 100 % peningkatan osteocalsin dan bone alkalin phosphatase (BAP). Pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) yang diukur pada beberapa tempat berkorelasi dengan bone turn over yang diperkirakan dengan beberapa penanda pada wanita postmenopause (Garnero,P.1999)
Di Amerika 26 juta orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis, 40 % diantaranya mengalami patah tulang karena osteoporosis. 20 juta diantaranya adalah wanita. Dan ini akan membuat beban biaya untuk pengobatan kira-kira 10 juta dolar pertahun (Heimburger,1997). Menurut penelitian di Australia, setiap tahun 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya meninggal karena komplikasi. Garvan mengatakan bahwa 25 % wanita di negeri Kanguru itu bakal terkena osteoporosis.
Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bogor, yang melakukan penelitian dari tahun 1999 – 2002 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima perempuan mengalami osteoporosis pada usia memasuki 50 tahun. Dan pada laki-laki umur 55 tahun. Kejadian osteoporosis lebih tinggi pada wanita ( 21,74 % ) dibandingkan dengan laki-laki (14,8 %). ( Siswono, 2003 )
Di Asia fraktur tulang pinggul juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian fraktur didunia terjadi di Asia (Campion, 1992). Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50 – 59 tahun yaitu 24 % sedang pada wanita usia 60 – 70 tahun sebesar 62 %.
Hal ini dikaitkan dengan masa menopause pada wanita. Ketika wanita memasuki masa menopause, fungsi ovariumnya menurun akibatnya produksi hormon estrogen dan progesteron berkurang. Kalau kadar estrogen dalam darah turun, maka siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang mulai terjadi. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Yang sangat terpengaruh dengan keadaan ini adalah tulang trabekular, karena tingkat turn overnya tinggi.( Lane, 2001).
Data pasien baru osteoporosis rawat jalan di RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2003 adalah 128 orang umur 45 – 64 tahun, dan 32 orang yang berumur + 65 tahun. Ada beberapa faktor risiko osteoporosis diantaranya genetik, jenis kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormon, merokok, kurang olah raga serta rendah asupan kalsium. Bila dalam suatu keluarga mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak mengalami hal yang sama adalah 60-80 %. Dilihat dari jenis kelamin 80 % wanita mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubungan antara perempuan osteoporosis karena menopause akibat dari penurunan hormon estrogen. (Siswono, 2003).
Minum alkohol yang berlebihan dan merokok juga meningkatkan risiko patah tulang dua sampai tiga kali dibandingkan dengan laki-laki yang tidak merokok. Kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium melalui air seni. Begitu juga dengan minuman soft Drink yang mengandung karbonat dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh, ini bisa berakibat osetoporosis. (Siswono, 2003 ).
Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa masukan kalsium yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan massa tulang, sedangkan massa tulang menurun pada orang yang mengkonsumsi alkohol ( P < 0.01 ). Kepadatan mineral tulang lebih baik pada asupan asam lemak tak jenuh ganda (Poliunsaturated acid).(Macdonald,et al, 2004 ).
Hal ini juga dipaparkan oleh Tucker, et al 2002, dimana dengan mengatur pola makan yang baik dihubungkan dengan kepadatan mineral tulang. Terano, 2001 menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif antara wanita yang tinggal di perkampungan nelayan dengan indeks massa tulang. Kosentrasi serum EPA dan DHA cukup tinggi pada wanita post menopause di perkampungan nelayan dibandingkan dengan wanita seumur yang tinggal di perkotaan. Kosentrasi serum EPA dan DHA mencerminkan suatu masukan ikan sehari-hari yang cukup.
Masukan sayur dan buah yang tinggi dapat bersifat melindungi. Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat memperbesar risiko patah tulang pinggul pada wanita post menopause (Munger, 1999 ). Sekarang ada hal yang perlu dipertimbangkan untuk melindungi diri dari retak tulang yaitu dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang tinggi dimana Sebastian et al, melaporkan bahwa kalium dapat meningkatkan keseimbangan formasi mineral tulang. (Hegsted, 2001)
Beberapa bahan makanan nabati mengandung kalsium yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat digunakan secara maksimal karena tingginya kadar oksalat atau phitat. Hal ini terutama terdapat pada bayam, dan bit serta biji-bijian. Didalam diet orang Inggris, oksalat banyak berasal dari teh. Adanya oksalat dalam makanan juga menurunkan ketersediaan magnesium dan besi. Asam oksalit dan fitik menyebabkan mineral-mineral tersebut tidak dapat digunakan oleh karena terbentuknya garam-garam yang tidak larut. (Linder,1992 )
Faktor lain yang mempengaruhi kadar kalsium dalam plasma adalah ratio Ca : P dalam makanan. Idealnya konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor, rasio P : Ca = 1,5 : 1 mungkin dapat diterima. Tapi rasio yang lebih dari 2 : 1, terutama kalau konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif. Makanan yang mempunyai ratio Ca : P tidak baik dapat meningkatkan sekresi hormon paratiroid, yang bisa menyebabkan demineralisasi tulang. Diperkirakan hal ini mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan terjadinya osteoporosis, suatu fenomena yang menurunkan kepadatan dan mineralisasi tulang. Ini umum terjadi dengan meningkatnya umur terutama pada wanita menopause. (Linder,1992).

TRAUMA MEDULA SPINALIS

TRAUMA MEDULA SPINALIS
PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagalginjal,pneumoni/decubitus.
II. PENYEBAB DAN BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
III. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
IV. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
V. PERAWATAN DAN PENGOBATAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.perawatn ditujukan pada pencegahan :
Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
· Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.
Sumber:
1. Kedaruratan dan Kegawatan Medik III FKUI
2. Buku Ajar Ilmu Bedah, R. Sjamsuhidajat
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan, Pusdiknakes

pengaturan fisiologis tubuh manusia

PENGATURAN FISIOLOGIS PADA TUBUH MANUSIA
1. Sistem Manusia - Lingkungan
Dalam kehidupannya manusia berinteraksi dengan dua lingkungan, yaitu: lingkungan eksternal (fisik) dan lingkungan internal. Hubungan antara kedua lingkungan ini bersifat terbuka. Dari lingkungan eksternal manusia mendapatkan energi makanan (lemak dan karbohidrat), dan material-material lain (oksigen, air, protein, mineral dan vitamin) yang dibutuhkan oleh sel, jaringan dan organ. Bahan­-bahan dari lingkungan eksternal ini masuk ke dalam lingkungan internal.
Lingkungan internal mempunyai kemampuan mengorganisir material yang heterogen menjadi struktur yang homogen yang kita sadari sebagai keadaan yang dibutuhkan tubuh manusia. Keadaan yang homogen ini dicapai dan dikelola melalui proses-proses pengaturan dengan cara mengeluarkan simpanan energi (yang levelnya lebih besar) ke lingkungan. Kapasitas untuk mencapai keadaan homogen dari keadaan yang heterogen merupakan sifat dasar dari seluruh organisme hidup.
Tubuh manusia terdiri dari sel-sel, jaringan dan organ-organ yang terendam dalam lingkungan berair (lingkungan inilah yang disebut lingkungan internal). Lingkungan internal ini terdiri dari lebih kurang l5 liter cairan ekstra seluler (yang terdiri dari plasma darah, cairan getah bening dan cairan yang tersebar di antara jaringan) dan lebih kurang 30 liter air intra seluler. Jadi hampir 70 % dari berat tubuh manusia adalah air.

2. Konsep Homeostasis
Sehatnya fungsi sel, jaringan dan organ sangat berhubungan dengan keadaan atau status fisik dan kimia dari lingkungan internal. Sifat-sifat fisik meliputi suhu, tekanan osmotik dan berat jenis. Sifat kimia meliputi kandungan ion hidrogen (pH), tekanan parsial oksigen, konsentrasi elektrolit (sodium, potasium, posporus dan klorid) maupun kandungan (kadar) gula, asam amino dan lemak. Keadaan sehat tergantung dari keadaan pengaturan sifat-sifat fisik dan kimia. Simpangan yang besar dari keadaan seimbang selalu berhubungan dengan memburuknya fungsi organ (sakit). Tingkat pengaturan lingkungan internal ini pada umumnya teridentifikasi pada homeostasis.
Sifat lingkungan internal ditandai dengan simpangan yang kecil atau terkontrol. Yang tergambar dari keadaan ini adalah komposisi lingkungan internal bervariasi dengan sangat terbatas. Sifat yang paling ketat terjaga (teratur) adalah suhu, pH, tekanan osmotik dan konsentrasi beberapa elektrolit seperti sodium, potasium dan klorid. Sifat dengan pengaturan longgar terjadi pada konsentrasi enzim darah dan limbah dari metabolisme seluler. Sifat-sifat yang paling terjaga adalah hal yang paling vital pada effisiensi fungsi dari sel, jaringan dan organ. Sifat-sifat yang tidak terjaga tidak berhubungan atau tidak penting untuk kesehatan fungsi sel, jaringan atau organ.
Simpangan yang terbatas pada sifat fisik dan kimia lingkungan internal ini berarti ada pada keadaan yang mantap. Keadaan yang mantap bukan berarti keadaan yang tetap (statis) tetapi keadaan yang dinamis dengan simpangan yang terbatas (teratur). Keadaan ini dicapai dengan pengaturan fisiologis. Proses-proses pengaturan fisiologis inilah yang disebut dengan mekanisme homeostasis.

3. Mekanisme Homeostasis
Iritabilitas merupakan sifat dasar dari organ-organ tubuh manusia. Dengan iritabilitas berarti kita berespon terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan merupakan stimulus untuk terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan internal. Perubahan lingkungan akan berarti sebagai stimulus jika intensitas dan durasi dari perubahan lingkungan tersebut cukup untuk menimbulkan respon .
Sel, jaringan dan organ berespon terahadap lingkungan dengan dua cara. Pertama perubahan menimbulkan aksi langsung pada sel. Sebagai contoh : hadirnya suatu zat kimia (perubahan kimia) pada lingkungan internal menyebabkan proses-­proses seluler menjadi lebih cepat atau lambat. Hormon bekerja pada kejadian ini. Kedua, perubahan lingkungan terdeteksi oleh sel-sel khusus, yaitu sel-sel pada system syaraf. Pada kasus ini respon organ bersifat tidak langsung,, tetapi dimediai oleh sistem syaraf. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana sistem syaraf berfungsi yang kemudian disertai dengan sistem endokrin.

3.1 Sistem Syaraf
Organ-organ tubuh manusia memiliki detektor yang sensitif (organ dengan tanggapan khusus) yang khusus menanggapi berbagai jenis rangsangan. Jadi pada tubuh manusia terdapat organ-organ yang menanggapi (bereaksi) terhadap cahaya/sinar, suara, perubahan kimia, gradien termal, tekanan, regangan, dan masih banyak lagi. Beberapa organ berfungsi menanggapi perubahan lingkungan internal. Beberapa organ lain bertugas menanggapi perubahan lingkungan eksternal.
Detektor atau reseptor adalah perpanjangan jaringan syaraf dari pusat sistem syaraf. Pusat sistem syaraf terdiri dari otak, batang otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor ini merupakan ujung syaraf yang terbuka. Sebagai contoh reseptor yang mendeteksi perubahan termal adalah ujung-ujung syaraf yang terbuka yang terdapat di kulit. Reseptor juga bisa berupa struktur yang lebih kompleks seperti (ujung-ujung syaraf yang terbuka yang terdapat di) mata atau telinga.
Reseptor adalah transduser energi yang mengubah rangsangan yang berupa iritasi khusus menjadi pulsa listrik. Pulsa listrik ini akan menjalar di sepanjang perpanjangan jaringan syaraf (neuron atau serabut syaraf) ke lokasi khusus di pusat syaraf. Neuron yang berfungsi sebagai penghantar pulsa listrik dari hasil rekaman perubahan lingkungan ini disebut afferent neuron atau sensory neuron .
Ada dua grup pusat syaraf utama di mana pulsa-pulsa syaraf ini ditujukan yaitu :
1. Pusat refleks. Berlokasi di batang otak dan sumsum tulang belakang.
2. Pusat sadar. Berlokasi di otak.
Pusat refleks mengumpulkan informasi dari pulsa syaraf tanpa disadari oleh organ­-organ yang bersangkutan. Pusat sadar mengumpulkan informasi dari pulsa syaraf yang sifat dan lokasi dari perubahan lingkungannya disadari. Informasi ke pusat refleks akan ditanggapi berupa refleks-rekleks khusus. Sebagai contoh; jika kita memegang benda panas, maka secara refleks kita akan menjatuhkannya. Informasi ke pusat sadar akan ditanggapi secara sukarela. Secara sadar, oleh akibat benda panas yang dipegang dalam contoh di atas akan timbul rasa nyeri dan luka bakar. Respon yang terjadi terhadap perubahan lingkungan biasanya melibatkan baik pusat refleks maupun pusat sadar.
Refleks adalah reaksi yang otomatis dan tidak disengaja yang terjadi pada otot-otot atau kelenjar-kelenjar dalam organ manusia. Reaksi-reaksi otot atau kelenjar tersebut terbawa melalui neuron yang bergerak dari pusat refleks dalam pusat sistem syaraf ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar tersebut. Pulsa syaraf ini merambat melalui efferent atau motor neuron. Jika pulsa syaraf bereaksi pada otot, maka pada otot-otot tersebut akan terjadi perubahan panjang, sehingga terjadi gerakan. Jika pulsa syaraf bereaksi di kelenjar, kelenjar tersebut akan memproduksi dan melepaskan cairan sekresi (air liur, empedu, keringat, dan sebagainya).
Pada umumnya otot-otot pada tubuh manusia terletak menempel pada tulang atau menempel di dinding organ dan struktur, seperti sistem pencernaan makanan, kantong kemih dan pembuluh-pembuluh darah. Di dalam tubuh manusia terdapat dua jenis kelenjar, yaitu kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin berperan pada sistem pencernaan makanan dan sistem produksi (pengeluaran) keringat. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai salutan (pembuluh) dan jika terangsang akan menghasilkan/mengeluarkan produk seperti ludah dan keringat Kelenjar endokrin tidak mempunyai pembuluh. Produknya berupa hormon (bahan pengatur), produk ini akan langsung masuk ke dalam aliran darah.
Otot-otot yang menempel pada tulang tidak hanya diaktifkan oleh refleks, tetapi juga dapat diatur oleh keputusan sukarela (sadar). Aktivitas sukarela ini dimungkinkan oleh motor neuron yang bergerak ke otak atas perintah pusat kesadaran dan keluar dari pusat sistem syaraf ke otot-otot tulang. Sebagai contoh, bernafas adalah aktivitas otomatis yang tidak disadari. Dengan keputusan sukarela suatu ketika kita dapat menghentikan nafas sementara, menahan nafas atau mengatur panjang pendeknya pernafasan.

3.2 Sistem Endokrin
Pada umumnya kelenjar yang tidak berpembuluh dirangsang oleh refleks. Ada juga yang dirangsang atau dihambat oleh perubahan kimia khusus pada cairan di sekelilingnya. Sebagai akibat dari adanya stimulasi, apakah itu secara kimiawi atau syaraf, kelenjar endokrin memproduksi hormon yang langsung masuk ke dalam aliran darah. Hormon adalah molekul organik kompleks yang terbawa di dalam alirah darah ke sel-sel atau organ, berfungsi mengatur metabolik sel, jaringan dan organ.
Hormon tidak memulai proses-proses di dalam tubuh, tetapi hanya mengatur laju aktifitas di mana hormon tersebut beiperan. Reaksi terhadap perubahan lingkungan bersifat hormonal berlangsung lambat dibandingkan dengan reaksi yang ditimbulkan oleh urat syaraf. Pulsa syaraf bergerak sangat cepat pada neuron sensor atau neuron motor, jauh lebih cepat dari pada perjalanan hormon di dalam sistem sirkulasinya.
Hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin mempunyai peran yang luas. Peran-peran hormon yang telah diketahui antara lain: mengatur pertumbuhan fisik dan mental, metabolisme sel, sifat fisik dan kimia lingkungan internal, proses-proses pencernaan, dan memfungsikan banyak organ tubuh.

3.2.1 Pengaturan Tekanan Osmotik Lingkungan Internal
Organ organ yang berperan dalam proses tersebut adalah hipotalamus (terletak di batang otak banyak mengandung pusat-pusat refleks untuk mekanisme homeostatik), kelenjar pituitary posterior, dan ginjal. Ginjal berfungsi untuk membuang limbah hasil metabolisme, tetapi juga menjaga air di dalam tubuh. Ginjal mempunyai kemampuan mengatur jumlah dan kepekatan urin dalam rangka mengatur air di dalam tubuh. Kelebihan air di tubuh akan menurunkan tekanan osmotik darah. Kekurangan air dalam tubuh akan meningkatkan tekanan osmotik. Perubahan tekanan osmotik dalam darah akan terdeteksi oleh osmoreseptor yang berlokasi di pembuluh darah kecil di hipotalamus. Pulsa syaraf terbawa melalui neuron ke kelenjar pituitary posterior di mana hormon diuretic disimpan. Hormon ini diproduksi dan langsung dibawa oleh aliran darah ke ginjal di mana jumlah produksi air (urin) diatur. Jika darah kental dan tekanan osmotik naik, produksi hormon diuretic diperbesar. Sebagai akibatnya volume urin turun (sedikit). Dengan sedikitnya urin yang dikeluarkan, maka banyak air yang terjaga, dan darah menjadi encer. Produksi hormon diuretik diturunkan. Inilah perubahan kimiawi dinamis antara batang otak dan ginjal dalam pengelolaan lingkungan internal agar tekanan osmotik menjadi mantap.

3.3. Model Sederhana Mekanisme Homeostasis
Perubahan lingkungan eksternal pada umumnya ditanggapi oleh tubuh melalui sistem syaraf, perubahan dideteksi oleh detektor (receptor) khusus. Perubahan lingkungan internal dideteksi oleh detektor khusus lainnya. Tubuh manusia merupakan sistem terbuka, yang membutuhkan energi makanan dan material-material makanan dari lingkungan eksternal, maka model mekanisme homeostasi melibatkan pengaturan internal dan pengaturan eksternal.

3.3.1. Pengaturan Internal
Perubahan lingkungan internal akan menimbulkan keadaan yang menyimpang (dari keadaan set-point) pada reseptor-reseptor internal. Penyimpangan tersebut akan terdefeksi dan menimbulkan respon untuk mengoreksi simpangan tersebut. Tanpa adanya simpangan maka tidak akan ada pengaturan. Keragaman awal pada lingkungan internal ini disebut sistem keragaman. Suatu ketika proses-proses pengaturan akan beraksi untuk mengkoreksi simpangan. Organisme memiliki mekanisme untuk menunjukkan bahwa simpangan telah dikoreksi. Mekanisme ini diidentifikasikan sebagai umpan balik negatif. Jika perubahan lingkungan telah dikoreksi lingkungan di sekitar detektor mendekati keadaan set-point. Detektor kemudian berhenti menimbulkan respon-respon pengaturan lanjutan. Oleh karena diperlukan waktu untuk berbagai tahapan proses pengaturan, maka sering terjadi koreksi berlebih. Koreksi berlebih ini menimbulkan lingkungan yang baru, yang dapat memicu mekanisme pengaturan kembali. Jadi sistem keragaman adalah perubahan yang kontinu pada lingkungan internal. Simpangan dari keadaan set-point pada detektor tidak pernah terkoreksi secara komplit, tetapi mekanisme pengaturan memungkinkan keadaan mantap pada lingkungan internal terkelola.

3.3.2. Pengaturan Eksternal
Pengelolaan keadaan mantap pada lingkungan internal menuntut organisme terus menerus mengisi kembali simpanan energi makanan dan material-material lain yang terbatas dari sumber di lingkungan eksternal. Jika pemanfaatan materi-materi tersebut terjadi secara kontinu, maka pemasukan juga harus dilakukan secara kontinu. Walaupun demikian banyak simpangan pada sifat-sifat fisik dan kimia lingkungan internal tidak dapat dikoreksi oleh mekanisme pada lingkungan internal itu sendiri. Untuk alasan ini maka perlu ada komponen-komponen perilaku pengaturan fisiologis yang disebut pencarian (searching) terhadap energi makanan dan material­material lain untuk mengoreksi simpangan dari lingkungan eksternal. Pencarian memerlukan vektor yang dapat diarahkan organisme ke arah material-material yang dibutuhkan. Jadi pengaturan eksternal terdiri dari pencarian dan pengarahan (searching and orientation). Letak reseptor sensor yang ada di bagian luar (di permukaan tubuh) membuat search and orientation menjadi efektif.
Aspek perilaku lain dari pengaturan eksternal adalah membantu mekanisme homeostasis menyangkut perbaikan dari variasi ekstrim lingkungan eksternal. Variasi-variasi ini dideteksi oleh receptor eksternal dan responnya adalah proses­-proses motor yang kompleks. Sebagai contoh adalah timbulnya kebutuhan akan "pakaian, sangkar (selter), pemanas dan pendingin ruangan" sebagai proteksi terhadap lingkungan. Binatang juga mempunyai cara untuk mengatasi lingkungan dengan cara membangun sarang, hidup di dalam liang atau goa atau di bawah batu. Banyak binatang yang bergerak masuk atau keluar dari sarang tergantung dari keadaan lingkungan eksternal. Proteksi terhadap lingkungan ini dapat dilihat sebagai search and orientation.

3.3.3. Aksi Gabungan Pada Mekanisme Homeostasis
Tubuh manusia bukan merupakan susunan yang sederhana atas sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ, melainkan merupakan gabungan dari organisme-organisme yang utuh dan menyatu. Fungsi organisme tidak dapat diprediksi dari proses-proses utama atau unsur-unsurnya saja. Organisasi dan hubungan antar sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ tidak dapat diduga dari bagian-bagian yang terisolasi yang diketahui. Sifat yang menarik dari organisme adalah operasional yang terintegrasi. Sel-sel, jaringan jaringan dan organ-organ mempunyai fungsi yang khusus, tetapi bagian-bagian ini membentuk fungsi yang holistik melalui sistem yang terintegrasi yaitu sistem syaraf dan sistem endokrin. Sistem-sistem inilah yang sangat berperan dalam mekanisme homeostasis. Mekanisme inilah yang mengelola lingkungan internal terjaga dalam "keadaan mantap" menghadapi perubahan lingkungan eksternal. Terpeliharanya keadaan mantap menghadapi tantangan perubahan lingkungan eksternal merupakan ukuran efektifitas pengaturan fisiologis.
Organisme tubuh manusia mernpunyai kemampuan penyesuaian yang cepat (segera) dan penyesuaian lanjutan. Penyesuaian homeostatik cepat dijalankan oleh sistem syaraf, penyesuaian lanjutan dijalankan oleh sistem syaraf bekerjasama dengan sistem endokrin. Pengulangan atau perpanjangan waktu paparan stress, reaksi organismik akan berubah. Lama gangguan terhadap keadaan mantap dan derajad variasi mekanisme homeostasis sedikit demi sedikit akan berkurang. Variasi fenotip ini disebut "Aklimatisasi", jika penyebab stress adalah faktor meteorologi. Variasi fenotip ini bersifat plastis tergantung dari kapasitas adaptasi. Manusia mempunyai plastisitas fenotif yang besar sehingga dapat hidup pada kisaran lingkungan eksternal yang lebar.
Jika keadaan mantap pada lingkungan internal tidak dapat dijaga oleh karena kendala pada mekanisme homeostasis terlalu besar dan terjadi disintegrasi, fungsi­-fungsi seluler maupun organismic akan terganggu. Dalam keadaan demikian organisme dikatakan dalam keadaan sakit. Gejala penyakit pada organisme ditimbulkan oleh percobaan mekanisme homeostasis dalam mempertahankan keadaan mantap dan oleh aksi keadaan yang merusak pada organisme.

4. Hubungan Mekanisme Homeostasis Dengan Kapasitas Adaptasi Menghadapi Perubahan Cuaca
Manusia modern merupakan evolusi dari Generasi Australopithecus yang tinggal di iklim stepa semi-arid di Afrika timur dan Selatan. Berjuta juta tahun kehadirannya di bumi manusia menyebar dan hidup dalam lingkungan yang sangat beragam, dari daerah panas hingga daerah dingin, dari berbagai ketinggian permukaan laut hingga tempat dengan udara yang jarang di pegunungan. Kapasitas adaptasi dipengaruhi baik oleh faktor fisiologis maupun faktor budaya. Pada bab ini kita akan membahas pengaturan fisiologis manusia menghadapi kendala panas, dingin dan tekanan parsial oksigen rendah.

4.1. Termoregulasi
Tubuh manusia mempunyai "darah panas". Suhu lingkungan internal dijaga pada suhu sekitar 37°C. Mekanisme homeostasis berfungsi pada pengaturan suhu untuk menjaga keseimbangan termal, yaitu keseimbangan produksi dan pelepasan bahang sehingga keadaan mantap suhu terjaga.
Simpangan dari kondisi mantap akan terdeteksi oleh sel-sel yang sensitif terhadap bahang di hipotalamus. Reseptor-reseptor ini dan pusat refleks dimana neuron-neuron afferent menyampaikan pulsa memberi kuasa pada pusat pengaturan suhu. Informasi-informsi bergerak dari reseptor yang sensitif terhadap suhu berada di lapisan-lapisan dalam kulit ke pusat pengaturan suhu. Oleh receptor-reseptor ini pusat memperoleh informasi bahwa lingkungan menjadi lebih panas atau lebih dingin. Pusat pengaturan suhu kemudian mengaktifkan mekanisme homeostasis untuk mengelola keseimbangan bahang.
Mekanisme homeostasis dijalankan oleh pusat pengaturan suhu akan menahan atau melindungi bahang di dalam tubuh (mengurangi kehilangan bahang) pada saat organisme terpapar udara dingin, dan meningkatkan kehilangan bahang pada saat menghadapi pemanasan yang berlebih. Jadi penyelesaian masalah dalam pengaturan bahang di sini adalah meningkatkan produksi panas pada lingkungan dingin dan meningkatkan pelepasan panas pada lingkungan panas. Proses-proses pengaturan di sini melibatkan pengaturan internal dan pengaturan eksternal, dengan melibatkan baik mekanisme syaraf maupun mekanisme endokrin. Sistem syaraf yang terlibat dalam pengaturan adalah sistem syaraf “autonomic". Pengaturan refleks melibatkan sistem "cardiovascular" (jantung dan pembuluh-pembuluh darah) , sistem pernafasan, dan kelenjar keringat.
Kisaran suhu dimana orang tidak mengalami stress pada termoregulasi dan produksi bahang dalam keadaan istirahat minimal disebut zona "thetmoneutral". Untuk manusia zona ini berada pada kisaran 28°C - 31°C. Keadaan di atas termonetral menyebabkan mekanisme peningkatan pelepasan bahang diaktifkan, di bawah termonetral mekanisme konservasi bahang aktif.

4.1.1. Mekanisme konservasi bahang
Respon fisiologis yang segera terjadi jika terpapar udara dingin adalah refleks mengkerutnya pembuluh. Dua pusat refleks yang terlibat adalah pusat pengatur suhu dan pusat vasomotor (penggerak pembuluh) di bagian meduler dari cabang otak. Pusat vasomotor merupakan pusat outonomic. Serabut-serabut syaraf (neuron) dari pusat ini melewati otot-otot pada dinding-dinding vena dan arteri kecil di bawah, kulit. Jika otot-otot disekeliling pembuluh herkontraksi, maka ukuran pembuluh ini berkurang, yaitu dengan. mengkerut. Aliran darah di wilayah perifer (pinggiran) tubuh akan berkurang. Darah berfungsi membawa bahang metabolik ke kulit untuk dilepaskan melalui proses radiasi dan konduksi. Adanya refleks pengkerutan pembuluh menyebabkan pelepasan panas radiatif dan konduktif akan terhalang sehingga bahang di dalam tubuh terjaga. Sebagai imbangan pembuluh darah di dalam tubuh tnembesar, sehingga aliran darah ke dalam tubuh ini (ke dalam jantung) besar. Oleh adanya peningkatan volume darah ke jantung melalui vena (pembuluh balik) besar, tekanan darah cenderung meningkat.
Oleh paparan dingin yang berkepanjangan, refleks vasomotor tidak memadai lagi, bahang yang dijaga tidak mencukupi. Suhu lingkungan internal mulai turun. Pusat pengaturan suhu memacu refleks menggigil. Pulsa-pulsa syaraf bergerak ke otot-otot yang menempel di tulang, sehingga tulang beserta otot-ototnya berkontraksi. Aktifitas ini menghasilkan bahang metabolik ekstra. Proses inilah yang bermanfaat untuk memperbesar laju produksi bahang jika suhu lingkungan kurang dari termonetral (< 28°C ).
Oleh reaksi vasomotor terjadi penurunan volume darah terutama disebabkan oleh pergerakan dari darah ke sekitarnya. Penyesuaian hormonal terjadi. Hanya dengan stimulasi sederhana pada aktifitas kelenjar tiroid, hormon thyroxine mengatur laju produksi panas di sel-sel dan jaringan jaringan.
Pengaturan sukarela juga terjadi. Keadaan dingin menyebabkan individu meningkatkan gerakan. Bertambahnya gerakan berarti memperbesar produksi panas.

4.1.2. Mekanisme Penyesuaian pelepasan panas
Reaksi vasomotor yang segera terjadi oleh paparan stres panas adalah reflek pembesaran diameter pembuluh vena dan arteri kecil di bawah kulit. Lebih banyak darah yang mengalir ke kulit, berarti lebih banyak bahang yang terbawa ke permukaan tubuh untuk dilepaskan melalui proses konduksi dan radiasi. Akibat dari pembesaran pembuluh di daerah pinggiran tubuh (di sekitar kulit) adalah pengkerutan pembuluh darah yang ada di bagian dalam tubuh. Pengkerutan pembuluh di tubuh bagian dalam ini menyebabkan tekanan darah turun. Bahang dipercepat melalui pusat cardiac di bagian meduler dari batang otak. Keluaran darah dari jantung (cardiac output) berkurang, sebab volume darah yang kembali ke jantung melalui vena berkurang. Penyesuaian yang terjadi kemudian (secara perlahan-lahan) adalah peningkatan volume darah oleh bergeraknya cairan yang tersebar di antara jaringan (interstitial Fluid) ke dalam pembuluh darah.
Oleh pengaruh suhu internal dan stimulasi dari pusat pengaturan suhu yang dibangkitkan oleh pulsa afferent dari reseptor suhu di kulit menimbulkan refleks berkeringat. Adanya proses penguapan atau pengeluaran keringat menyebabkan hilangnya bahang dari tubuh yang berupa bahang laten.
Sejalan dengan peningkatan suhu lingkungan internal, proses-proses metabolisme dipicu. Lebih banyak panas diproduksi. Laju produksi panas istirahat meningkat. Efek metabolik yang dihasilkan adalah refleks relaksasi otot-otot. Bahang muskuler (yang dihasilkan oleh gerakan otot) berkurang. Selanjutnya adalah penurunan aktivitas sukarela. Akibat selanjutnya yang mungkin ditimbulkan adalah tidur lebih banyak. Berkeringat tidak hanya meningkatkan pengeluaran bahang dari tubuh, tetapi juga mengurangi cairan di tubuh. Mekanisme homeostatik sehubungan dengan pengaturan air di dalam tubuh bekerja. Mekanisme ini bersifat hormonal yang melibatkan kelenjar pituitary dan adrenal (lihat mekanisme pengaturan cairan dalam tubuh pada sub bab terdahulu).

4.2. Penyesuaian fisiologis terhadap tekanan parsial Oksigen rendah
Kebutuhan Oksigen menerus pada sel-sel tubuh merupakan alasan mengapa organisme tergantung dari lingkungan eksternal (atmosfer). Pada permukaan laut tekanan parsial oksigen lebih kurang sebesar 150 mm Hg (200 milibar). Jika organisme berpindah ke pegunungan, di mana tekanan parsial oksiger berkurang tajam, mekanisme homeostatik bekerja dengan tujuan memperbesar masukan Oksigen sehingga kebutuhan seluler akan oksigen yang terus menerus dapat dipenuhi. Mekanisme ini melibatkan pusat pengaturan nafas dan sunsum tulang belakang. Pusat nafas mengatur laju dan panjangnya pernafasan. Sumsum tulang belakang merupakan tempat pembentukan sel-sel darah merah. Sel-sel ini mengandung pigmen yang disebut "haemoglobin", bersama-sama dengan oksigen akan membentuk sel darah merah melalui paru-paru dan membawa oksigen tersebut ke jaringan jaringan di mana oksigen dilepaskan untuk dipakai oleh jaringan jaringan sel.
Reaksi segera yang terjadi menghadapi tekanan parsial oksigen yang rendah adalah pada pernafasan. Reseptor sensitif terhadap perubahan kimia yang berada di arteri besar di daerah leher mendeteksi kandungan oksigen yang rendah di dalam darah. Pulsa syaraf beraksi pada pusat pengaturan nafas untuk mengatur laju dan panjang nafas, untuk membawa oksigen yang lebih banyak ke paru-paru. Reaksi yang terbentuk secara lambat bersifat hormonal. Kandungan oksigen yang rendah menstimulasi ginjal untuk memproduksi hormon "erythropoietin". Hormon ini mempercepat laju produksi Hb oleh sumsum tulang belakang. Jika sel-sel ekstra ini masuk ke dalam aliran darah, kapasitas darah dalam membawa oksigen meningkat. Pada permukaan laut setiap milimeter kubik darah mengandung kira-kira lima juta sel darah merah. Manusia yang tinggal di pegunungan mempunyai konsentrasi darah merah 8 juta per milimeter kubic darah.