ASKEP DAN LAPORAN PENDAHULUAN

PRESENTASI JURNAL

PENGARUH KADAR ALBUMIN SERUM TERHADAP LAMANYA PENYEMBUHAN LUKA OPERASI
SEPTEMBER 2003-MARET 2004














Disusun oleh:


DODDY YUMAM PRASETYO SKep









PROGRAM PENDIDIKAN NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2010

PENGARUH KADAR ALBUMIN SERUM TERHADAP LAMANYA PENYEMBUHAN LUKA OPERASI
SEPTEMBER 2003-MARET 2004

Agung M, Hendro W
Bagian Bedah Digestive RS Dr Sardjito
Yogyakarta

1.PENDAHULUAN
Luka didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas jaringan atau prosedur pembedahan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka. Pada penyembuhan luka ini akan memulai beberapa tahapan yaitu homeostasis, inflamasi, granulasi dan maturasi. Untuk jaringan epitel, tulang dan syaraf mempunyai cara penyembuhan yang berbeda. Protein berperan penting dalam metabolisme tubuh. Kebutuhan optimal protein dalam tubuh dapat digambarkan dari jumlah albumin dalam serum darah. Tindakan operasi merupakan tindakan invasive yang akan merusak struktur jaringan tubuh dimana pada proses penyembuhan akan terjadi fase metabolisme (baik katabolisme maupun anabolisme). Pasien dengan defisiensi nutrisi yang akan dilakukan operasi, penyembuhan lukanya akan mengalami gangguan. Dehisensi luka operasi dan penyembuhan luka yang jelek berhubungan dengan defisiensi vitamin C dan Zinc juga pada pasien dengan hipoproteinuria.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode prospektif cohort dalam hal ini dilakukan observasi terhadap pasien-pasien yang akan dilakukan operasi bersih (clean sugery) dan bersih terkontaminasi (clean contaminenated sugery). Observasi yang dilakukan adalah untuk menilai status nutrisi dari pasien-pasien tersebut, seperti kadar albumin serum, Body Mass Index (BMI). Untuk menentukan lamanya penyembuhan luka dipergunakan data subyektif dan obyektif. Data subyektif meliputi pertanyaan-pertanyaan terhadap pasien mengenai lukanya (seperti dalam fase penyembuhan luka), sedangkan untuk gejala objektif penulis melakukan analisa klinis terhadap kemajuan penyembuhan luka sesuai dengan tahap-tahap penyembuhan luka. Observasi dilakukan di Poliklinik Bedah RS Dr Sardjito mulai bulan September 2003 sampai dengan bulan Maret 2004.
3. HASIL PENELITIAN
Data yang penulis peroleh mulai bulan September 2003 sampai bulan Maret 2004 didapatkan dari 61 pasien. Dari data tersebut pasien laki-laki sebanyak 30 pasien (19,18%), dan pasien perempuan sebanyak 31 pasien (50,82%). Operasi bersih dilakukan pada 50 (83,33%) pasien sedangkan sisanya adalah operasi bersih terkontamonasi, dengan rincian diagnosa dapat dilihat pada tabel 1 selama observasi penulis mengikuti perkembangan penyembuhan lukanya sampai hari ke tujuh.
Tabel 1. Macam diagnosa
No Diagnosis Jumlah Pasien
1.
2.
3.
3. Hernia ingualis lateralis
Hernia ingualis Medialis
Apendisitis akut
Apendisitis kronis 27
3
16
15
Total 61

Dari ke 61 pasien yang diobservasi indeks masa tubuh (IMB)adalah berkisar antara 16,94 sampai dengan 28,25 dan rata-ratanya adalah 20,91 (tabel 2).

Table 2. Rata-rata indeks masa tubuh (IMB).
No Statistik Indeks Masa Tubuh Juamlah Sampel
1.
2.
3. Mean
Nilai Maksimal
Nilai Minimum 20,91
28,25
16,94
61
Pemeriksaan albumin serum dikerjakan setelah pasien dioperasi, hal ini untuk mencegah intervensi praoperasi, karena bila kadar albumin rendah praoperasi elektif maka akan dikoreksi dahulu kadar albuminnya. Dari data yang terkumpul didapatkan kadar albumin serum yang rendah adalah 2,6 g/dl, sedang yang tertinggi adalah 4,8 g/dl dengan rata-ratanya 3,33 g/dl dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata kadar albumin serum
No Statistik Kadar albimin serum Jumlah sampel
1.
2.
3. Mean
Nilai Maksimum
Nilai Minimum 3,33
4,80
2,60
61
Pasien dinyatakan telah sembuh luka operasinya dengan kriteria telah menyatunya jaringan kulit 2,62 N/mm², tidak didapatkan inflamasi dan pasien tidak lagi merasa nyeri tempat irisan operasinya. Pasien dioservasi selama 7 hari sesuai dengan teri penyembuhan luka yang mana fase terjadinya kolagen dikatakan pada hari ketujuh setelah operasi, yang dahulunya didahului fase imflamasi.dari hasil yang didapatkan selama observasi sesuai dengan sembuh luka didapatkan 29(47,54%) pasien sembuh secara primer pada hari ketujuh dan 32 (52, 46%) pasien dinyatakan sembuh tetapi lebih dari 7 hari. Tidak ada 1pun pasien yang tereksklusi karena terjadi infeksi luka operasi.
Dari 61 pasien yang diobservasi didapatkan hubungan antara kadar albumin serum dengan lamanya penyembuhan luka operasi seperti dilihat pada table. Data ini merupakan data nominal/ dikotom sehingga diolah menggunakan analisa cross tab (chi square). Dari penhitungan yang dilakukan dengan rumus chi square didapat hasil p=0,001 (p< 0,05), artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum dengan lamanya penyembuhan luka. Sembuh >7hari Sembuh pada hari ke7 Total
<3g/dl ≥3g/dl Total 22 10 32 8 21 29 30 31 61 ANALISIS Penyembuhan luka Definisi Lika adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.ketika luka timbul, beberapa efek yang muncul: 1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah 4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel Menurut tingkat kontaminasi terhadap luka: 1. Clean Wounds (Luka bersih) yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada system pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup: jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (missal: Jacson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5%. 2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3%-11%. 3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna, pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 0%-17%. 4. Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi) yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka. Proses penyembuhan luka Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (head), Nyeri (Pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase: 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respon veskuler dan seluler yang terjaadi akibat perlukaan yng terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai ialah menghentikan perdarahan dan membersihkan luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebbkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi” yang menyebabkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve ending), local reflex action dan adanya substansi vasodilator(histamine, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan dan keadaan lingkungan tersebut terjadi asidosis. Secara klinis fase inflamasi ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4. 2. Fase Proliferatif Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasisel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggungjawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses recontruksi jaringan. Pada jaringan yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi dimatriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka , fibroblast akan aktif bergerak dan jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang dan proliferasi serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaloronicacid, fibronectin dan protecglicans)yang berberan dalam membangun jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru dan dengandikeluarkan substrat oleh fibroblast, memberikan pertanda bahwa makrofag , pembuluh darah baru dan juga fibroblast sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah yang baru tersebut disebut sebagai jaringan bergranulasi. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan koagen telah terbentuk, terlihat proses kontriksi dan akan dipercepat oleh berbagai growt factor yang dibentuk okleh makrofag dan platelet. 3. Fase Maturasi Fase ini mulai pada minggu ke3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi , warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuat jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke 10 setelah perlukaan. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang produksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang belebihan akan terjadi penebalan jaringan parut hipertropik scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita namun out come atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi disertai penyakit sistemik (DM). Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka 1. Usia Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan 2. Infeksi Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka. 3. Hipovolemia Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasikontriksi dan menurunya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. 4. Hematoma Merupakan bekuan darah seringkali pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsobsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. 5. Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. 6. Iskemia Merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibata dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstrusi pada pembuluh darah itu sendiri. IV. TELAAH JURNAL Judul jurnal ini kurang spesifik karena tidak dijelaskan tempat penelitian dan populasinya dan waktu penelitian. Pada pendahuluan mengemukakan alasan dilakukan penelitian sebagai berikut: Luka didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas jaringan atau prosedur pembedahan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka. Pada penyembuhan luka ini akan memulai beberapa tahapan yaitu homeostasis, inflamasi, granulasi dan maturasi. Untuk jaringan epitel, tulang dan syaraf mempunyai cara penyembuhan yang berbeda. Protein berperan penting dalam metabolisme tubuh. Kebutuhan optimal protein dalam tubuh dapat digambarkan dari jumlah albumin dalam serum darah. Tindakan operasi merupakan tindakan invasive yang akan merusak struktur jaringan tubuh dimana pada proses penyembuhan akan terjadi fase metabolisme (baik katabolisme maupun anabolisme). Pasien dengan defisiensi nutrisi yang akan dilakukan operasi, penyembuhan lukanya akan mengalami gangguan. Dehisensi luka operasi dan penyembuhan luka yang jelek berhubungan dengan defisiensi vitamin C dan Zinc juga pada pasien dengan hipoproteinuria. Desain penelitian dengan menggunakan metode prospektif cohort, yaitu suatu penelitian survei (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara faktor risiko dengan efek atau suatu penelitian yang digunakan unutk mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek. Dalam penelitian ini yang menjadi faktor risiko/yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah kadar albumin dan yang menjadi efek adalah waktu penyembuhan luka. Dalam penelitian ini dilakukan observasi terhadap pasien operasi bersih (clean sugery) dan bersih terkontaminasi (clean contaminenated sugery). Observasi yang dilakukan adalah untuk menilai status nutrisi dari pasien-pasien tersebut, seperti kadar albumin serum, Body Mass Index (BMI) pada bulan September 2003 – Maret 2004 di Poliklinik Bedah RS dr. Sardjito. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 61 pasien yang terdiri dari 30 pasien laki-laki dan 31 pasien perempuan. Pada penelitian ini tidak ada perkiraan besar sample dan tidak dihitung dengan rumus. Kriteria pemilihan subyek (tehnik sampling) semua pasien yang periksa di Poliklinik Bedah RS dr. Sardjito dalam penyembuhan luka operasi Yang dilakukan operasi bersih 50 pasien dan 11 pasien pada operasi bersih terkontaminasi. Dijelaskan adanya kriteria inklusi antara lain: Pasien dinyatakan telah sembuh luka operasinya dengan kriteria telah menyatunya jaringan kulit 2,62 N/mm², tidak didapatkan inflamasi dan pasien tidak lagi merasa nyeri tempat irisan operasinya. Pasien dioservasi selama 7 hari sesuai dengan teri penyembuhan luka yang mana fase terjadinya kolagen dikatakan pada hari ketujuh setelah operasi, yang dahulunya didahului fase imflamasi.dari hasil yang didapatkan selama observasi sesuai dengan sembuh luka didapatkan 29(47,54%) pasien sembuh secara primer pada hari ketujuh dan 32 (52, 46%) pasien dinyatakan sembuh tetapi lebih dari 7 hari, tetapi dari jurnal tidak disebutkan kriteria insklusi yang lain seperti (usia, jenis operasi, keparahan penyakit, riwayat penyakit, nutrisi dll) sehingga mungkin ada sampel yang mungkin dropout. Ada beberapa faktor selain kadar albumin yang mempercepat penyembuhan luka misalnya usia, semakin tua usia seseorang maka penyembuhan luka juga akan lama. Tidak disebutkan alasan mengapa jumlah sampel yang diambil tidak seimbang, pada operasi bersih sebanyak 50 orang sedangkan operasi bersih terkontaminasi sebanyak 11 orang. Pada hasil penelitian disebutkan tabel karakteristik subyek penelitian, analisa dengan cross tab (chi square) yang didapatkan hasil p=0,001 (p< 0,05), artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum dengan lamanya penyembuhan luka. Pada jurnal ini tidak membandingkan perbedaan antara hasil penelitian yang dulu dan sekarang, padahal didalam jurnal disebutkan ada penelitian dahulu yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi lamanya penyembuhan luka operasi. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Pada hasil penelitian disebutkan tabel karakteristik subyek penelitian, analisa dengan cross tab (chi square) yang didapatkan hasil p=0,001 (p< 0,05), artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum dengan lamanya penyembuhan luka. 2. Saran Saran untuk RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta  Perlu memperhatikan kadar albumin dalam penyembuhan luka operasi Endokarditis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pada endokard atau katub jantung. Infeksi endokarditid biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit ini didahului dengan endokarditis, biasanya berupa penyakit jantung bawaan, maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu Infeksi pada endokard banyak disebabkan oleh bakteri sehingga disebut endokariditis bakterial. Sekarang infeksi bukan disebabkan oleh bakteri saja, tetapi bisa disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus, dan lain-lain. Endokarditis tidak hanya terjadi pada endokard dan katub yang telah mengalami kerusakan, tetapi juga pada endokar dan katub yang sehat, misalnya penyalahgunaan narkotik perintravena atau penyakit kronik. Perjalanan penyakit ini bisa; akut, sub akut, dan kronik, tergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir selalu berakibat fatal, sedangkan hiperakut/akut secara klinis tidak pernah ada, karena penderita meninggal terlebih dahulu yang disebabkan karena sepsis. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena gejalanya tidak khas. Etiologi Endokarditis paling banyak disebabkan oleh streptokokus viridans yaitu mikroorganisme yang hidup dalam saluran napas bagian atas. Sebelum ditemuklan antibiotik, maka 90 - 95 % endokarditis infeksi disebabkan oleh strptokokus viridans, tetapi sejak adanya antibiotik streptokokus viridans 50 % penyebab infeksi endokarditis yang merupakan 1/3 dari sumber infeksi. Penyebab lain dari infeksi endokarditis yang lebih patogen yaitu stapilokokus aureus yang menyebabkan infeksi endokarditis subakut. Penyebab lainnya adalah streptokokus fekalis, stapilokokus, bakteri gram negatif aerob/anaerob, jamur, virus, ragi, dan kandida. Faktor-faktor predisposisi dan faktor pencetus. Faktor predisposisi diawali dengan penyakit-penyakit kelainan jantung dapat berupa penyakit jantung rematik, penyakit jantung bawaan, katub jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katub mitral, post operasi jantung, miokardiopati hipertrof obstruksi. Endokarditi infeksi sering timbul pada penyakit jantung rematik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering pada katub mitral dan katub aorta. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis adalah penyakit jantung bawaan tanpa ciyanosis, dengan deformitas katub dan tetralogi fallop. Bila ada kelainan organik pada jantung, maka sebagai faktor predisposisi endokarditis infeksi adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, hemodialisis atau peritonial dialisis, serosis hepatis, diabetis militus, penyakit paru obstruktif menahun, penyakit ginjal, lupus eritematosus, penyakit gout, dan penyalahan narkotik intravena. Faktor pencetus endokarditis infeksi adalah ekstrasi gigi atau tindakan lain pada gigi dan mulut, kateterisasi saluran kemih, tindakan obstretrik ginekologik dan radang saluran pernapasan. Patofisiologi Kuman paling sering masuk melalui saluran napas bagian atas selain itu juga melalui alat genital dan saluran pencernaan, serta pembuluh darah dan kulit. Endokard yang rusak dengan permukaannya tidak rata mudah sekali terinfeksi dan menimbulakan vegetasi yang terdiri atas trombosis dan fibrin. Vaskularisasi jaringan tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah kerusakan katub dan endokard, kuman yang sangat patogen dapat menyebabkan robeknya katub hingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan mudah meluas ke jaringan sekitarnya, menimbulkan abses miokard atau aneurisme nekrotik. Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi ruptur yang mengakibatkan terjadinya kebocoran katub. Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infeksi. Besarnya emboli bermacam-macam. Emboli yang disebabkan jamur biasanya lebih besar, umumnya menyumbat pembuluh darah yang besar pula. Tromboemboli yang terinfeksi dapat teranggkut sampai di otak, limpa, ginjal, saluran cerna, jantung, anggota gerak, kulit, dan paru. Bila emboli menyangkut di ginjal. akan meyebabkan infark ginjal, glomerulonepritis. Bila emboli pada kulit akan menimbulkan rasa sakit dan nyeri tekan. Gejala-gejala Sering penderita tidak mengetahui dengan jelas. Sejak kapan penyakitnya mulai timbul , misalnya sesudah cabut gigi, mulai kapan demam, letih-lesu, keringat malam banyak, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit sendi, sakit dada, sakit perut, hematuria, buta mendadak, sakit pada ekstremitas (jari tangan dan kaki), dan sakit pada kulit. Gejala umum Demam dapat berlangsung terus-menerus retermiten / intermiten atau tidak teratur sama sekali. Suhu 38 - 40 C terjadi pada sore dan malam hari, kadang disertai menggigil dan keringat banyak. Anemia ditemukan bila infeksi telah berlangsung lama. pada sebagian penderita ditemukan pembesaran hati dan limpha. Gejala Emboli dan Vaskuler Ptekia timbul pada mukosa tenggorok, muka dan kulit (bagian dada). umumya sukar dibedakan dengan angioma. Ptekia di kulit akan berubah menjadi kecoklatan dan kemudian hilang, ada juga yang berlanjut sampai pada masa penyembuhan. Emboli yang timbul di bawah kuku jari tangan (splinter hemorrhagic). Gejala Jantung Tanda-tanda kelainan jantung penting sekali untuk menentukan adanya kelainan katub atau kelainan bawaan seperti stenosis mitral, insufficiency aorta, patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VCD), sub-aortic stenosis, prolap katub mitral. Sebagian besar endocarditis didahului oleh penyakit jantung, tanda-tanda yang ditemukan ialah sesak napas, takikardi, palpasi, sianosis, atau jari tabuh (clubbing of the finger). Perubahan murmur menolong sekali untuk menegakkan diagnosis, penyakit yang sudah berjalan menahun, perubahan murmur dapat disebabkan karena anemia . Gagal jantung terjadi pada stadium akhir endokarditis infeksi, dan lebih sering terjadi pada insufisiensi aorta dan insufisiensi mitral, jarang pada kelainan katub pulmonal dan trikuspid serta penyakit jantung bawaan non valvular . Endokarditis infeksi akut Infeksi akut lebih sering timbul pada jantung yang normal, berbeda dengan infeksi sub akut, penyakitnya timbul mendadak, tanda-tanda infeksi lebih menonjol, panas tinggi dan menggigil, jarang ditemukan pembesaran limfa, jari tabuh, anemia dan ptekia . Emboli biasanya sering terjadi pada arteri yang besar sehingga menimbulkan infark atau abses pada organ bersangkutan. Timbulnya murmur menunjukkan kerusakan katub yang sering terkena adalah katub trikuspid berupa kebocoran, tampak jelas pada saat inspirasi yang menunjukkan gagal jantung kanan, vena jugularis meningkat, hati membesar, nyeri tekan, dan berpulsasi serta udema. Bila infeksi mengenai aorta akan terdengar murmur diastolik yang panjang dan lemah. Infeksi pada aorta dapat menjalar ke septum inter ventricular dan menimbulkan abses. Abses pada septum dapat pecah dan menimbulkan blok AV . Oleh karena itu bila terjadi blok AV penderita panas tinggi, kemungkinan ruptur katub aorta merupakan komplikasi yang serius yang menyebabkan gagal jantung progresif. Infeksi katub mitral dapat menjalar ke otot papilaris dan menyebabkan ruptur hingga terjadi flail katub mitral. Laboratorium Leukosit dengan jenis netrofil, anemia normokrom normositer, LED meningkat, immunoglobulin serum meningkat, uji fiksasi anti gama globulin positf, total hemolitik komplemen dan komplemen C3 dalam serum menurun, kadar bilirubin sedikit meningkat. Pemeriksaan umum urine ditemukan maka proteinuria dan hematuria secara mikroskopik. Yang penting adalah biakan mikro organisme dari darah . Biakan harus diperhatikan darah diambil tiap hari berturut-turut dua / lima hari diambil sebanyak 10 ml dibiakkan dalam waktu agak lama (1 - 3 minggu) untuk mencari mikroorganisme yang mungkin berkembang agak lambat. biakkan bakteri harus dalam media yang sesuai. NB: darah diambil sebelum diberi antibiotik . Biakan yang positif uji resistansi terhadap antibiotik. Echocardiografi Diperlukan untuk: - Melihat vegetasi pada katub aorta terutama vegetasi yang besar ( > 5 mm)


- Melihat dilatasi atau hipertrofi atrium atau ventrikel yang progresif


- Mencari penyakit yang menjadi predisposisi endokarditis ( prolap mitral, fibrosis, dan calcifikasi katub mitral )


- Penutupan katub mitral yang lebih dini menunjukkan adanya destrruktif katub aorta dan merupakan indikasi untuk melakukan penggantian katub





Diagnosis


Diagnosis endokarditis infeksi dapat ditegakkan dengan sempurna bila ditemukan kelainan katub, kelainan jantung bawaan, dengan murmur , fenomena emboli, demam dan pembiakan darah yang positif. Diagnosis dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria diatas.


Endokarditis paska bedah dapat diduga bilamana terjadi panas, leukositosis dan anemia sesudah operasi kardiovaskuler atau operasi pemasangan katub jantung prostetik.





Pengobatan


Pemberian obat yang sesuai dengan uji resistensi dipakai obat yang diperkirakan sensitif terhadap mikroorganisme yang diduga. Bila penyebabnya streptokokus viridan yang sensitif terhadpa penicillin G , diberikan dosis 2,4 - 6 juta unit per hari selama 4 minggu, parenteral untuk dua minggu, kemudian dapat diberikan parenteral / peroral penicillin V karena efek sirnegis dengan streptomicin, dapat ditambah 0,5 gram tiap 12 jam untuk dua minggu . Kuman streptokokous fecalis (post operasi obs-gin) relatif resisten terhadap penisilin sering kambuh dan resiko emboli lebih besar oleh karena itu digunakan penisilin bersama dengan gentamisin yang merupakan obat pilihan. Dengan dosis penisilin G 12 - 24 juta unit/hari,dan gentamisin 3 - 5 mg/kgBB dibagi dalam 2 - 3 dosis. Ampisilin dapat dipakai untuk pengganti penisilin G dengan dosis 6 - 12 gr/hari . Lama pengobatan 4 minggu dan dianjurkan sampai 6 minggu. Bila kuman resisten dapat dipakai sefalotin 1,5 gr tiap jam (IV) atau nafcilin 1,5 gr tiap 4 jam atau oksasilin 12 gr/hari atau vankomisin 0,5 gram/6 jam, eritromisin 0,5 gr/8 jam lama pemberian obat adalah 4 minggu. Untuk kuman gram negatif diberikan obat golongan aminoglikosid : gentamisin 5 - 7 mg/kgBB per hari, gentamisin sering dikombinsaikan dengan sefalotin, sefazolia 2 - 4 gr/hari , ampisilin dan karbenisilin. Untuk penyebab jamur dipakai amfoterisin B 0,5 - 1,2 mg/kgB per hari (IV) dan flucitosin 150 mg/Kg BB per hari peroral dapat dipakai sendiri atua kombinasi. Infeksi yang terjadi katub prostetik tidak dapat diatasi oleh obat biasa, biasanya memerlukan tindakan bedah. Selain pengobatan dengan antibiotik penting sekali mengobati penyakit lain yang menyertai seperti : gagal Jantung . Juga keseimbangan elektrolit, dan intake yang cukup .

Pencegahan

Faktor predisposisi sebaiknya diobati (gigi yang rusak, karies,selulitis dan abses).



PENGERTIAN

• Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).
• Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein. (Suriadi, 2001:196).
• Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori. (Nelson, 1999:212).
• Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. (Arisman, 2004:157).
• Energi yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi.
• Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan metabolisme protein. Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh untuk :
1. Mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
2. Sebagai cadangan protein tubuh.
3. Mengontrol perdarahan (terutama dari fibrinogen).
4. Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
5. Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
Dalam darah ada 3 fraksi protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.

ETIOLOGI
• Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital. (Nelson,1999).
• Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin, 1990:116).

PATOFISIOLOGI
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. (Arisman, 2004:92). Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. (Nuuhchsan Lubis an Arlina Mursada, 2002:11).

MANIFESTASI KLINIK
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja berisi mukus dan sedikit. (Nelson,1999).

Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :
1. Badan kurus kering tampak seperti orangtua
2. Lethargi
3. Irritable
4. Kulit keriput (turgor kulit jelek)
5. Ubun-ubun cekung pada bayi
6. Jaingan subkutan hilang
7. Malaise
8. Kelaparan
9. Apatis

PENATALAKSANAAN
1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kualitas biologiknya baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin.
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit.
3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat.
4. Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian antropometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan, kaji tanda-tanda vital.

Penanganan KKP berat
Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi.
Upaya pengobatan, meliputi :
- Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.
- Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik
- Pengobatan infeksi
- Pemberian makanan
- Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan vitamin, anemia berat dan payah jantung.

Menurut Arisman, 2004:105
- Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100 cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
- Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2 jam pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg BB/ jam.
- Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.
- Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian CRO/intravena diberikan dalam kegiatan rehidrasi.
- Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-masing disebut sebagai F-75 dan F-100.

Menurut Nuchsan Lubis
Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan IV.
- cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat Dextrose 5%.
- Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.
- Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.
- Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.
2. Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan
- Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/ kg BB/ hari.
- Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.
- Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-10 hari.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Mengukur TB dan BB
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).
2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.

FOKUS INTERVENSI
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)
Tujuan :
Pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
meningkatkan masukan oral.
Intervensi :
a. Dapatkan riwayat diet
b. Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak atau ada disaat makan
c. Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan menjadi menyenangkan
d. Gunakan alat makan yang dikenalnya
e. Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah gangguan dan memuji anak untuk makan mereka
f. Sajikan makansedikit tapi sering
g. Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)
Tujuan :
Tidak terjadi dehidrasi
Kriteria hasil :
Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi
b. Monitor jumlah dan tipe masukan cairan
c. Ukur haluaran urine dengan akurat

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes, 2000).
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil :
kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal
Intervesi :
a. Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi
b. Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi
c. Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang
d. Alih baring

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh
Tujuan :
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal

Intervensi :
a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b. Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril
c. Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam prosedur kontrol infeksi
d. Beri antibiotik sesuai program

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)
Tujuan :
pengetahuan pasien dan keluarga bertambah
Kriteria hasil:
Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.
Intervensi :
a. Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien
b. Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi
c. Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan adekuat
d. Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien

6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).
Tujuan :
Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
Kriteria hasil :
Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau aktifitas motorik sesuai dengan usianya.
Intervensi :
a. Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia.
b. Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II
c. Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas perkembangan
d. Berikan mainan sesuai usia anak.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)
Tujuan :
Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil :
Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.
Intervensi :
a. Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia
b. Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien

8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).
Tujuan :
Kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral.
Intervensi :
a. Pantau kulit terhadap tanda luka tekan
b. Ubah posisi sedikitnya 2 jam
c. Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.



HISPRUNG
Pengertian
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir  3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).

B. Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

C. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).

D. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
1. Anak – anak
a Konstipasi
b Tinja seperti pita dan berbau busuk
c Distenssi abdomen
d Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ).
2. Komplikasi
a Obstruksi usus
b Konstipasi
c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d Entrokolitis
e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 )

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rektum
Yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

F. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 )
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 )
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan )
d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

Konsep Tumbuh Kembang Anak
Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata – kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ).
Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).

1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler
Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman.
Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan.
Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).

2. Fokus Intervensi
a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 )
Tujuan :
1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan
Kriteria Hasil
1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi
2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik
Intervensi :
1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 %
2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali
3. Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah
4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses
5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan
b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah
Tujuan :
1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
Kriteria Hasil
1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya
2. Turgor kulit pasien lembab
3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan
Intervensi
1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan
2. Ukur berat badan anak tiap hari
3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197)
Tujuan :
1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil
1. Turgor kulit lembab.
2. Keseimbangan cairan.
Intervensi
1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien
2. Pantau tanda – tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake – output
3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong, 2004 ).
Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat
Kriteria hasil :
1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat – obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali
Intervensi
1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal – hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien
2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon
3. Kaji latar belakang keluarga
4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat – obatan pada keluarga pasien
5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.


ANGINA PECTORIS

Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium.Angina pektoris mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
 Lokasinya didada,substernal atau sedikit kirinya,dengan penjalaran keleher,rahang ,bahu kiri sampai dengan lengan dan jari – jari bagian ulnar,punggung / pundak kiri.
 Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seprti rasa tertindih / berat didada,rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bahwa diafragma,seperti diremas – remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasan takut mati.
 Kuantitas : nyeri yang pertma kali timbul biasanya agak nyata,dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit.Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus tipertimbangkan sebagai angina tak stabil sehingga dimasukkan dalam sindrom koroner akut yang memerlukan perawatan khusus.
Gradasi beratnya nyeri dada ( Canadian Cardiovasculer Society ) :
 Klas I : Aktivitas sehari – hari seperti berjalan kaki,naik 1- 2 tanga,berkebun dan lain – lain tak menimbulkan nyeri dada.nyeri dada timbul pada latihan yang berat ,berjalan cepat serta terburu – buru waktu kerja atau berpergian.
 Klas II : Aktivitas sehari – hari agak terbatas,misalnya angina pektoris timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya,seperti berjalan kaki 2 blog,naik tangga 1 lantai atau terburu – buru,berjalan menanjak ,atau melawan angina dan laina – lain.
 Kals III : aktivitas sehari – hari nyata terbatas.Angina pektoris timbul bila berjalan 1 – 2 blok,naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
 Klas IV : Angina pektoris timbul waktu istirahat sekalipun .Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan angina ,termasuk mandi,menyapu dan lain – lain.
Nyeri dada ada beberapa macam yaitu :
 Nyeri dada ( angina ) tipikal Yaitu Nyeri yang mempunyai ciri – ciri iskemik miokardium yang lengkap,sehingga tak meragukan lagi untuk diagnosis.
 Angina tipikal Yaitu Nyeri yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap danperlu dilakukan pendekatan yang hati – hati .
 Nyeri non kardiak yaitu nyeri dada lain yang sudah jelas berasal dari luar jantung.
Pemeriksaan untuk menentukan angina pectoris :
1. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda – tanda yang khusus. Mungkin pemeriksaan fisik yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, galok, bahkan mur – mur, seplit s2 varodoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain Hb, Ht, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor resiko koroner, seperti gula darah,profil lipid,dan penandaan inflamasi akut.
Untuk memastikan bawa memang ada iskemik miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan ,antara lain ;
1. EKG waktu istirahat
- EKG ini dilakukan bila nyeri dada belum dipastikan sebagai non kardiak.kelainan EKG 12 lead yang khas adalah perubahan ST – Tyang sesuai dengan iskemia miokardium.Akan tetapi perubahan – perubahan lain kearah faktor resiko seperti faktor LVh dan adanya Q abnormal amat berarti untuk diagnostik.
2. Foto torak.
- Pemeriksaan ini dapat untuk melihat adanya klasifikasi koroner atau katup jantung ,tanda – tanda lain ,misalnya pasien menderita gagal jantung ,penyakit jantung katup,perikarditis,ananurismea dissekan dan pasien – pasien yang menderita nyeri dada karena kelainan paru – paru.
3. EKG waktu aktivitas
- Penting sekali dilakukan pada pasien – pasien yang amat dicurigai ,termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi ST ringan.Kontraindikasi IMA kurang ari 2 hari,aritmia dengan hemodinamik tergangu,gagal jantung manifest,dan lain - lain.
PENATALAKSANAAN
 Farmakologis
• Aspirin
• penyekat beta
• angiotensin konferting enzim
• pemakaian obat – obatan untuk penurunan LDL pada pasien – pasien dengan LDL > 130 mgmg/dl.
• Nitrogliserin semprot.
• Antagonis kalsium.
 Non farmakologis
• Pemberian O2.
• Istirahat
• Perubahan life style
• Penurunan berat badan.
• Penyesuaian diet
• Olah raga teratur.





GONORE

A. PENGERTIAN
Gonore adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman kecil berbentuk diplococcus yaitu seperti biji kopi yang terbelah dan disebut gonokokus,atau juga oleh sejenis virus yang disebut klamidia toakomatis.Terutama yang diakibatkan oleh mikroorganisme yang dikenal dengan nama neisseria gonorrhoeae.(htt://hqwebol.bkkbn.go.id/hqweb/pria/artikelos-71.html)
Gonore adalah penyakit menular seksual (PMS) yang disebabkan oleh kuman yang bernama Neisseria Gonorrhoeaea yang menginfeksi lapisan dalam ureter,leher rahim,rektum,tenggorokan dan bagian putih mata (konjungtiva).(http://www.info-sehat.com/content.ph?s_sid=950)
Gonore adalah STD (sexually Transmited Disease) atau penyakit menular sexsual berupa peradangan yang disebabkan oleh Neisseria Gonorrhoeae yang pada umumnya ditularkan melalui hubungan kelamin,tetapi juga kontak secara langsung dengan eksudat yang infektan.Bakteri ini biasanyan menginfeksi uretra (saluran kencing) pada laki – laki dan mulut rahim pada perempuan.

B. ETIOLOGI
Penyebab gonore adalah gonokok yang ditemukan oleh NEISSER pada tahun 1879 dan baru diumumkan pada tahun 1882.Kuman tersebut dalam grup Nesisseria dan dikenal ada 4 spesies ,yaitu N.gonorrhoeae dan N.meningitidis yang bersifat patogen serta N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca yang bersifat komensal.Keempat spesies ini sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi ber ukuran lebar 0,8 u dan panjang 1,6 u,bersifat tahan asam.Pada sediaan langsung dengan perwarnaan Gram bersifat negatif-gram,terliaht diluar dan didalam leukosit,tidak tahan lama diudara bebas,cepat mati dalam keadaan kering,tidak tahan suhu diatas 39˚ C dan tidak tahan zat desinfektan.
Secara morfologi gonokok ini terdiri atas 4 tipe,yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili yang bersifat virulen,serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dan bersifat nonvirulen.Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang.
Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (immatur),yakni pada vagina wanita sebelum pubertas.

C. GEJALA DAN TANDA
1. Pada pria
Gonore pada pria biasanya timbul setelah 2 – 7 hari.Jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan penyakit yaitu :
a. Uretritis
Tanda-tandanya:
 Rasa gatal.
 Panas di bagian distal uretra disekitar orivisium uretra eksternum.
 Disuria (nyeri pada waktu kencing).
 Polakisuria.
 Keluar duh tubuh dari ureter yang kadang-kadang disertai perasaan nyeri pada waktu ereksi.
Pada pemeriksaan orivisium uretra eksternum merah,edema dan ektropion.Tampak pula duh tubuh yang mukopirulen,juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral / bilateral.
Selain uretritis penyakit gonore ini dapat menyebabkan komplikasi,komplikasi yang disebabkan oleh N.gonorhoeae antara lain :
a. Tysonitis
Kelenjar tyson adalah kelenjar yang menghasilkan smegma.Infeksi biasanya terjadi pada penderita dengan preputium yang sangat panjang dan kebersihan yang kurang baik.Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukannya butir pus atau pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan.
b. Parauretritis
Sering pada orang orifisium uretra ekternum terbuka atau hipospadia.Infeksi pada duktus ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra.
c. Littritis
Tidak ada gejala khusus,hanya pada urin ditemukan benang – benang atau butir – butir .Bila salah saluran tersumbat,dapat terjadi abses folikuler.Didiagnosa dengan uretroskopi.
d. Cowperitis
Peradangan dari kelenjar Cowper ( bulbouretralis ).Keluhan berupa nyeri dan adanya benjolan pada daerah perinium disertai rasa penuh dan panas,nyeri pada waktu defekasi dan disuria.Jika tidak diobati abses akan pecah melalui kulit perinium,uretra,atau rektum dan mengakibatkan proktitis.
e. Prostatitis
Tanda – tandanya :

1. Perasaan tidak enak pada daerah perineum dan suprapubis.
2. Malese
3. Demam
4. nyeri kencing sampai hematuria.
5. Spasme otot uretra sehingga terjadi retensi urin.
6. Tenesmus ani.
7. Sulit BAB.
8. Obstipasi

Pada pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal,nyeri tekan dan didapat fluktuasi bila telah terjadi abses.Jika tidak diobati abses akan pecah,masuk ke uretra posterior atau kearah rektum mengakibatkan proktitis.
Bila prostatitis menjadi kronik gejalanya ringan dan intermiten,tetapi kadang – kadang menetap.Terasa tidak enak pada perinium bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu lama.Pada pemeriksaan prostat terasa kenyal ,berbentuk nodus ,dan sedikit nyeri pada penekanan.Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit menemukan kuman diplokok atau gonokok.
f. Vesikulitis
Vesikulitis ialah radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan duktus ejakulatorius,dapat timbul menyertai prostatitis akut atau epididimitis akut .Gejala subyektif menyerupai gejala prostatitis akut,yakni berupa demam,polakisuria,hematuria terminal,nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi dan sperma mengandung darah.
Pada pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak dan keras seperti sosis,memanjang diatas prostat.Ada kalanya sulit menentukan batas kelenjar prostat yang membesar.
g. Prostatitis
Tanda – tandanya :

9. Perasaan tidak enak pada daerah perineum dan suprapubis.
10. Malese
11. Demam
12. nyeri kencing sampai hematuria.
13. Spasme otot uretra sehingga terjadi retensi urin.
14. Tenesmus ani.
15. Sulit BAB.
16. Obstipasi

Pada pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal,nyeri tekan dan didapat fluktuasi bila telah terjadi abses.Jika tidak diobati abses akan pecah,masuk ke uretra posterior atau kearah rektum mengakibatkan proktitis.
Bila prostatitis menjadi kronik gejalanya ringan dan intermiten,tetapi kadang – kadang menetap.Terasa tidak enak pada perinium bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu lama.Pada pemeriksaan prostat terasa kenyal ,berbentuk nodus ,dan sedikit nyeri pada penekanan.Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit menemukan kuman diplokok atau gonokok.
h. Vesikulitis
Vesikulitis ialah radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan duktus ejakulatorius,dapat timbul menyertai prostatitis akut atau epididimitis akut .Gejala subyektif menyerupai gejala prostatitis akut,yakni berupa demam,polakisuria,hematuria terminal,nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi dan sperma mengandung darah.
Pada pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak dan keras seperti sosis,memanjang diatas prostat.Ada kalanya sulit menentukan batas kelenjar prostat yang membesar.
i. Vas deferentitis atau funikulitis
Gejala berupa perasaan nyeri pada daerah abdomen bagian bawah pada sisi yang sama.
j. Epididimitis
Epididimis akut biasanya unilateral,dan setiap epididimis biasanya disertai deferentitis.Keadaan yang mempermudah timbulnya epididimitis ini adalah trauma pada salahnya pengelolaan obat atau kelalaian penderita sendiri.Faktor yang mempengaruhi keadaan ini antara lain ialah irigasi yang kasar,pengurutan prostat yang berlebihan atau aktivitas seksual dan jasmani yang berlebihan.
Epididimitis dan tali spermatika membengkak dan teraba panas,juga testis,sehingga menyerupai hidrokel sekunder.Pada penekanan terasa nyeri sekali.Bila mengenai kedua epididimis dapat mengakibatkan sterilitas.
k. Trigonitis
Infeksi asendens dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika urinaria.Trigonitis menimbulkan gejala poliuria,disuria terminal dan hematuria.

2. Pada wanita
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dengan pada pria.Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan wanita.Pada wanita,baik penyakitnya akut maupun kronik,gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapat kelainan obyektif.Pada umumnya wanita datang kalau sudah ada komplikasi.Sebagian besar penderita ditemukan pada waktu pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan keluarga berencana.
Tiga masa perkembangan wanita yang beresiko terkena gonore :
1. Masa pubertas : epitel vagina dalam keadaan belum berkembang (sangat tipis),sehingga dapat terjadi vaginitis gonore.
2. Masa reproduktif : lapisan selaput lendir vagina menjadi matang dan tebal dengan banyak glikogen dan basil doderlein.Basil doderlein akan memecahkan glikogen sehingga suasana asam dan suasana ini tidak menguntungkan untuk tumbuhnya kuman gonokok.
3. Masa menopause : selaput lendir vagina menjadi atrofi,kadar glikogen menurun,dan basil dodelein juga berkurang dan suasana ini menguntungkan untuk pertumbuhan kuman gonokok,jadi dapat terjadi vaginitis gonore.
Gejala utama dari penyakit gonore pada wanita antara lain :
1. Uretritis
Gejala utama dari uretritis ialah disuria,kadang – kadang poliuria.Pada pemeriksaan ternyata orifisium uretra eksternum tampak merah,edematosa dan sekret mukopirulen.
2. Servisitis
Dapat asimtomatik ( tanpa gejala ),kadang – kadang menimbulkan rasa nyeri pada punggung bawah.Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopirulen.Duh tubuh akan terlihat lebih banyak,bila terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
Selain uretritis dan servisitis penyakit gonore ini dapat menyebabkan komplikasi,komplikasi yang disebabkan oleh N.gonorhoeae antara lain :
1. Parauretritis / skenitis
Kelenjar parauretra dapat terkena,tetapi abses jarang terjadi.
2. Salpingitis
Peradangan dapat bersifat akut,subakut atau kronis.Ada beberapa faktor predisposisi,Yaitu : masa puerperium,dilatasi setelah dilakukan kuretase dan pemakaian IUD.
Cara infeksi langsung dari serviks melalui tuba falopi sampai pada daerah salping dan ovum sehingga dapat menimbulkan Pelvic Inflammatory Diseases / penyakit radang panggul ( P.I.D )Gejalanya terasa nyeri pada daerah abdomen bawah ,duh tubuh vagina,disuria dan menstruasi yang tidak teratur atau abnormal.Ini dapat menyebabkan kehamilan ektopik dan sterilisasi.
3. Bartholinitis
Labium mayora pada sisi yang terkena membengkak,merah dan nyeri tekan.Kelenjar Bartholin membengkak,terasa nyeri sekali bila penderita berjalan dan penderitasukar duduk.Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses dan dapat pecah melalui mukosa atau kulit.Kalau tidak diobati dapat menjadikan kista.
Selain mengenai alat – alat genital,gonore juga dapat menyebabkan infeksi nongenital.Infeksi nongenital itu antara lain :
1. Proktitis
Proktitis pada pria dan wanita pada umumnya asimtomatik.Pada wanita dapat terjadi karena kontaminasi dari vagina dan kadang – kadang karena hubungan genitoanal seperti pada pria.Keluhan pada wanita biasanya lebih ringan dari pada pria,terasa seperti terbakar pada daerah anus dan pada pemeriksaan tampak mukosa eritematosa,edematosa dan tertutup pus mukopurulen.
2. Orofaringitis
Cara infeksi melalui kontak secara orogenital.Faringitis dan tonsilitis gonore lebih sering daripada giggivitis,stomatitis atau laringitis.Keluhan sering bersifat asimtomatik.Bila ada keluhan sukar dibedakan dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan kuman lain.Pada pemeriksaan daerah orofaring tampak eksudat mukopurulen yang ringan atau sedang.
3. Konjungtivitis
Penyakit ini bisa terjadi pada bayi baru lahir dari ibu yang menderita servisitis gonore.Pada orang dewasa infeksi terjadi karen apenularan pada konjungtiva melalui tangan atau alat – alat.Keluhan berupa fotofobia,konjungtiva bengkak dan merah dan keluar eksudat mukopirulen.Bila tidak diobati dapat berakibat terjadinya ulkus kornea,panoftalmitis sampai timbul kebutaan.
4. Gonore diseminata
Penyakit ini banyak didapat pada penderita dengan gonore asimtomatik sebelumnya,terutama pada wanita.Gejala yang timbul dapat berupa : artritis ( terutama monoartritis ),miokarditis ,endokarditis ,perikarditis ,meningitis dan dermatitis.

D. PATOFISIOLOGI

E. FAKTOR RESIKO



F. DIAGNOSIS
Dalam mengetahui penyakit gonore atau untuk menegakkan diagnosis maka ada beberapa tahap yang perlu dilakukan yaitu :
1. Sediaan langsung
Pada sediaan langsung dengan menggunakan pewarnaan gram.Bahan duh tubuh pada pria diambil dari daerah fosa navikularis,sedangkan pada wanita diambil dari uretra,muara kelenjar Bartholin,serviks,dan rektum.
2. Kultur
Untuk mengidentifikasi bakteri N.Gonore maka dilakukan kultur ( pembiakan ).Dua macam media yang dapat digunakan yaitu media transpor dan media pertumbuhan.Contoh pada media transpor yaitu media stuart dan media transgrow.Sedangkan contoh pada media pertumbuhan yaitu Mc leod’s chocolate agar,Media thayer Martin dan Modified Thayer Martin agar.
3. Tes definitif
Tes definitif itu sendiri memiliki dua macam tes yaitu tes oksidasi dan tes fermentasi.
4. Tes beta laktamase
Prinsip dari tes beta laktase adalah mencari enzim betalaktase itu sendiri.Apabila kuman mempunyai enzim beta laktase maka akan menyebabkan perubahan dari warna kuning menjadi merah.
5. Tes thomson
Tes thomson ini digunakan untuk mengetahuisampai mana infeksi sudah berlangsung.
E. PENATALAKSANAAN
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan ialah efektivitas,harga dan sesedikit mungkin efek toksiknya.Macam – macam obat yang dapat dipakai antara lain :
1. Penisilin
Penisilin yang efektif ialah penisilin G prokain akua.kontraindikasi ialah alergi penisilin.
2. Ampisilin dan amoksisilin
Ampisilin dosis ialah 3,5 gram + 1 gram probenesid dan amoksisilin 3 gram + 1gram probenesid.Kontraindikasi ialah alergi penisilin.
3. Sefalosporin
Seftriakson ( generasi ke -3 ) cukup efektif dengan dosis 250 mg IM.Sefoperazon dengan dosis 0,5 sampai 1 gram secara IM.
4. Spektinomisin
Dosisnya ialah 2 gram IM.Baik untuk penderita yang alergi penisilin,yang mengalami kegagalan pengobatan penisilin dan bisa juga untuk penderita sifilis.
5. Kanamisin
Dosis 2 gram IM.baik yang alergi penisilin,yang mengalami kegagalan pengobatan penisilin dan bisa juga untuk penderita sifilis.Kontraindikasi ialah kehamilan.
6. Tiamfenikol
Dosisnya 3,5 gram,secara oral. Kontraindikasi ialah kehamilan.
7. Kuinolon
Dari golongan kuinolon,obat yang menjadi pilihan adalah ofloksasin 400 mg,siprofloksasin 250 – 500 mg dan norfloksasin 800 mg secara oral.

E. PENCEGAHAN
Untuk mengurangi angka kejadian penyakit gonore ialah dengan cara pencegahan.Pencegahan yang dilakukan antara lain :
1. Penjegahan ditujukan pada wanita tuna susila,agar memeriksakan diri secar rutin sehingga jika terkena infeksi dapat selalu diobati dengan benar.
2. Secara aktif juga harus dicari penderita gonore beserta orang – orang yang telah melakuakn hubungan sek dengan para penderita dan segera mengadakan pengobatan yang tepat.
3. Menggunakan kondom dan menghindari oral sek dengan pasangan yang tidak aman.
4. Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan tentang :
 Bahaya penyakit menular seksual ( PMS )dan komplikasinya.
 Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan.
 Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan sek tetapnya.
 Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat dihindarkan.
 Cara menghindari infeksi PMS dimasa tetapnya.
5. Pengobatan pada pasangan seksual tetapnya.



INFEKSI SALURAN KEMIH

A. PENGERTIAN
ISK merupakan keadaan patologis yang sudah sangat langka dikenal dan dapat dijumpai di berbagai pelayanan kesehatan primer sampai yang spesialistik, dan sudah sangat dikenal. Kuman penyebab ISK tersering adalah E.Coli.
ISK adalah berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain.

B. KLASIFIKASI
ISK dapat dibedakan menjadi 2 jenis, menurut lokasinya, yaitu :
1. Infeksi atas (ginjal dan ureter)
ditandai dengan adanya sakit pinggang, suhu tinggi, mual, muntah dan hematuria.
2. Infeksi bawah (buli-buli dan uretra)
ditandai dengan kencing lebih sering, disuria dan nyeri derah supra pubik.
Selain dibagi dalam 2 jenis di atas, ISK juga terdapat dalam bentuk khusus, yaitu :
1. ISK berulang
Sering ditemukan pada penderita yang mempunyai faktor presdisposisi yang menyebabakan sumbatan saluran kemih seperti kelainan kongenital, batu, tumor, prostat yang membesar, kehamilan, kalainan saraf kandung kemih, adanya refluks vesiko-ureter dan penyakit diabetes mellitus.penyebabnya adalah uretra yang pendek, sehingga kuman penghuni derah sekitas introitus vagiana dan uretra sewaktu hubungan seksual masuk ke dalam saluran kemih. Factor lainnya adalah adanya sifat virulensi kuman yang menyebabkaan kuman mudah melekat pada mukosa saluran kemih, sehingga terjadi kolonisasi kuman.
2. ISK berkomplikasi
Adalah ISK dengan kelainan struktur saluran kemih atau fungsional, sehingga menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas. Gambaran klinis ISK ini sangat bervarisaikarena kelainan patologi yang berga, dapat timbul akut dengan panas sampai sepsis, dan dapat dengan komplikasi gagal ginjal akut atau renjatan.
3. ISK pada penderita DM
Gangguan metabolisme pada DM akan menyebabkan komplikasi akibat hiperglikemia dan tau kekurangan insulin yang mungkin juga dipengaruhi factor genetic dan lingkungan dan timbullah kelainan yang disebut angiopati, neuropati, retinopati dan nefropati. Kelainan di luar ginjal dapat mengakibatkan gagguan alaran air kemih dan ditambah kelainana pembuluh darah di ginjal serta air kemih yang mengabdung gula lebih dari kadar normal menyebabakan kuman ISK lebih mudah berkembang.
4. ISK pada manula
Manula lebih beriko tinggi akibat perubahan fisis dan fisiologi,. Perubahan itu antara lain, perubahan degenaratif dan imunologis, menurunnya sekresi dan hipertrofi prostat, terjadinya prolaps uterus dan vagina, nutris yang buruk, munculnya penyakit DM, hipertensi, meyebabakan mereka lebih mudah terserang ISK.
5. ISK pada kehamilan
Perubahan hormonal dan waktu hamil dan perubahan fungsi ginjalanya meyebabkan ISK mudah terjadi pada wanita hamil, dan akibatnya dapat berkepanjangan pada ibu, seperti kuman yang tetap ada pada ibu setelah melahirkan. Selain itu kelahiran premature dan kematian perinatal sering menyertai kehamilan denagn ISK.

C. ETIOLOGI
Biasanya bakteri enterik, terutama E.coli pada wanita. Gejala bervariasi tergantung dari variasi jenis bakteri tersebut. Pada pria dan pasien di rumah sakit, 30-40% disebabkan proteus, stafilokok, dan bahkan pseudomonas. Bila ditemukan, kemungkinan besar terdapat kelainan saluran kemih. Namun harus dipertimbangkan kemungkinan kontaminasi jika ditemukan lebih dari satu. Adapun penyebab ISK adalah:
- Bakteri (Eschericia coli, Staphylococcus saprophyticus, Proteus mirabilis)
- Jamur dan virus
- Infeksi ginjal
- Prostat hipertropi (urine sisa)

D. GEJALA dan TANDA
Gejala dan Tanda ISK tidak selalu lengkap dan bahakan tidak selalu ada, yaitu pada keadaan yang disebut bakteriuria tanpa gejala (BTG). Gejala yang lazim ditemukan adalah disuria, polakisuria (terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung kencing lebih dari 500 ml, akibat rangsangan mukosa yang meradang, sehingga sering kencing), dan terdesak kencing (urgency), yang semuanaya terdapat bersamaan. Rasa nyeri biasanya didapatkan di daerah supra pubik tau pelvis berupa rasa nyeri atau seperti terbakar di uretra atau muara uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga di luar waktu kencing.
Gejala lain dan juga didapatkan pada ISK adalah stranguria (kencing yang susah dan disertai kejang otot pinggang yang sering pada sistitis akut), tenesmus (rasa nyeri dengan keinginan mengosongkan kandung kemih walaupun telah kosong), nokturia (kecenderungan buang air kecil lebih sewring pada malam hari akibat kapasitas kandung kemih yang menurun atau rangsangan mukosa yang meradang dengan volume urine yang kurang).
Gejala lain yang jarang dijumpai pada ISK antara lain, enuresis noktural sekunder (ngompol pada orang dewasa), prostatismus (adanya kesulitan memulai kencing, kurang deras arusnya, adanya berhenti di tengah kencing. Tapi hal ini sering disebabkan oleh hipertrofi prostat).

E. FAKTOR RESIKO
Faktor yang bisa meningkatkan resiko terkena infeksi saluran kemih adalah :
1) Salah cebok
Kurang menjaga kebersihan dan kesehatan daerah seputar saluran kencing bisa memicu ISK. Apalagi dengan cara cebok yang salah, yaitu dari belakang ke depan. Cara cebok seperti ini sama saja menarik kotoran ke daerah vagina atau saluran kencing.
2) Kebiasaan menahan kencing
Pada perempuan jika menahan kencing, uretra jadi semakin pendek dan memungkinkan kuman masuk ke dalam saluran kencing. Sedangkan pada pria, meski dia menahan kencing, uretranya tetap panjang.
3) Tidak kencing sebelum melakukan hubungan seksual
Hal tersebut bisa menyebabkan uretra penuh. Jika uretra penuh dan terkena gesekan saat berhubungan seks, maka bisa menyebabkan kuman-kuman gampang terdorong masuk ke saluran kencing dan mengakibatkan infeksi yang disebut sistitis. Hal ini banyak terjadi pada pasangan yang baru menikah, karena itu disebut Honeymooners cystitis.
4) Penyakit kelamin
Berhubungan seks dengan orang yang punya penyakit kelamin seperti penyakit kencing nanah. Hal ini akan menyebabkan infeksi pada uretra dan menghasilkan nanah. Oleh karena itu disebut kencing nanah.
5)



F. PATOFISIOLOGI
1) Masuknya mikroorganisme kedalam saluran kemih dapat melalui :
a. Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat terdekat
b. Hematogen
c. Limfogen
d. Eksogen sebagai akibat pemakaian alat berupa kateter atau sistoskopi.
2) Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi saluran kemih adalah :
Bendungan aliran urine
a. Anatomi konginetal
b. Batu saluran kemih
c. ureter Okulasi (sebagian atau total)
Refluks vesi ke ureter
d. Urine sisa dalam buli-buli karena:
neurogenik bladder.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ISK dapat ditegakkan dengan membuktikan adanya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Adapun pemeriksaan-pemeriksaannya adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan urin
Piuria merupakan gejala penting, yaitu adanya leukosit dalam urin > 10/LPB pada pemeriksaan mikroskopik urin yang telah disentrifus. Hitung jumlah leukosit yang diekskresi pada urin porsi tengah sebesar 2000/ml, bila yang diperiksa adalah urin hasil aspirasi kandung kemih, nilai 800/ml sudah dianggap infeksi.
2) Bakteriuria
Bakteriuria yang merupakan dasar diagnosis ISK harus dapat dibuktikan adanya dengan biakan urin, dan harus dapat disingkirkan adanya kontaminasi. Sejak tahun 1960, Kass mengemukakan cara hitung kuman hasil biakan dan menyatakan angka 100.000 koloni/ml urin sebagai tanda positif. Setelah penelitian komparatif, sebagai hasil timbullah modifikasi perhitungan Kass seperti di bawah ini:
 >100.000 kuman/ml dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan secara berturut-turut.
 >100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah disertai leukosit > 10/ml tanpa sentrifus.
 >100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis ISK.
 >100.000 kuman/ml urin kateter.
 Berapapun kuman dari urin aspirasi suprapubik.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi nilai perhitungan kuman hasil biakan ini, yaitu teknik pengambilan urin porsi tengah pada wanita dan pria yang tidak disunat, serta jumlah kuman yang rendah.
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ini harus dilakukan secara selektif untuk menentukan kelainan morfologik baik akibat infeksi ataupun kelainan kongenital. Oleh karena pemeriksaan ultranografi (USG ) ginjal tidak invasif maka cara pemeriksaan ini telah menggeser pemeriksaan radiologik pielografi intravena ( PIV ). Dengan USG dapat dilihat gambaran besar ginjal, permukaan ginjal, adanya bendungan, adanya kelainan bentuk,
Pemeriksaan PIV meskiupun tidak terlalu invasif masih memerlukan suntikan kontras yang dapat memberikan berbagai reaksi tubuh, tetapi dapat memberikan gambaran fungsi ekskresi, keadaan ureter, dan distorsi sistem pelviokalises.
Sistoskopi khususnya pada ISK berulang perlu dilakukan untuk mengetahui kepastian sebab ISK atau mencari faktor predisposisi seperti batu, tumor, hipertrovi prostat, dll.
Diagnosa banding untuk ISK adalah infeksi atau iritasi pada periuretra atau vagina.

H. PENATALAKSANAAN
1) Tujuan:
 Membebaskan saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, sehingga mobiditasnya dihindarkan atau dikurangi.
 Mencegah atau menghilangkan gejala, bakteriemia, dan kematian akibat ISK.
 Mencegah dan mengurangi progresi kearah gagal ginjal terminal akibat ISK sendiri atau komplikasi manipulasi saluran kemih.
 Mencegah timbunya ISK nyata ( bergejala ) pada semester akhir kehamilan.
Beberapa cara pengobatan ISK, yang lazim dipakai yang disesuaikan dengan keadaan atau jenis ISK:
- Pengobatan dosis tunggal, obat diberikan 1 kali.
- Pengobatan jangka pendek, obat diberikan dalam waktu 1-2 minggu.
- Pengobatan jangka panjang, obat diberikan dalam waktu 3-4 minggu.
- Pengobatan profilaktik, yaitu dengan dosis rendah 1 kali sehari sebelum tidur dalam waktu 3-6 bulan atau lebih.
2) Penatalaksanaan:
 Terapi suportif untuk memperbaiki keadaan umum.
Pasien dianjurkan untuk banyak minum agar diuresis meningkat, diberikan obat yang menyebabkan suasana urin alkali jika terdapat disuria berat, dan diberikan antibiotik yang sesuai. Biasanya ditujukan untuk bakteri gram negatif dan obat tersebut harus tinggi konsentrasinya dalam urin.
Wanita dengan bakteriuria asimtomatik atau gejala ISK bawah cukup diobati dengan dosis tunggal atau selama 5 hari. Kemudian dilakukan pemeriksaan urin porsi tengah seminggu kemudian. Jika masih positif, harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada anak-anak dan pria, kemungkinan terdapat kelainan saluran kemih lebih besar, sehingga sebaiknya diberikan terapi antibiotik selama 5 hari, bukan dosis tunggal, dan diadakan pemeriksaan lebih lanjut.
 Eliminasi faktor resiko bila mungkin,termasuk mengatasi penyakit – penyakit ko morbid.
Pada pasien dengan pielonefritis akut harus dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi antibiotik parenteral serta pemeriksaan lebih lanjut. Bila gejala tidak berkurang, dilakukan USG ginjal untuk mengetahui apakah terdapat obstruksi.
Terdapat dua jenis ISK rekurens. Jenis pertama adalah dimana terdapat kuman baru pada setiap serangan, berarti reinfeksi. Biasanya pada wanita dengan gejala sistitis akut rekurens atau pasien dengan kelainan anatomi. Pasien ini diminta banyak minum agar sering berkemih dan dianjurkan untuk minum antibiotik segera setelah berhubungan intim. Pada kasus yang sulit dapat diberikan obat profilaksis dosis rendah sebelum tidur setiap malam, misalnya sulfametoksazol, biasanya selama 3-6 bulan.
Jenis kedua adalah dimana infeksi terjadi persisten dengan kuman yang sama. Diluar kemungkinan resistensi kuman, ini biasanya merupakan tanda terdapat nidus infeksi seperti batu atau kista. Biasanya diperlukan antibiotik dalam jangka panjang. Pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan biasanya berupa pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur secara berulang, pielografi intravena, tes fungsi ginjal, dan USG ginjal.
 Terapi antibiotika,terdiri dari :
Obat untuk ISK atas :
 Obat utama
- Nitrofurantion 50 – 100 mg qid
- Trimethoprim / sulfamethoxazole 160/800 mg bid
- Trimethoprim 100 mg bid
- Amoxicilin 500 mg bid
 Obat yang lain
- Amoxicilin/clavulanid acid 500 mg tid
- Norfloxacin 400 mg bid
- Ciprofloxacin 250 – 500 mg bid
- Afloxacin 200 – 400 mg bid
- Lomefloxacin 400 mg od
- Gatifloxacin 400 mg od
- Cephalexacin 500 mg qid
- Cefaclor 500 mg qid
- Cefadroxil 1 g od / bid
- Cefixime 400 mg od
- Cefuroxime axetil 250 mg bid
- Cefpodoxime proxetil 100 – 400 mg bid
Obat untuk ISK bawah :
 Obat utama
- Gentamicin 1-1.5 mg/kg 28h atau 4-5 mg/kg q 24h
- Tobramycin 1-1,5 mg/kg 28h atau 4-9 mg/kg q 24 h
- Ampicillin 1 g q 4-6 h
- Cefazolin 1-2 g q 8h
 Obat yang lain
- Trimothrepin-sulfamethoxazole 160/800 mg q 12h
- Amilcacin 5 mg/kg q 8h atau 15 mg /kg q 24 h
- Piperacillin 3g q 4h
- Cetotaxime 1-2 g q 8h
- Cefriaxone 1-2 g q 24h
- Cefipime 2 gr q 12h
- Ceftazidme 0,5-2g q 8h
- Aztreonam 1-2 gr q 8h
- Imipenem/Cilastatin 500 mg q 6h
- Vancomicyn 500mg q 6hatau 1g q 12 h
- Ciprofloxamin 200-400 mg q 12 h
- Ofloxacin 400 mg q 12 h
- Lomefloxacin 400mg q id

I. EPIDEMOLOGI
1) Insidens ISK asimtomatika pada wanita muda sekitar 2-3%, sedangkan wanita lansia > 10% ( di populasi ).
2) ISK pada pria muda jarang terjadi, bila ada disebabkan oleh batu yang ada di saluran kemih. ISK pada pria berusia > 50 tahun sekitar 5% dan biasanya berhubungan dengan pembesaran kelenjar prostat.
3) ISK yang terjadi di panti atau rumah perawatan:
● pada wanita sekitar 25-50%
● pada pria sekitar 15-40%

J. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya ISK dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1) Minumlah cairan yang banyak setiap hari (dianjurkan untuk minum minimal 8 gelas air putih sehari), karena meminum banyak air membantu membersihkan saluran kencing.
2) Sering-seringlah buang air kecil dan usahakan untuk mengosongkan kandung kemih setiap saat.
3) Segera buang air kecil sebelun dan sesudah berhubungan seksual.
4) Jika membersihkan kotoran, bersihkan dari arah depan ke belakang, agar bakteri tidak masuk ke dalam saluran kemih (terutama pada wanita).
5) Jangan terlalu lama menahan keinginan buang air kecil.
6) Makan dan tidurlah secara teratur.
7) Hindari stress.
8) Hindari menggunakan pakaian ketat.
9) Periksakan air seni secara rutin selama kehamilan. Dengan pemeriksaan tersebut dapat diketahui apakah terinfeksi atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA


1. Brown Robin Graham. 2005. Dermatologi. Jakarta: Erlangga.
2. Chapter. 1998. Sexually Transmitted Disease.
3. Djuanda Adhi DR, dkk. 1993. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Sudoyo Aru W, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid l edisi lV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Grimble. 1989. Diagnosis dan Penyakit Kelamin. Yogyakarta : Penerbit Buku Ilmiah Kedokteran.
6. Masjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aeswapius.
7. Netter Fraik H. MD.MS. 2002, The Netter Colection of Medical Illustrations – Kidneys, Ureters, and Urinary Bladder. USA: Medi Media.
8. Lewis. 2004. Medical Surgical Nursing. USA: Mosby.
9. http://nusaindah.tripod.com/kesisk.htm
10. http://cakmoki86.wordpress.com (2007)
11. http://www.bmf.litbang.depkes.co.id//htm (8 April 2008, 19.55)
12. http://emedicine.com/EMERG/topic2342.htm
13. http://www.geocities.com
14. http://www.ayahbunda-online.com
15. http://www.info-sehat.com/content.php
16. http://www.wikpedia.com




GASTROENTERITIS
Gastroenteritis, merupakan suatu jenis penyakit pada lambung dan atau usus yang gejala utamanya diare.Penyebab diare umumnya karena infeksi (virus, bakteri, maupun parasit),malabsorbsi, alergi, dan intoksikasi. Disebut diare bila tinja berbentuk cair, dengan frekuensi lebih dari 4x/hari.
Setidaknya ada dua mekanisme dasar terjadinya diare, yaitu :
1. Pengeluaran cairan di usus yang berlebihan akibat toksin. Lebih dikenal dengan sebutan diare sekresi. Pada diare jenis ini dinding usus permukaannya tidak rusak.
2. Absorbsi karbohidrat/lemak yang jelek. Lebih dikenal dengan sebutan diare osmotik. Pada jenis ini dinding usus mengalami kerusakan.
Berikut ini beberapa tanda klinis diare karena infeksi yang banyak di Indonesia :
 Kolera, merupakan diare jenis hipersekresi. Kuman tersebut mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan pengeluaran cairan yang berlebihan di usus, sehingga orang yang bersangkutan kehilangan banyak elektrolit. Timbulnya mendadak, usia terkena lebih dari 2 tahun, terkadang disertai muntah, dan jarang disertai panas badan. Pada jenis ini, penderita yang terkena cepat mengalami dehidrasi. Feces/tinja yang timbul baunya amis dan seperti cucian beras.
 Shigella, sering timbul pada anak kurang dari 2 tahun. Penderita tampak sakit berat, lemas, panas tinggi, dan terkadang disertai kejang. Feses penderita ini cair dan disertai darah.
 Salmonella, tanda khasnya adalah feses yang berbau seperti telur busuk. Tanda-tanda klinis penderita tidak begitu berat, dan jarang terjadi dehidrasi.
 Virus, yang menonjol adalah muntah. Akibatnya ion K+ pada penderita ini banyak yang hilang --> terjadi kekurangan kalium dalam darah. Diare akibat virus ini bersifat self limited.
 Amoeba, khas dengan adanya lendir dan darah dalam feses. Penderita tampak tidak sakit, jarang dehidrasi maupun panas. Lama timbulnya sekitar 1-2 minggu.
Tanda-tanda dehidrasi, khususnya pada anak/balita adalah : rewel, haus luar biasa, mata cowong, dan ubun-ubun besar cekung. Pada keadaan yang berat anak menjadi kurang meresponi keadaan sekitarnya dan terlihat lemah.
Penatalaksanaan :
1. Segera berikan cairan rehidrasi oral, seperti oralit & larutan gula garam secepatnya sebanyak cairan yang hilang
2. Bagi anak kecil, ASI tetap diberikan. Bila meminum susu selain ASI, berikan susu yang rendah laktosa.
3. Segera ke pusat pelayanan kesehatan/dokter bila diare tidak kunjung sembuh, atau anak terlihat dehidrasi.
COMMON COLD
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan segala macam infeksi pada saluran pernafasan yang timbulnya dalam waktu singkat, mencakup saluran nafas atas dan bawah. Pada bagian kali ini kita hanya membahas tentang infeksi saluran nafas akut (bagian atas) karena virus yang banyak dijumpai. Infeksi ini juga dikenal dengan nama Common Cold.
Penyebab infeksi ini adalah virus. Menular beberapa jam sebelum timbulnya gejala hingga 1-2 hari sesudah gejala. Faktor yang memicu terjadinya infeksi ini antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia, dan kedinginan. Sering juga timbul pada saat pergantian musim.
Seperti infeksi virus lainnya, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam beberapa saat, dengan syarat tidak timbul komplikasi akibat invasi dari bakteri, seperti Pneumococcus, Streptococcus, H. influenza, dan Staphylococcus.
Gejala yang timbul tidak khas, berupa pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin. Dari hidung keluar cairan jernih yang encer (cairan tersebut dapat menjadi kental setelah terjadi infeksi sekunder). Tenggorokan terasa kering dan gatal. Gejala yang lain dapat berupa rasa nyeri pada otot, sendi, 'nggreges', pusing, mual, dan sebagainya.
Komplikasi pada penyakit ini, terutama pada penyakit dengan sekunder infeksi yang tidak diobati, antara lain : sinusitis (infeksi pada rongga-rongga tulang wajah), infeksi telinga, maupun infeksi saluran napas bagian bawah (laryngitis, tracheitis, bronchitis, bronchopneumonia, dsb).
Penatalaksanaan hanya dengan memberikan obat terhadap keluhan yang timbul, antara lain pengencer dahak, penurun panas, penenang, dan sebagainya. Namun bila infeksi berlanjut disarankan untuk menghubungi layanan kesehatan terdekat.
EPISTAKSIS
Mimisan, atau yang juga dikenal sebagai epistaksis, merupakan keluarnya darah melalui lubang hidung. Menurut sebabnya, dibagi menjadi dua : karena trauma (bersin yang terlalu keras, dipukul, pemasangan sonde, dsb) dan spontan.
Penyebab mimisan spontan sangat banyak, antara lain : infeksi akut (berlangsung singkat) atau kronis (berlangsung lama) pada hidung, penyakit kelainan pembuluh darah, gangguan pembekuan darah, penyakit darah, penyakit jantung, gangguan hormon, tumor ganas hidung, dan lain sebagainya.
Asal perdarahan pada mimisan bisa berasal dari depan, yaitu pada daerah Kiesselbach; maupun berasal dari belakang, yaitu pada daerah pleksus nasofaringeal.
Penatalaksanaan awal dengan penekanan pada hidung. Bila tidak berhasil dilakukan pemasangan tampon pada hidung (tampon anterior ataupun posterior), kauterisasi secara kimia/listrik, pemberian obat antikoagulansia, atau ligasi pembuluh darah. Keempat tindakan tersebut membutuhkan keahlian medis tertentu.
GASTRITIS
Penyakit maag, atau yang dikenal sebagai gastritis dalam dunia medis, mungkin sudah pernah Anda alami. Merupakan salah satu penyakit pada lambung. Gejala utamanya adalah nyeri pada ulu hati.
Ada banyak klasifikasi dari gastritis tersebut. Berikut ini hanya salah satu dari beberapa klasifikasi gastritis.
1. Gastritis erosif, hemorragik, dan gastropati; keluhan yang timbul berupa uluhati yang seperti terbakar dan nyeri. Keluhan lain berupa mual, muntah, diare, bahkan bisa muntah darah. Penyebabnya antara lain : obat-obatan (aspirin, NSAID), alkohol dan bahan korosif lain, trauma langsung pada lambung (laser, diatermi, dsb), kelainan pembuluh darah pada lambung, luka akibat operasi lambung, dan yang tidak diketahui penyebabnya. Pada pemeriksaan terdapat nyeri tekan pada daerah lambung (perut kiri atas) dan daerah ulu hati.
2. Gastritis spesifik; keluhan yang timbul adalah nyeri pada daerah uluhati (anoreksia). Keluhan lain berupa mual dan bisa muntah. Pada pemeriksaan bisa terdapat nyeri tekan pada daerah uluhati, atau bisa pula pada seluruh perut, tanpa tegangnya otot perut. Penyebabnya antara lain: infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit, dan nematoda); bagian dari penyakit saluran pencernaan lain (misal peny. Crohn); bagian dari penyakit sistemik (misal sarkoidosis). Bila disebabkan oleh infeksi/toksin biasanya sering disertai diare, nyeri perut yang hilang timbul, panas badan, menggigil, panas badan, dan kejang otot.
3. Gastritis kronis - non erosif non spesifik; keluhannya tidak spesifik, berupa perasaan tidak enak pada uluhati yang terkadang disertai mual, muntah, perasaan penuh di uluhati. Pada penderita biasanya juga ada riwayat keluhan serupa yang sering timbul, dan pola makan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan terdapat nyeri tekan pada daerah uluhati. Penyebabnya antara lain infeksi (khususnya Helicobacter pylori), gastropati reaktif, autoimun (pada anemia perniciosa); dan tumor pada lambung. Faktor kejiwaan/stress biasanya juga berperan dalam timbulnya serangan ulang pada penyakit ini.
Gejala serupa dengan penyakit ini antara lain ulcus pepticum (perlukaan pada dinding lambung), kanker pada lambung, dan penyakit jantung Infact Myocard Acute (IMA). Untuk itu bila ada keluhan nyeri uluhati harus hati-hati, sebab bila keluhan tersebut berasal dari penyakit IMA, bisa berakibat fatal bila tidak tangani dengan segera.
Penatalaksanaannya antara lain : makanan lunak dalam porsi kecil-kecil, berhenti makan makanan yang pedas dan asam, berhenti merokok dan minum-minuman beralkohol. Dapat pula meminum Antasida bila diperlukan. Yaitu sekitar 1/2 jam sebelum makan atau sewaktu makan. Namun bila keluhan tetap berlanjut Anda dapat memeriksakan diri ke dokter.
ACNE VULGARIS
Orang yang sudah menginjak masa pubertas umumnya pernah mengalami jerawat. Dalam dunia medis, jerawat dikenal sebagai acne vulgaris. Merupakan keradangan kronis dari folikel pilocebaceous (salah satu kelenjar pada kulit), disertai penyumbatan dan penimbunan keratin, ditandai dengan adanya komedo, pustula, nodula, dan kista.
Acne umumnya timbul pada pria maupun wanita menginjak masa pubertas, yaitu usia 15-19 tahun (90%). Daerah yang terkena bukan hanya wajah, namun juga bahu, dada, punggung, dan lengan bagian atas.
Penyebab acne sangat banyak (multifaktorial), antara lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebacea sendiri, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.
Pada acne dapat timbul komedo (sumbatan bahan tanduk dalam unit pilosebaseus); papula (komedo tertutup yang pecah); pustula (bentukan padat yang mengalami perlunakan pada puncaknya, dengan mengeluarkan nanah), nodul (dari komedo tertutup--penonjolan pada kulit yang lebih besar dari papula), dan jaringan parut.
Pengobatan secara umum meliputi : mencuci muka dengan sabun dua kali sehari--jangan berlebihan; menghindari pemakaian kosmetika yang berlebihan, menghindari makan kacang, cokelat, minyak, mentega, dll (meskipun beberapa penelitian tidak menemukan korelasi antara makanan dan timbulnya acne). Untuk pengobatan berupa salep maupun antibiotika sebaiknya menghubungi dokter.
DEMAM BERDARAH DENGUE
Merupakan suatu penyakit demam yang dapat disebabkan oleh 4 macam tipe virus dengue dan klinis ditandai dengan fenomena perdarahan dan cenderung menyebabkan sindroma syok yang dapat menimbulkan kematian.
Penyebabnya adalah virus dengue, yang merupakan Flavi virus, termasuk dalam Chikungunya famili Toga virus. Vektor pembawanya adalah nyamuk Aedes aegypti dan albopictus. Penyakit ini dapat menjadi epidemi, dan terbanyak pada waktu musim hujan.
Gambaran penyakitnya berupa panas naik mendadak selama 2-7 hari, kemudian turun sampai batas normal, disertai gejala nonspesifik (lemah, mual, pusing, dan sebagainya). Terkadang disertai dengan perdarahan spontan. Pemeriksaan dengan test torniquet timbul rash pada kulit. Dapat pula diikuti dengan pembesaran hati. Fase penyembuhan terjadi dengan cepat, yaitu 2-3 hari. Pada laboratorium darah perifer tampak penurunan sel darah putih dan trombosit, sedangkan hematokrit menjadi meningkat. Kita harus hati-hati dengan penyakit ini karena dapat timbul syok akibat kegagalan sirkulasi tubuh.
Ada empat tingkat beratnya/klasifikasi penyakit ini :
1. Tingkat I : demam dengan tanda-tanda nonspesifik disertai test torniquet positif.
2. Tingkat II : tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan di kulit/tempat lain.
3. Tingkat III : kegagalan peredaran darah, ditandai dengan nadi cepat, lemah, hipotensi, dan kulit dingin.
4. Tingkat IV : telah terjadi syok, tekanan darah tidak terukur dan nadi tidak/sulit teraba.
Bila menemui penderita dengan demam berdarah dengue, harap segera membawa ke rumah sakit setempat untuk dilakukan pemberian cairan intravena ataupun pengobatan lainnya. Dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat penderita dapat sembuh seperti sedia kala.
VERUCA / CAPLAK / KUTIL
Beberapa diantara kita tentu sudah pernah mendengar kata tersebut (atau bahkan pernah mengalaminya). Caplak/kutil merupakan benjolan pada kulit yang disebabkan oleh virus papiloma.
Penyebaran penyakit ini secara kontak langsung (autoinoculasi). Faktor keluarga dikatakan juga ikut berperanan, yang terbanyak pada anak-anak, insiden pria dan wanita sama. Faktor predisposisi pada penyakit ini berupa trauma (jejas) kulit yang berulang-ulang dan kulit yang lembab.
Berikut ini dua jenis caplak/kutil yang sering dijumpai :
1. Veruca Vulgaris, terjadi paling sering di tangan, jari-jari tangan dan kaki, dan telapak tangan/kaki. Tapi dapat juga tumbuh di tempat-tempat lain. Mula-mula berupa papula (penonjolan padat berbatas tegas di permukaan kulit dengan diameter < 1 cm) kecil seukuran kepala jarum, kemudian tumbuh menonjol, permukaanya menjadi lebih gelap dan hiperkeratosis. Penatalaksanaannya memerlukan keahlian medis tertentu, berupa kuret dan elektrodesikasi ringan, cryosurgery dengan nitrogen cair, asam trichloracetat 50-80%, dan zat keratolitik (asam salisilat 20%, asam laktat 10%). 2. Veruca Plana, terjadi paling sering pada kepala, pipi, hidung, leher,dan punggung tangan. Merupakan caplak/kutil yang berwarna seperti kulit atau kehitaman, lunak, berbentuk papula-papula datar berdiameter 1-3 mm. Caplak/kutil ini umumnya multipel/banyak. Penatalaksanaannya memerlukan keahlian medis tertentu, berupa pemberian nitrogen cair 5-15 detik, elektrocauterisasi, ataupun pemberian asam vitamin A 0,1% dalam bentuk krim. Perjalanan penyakit ini cukup baik, dan dapat sembuh sponta. INFARCT MYOCARD ACUTE Merupakan salah satu kegawatan dalam bidang jantung. Berasal dari penyempitan, pembuntuan, dan spasme yang lama dari pembuluh darah koroner, sehingga dinding jantung (myocardium) jantung menjadi kekurangan oksigen, dan sel-selnya menjadi mati (nekrosis). Penyakit ini umumnya menyerang orang berumur 40 tahun ke atas. Gejala yang khas pada penyakit ini berupa nyeri dada substernal (kira-kira sekitar uluhati/diatasnya), lebih dari 30 menit, menjalar, terjadi pada waktu istirahat/melakukan kegiatan, dan nyeri tersebut tidak hilang dengan istirahat. Keluhan penyerta lainnya dapat berupa lemas, keringat dingin, mual, muntah, dan kehilangan kesadaran. Nyeri tersebut sering dikira sakit maag oleh banyak penderita. Menurut kriteria WHO (1983), bila minimal dua dari kriteria berikut positif, maka penderita dikatakan menderita Infarct Myocard Acute : 1. Nyeri dada tipikal (substernal, lebih dari 30 menit, menjalar, tidak hilang waktu istirahat). 2. EKG (rekaman gelombang listrik jantung) : Q patologis, ST elevasi, dan inversi gelombang T. 3. Pemeriksaan enzym : peningkatan kadar LDH, CPK, CKMB, SGOT, SGPT, dan peningkatan troponin T. Penatalaksanaan penderita tersebut harus di ruang intensif (ICCU). Adapun tujuan utama perawatannya adalah : 1. Menghilangkan rasa nyeri 2. Mencegah perluasan infark 3. Menangani komplikasi yang terjadi 4. Program rehabilitasi medis. Nah, bila Anda menemui penderita dengan keluhan di atas, segeralah mendatangi rumah sakit terdekat, khususnya yang ada fasilitas ruang intensifnya. RHEUMATOID ARTHRITIS Rheumatoid Arthritis, atau yang juga dikenal sebagai rematik, merupakan suatu penyakit keradangan sendi menahun yang terutama mengenai sendi kecil (perifer), yang dapat menimbulkan kerusakan tulang rawan sendi dan struktur juxta artikular. Sering disertai manifestasi di luar sendi. Keradangan terutama ialah Sinovitis pada daerah sinovium. Sinovium menjadi bengkak, menebal, sel-selnya membesar, dan terjadi penimbunan fibrin. Lama kelamaan akan membentuk suatu pannus keradangan menahun, yang akan meluas dari permukaan sendi ke dalam tulang rawan dan menghancurkannya. Selanjutnya kerusakan meluas mengenai tulang dibawahnya, terjadi erosi pada tulang sehingga akan tampak adanya kelainan pada tulang. Faktor pasti yang menyebabkan sinovitis belum jelas benar. Diduga faktor genetik yang berinteraksi dengan faktor lingkunganlah yang memegang peranan. Umumnya terjadi pada usia 35-55 tahun. Wanita lebih sering dari pada pria. Keluhan yang timbul dapat mendadak ataupun perlahan-lahan. Awalnya dapat berupa nyeri sendi. Sendi tampak merah, terjadi pembengkakan, teraba panas, nyeri tekan, dan timbul hambatan gerak. Biasanya mulai pada sendi jari tangan secara simetris (kanan & kiri). Gejala lain yang mungkin timbul antara lain turunnya nafsu makan, lemas, lelah, demam, anemia, dan sebagainya. Untuk menegakkan diagnosisnya perlu pemeriksaan penunjang juga, berupa pemeriksaan darah perifer, rheuma factor, rontgen, dan lain-lain. Penatalaksanaanya dengan : pemberian obat-obatan (untuk mengurangi keluhan dan menghentikan proses penyakit), fisioterapi, mengoreksi kebiasan dan pekerjaan, perbaikan keadaan umum dan gizi, dan operasi. TYPHOID FEVER Typhoid fever, atau yang juga dikenal sebagai thypus, merupakan suatu penyakit yang terjadi mendadak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhosa. Kuman tersebut masuk melalui saluran pencernaan, setelah berkembang biak kemudian menembus dinding usus menuju saluran limfe, masuk ke dalam pembuluh darah dalam waktu 24-72 jam. Kemudian dapat terjadi pembiakan di sistem retikuloendothelial dan menyebar kembali ke pembuluh darah yang kemudian menimbulkan berbagai gejala klinis. Gejala yang timbul dapat berupa : 1. Panas badan yang semakin hari bertambah tinggi, terutama pada malam hari (stepladder). Terjadi selama 7-10 hari, kemudian panasnya menjadi konstan dan kontinyu. 2. Pada fase awal timbul gejala lemah, sakit kepala, infeksi tenggorokan, rasa tidak enak di perut, dan terkadang sulit buang air besar. 3. Pada keadaan yang berat penderita bertambah sakit dan kesadaran mulai menurun. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui bradikardi (denyut melemah) relatif, pembesaran limfa, tegangnya otot perut, dan kembung. Dari pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan sel darah putih, didapatkan kuman tersebut pada tinja atau kencing, dan peningkatan titer Widal. Dikatakan meningkat bila titernya lebih dari 1/400 atau didapatkan kenaikan titer 2 kali lipat dari titer sebelumnya dalam waktu 1 minggu. Pengobatan pada penderita ini meliputi tirah baring, diet rendah serat - tinggi kalori dan protein, obat-obatan berupa antibiotika, pengobatan terhadap keluhan, ataupun pengobatan terhadap komplikasi yang mungkin timbul. KEJANG DEMAM Kejang demam, dalam istilah medis dikenal sebagai febrile konvulsi, adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal > 38 oC), yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (di luar susunan saraf pusat). Penyakit ini paling sering terjadi pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi kejang.
Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis (peradangan pada amandel), infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.
Penatalaksanaan pada penderita ini adalah
1. Menghentikan kejang secepat mungkin, dengan pemberian diazepam sebagai drug of choice, bisa parenteral maupun suppositoria. (untuk ini diharapkan membawa penderita ke dokter/pelayanan kesehatan dengan segera).
2. Pengobatan penunjang, semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah muntahan isi lambung ke dalam paru, dilakukan juga tindakan profilaksis terhadap kemungkinan kejang berikutnya.
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, perjalanan penyakitnya baik dan tidak menimbulkan kematian.
HIPERTENSI
Hipertensi/tekanan darah tinggi adalah penyakit yang umum timbul di dalam masyarakat. Merupakan peningkatan yang persisten dari tekanan pembuluh darah arteri, yaitu tekanan diastolik diatas 95 mmHg. Tekanan darah normal biasanya tekanan sistolik tidak melebihi 140 mmHg dan diastolik tidak melebihi 90 mmHg. Namun patokan tekanan darah normal tersebut individual sifatnya.
Diagnosis hipertensi dibuat atas dasar hasil beberapa kali pemeriksaan, kecuali bila tekanan darahnya sangat tinggi dapat ditetapkan dengan satu kali pemeriksaan. Keluhan yang mungkin timbul antara lain nyeri pada daerah kepala bagian belakang, mimisan, penglihatan kabur, kelemahan otot-otot, mual, muntah, dan sebagainya.
Terdapat beberapa klasifikasi dari hipertensi, antara lain :
 Penyebabnya : hipertensi primer (tidak diketahui sebabnya), dan hipertensi sekunder (akibat penyakit, obat-obatan, maupun kehamilan).
 Klasifikasi menurut WHO 1999, berdasarkan dari tekanan diastolik, yaitu : derajat I (95-109 mmHg); derajat II (110-119 mmHg); derajat III (> 120 mmHg).
Pengelolaan terhadap penderita hipertensi adalah :
1. Pengobatan tanpa obat, antara lain : diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh, peredaan stress emosional, berhenti merokok/alkohol, dan latihan fisik ringan dan teratur.
2. Obat-obatan antihipertensi. Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang beredar saat ini. Untuk pemilihan obat yang tepat diharapkan menghubungi dokter.
Dengan pengobatan dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.
INFEKSI SALURAN KEMIH
Infeksi saluran kemih, secara mikrobiologi, bila ditemukan mikroorganisme patogen pada urine (air seni) yang bermakna lebih dari 105 /mm (sampel urine midstream - diambil saat pertengahan kencing), atau 102 - 104 /mm sampel urine dari kateter.
Penyebab terbanyak infeksi ini adalah E. coli (sekitar 80% kasus). Penyebab lainnya antara lain kuman Proteus, Klebsiela, maupun Staphylococcus saprophyticus.
Resiko tinggi didapatkan pada wanita masa seksual aktif, prostatitis, BPH (pembesaran prostat jinak), kehamilan, pembuntuan saluran kemih (misal akibat batu), diabetes, penyakit ginjal, dan hipertensi. Terjadinya infeksi bisa melalui penjalaran langsung ke atas, melalui darah, ataupun melalui pembuluh limfe.
Gejala yang timbul bervariasi, antara lain : nyeri pada waktu kencing, ingin kencing terus - tetapi keluarnya sedikit-sedikit, volume kencingnya sedikit, nyeri perut bagian bawah, kencing disertai darah. Dapat pula disertai panas badan, menggigil, mual, muntah, lemah, dan nyeri ketuk pada pinggang. Bila telah timbul komplikasi lainnya akan timbul berbagai manifestasi lainnya, sesuai jenis komplikasi yang diderita.
Penatalaksanaan pada penderita ini antara lain :
1. Mencari faktor-faktor pemicu.
2. Pemberian antibiotika dan obat simptomatik, maupun tindakan bedah bila diperlukan.
3. Hindari faktor resiko untuk mencegah kekambuhan.
Bila tidak ada kelainan anatomis, baik pada saluran kemih, ginjal, dsb, maka perkembangannya akan baik.
DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus [kencing manis], merupakan suatu jenis penyakit hormonal, timbul akibat gangguan produksi atau gangguan dari penggunaan insulin. Insulin merupakan hormon yang diperlukan untuk mengubah gula, karbohidrat, dan zat lain menjadi energi untuk kehidupan. Penyebab pasti penyakit ini masih misteri, meskipun faktor genetik dan lingkungan [seperti kegemukan dan kurang olahraga] memegang peranan penting.
Saat ini ada tiga tipe utama diabetes, yaitu :
1. Diabetes tipe I, timbul karena pankreas gagal/hanya sedikit dalam memproduksi insulin, sehingga timbul peningkatan kadar gula. Umumnya timbul pada usia 8-12 tahun, dan wanita lebih awal 1,5 tahun. Gejala yang timbul antara lain : sering kencing, rasa haus/lapar yang berlebihan, penurunan berat badan [10-30%], mudah lelah, emosional, dan sebagainya. Faktor penyebabnya antara lain : proses autoimmun yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, virus [mumps, coxsackie, hepatitis], diet [tidak minum ASI, konsumsi nitrosamin dalam jumlah besar], keracunan, stess, dsb.
2. Diabetes tipe II, timbul dari resistensi insulin [tubuh gagal untuk menggunakan insulin secara baik, baik penggunaan ataupun sekresinya], dan terjadi defisiensi relatif dari insulin. Umumnya timbul pada usia 40 tahun keatas, wanita lebih banyak daripada pria. Gejala yang timbul mencakup gejala pada diabetes tipe I, ditambah : sering terjadi infeksi, penglihatan kabur, luka sukar/lama sembuh, rasa tebal pada tangan dan kaki, infeksi berulang pada kulit, mulut, ataupun saluran kemih. Faktor penyebab terpenting adalah genetik dan kegemukan. Selain diabetes tipe II, terdapat istilah pre-diabetes. Pre-diabetes timbul bila kadar gula darah lebih tinggi dari normal, tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes tipe II.
3. Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada wanita hamil. Terjadi pada sekitar 4% wanita hamil.
Diagnosis ditegakkan dengan :
 Anamnesis, dari keluhan sering kencing, rasa lapar/haus berlebihan, penurunan berat badan [10-30%], mudah lelah, riwayat keluarga dengan diabetes, dsb.
 Pemeriksaan fisik, misalnya adanya kelainan pada retina mata, luka yang sukar sembuh, dan sebagainya.
 Pemeriksaan laboratorium, yaitu kadar gula darah puasa  126 mg/dL (7.0 mmol/L); kadar gula darah 2 jam setelah makan atau gula darah random  200 mg/dL (11.1 mmol/L).
Penatalaksanaan yang perlu dilakukan :
 Diet, yang dianjurkan adalah 10-20% kalori dari protein, < 10% kalori dari lemak saturated dan polyunsaturated, sisanya diperoleh dari lemak monounsaturated dan karbohidrat. Hindari pula konsumsi makanan yang mengandung gula murni.  Olahraga, terbukti dapat memperbaiki toleransi glukosa dan menurunkan pengobatan.  Obat-obatan oral, khususnya pada diabetes tipe II. Misalnya golongan biguanide [metformin], sulfonilurea [Glimepiride, Glipizide, Glyburide], Thiazolidinediones [Pioglitazone, Rosiglitazone], a-Glucosidase inhibitors [Acarbose, Miglitol].  Insulin, baik short acting, intermediate, ataupun long acting insulin. Insulin diberikan pada diabetes tipe I. Selama terapi, baik dengan obat oral ataupun insulin, gula darah dipertahankan pada level 80-150 mg/dL (4.4-8.3 mmol/L). Komplikasi yang mungkin timbul :  Koma hypoglikemia ataupun koma hyperglikemia [ketoasidosis diabetes, koma hyperosmolar non ketotik]. Timbul akibat kurang pengontrolan kadar gula.  Gangguan jantung, diabetic retinopathy, gangguan ginjal [nephropathy], neuropathy dan kerusakan saraf, gangguan kulit, diabetic foot, gangguan kesehatan mulut, problem psikologi akibat kronisnya penyakit. Prognosis : Dengan pengaturan diet, olahraga, serta pengobatan yang baik, akan memperkecil timbulnya komplikasi. STROKE Adalah defisit neurologis berupa : kelumpuhan lengan dan tungkai sesisi, defisit sensoris sesisi (tebal, tidak berasa, dsb), bicara pelo, kelumpuhan otot-otot wajah sesisi, dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut di atas dapat timbul : 1. Berlangsung secara tiba-tiba dalam waktu singkat (beberapa menit, jam atau 1/2 hari) 2. Serentak dengan hilang kesadaran (pingsan) 3. Secara berangsur-angsur dengan penurunan kesadaran/tanpa gangguan kesadaran. Gejala-gejala tersebut merupakan manifestasi dari infark (kerusakan sel/sel kekurangan oksigen) pada otak. Ciri-ciri mulai timbulnya dan gejala pengiringnya menandakan sifat, lokalisasi, dan jenis kelainan yang diderita pada otak. Faktor resiko terjadinya stroke antara lain : 1. Umur, lebih tua lebih mungkin terserang stroke. 2. Hipertensi. 3. Diabetes mellitus, orang yang diobati insulin lebih banyak mempunyai resiko untuk mengidap stroke. 4. Penyakit jantung. 5. Merokok. Ada dua jenis stroke, yaitu stroke ischemic, dan stroke hemorrhagic. Stroke ischemic dibedakan lagi menjadi stroke emboli dan trombosis.  Stroke ischemic, merupakan stroke yang terjadi akibat pembuntuan dari pembuluh darah otak. Pembuntuan tersebut bisa berupa trombus, gumpalan trombosit (karena fibrilasi atrium), gumpalan kuman (pada endokarditis bakterial), atau gumpalan darah.  Stroke hemorrhagic, merupakan stroke yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di otak. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemui adanya defisit motoris (kelumpuhan) sesisi, defisit sensoris (berkurangnya sensasi raba, tekan, nyeri, dsb) pada tubuh sesisi. Reflek fisiologis yang meningkat pada sisi yang lumpuh, dan timbulnya reflek patologis pada sisi yang lumpuh. Untuk mengetahui secara pasti penyebab stroke tersebut, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan CT Scan otak. Dengan pemeriksaan tersebut kita bisa mengetahui lokasi, jenis stroke, dan perkembangan pengobatan yang diberikan. Penatalaksanaan penderita, selain dengan pengobatan terhadap stroke yang diderita (operasi atau pengobatan konservatif), juga menghindari faktor pencetus (misal rokok), juga dengan melakukan rehabilitasi medik terhadap kelumpuhan/gangguan sensoris/gangguan lainnya, supaya setidaknya dapat dicapai kondisi yang optimal, baik fisik, mental, dan sosial. HEPATITIS VIRUS AKUT Merupakan keradangan akut parenchym hati karena infeksi virus hepatitis (tipe A/B/C/D/E,dsb).Keluhan utama yang timbul berupa sclera mata kuning (ikterus). Keluhan lain yang mungkin timbul adalah anoreksia/nausea(mual)/vomiting (muntah)/panas badan/kelemahan tubuh/kencing kuning-coklat/"transient" pruritus. Gejala lain berupa ascites (cairan bebas dalam rongga perut), hipoglikemia, edema, terjadi bila keadaannya sudah berat. Biasanya gejala klinis tersebut terjadi dalam 3 fase, yaitu : 1. fase preikterik : gangguan pencernaan (mual/muntah), lemah badan, gejala seperti flu, air seni mulai lebih kuning coklat, sedang tinja mulai lebih pucat. Berlangsung 3-10 hari sampai 2 minggu. 2. fase ikterik : gejala saluran pencernaan dan "flu like syndrome" berkurang sampai hilang, kecuali lemah badan disertai adanya mata kuning, sebah, nyeri tekan pada daerah hypochondrium kanan (perut kanan atas). Air seni juga mulai bertambah kecoklatan (seperti air teh). Berlangsung 1-2 minggu. 3. fase penyembuhan : mulai timbul nafsu makan, lemah badan mulai berkurang, sebah berkurang sampai hilang, warna kuning mulai berkurang sampai hilang, warna air seni mulai lebih muda lagi. Ikterus umumnya hilang dalam 2-6 minggu. Penyembuhan sempurna terjadi dalam 3-4 bulan (12-16 minggu) Pada pemeriksaan didapatkan : ikterus, hepar (hati) sedikit membesar/lunak/nyeri tekan (+ 70 % kasus), lien (limpa) membesar (+ 20 % kasus), panas (umumnya hilang setelah ada ikterus/"transient" pruritus). Pada pemeriksaan laboratorium, yaitu terdapat peningkatan SGOT/SGPT, LED meninggi, bilirubinemia, hipoalbuminemia, dan peningkatan waktu protrombin (menunjukkan nekrosis hepatoseluler yang luas). Pemeriksaan urine didapatkan bilirubin (+), yang akan bertambah pada fase ikterik dan mulai menghilang pada fase penyembuhan. Pemeriksaan serologis akan positif (tergantung jenis dan perjalanan penyakitnya), antara lain HBsAg, IgM antiHAV, IgM antiHBc, anti HCV. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut : HBs Ag IgM anti HAV IgM anti HBc Anti HCV Interpretasi Diagnostik (Dienstag & Isselbacher, 1994) + + + + - - - - - - + + + + - - + - - + - + + - - - - - - - - + Hepatitis akut B Hepatitis kronis B Hepatitis akut A superimposed on hepatitis kronis B Hepatitis akut A dan B Hepatitis akut A Hepatitis akut A dan B (HBs Ag dibawah ambang deteksi) Hepatitis akut B (HBs Ag dibawah ambang deteksi) Hepatitis akut C Masa inkubasi Hepatitis virus, terbanyak terjadi pada usia :  hepatitis A (HAV) : 15-45 hari, terbanyak usia : anak/dewasa muda.  hepatitis B (HBV) : 30-180 hari, terbanyak usia : dewasa muda/bayi/balita  hepatitis C (HCV) : 15-160 hari, terbanyak usia : setiap umur, utamanya orang dewasa  hepatitis D (HDV) : 30-180 hari, terbanyak usia : setiap umur  hepatitis E (HEV) : 14-60 hari, terbanyak usia : dewasa muda (20-40 tahun) Cara penularan Hepatitis virus :  hepatitis A (HAV) : fecal & oral (+++)/perkutan (+)/perinatal (-)/seksual (+)  hepatitis B (HBV) : fecal & oral (-)/perkutan (+++)/perinatal (+++)/seksual (++)  hepatitis C (HCV) : fecal & oral (-)/perkutan (+++)/perinatal (+)/seksual (+)  hepatitis D (HDV) : fecal & oral (-)/perkutan (+++)/perinatal (+)/seksual (++)  hepatitis E (HEV) : fecal & oral (+++)/perkutan (-)/perinatal (-)/seksual (-) Keterangan : fecal & oral ~ via saluran pencernaan; perkutan ~ via darah/suntikan, dsb; perinatal ~ ibu ke bayinya, sewaktu lahir; seksual ~ hubungan seksual. Terapi pada hepatitis virus akut tidak ada pengobatan spesifik, antara lain : interferon (untuk HBV: 40% efektif; untuk HCV: 50% efektif); tirah baring total; diet tinggi kalori (termasuk parenteral nutrisi bila diperlukan) dan pembatasan intake protein; cholesteramine (untuk gatalnya); kemudian tindakan-tindakan lain utnuk mempertahankan keseimbangan cairan dan menjaga jalan nafas, menjaga sirkulasi, mengendalikan perdarahan, mengatasi hipoglikemi, dan menangani komplikasi yang mungkin timbul pada pendertia koma. Perjalanan penyakit : umumnya baik. Hepatitis virus A dikatakan tidak pernah memberikan bentuk kronis dan memberi kesembuhan sempurna tanpa cacat. Hepatitis virus B akut : 90% penderita mengalami kesembuhan sempurna. Perjalanan penyakit hepatitis virus B ini jelek bila timbul ascites, edema, gejala encefalohepatik, disertai tanda laboratorium berupa waktu protrombin yang memanjang, kadar albumin rendah, kadar gula darah rendah, dan bilirubin darah lebih dari 20 %. Pada hepatitis virus C 50% akan menjadi kronis dan terus memberat. Pada Hepatitis D bila akut perjalanan penyakitnya baik, tetapi bila kronis menjadi jelek. Untuk Hepatitis virus D perjalanan penyakitnya baik. TETANUS Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh gejala-gejala neurologik yaitu adanya spasme dan kenaikan tonus otot yang disebabkan oleh tetano spasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetani, merupakan kuman anaerob, berspora batang gram positif. Kuman tersebut mengeluarkan eksotoksin yang bersifat tetano spasmin yang menyebar ke aliran darah/limfe sepanjang serabut saraf motoris, medulla spinalis dan saraf simpatis. Eksotoksin tersebut menghambat asetilkolin ujung saraf sehingga menimbulkan kejang. Gambaran penyakit ini berupa : trismus (kaku pada rahang~sulit membuka rahang bawah), rhesus sardonicus (muka seperti monyet meringis), kaku kuduk (leher kaku, tidak bisa untuk mengangguk), opistotonus (badan kaku seperti busur), kaku perut, kejang, dan kemungkinan adanya luka sebagai tempat masuknya kuman. Diagnosis cukup ditegakkan dari gambaran klinis tersebut di atas. Ada beberapa jenis penyakit yang menyerupai gejala tetanus tersebut, misalnya keracunan fenotiazin, epilepsi, dll. Gejala trismus juga tampak pada abcess gigi, tonsilitis, mumps, dan lain-lain. Gejala opistotonus bisa timbul pada rabies, peritonitis, dan ulkus peptikum perforata. Komplikasi yang dapat timbul berupa : 1. Gangguan saluran nafas : spasme otot pharing, laring, dan atelektasisi akibat pneumonia aspirasi 2. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, takikardi, aritmia, miokarditis 3. Infeksi sekunder : pneumonia, infeksi saluran kemih 4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi/renal insufisiensi. Pengobatannya dengan merawat pasien diruang yang tenang, kemudian diberikan Anti Tetanus Serum (ATS) sesuai berat badannya secara intravena dan sisanya intramuscular. Kejang diatasi dengan pemberian anti kejang (misal diazepam) secara intravena. Juga diberikan antibiotika. Perawatan pasien ini mungkin melibatkan berbagai bidang kedokteran, misalnya penyakit dalam, bedah, gigi, dan THT. Penyakit ini bila sembuh tidak meninggalkan cacat, namun pada tetanus berat angka kematian 80-90%. PSORIASIS Psoriasis adalah penyakit kulit kronis (yang berlangsung lama) yang dipercaya berhubungan dengan sistem imunitas, meskipun penyebab pastinya masih tidak diketahui. Penyakit ini tidak menular. Gambaran yang timbul awalnya berupa bercak kemerahan pada kulit, kemudian berkembang menjadi plaque, yaitu peninggian kulit dengan ukuran bervariasi, yang berwarna kemerahan yang ditutupi oleh bentukan berwarna keperakan seperti tetesan lilin. Normalnya sel kulit akan matur pada 28-30 hari dan kemudian terlepas dari permukaan kulit. Pada penderita psoriasis, sel kulit akan matur dan menuju permukaan kulit pada 3-4 hari, sehingga akan menonjol dan menimbulkan bentukan peninggian kumpulan plak berwarna kemerahan. Warna kemerahan tersebut berasal dari peningkatan suplai darah untuk nutrisi bagi sel kulit yang bersangkutan. Bentukan berwarna putih seperti tetesan lilin (atau sisik putih) merupakan campuran sel kulit yang mati. Bila dilakukan kerokan pada permukaan psoriasis, maka akan timbul gejala koebner phenomenon. Terdapat banyak tipe dari psoriasis, misalnya plaque, guttate, pustular, inverse, dan erythrodermic psoriasis. Umumnya psoriasis akan timbul pada kulit kepala, siku bagian luar, lutut, maupun daerah penekanan lainnya. Tetapi psoriasis dapat pula berkembang di daerah lain, termasuk pada kuku, telapak tangan, genitalia, wajah, dll.Setiap orang dapat menderita psoriasis, meskipun hereditas memegang peranan penting. Timbul lebih sering pada wanita dibanding pada pria, umumnya pada umur 15-35 tahun, tetapi bisa pula pada semua umur. 10-15 % menderita psoriasis sebelum usia 10 tahun. Faktor pemicu/ predisposisi terjadinya psoriasis antara lain: luka pada kulit (misalnya incisi pada pembedahan), stress emosional, dan beberapa jenis infeksi (seperti infeksi streptococcus pada tenggorokan). Hal-hal tersebut tidak menyebabkan psoriasis secara langsung, melainkan mungkin dapat memperberat psoriasis yang telah diderita. Tujuan pengobatan psoriasis agar kulit menjadi bersih kembali. Beberapa jenis pengobatan dapat meminimalisasi bentukan plaque psoriasis, namun hal tersebut bukanlah pengobatan sesungguhnya. Pengobatan yang lebih baik adalah dengan meneliti bagaimana penyakit ini timbul serta menghindari faktor predisposisinya. Pengobatan umumnya dibagi menjadi dua, yaitu pengobatan topikal dan pengobatan sistemik. Pengobatan topikal ditujukan untuk psoriasis derajat ringat hingga sedang. Misalnya pemberian coal tar, moisturizer dan asam salisilat. Obat topikal yang lebih kuat adalah kortikosteroid, coal tar yang lebih kuat, analog vitamin D3 dan topikal retinoid. Pengobatan sistemik ditujukan untuk psoriasis yang sedang hingga berat. Misalnya dengan penyinaran dengan ultraviolet B, PUVA, injeksi/oral methotrexate, oral retinoid, dan cyclosporin. Beberapa tips untuk penderita psoriasis : 1. Jaga kulit agar tetap berminyak. Minyak, cream, dan petroleum jelly adalah moisturizer yang baik. Gunakan pelembab bila udara terasa panas. 2. Penyinaran dengan sinar matahari akan menghilangkan psoriasis pada beberapa orang, namun kulit terlebih dulu diolesi dengan minyak dan dilakukan lubrikasi. 3. Mandi dengan air panas akan mengurangi sisik yang timbul. Penggunaan moisturizer segera setelah mandi akan berguna. Meminimalisasi kontak dengan sabun dan bahan kimia. Gunakan sabun yang sangat lembut, sabun moisturizing, atau sabun yang bebas pembersih. 4. Lindungi kulit dari cidera, sebab cidera dapat memperparah plaque yang timbul. PPOK / COPD Penyakit Paru Obstruksi Kronik [PPOK] adalah penyakit paru dengan terjadinya sumbatan aliran udara pada paru yang berlangsung lama. Dalam istilah Inggrisnya dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease [COPD]. Normalnya, saat kita bernapas, udara akan masuk melalui hidung atau mulut, melalui tenggorokan, trakea, bronchus [cabang trachea, mengandung lendir dan cilia yang berfungsi untuk proses pembersihan udara], bronchiolus [cabang bronchus], dan kemudian ke alveoli [kantung-kantung udara di paru]. Setelah itu terjadi pertukaran antara oksigen dan carbon dioksida. Oksigen akan diserap ke dalam pembuluh darah, sedangkan carbon dioksida akan dikeluarkan melalui saluran napas. PPOK mempunyai 3 gejala umum utama, yaitu : sesak napas, batuk menahun, dan batuk berdahak. Namun pada kasus yang ringan tidak menimbulkan gejala apapun. Beberapa ciri dari PPOK yaitu : biasanya dialami oleh perokok berat, gejala muncul pada usia 40-an, gejala semakin lama semakin bertambah buruk, gejala memburuk pada musim hujan/dingin, dan tidak ada hubungannya dengan alergi. Terdapat 2 jenis PPOK, yaitu Bronchitis Chronic dan Emphysema. Pada bronchitis chronic terjadi peradangan pada dinding saluran napas sehingga menghasilkan terlalu banyak lendir. Akibatnya saluran napas menyempit sehingga pertukaran udara di paru terganggu. Pada bronchitis chronic juga terjadi kerusakan pada cilia yang berfungsi untuk membersihkan lendir berlebihan dalam saluran napas. Pada emphysema, terjadi pembesaran dan kerusakan luas alveoli, sehingga terjadi gangguan pertukaran udara dalam paru. Penegakan diagnosis dari PPOK mencakup pemeriksaan anamnesis [pola hidup-riwayat merokok, riwayat penyakit keluarga, keluhan yang dialami, dsb], pemeriksaan fisik [pada saluran napas dan jantung], dan pemeriksaan penunjang [pemeriksaan laboratorium, rontgen dada, dan test fungsi paru]. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini : 1. Berhenti merokok, dapat memperlambat proses perburukan penyakit, mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup. 2. Latihan pernapasan [pursed-lip breathing dan diaphragmatic breathing]. Pursed-lip breathing : duduk tegak dengan otot leher dan bahu dalam keadaan rileks. Tarik napas secara perlahan melalui hidung selama 2 hitungan. Hembuskan napas secara perlahan melalui mulut Anda [dengan gerakan seperti meniup lilin] selama 4 hitungan atau lebih. Diaphragmatic breathing : duduk atau berbaring dalam posisi nyaman dengan kepala bersandar dan lutut ditekuk. Otot leher dan bahu dalam keadaan rileks. Tempatkan salah satu tangan di uluhati dan tangan lainnya di dada. Tarik napas secara perlahan melalui hidung selama 2 hitungan. Lalukan dengan cara yang benar sampai Anda merasakan otot uluhati dalam keadaan rileks dan mengembang dan posisi dada tidak berubah. Kencangkan otot uluhati dan hembuskan napas melalui mulut 4 hitungan. Anda akan merasa otot uluhati mengempis. 3. Perkusi dada, untuk membantu mengeluarakan dahak/lendir yang berlebihan dari paru. Dengan cara : rapatkan kelima jari tangan Anda membentuk mangkuk lalu tepuk-tepuk dada dan punggung [dengan atau tanpa bantuan orang lain] secara lembut. 4. Olahraga, pilih yang mampu Anda lakukan, misal berjalan, bersepeda, berenang, dsb. 5. Mempertahankan berat badan ideal. 6. Minum banyak air untuk membantu mengencerkan dahak. 7. Konsumsi cukup protein [daging dan produk susu], buah, dan sayuran. Bila Anda telah mengalami penyakit ini, segeralah memeriksaan diri ke dokter secara teratur. Dengan menjalani pengobatan secara teratur dan melakukan perubahan perilaku, Anda masih mempunyai kesempatan untuk hidup lebih sehat dan bugar. VARICELLA Tanda dan Gejala : Varicella, atau yang dikenal juga sebagai Chicken pox atau Cacar Air, adalah infeksi virus yang menyebabkan rash seperti blister (vesikel) pada permukaan kulit dan membran mukosa. Vesikel pada varicella umumnya timbul pertama pada tubuh dan muka, kemudian menyebar ke hampir seluruh tubuh, termasuk kulit kepala dan penis, juga pada mukosa mulut, hidung, telinga, dan vagina. Vesikel varicella lebarnya sekitar 1/5 – 2/5 inchi (5 – 10 mm), mempunyai dasar yang kemerahan, dan akan berkelompok setelah lebih dari 2 – 4 hari. Beberapa orang hanya mengalami sedikit vesikel, meskipun yang lainnya memiliki vesikel hingga ratusan. Bila vesikel digaruk atau dipecah, keropeng dan vesikel dapat terinfeksi oleh bakteri (infeksi sekunder bakteri). Vesikel-vesikel baru akan tetap terbentuk, sementara vesikel terdahulu pecah, mengering dan menjadi krusta, dengan demikian pada suatu saat akan tampak bermacam-macam ruam kulit (polimorf). vesikel biasanya beratap tipis, bentuknya bulat/lonjong menyerupai setetes air sehingga disebut teardrop vesicle. Beberapa anak mengalami demam, nyeri perut, atau perasaan tidak enak dengan vesikel pada kulit mereka. Gejala ini umumnya berakhir sekitar 3 hingga 5 hari, dan demam berkisar antara 38,3oC hingga 39,4oC. Anak yang lebih muda sering mengalami vesikel yang lebih sedikit dibanding anak yang lebih tua atau orang dewasa. Secara umum, varicella adalah penyakit ringan, tetapi dapat mematikan pada penderita leukemia atau penyakit lain yang melemahkan sistem immun. Umumnya orang hanya akan terserang varicella satu kali seumur hidup. Tetapi virus yang meyebabkan varicella dapat dormant (tidak aktif sementara) pada tubuh dan menyebabkan erupsi kulit yang berbeda (disebut shingles/herpes zoster), pada saat yang akan datang. Deskripsi : Infeksi varicella disebabkan oleh varicella-zoster virus (VZV), yang merupakan kelompok virus herpes berukuran 140-200 μ, berinti DNA. VZV menyebar dari ingus hidung dan cairan pada vesikel varicella. Varicella sangat menular, dan 90% dari orang yang daya tahannya lemah akan tertular bila mereka terekspos. Epidemi lebih sering pada akhir musim dingin dan awal musim semi, timbul separuhnya pada anak-anak berusia 5 – 9 tahun. Normalnya, varicella merupakan penyakit ringan, tetapi dapat menimbulkan komplikasi yang serius, termasuk pneumonia, encephalitis, dan infeksi bakteri serius pada vesikel varicella. Setelah menyebabkan serangan varicella, VZV tinggal dalam tubuh. Tetapi dormant yang tinggal dalam sel saraf dapat aktif kembali disaat mendatang untuk menyebabkan shingles/herpes zoster. Pencegahan : Pada tahun 1995, vaksin terhadap varicella mulai ada di Amerika untuk pertama kalinya. Vaksin tersebut mencegah timbulnya penyakit sebanyak 70%-90%. Orang yang menderita varicella setelah vaksinasi umumnya mengalami gejala yang lebih ringan dan vesikel yang lebih ringan. Vaksin varicella diinjeksikan pada usia 1 tahun atau lebih. Bila anak tidak menerimanya pada waktu tersebut, dapat diberikan pada usia 11 – 12 tahun. Vaksin varicella membantu orang untuk membangun antibodinya sendiri (proteksi immun) melawan varicella, tetapi pada beberapa kasus baik untuk memberikan bentuk jadi dari proteksi immun yang disebut varicella-zoster immune globulin (VZIG). VZIG melindungi orang yang telah terekspos varicella, dan yang sistem immunnya terlalu lemah untuk melawan penyakit ini. VZIG diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya menderita varicella saat melahirkan, anak dengan leukemia, atau lymphoma; anak dengan AIDS atau defisiensi immun yang lain; dan anak yang mengkonsumsi obat yang menurunkan sistem immun (seperti steroid). Inkubasi : Masa inkubasi dari varicella 7 – 21 hari setelah paparan, dengan kasus terbanyak terjadi antara 14 – 17 hari. Misalnya, satu anak dalam sebuah keluarga tertular varicella pada sekolah, kakak atau adiknya kemungkinan akan timbul gejala varicella sekitar 2 minggu kemudian. Durasi : Varicella umumnya berakhir 7 – 10 hari pada anak-anak, dan lebih lama pada orang dewasa. Penularan : Masa penularan varicella mulai 2 hari sebelum vesikel muncul dan berakhir saat semua vesikel menjadi krusta. Anak dengan varicella harus diistirahatkan sekitar 1 minggu. Anda tidak harus menunggu hingga lesi pada kulit hilang semua. Orang yang sedang sakit atau mempunyai problem dengan sistem immun harus menghindari kontak dengan penderita varicella. Begitu pula wanita hamil. Diagnosis Banding : Herpes zoster : lesi monomorf, nyeri; biasanya unilateral. Pengobatan Medis : Antibiotik tidak diberikan untuk mengobati infeksi varicella, sebab penyakit ini disebabkan oleh virus. Antibiotika hanya diberikan bila telah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Pengobatan varicella dapat dengan pengobatan antiviral, seperti asiklovir (baik sistermik ataupun topikal). Pengobatan di rumah : Tujuan perawatan di rumah untuk mengurangi rasa gatal dari varicella dan demam atau perasaan tidak enak yang menyertai Atasi rasa gatal pada kulit dengan kompres basah atau memandikan pada air dingin atau air hangat setiap 3-4 jam selama beberapa hari pertama. Mandi tidak memperparah varicella. Kemudian keringkan tubuh (jangan digosok). Calamine lotion paling sering digunakan untuk mengatasi rasa gatal, tetapi jangan membarikan lotion di dekat mata atau wajah pada anak yang lebih muda. Lainnya dapat diberikan bedak basah atau bedak kering yang mengandung salisil 2% atau mentol 1-2%. Potong kuku untuk melindungi terhadap garukan, yang dapat menimbulkan infeksi pada vesikel yang pecah. Varicella pada mulut mungkin menyebabkan sulit makan atau minum. Berikan air dingin dan makanan lunak. Hindari makanan/minuman yang mengandung asam tinggi, seperti jus jeruk, atau khususnya garam. Nyeri pada mulut dapat diatasi dengan memberikan acetaminophen (paracetamol) secara rutin saat ada vesikel pada mulut. Luka pada daerah genetalia dapat terasa sangat nyeri. Krim anestesi yang mengurangi nyeri dapat diberikan. Tanyakan dokter anda. Untuk menurunkan panas, gunakan pengobatan nonaspirin seperti acetaminophen (paracetamol). Asprin jangan diberikan pada anak dengan varicella atau penyakit akibat virus lainnya, karena penggunaan aspirin dapat berhubungan dengan berkembangnya Reye Syndrome. Prognosis : Baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat dan bila tidak timbul komplikasi. CHIKUNGUNYA FEVER Adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya. Nama lain dari penyakit ini antara lain : epidemic polyarthritis and rash, dan CHIK. Virus Chikungunya sendiri merupakan RNA virus, termasuk dalam golongan Togaviridae (grup A arbovirus), genus Alphavirus. Berbentuk spheris, berdiameter sekitar 60 nm, single stranded. Penyakit ini menimbulkan gambaran panas yang tinggi akibat virus yang bersifat self limited, nyeri dan peradangan sendi pada lutut, pergelangan kaki, dan sendi kecil lain pada anggota gerak, diikuti oleh maculopapular rash (bercak kemerahan yang meninggi) pada kulit. Dapat pula timbul enanthema pada buccal (rongga mulut) dan palatal (langit-langit mulut), mual dan muntah, serta perdarahan ringan (khususnya pada anak). Namun sering juga infeksi tersebut timbul tanpa gejala. Masa inkubasinya umumnya 1 – 12 hari. Penyakit ini banyak terjadi di Afrika, India, Asia Tenggara, dan Filipina. Penyakit ini menjadi epidemi dalam siklus sekitar 80 tahunan. Host (organisme yang menjadi tempat hidup dan berkembang biak) dari virus ini adalah manusia, primata, mammalia lainnya, dan burung. Penularan penyakit ini berasal dari gigitan nyamuk yang terinfeksi, ataupun inokulasi langsung melalui darah (seperti pada tranfusi darah yang terinfeksi). Nyamuk yang merupakan vektor dari virus ini antara lain : Aedes Albopictus; Aedes spp; Ae. Aegypti; Ae Africanus Mansoni spp. Penting dilakukan tindakan untuk memutus mata rantai penularan virus ini. Cara yang cukup efektif yaitu dengan melakukan tindakan fogging terhadap vektornya (nyamuk). Untuk mendiagnosis virus ini disamping dengan melihat gejala dan tanda klinis yang timbul, juga melalui pemeriksaan penunjang, seperti dengan melakukan pemeriksaan darah, analisa serum, maupun isolasi virus melalui kultur jaringan. Belum ditemukan obat spesifik untuk penyakit ini. Juga belum ditemukan imunisasi yang berguna sebagai tindakan preventif. Namun pada penderita yang telah terinfeksi timbul imunitas / kekebalan terhadap penyakit ini dalam jangka panjang. Pengobatan yang diberikan umumnya untuk menghilangkan atau meringankan gejala klinis yang ada saja (symptomatik therapy), seperti pemberian obat panas, obat mual / muntah, maupun analgetik untuk menghilangkan nyeri sendi. Perjalanan penyakit ini umumnya cukup baik, karena bersifat self limited disease. Yaitu akan sembuh sendiri dalam waktu tertentu. Namun pada orang dengan sistem imunitas yang lemah, seperti pada penderita HIV/AIDS dan yang menggunakan obat-obatan immunosupresif, akan menimbulkan komplikasi yang cukup berat dan bahkan menimbulkan kematian. MOLAHIDATIDOSA Mola hidatidosa adalah kehamilan yang abnormal di mana hampir seluruh villi chorialis mengalami degenerasi hidropik. Istilah awam : "hamil anggur". Terjadi degenerasi hidropik dari jaringan trofoblas pada usia kehamilan muda. Kadar B-hCG meningkat sangat tinggi, menyebabkan timbul gejala-gejala kehamilan muda yang berlebihan. Pembagian  mola hidatidosa klasik / komplet : tidak terdapat janin atau bagian tubuh janin. Ciri histologik, ada gambaran proliferasi trofoblas, degenerasi hidropik villi chorialis dan berkurangnya vaskularisasi / kapiler dalam stroma. Sering disertai pembentukan kista lutein (25-30%).  mola hidatidosa parsial / inkomplet : terdapat janin atau bagian tubuh janin. Ciri histologik, terdapat jaringan plasenta yang sehat dan fetus. Gambaran edema villi hanya fokal dan proliferasi trofoblas hanya ringan dan terbatas pada lapisan sinsitiotrofoblas. Perkembangan janin terhambat akibat kelainan kromosom dan umumnya mati pada trimester pertama. Gejala  perdarahan : karena tekanan mola kepada dinding uteri  gejala kehamilan muda berlebih : hiperemesis, hipertiroid, preeklampsia, anemia Patogenesis  B-hCG meningkat - aktifitas ovarium meningkat (ovarium kistik) - estrogen tinggi menimbulkan efek hipertiroidisme dari aktifitas B-hCG yang tinggi.  Teori Acosta-Sison : defisiensi protein.  Sitogenetika : mola hidatidosa komplet berasal dari genom paternal (genotipe 46 xx sering, 46 xy jarang, tapi 46 xx nya berasal dari reduplikasi haploid sperma dan tanpa kromosom dari ovum). Mola parsial mempunyai 69 kromosom terdiri dari kromosom 2 haploid paternal dan 1 haploid maternal (triploid, 69 xxx atau 69 xxy dari 1 haploid ovum dan lainnya reduplikasi haploid paternal dari satu sperma atau fertilisasi dispermia). Kelompok risiko tinggi  usia kurang dari 20 tahun  sosioekonomi kurang  jumlah paritas tinggi  riwayat kehamilan mola sebelumnya Diagnostik mola hidatidosa  anamnesis : ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa.  pemeriksaan fisik : pada mola klasik, uterus membesar melebihi ukuran usia kehamilan yang sesuai, tidak teraba bagian janin, tidak ada bunyi jantung janin. Uji batang sonde (Acosta-Sison / Hanifa) tidak ada tahanan massa konsepsi. Pada mola parsial, gejala seperti missed abortion, uterus lebih kecil dari kehamilan.  pemeriksaan penunjang : jika memungkinkan, periksa B-hCG kuantitatif dan USG.  USG gambaran seperti badai salju (snowflake / snowstorm-like appearance). Foto toraks dan kadar T3 T4 dianjurkan. Pemeriksaan B-hCG : [+] biologis : Gaili Mainnini, Friedman [+] tes imunologik : tidak kuantitatif [+] radioimunoassay : kuantitatif Hipertiroidisme : B-hCG > 300.000 mIU/ml - mempengaruhi reseptor thyrotropin - aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, napsu makan meningkat tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Gejala ini diobati dengan propiltiourasil 3 x 100 mg oral dan propanolol 40-80 mg.
Krisis tiroid : hipertiroid tidak terkontrol, disertai hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-koma.
Prinsip penanganan
 perhatikan sindroma yang mengancam fungsi vital (depresi napas, hipertiroid / tirotoksikosis, dsb), siap resusitasi bila keadaan umum pasien buruk.
 Evakuasi jaringan mola : dilatasi-kuretase dengan hisap (suction) dan kuret tajam. Suction dapat mengeluarkan sebagian besar massa mola, sisanya dibersihkan dengan kuret. Dapat juga dilakukan induksi. Pada waktu evakuasi, diberikan oksitosin untuk merangsang kontraksi uterus dan mencegah refluks cairan mola ke arah tuba.
 Pada wanita yang tidak mengharapkan anak lagi dapat dianjurkan histerektomi.
Follow up / pengamatan lanjut pasca evakuasi mola
 Kontrol terhadap progresifitas menjadi penyakit trofoblas ganas (koriokarsinoma)
 Profilaksis terhadap keganasan dengan sitostatika, terutama pada kelompok risiko keganasan tinggi.
 pemeriksaan ginekologik dan B-hCG kuantitatif rutin tiap 2 minggu pasca evakuasi sampai remisi, sesudah remisi, tetap teratur tiap 3 bulan sampai selama 1 tahun.
 foto toraks pada awal terapi, diulang bila kadar B-hCG menetap atau meningkat.
 kontrasepsi hormonal aman selama 1 tahun pasca remisi. Sebaiknya menggunakan preparat progesteron oral selama 2 tahun.
 penyuluhan pada pasien akan kemungkinan keganasan
Faktor risiko tinggi / prognostik buruk
 B-hCG > 100.000 mIU/ml
 kista lutein bilateral
 mola berulang
[sumber : http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklgin7.html]
OSTEOPOROSIS
Adalah suatu keadaan dimana kepadatan tulang mulai berkurang dan disertai kerusakan mikroarsitektur tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah.
Osteoporosis dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. Namun resiko terjadinya osteoporosis pada wanita lebih tinggi karena mengalami menopause (> 45 tahun). Yaitu masa dimana terjadi penurunan kadar hormon estrogen dalam tubuh (= masa berhenti haid). Sedangkan pada pria osteoporosis terjadi di usia lanjut ( > 70 th).
Osteoporosis disebabkan gangguan metabolisme tulang, yaitu kerja sel penghancur tulang melebihi kerja sel pembentuk tulang. Akibatnya lama kelamaan tulang menjadi keropos. Gangguan ini dapat terjadi secara fisiologis akibat proses penuaan yang disertai dengan menurunnya hormon, kurang asupan kalsium dan vitamin D, disertai dengan faktor-faktor pendukung lainnya.
Gejala yang timbul bervariasi, namun umumnya terjadi tanpa gejala, sehingga seringkali seseorang tidak menyadari dirinya menderita osteoporosis sampai terjadinya patah tulang. Untuk mengetahui secara dini terjadinya osteoporosis, dapat digunakan beberapa pemeriksaan seperti :
1. Pengukuran kepadatan massa tulang (Bone Mineral Density/BMD) dengan Densitometer.
2. Pemeriksaan Laboratorium dengan mengukur petanda biokimiawi untuk mengetahui keseimbangan pembentukan dan penghancuran tulang.
Akibat yang ditimbulkan dari osteoporosis yaitu mudah terjadi patah tulang, meskipun hanya karena trauma ringan ataupun saat mengangkat beban berlebih. Tubuh makin lama makin membungkuk.
Untuk itu perlu diketahui cara mencegah terjadinya osteoporosis. Antara lain :
1. Kalsium yang cukup; kalsium diperlukan untuk pembentukan tulang, karena itu kebutuhan akan kalsium harus dipenuhi. Sumber kalsium yang terbaik adalah makanan, tetapi bila tidak mencukupi maka diperlukan tambahan kalsium dari suplemen kalsium. Makanan yang banyak mengandung kalsium : susu, keju, yogurt. Kebutuhan kalsium usia > 50 th : 800-1200 mg.
2. Vitamin D; diperlukan untuk membantu penyerapan kalsium pada usus, sehingga asupan kalsium dapat digunakan tubuh dengan maksimal. Kebutuhan vitamin D usia > 50 th : 5 mcg.
3. Bifosfonat; obat golongan bifosfonat bekerja dengan cara menghambat kerja sel penghancur tulang secara berlebihan. Berberapa jenis obat golongan bifosfonat seperti alendronate, dapat digunakan untuk mencegah terjadinya osteoporosis.
4. Olahraga yang teratur; dianjurkan untuk melakukan weight bearing / olahraga yang memberikan tekanan pada tulang.
5. Memperbaiki kebiasaan hidup; menghindari rokok, alkohol, dan kopi yang berlebihan karena dapat mengganggu pembentukan tulang.
6. Pemeriksaan tulang; melakukan pemeriksaan tulang untuk mengetahui osteoporosis secara dini.
Pengobatan osteoporosis :
1. Terapi hormon pengganti; terapi hormon pengganti pada wanita post menopause. Terapi ini selain dapat mengobati osteoporosis, juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup wanita.
2. Kalsium dan vitamin D; asupan kalsium dan vitamin D harus memenuhi kebutuhan tubuh.
3. Bifosfonat; obat golongan bifosfonat selain dapat digunakan untuk pencegahan osteoporosis juga dapat digunakan untuk mengobati osteoporosis karena kerjanya yang spesifik menghambat terjadinya pengeroposan tulang dengan cara menghambat kerja sel penghancur tulang.
(sumber : buklet "Mengenal Osteoporosis", Novell Pharmaceutical Laboratories).
HERNIA
Hernia merupakan protusi/penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan. Terdapat beberapa poin penting dalam hernia, yaitu : defek/bagian yang lemah dari dinding rongga, kantung hernia, isi hernia, dan cincin hernia (daerah penyempitan kantung hernia akibat defek tersebut).
Berdasarkan terjadinya, dibagi atas hernia kongenital/bawaan dan hernia yang didapat. Hernia diberi nama menurut letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilical, femoral, dan sebagainya. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernia keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga disebut hernia irreponibel. Hal ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantung pada perineum kantong hernia. Bila tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus akibat perlekatan tersebut disebut hernia akreta.
Bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia, disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata. Disebut hernia inkarserata bila isi kantung terperangkap, tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibat yang berupa gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia irreponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut hernia strangulata. Sebenarnya gangguan vaskularisasi sudah terjadi saat jepitan dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan sampai nekrosis.
HERNIA INGUINALIS : dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Pria > wanita. Faktor yang berperan adalah terbukanya processus vaginalis, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut (pada trigonom Hesselbach). Tekanan rongga perut yang tinggi secara kronis dapat berupa batuk kronis, hipertrofi prostat, konstipasi, ascites, kehamilan multipara, obesitas, dll. Hernia inguinalis bisa berupa hernia inguinalis medialis maupun hernia inguinalis lateralis. Hernia inguinalis yang mencapai scrotum disebut hernia scrotalis.
Keluhan dan tanda klinik yang timbul bergantung pada keadaan isi hernia, ada tidaknya perlekatan, maupun komplikasi yang telah terjadi. Pada hernia reponibel, keluhan yang timbul hanya berupa benjolan di lipat paha yang muncul pada waktu berdiri/batuk/bersin/mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri pada hernia ini jarang dijumpai, kalaupun ada dirasakan di daerah epigastrium atau para umbilical berupa nyeri visceral akibat regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantung hernia. Bila telah timbul inkarserasi atau strangulasi, dapat timbul nyeri yang hebat dan keluhan mual - muntah.
Pengelolaannya bisa dengan pengobatan konservatif, maupun tindakan definitif berupa operasi. Tindakan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi. Jika reposisi tidak berhasil, dalam waktu 6 jam harus dilakukan operasi segera. Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari herniotomi dan hernioraphy.
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi (lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis.
Terdapat banyak jenis hernia yang lain, antara lain :
1. Hernia femoralis : berupa benjolan di lipat paha melalui anulus femoralis. Selanjutnya isi hernia masuk ke dalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena femoralis sepanjang sekitar 2 cm dan keluar pada fosa ovalis di lipat paha.
2. Hernia umbilicalis : merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga perut yang masuk melalui cincin umbilikus (pusar) akibat peninggian tekanan intra abdomen. Merupakan kelainan kongenital. Hernia ini biasanya akan regresi spontan dalam 6 bulan sampai 1 tahun, bila cincin hernia < 2 cm. Bila lebih dari 2 cm, perlu tindakan operasi. 3. Hernia paraumbilicalis : hernia melalui suatu celah di garis tengah tepi atas umbilicus. 4. Hernia epigastrika : hernia yang keluar melalui defek di linea alba antara umbilicus dan processus xyphoideus. 5. Dengan penanganan yang dini, komplikasi yang mungkin timbul dapat dihindari. AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu suatu sekumpulan gejala penyakit yang mengganas akibat daya tahan rusak atau lumpuhnya tubuh manusia, yang disebabkan oleh infeksi virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus), yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Secara normal, sistem kekebalan tubuh melindungi tubuh terhadap penyakit, bila dirusak oleh HIV maka serangan penyakit yang tidak berbahaya dapat menjadi bahaya dan bahkan mematikan. Penderita AIDS yang meninggal, bukan semata-mata disebabkan oleh virus AIDS, tetapi oleh penyakit lain yang sebenarnya bisa dicegah seandainya daya tahan tubuh penderita tidak dirusak oleh virus AIDS. AIDS merupakan penyakit menular yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia (pandemi) dan terutama menular lewat hubungan seksual (homoseksual, biseksual, heteroseksual. Penyakit ini mematikan, karena belum ditemukan obat penyembuhnya ataupun vaksin pencegahannya. Orang yang terinfeksi virus AIDS tidak segera menderita AIDS, membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan ia akan menjadi pembawa atau penular virus AIDS selama hidupnya. Gejala-gejala yang sering timbul pada penderita AIDS : 1. Rasa lelah berkepanjangan 2. Sering demam disertai keringat malam tanpa sebab yang jelas 3. Berat badan menurun secara menyolok 4. Sesak nafas dan batuk berkepanjangan 5. Bercak merah kebiruan pada kulit (kanker kaposi) 6. Diare lebih dari 1 bulan tanpa sebab yang jelas 7. Pembesaran kelenjar getah bening (di leher, ketiak, lipatan paha) tanpa sebab yang jelas 8. Bercak putih atau luka di mulut dan sebagainya Gejala di atas belum bisa memastikan seseorang menderita AIDS karena gejala tersebut sering dijumpai pada penyakit lain. Untuk memastikan bahwa seseorang mengidap HIV perlu dilakukan pemeriksaan darah yang menetapkan ada tidaknya zat antivirus HIV yang dibentuk tubuh bila terserang virus tersebut. AIDS tidak menular karena : berjabatan tangan; makanan dan minuman; berciuman pipi; gigitan serangga atau nyamuk; hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak melakukan hubungan seksual); bersama-sama berenang di kolam renang; penderita AIDS bersin atau batuk di depan kita; menggunakan WC/kamar mandi yang sama; bersentuhan biasa dengan penderita. HIV atau virus AIDS terdapat pada semua cairan tubuh penderita, tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS yang sangat efektif adalah air mani, cairan vagina, dan darah. Penularan AIDS terutama terjadi melalui : tranfusi darah yang tercemar HIV; jarum suntikan atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, alat cukur) yang bekas dipakai oleh orang yang mengidap HIV; hubungan seksual (homo maupun heteroseksual) dengan seseorang yang mengidap HIV; ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut kepada janin atau bayinya (perinatal). Kelompok resiko tinggi tertular AIDS adalah : 1. Kelompok yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan maupun yang melakukan hubungan seksual secara tidak normal, seperti : wanita/pria pekerja seks komersil dan pelanggannya; mucikari; homoseksual (laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan sesama laki-laki); biseksual (laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenisnya maupun dengan lawan jenisnya); wanita muda pemijat tertentu di panti pijat; wanita/pria yang sering berganti-ganti pasangan seksual. 2. Kelompok penyalah guna narkotik suntik yang menggunakan alat suntik tidak steril secara bersama/bergantian. 3. Cara mencegahnya yang paling baik adalah menghindari hubungan seksual di luar ikatan pernikahan atau zinah. Bila sulit dihindari, lakukanlah dengan pemakaian kondom yang benar. KERACUNAN MINYAK TANAH Karakteristik Minyak Tanah : Minyak tanah (kerosene) merupakan cairan bahan bakar yang jernih, tidak berwarna, tidak larut dalam air, berbau, dan mudah terbakar. Termasuk dalam golongan petrolium terdistilasi hidrokarbon. Memiliki berat jenis 0,79. Titik didih 163oC – 204oC, titik beku –54oC. Efek Toksik Minyak Tanah Efek pada paparan akut minyak tanah :  Kontak kulit : kering, dapat iritasi, menyebabkan rash  Absorbsi kulit : jarang  Kontak mata : iritasi, dapat menyebabkan kerusakan permanen  Inhalasi : iritasi, sakit kepala, pusing, mengantuk, intoksikasi  Ingesti : sakit kepala, pusing, mengantuk, intoksikasi Efek pada paparan kronis minyak tanah :  Secara umum : kulit pecah-pecah, dermatitis, kerusakan hepar/kelenjar adrenal/ginjal, dan abnormalitas eritrosit  Karsinogenik : terlihat pada studi eksperimental pada tikus. Pada manusia tidak ada data yang tercatat  Sistem reproduksi : tidak ada data yang tercatat Insiden Intoksikasi Minyak Tanah :  Terutama pada anak-anak < 6 tahun. Khususnya pada negara-negara berkembang.  Daerah perkotaan > daerah pedesaan
 Pria > wanita
 Umumnya terjadi karena kelalaian orang tua
Patofisiologi :
Efek toksis terpenting dari minyak tanah adalah pneumonitis aspirasi. Studi pada binatang menunjukkan toksisitas pada paru > 140 x dibanding pada saluran pencernaan. Aspirasi umumnya terjadi akibat penderita batuk atau muntah. Akibat viskositas yang rendah dan tekanan permukaan, aspirat dapat segera menyebar secara luas pada paru. Penyebaran melalui penetrasi pada membran mukosa, merusak epithel jalan napas, septa alveoli, dan menurunkan jumlah surfactan sehingga memicu terjadinya perdarahan, edema paru, ataupun kolaps pada paru. Jumlah < 1 ml dari aspirasi pada paru dapat menyebabkan kerusakan yang bermakna. Kematian dapat terjadi karena aspirasi sebanyak + 2,5 ml pada paru (pada lambung + 350 ml). Selain itu, jumlah 1 ml/kg BB minyak tanah dapat menyebabkan depresi CNS ringan – sedang, karditis, kerusakan hepar, kelenjar adrenal, ginjal, dan abnormalitas eritrosit. Namun efek sistemik tersebut jarang karena tidak diabsorbsi dalam jumlah banyak pada saluran pencernaan. Minyak tanah juga diekskresikan lewat urine. Tanda / Gejala Klinis : Gejala dan tanda klinis utamanya berhubungan dengan saluran napas, pencernaan, dan CNS. Awalnya penderita akan segera batuk, tersedak, dan mungkin muntah, meskipun jumlah yang tertelan hanya sedikit. Sianosis, distress pernapasan, panas badan, dan batuk persisten dapat terjadi kemudian. Pada anak yang lebih besar mungkin mengeluh rasa panas pada lambung dan muntah secara spontan. Gejala CNS termasuk lethargi, koma, dan konvulsi. Pada kasus yang gawat, pembesaran jantung, atrial fibrilasi, dan fatal ventrikular fibrilasi dapat terjadi. Kerusakan ginjal dan sumsum tulang juga pernah dilaporkan. Gejala lain seperti bronchopneumonia, efusi pleura, pneumatocele, pneumomediastinum, pneumothorax, dan subcutaneus emphysema. Tanda lain seperti rash pada kulit dan dermatitis bila terjadi paparan pada kulit. Sedangkan pada mata akan terjadi tanda-tanda iritasi pada mata hingga kerusakan permanen mata. Pemeriksaan Penunjang :  Laboratorium : darah rutin, urine rutin, RFT, LFT, dan BGA  Radiologis : foto thorax. Terbaik 1,5 – 2 jam setelah paparan. Penderita dengan pneumonia umumnya akan tampak di foto pada 6 – 18 jam, namun pernah juga dilaporkan baru tampak setelah 24 jam. Prognostic Score : Dilakukan sebagai panduan dalam terapi dan menentukan prognosis penderita. Parameter yang diambil adalah panas badan, malnutrisi berat, distress respirasi, dan gejala neurologis. Parameter Temuan Klinis Poin Panas (-) 0 (+) 1 Malnutrisi berat (-) 0 (+) 1 Distress respirasi (-) 0 (+) tanpa sianosis 2 (+) dengan sianosis 4 Gejala neurologis (-) 0 (+) tanpa konvulsi 2 (+) dengan konvulsi 4 Prognostic Score = (poin dari panas) + (poin dari malnutrisi) + (poin dari distress pernapasan) + (poin dari gejala neurologis) Interpretasi :  Skor minimum = 0  Skor maksimum = 10  Skor > 4 berhubungan dengan lamanya MRS dan komplikasi
 Skor > 8 berhubungan dengan peningkatan resiko kematian; skor < 7 mengindikasikan anak akan selamat. Penatalaksanaan :  Monitor sistem respirasi  Inhalasi oksigen  Nebulisasi dengan Salbutamol : bila mulai timbul gangguan napas  Antibiotika : bila telah timbul infeksi, tidak dianjurkan sebagai profilaksis  Hidrokortison : dulu direkomendasikan, sekarang jarang dilakukan  Kumbah lambung dan charcoal aktif (arang): beberapa literatur menolak penatalaksanaan dengan kumbah lambung, dengan alasan dapat menyebabkan aspirasi dan kerusakan paru. Sedangkan literatur lain memperbolehkannya, utamanya bila jumlah yang ditelan cukup banyak, karena dikhawatirkan terjadi penguapan dari lambung ke paru.  Antasida : untuk mencegah iritasi mukosa lambung  Pemberian susu atau bahan dilusi lain  Anus dan perineum harus dibersihkan secepatnya untuk mencegah iritasi (skin burn) sekunder  Bila terjadi gagal napas, dapat dilakukan ventilasi mekanik (Positive End – Expiratory Pressure – PEEP) INFEKSI SALURAN KEMIH Cegah dengan Banyak Minum Air Putih http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188195 Sabtu, 8 Desember 2007 Banyak minum air putih merupakan perilaku sehat untuk terhindar dari infeksi saluran kemih. Jumlah ideal air putih yang harus dikonsumsi sebanyak 2-3 liter setiap harinya. "Banyak cara mencegah infeksi saluran kemih. Tetapi yang paling penting adalah jangan pernah lalai minum air putih, terutama para pekerja yang berada dalam ruang ber-AC (air conditioning) yang biasanya jarang merasa haus," kata dr M Alam SpU dalam media edukasi tentang penyakit infeksi saluran kemih, di Jakarta, Rabu (28/11). Dr Alam yang sehari-hari praktek di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading itu menjelaskan, air putih sangat penting untuk membilas kuman dan zat. Bila berlebihan kuman atau zat itu bisa menyebabkan pengendapan di saluran kemih. "Pengendapan tersebut dapat mengkristal sehingga menimbulkan semacam batu yang bisa membuat luka di saluran kemih," ujarnya.Ditambahkan, perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi saluran air kemih karena memiliki uretra (bagian bawah dari saluran kemih) yang lebih pendek dibandingkan laki-laki. Kondisi itu membuat kuman -- yang menyebabkan infeksi-- berpotensi lebih besar untuk masuk ke saluran kemih perempuan. Gejala yang umum dialami para penderita infeksi saluran kemih adalah rasa sakit pada saat ingin buang air kecil. Selain juga munculnya perasaan ingin buang air kecil, tetapi yang jumlah yang keluar hanya sedikit (anyang-anyangan). Penderita juga merasa nyeri di pinggang atau perut bagian bawah posisi tepatnya di atas tulang kemaluan, dan terkadang disertai rasa mual."Namun, ada pula kasus orang yang tidak bergejala demikian, tetapi sebenarnya ia mengalami infeksi saluran kemih," kata dr Alam seraya menambahkan bahwa untuk lebih memastikan hal itu diperlukan tes urin di laboratorium guna mendapatkan hasil yang akurat. Menurut dr Alam, infeksi saluran kemih yang tak bergejala terhitung lebih berbahaya. Karena tanpa disadari, penyakit tersebut akan menggerogoti organ kelaminnya terus-menerus. Jadi, orang yang bersangkutan terinfeksi tetapi dia tidak tahu dan biasanya malah menjadi kronis."Ada sekitar 10 persen penderita infeksi saluran kemih yang tidak bergejala. Dalam hal ini penderita tidak merasakan apa-apa. Setelah diperiksa melalui tes urin baru diketahui bahwa dalam urinnya banyak terdapat bakteri," katanya.Infeksi saluran kemih (ISK) terbagi dalam dua jenis yaitu, ISK bagian atas dan bawah. ISK bagian bawah dinamakan sistitis. Jika menyerang bagian atas, kuman menyebar lewat saluran kencing, ginjal, dan bahkan seluruh tubuh."Dalam hal ini bisa mengakibatkan infeksi ginjal dan urosepsis. Jadi, ISK adalah sesuatu yang tak boleh dianggap remeh," ujarnya. Banyak cara bagi perempuan untuk terhindar dari infeksi saluran kemih. Salah satunya, cebok atau membasuh kelamin setelah berkemih dengan cara yang benar. Karena ketidaktahuan, banyak perempuan yang cebok dari belakang ke depan. Padahal, cara itu sama saja menarik kotoran ke daerah vagina atau saluran kencing. Bagi perempuan yang sudah berkeluarga, jangan biasakan menahan kecil saat berhubungan seksual. Pada uretra yang penuh, jika uretranya pendek, terkena gesekan saat berhubungan seks menyebabkan kuman-kuman gampang terdorong masuk ke salurang kencing dan mengakibatkan infeksi. "Biasanya penyakit ini dialami pasangan pengantin yang baru menikah. Karena itu disebut honeymooners cystitis. Keluhannya seperti kencing sakit dan anyang-anyangan," tuturnya. Selain itu, hindari hubungan seksual dengan orang yang punya penyakit kelamin seperti penyakit kencing nanah. Hal i tu bisa menyebabkan infeksi pada uretra dan menghasilkan nanah. Karena itu disebut kencing nanah. Kadang-kadang pada perempuan tidak terlihat gejalanya, tidak seperti pada pria."Pada pria, 3-4 hari setelah terkena penyakit kelamin, gejalanya bisa terasa dan terlihat, seperti sakit dan mengeluarkan nanah. Karena itu, pria yang terkena penyakit kelamin bisa cepat berobat," katanya. Bagi orang yang telah menderita batu di ginjal atau saluran kemihnya, menurut dr Alam, harus diperiksa mengenai ukuran, jenis kekerasan, dan lokasi dari batu tersebut. Bila ukuran batunya di bawah lima milimeter, maka sang pasien umumnya cukup diberi obat dan dianjurkan untuk banyak minum air putih.Namun bila ukurannya lebih besar, kata dr Alam, maka dapat dilakukan pengobatan dengan menggunakan terapi "shock wave" (gelombang kejut) yang dapat memecahkan batu ginjal. Setelah itu, pasien dianjurkan banyak air putih untuk mengeluarkan batu tersebut dari saluran kemih.Alam mengingatkan, selain banyak minum air putih, hendaknya tidak boleh menahan keinginan untuk buang air kecil serta banyak menyantap buah dan sayur-sayuran. (Tri Wahyuni) TYPOID FEVER A. Pengertian Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ). Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999). Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI. 1999). B. Etiologi a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: • antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida) • antigen H(flagella) • antigen V1 dan protein membrane hialin. b) Salmonella parathypi A c) salmonella parathypi B d) Salmonella parathypi C e) Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996). C. Penularan Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar. D. Patofisiologi Kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikula endotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus halus dan kandung empedu. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi, Yuliani Rita, 2001). D. Gejala Klinis Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) : • Perasaan tidak enak badan • Lesu • Nyeri kepala • Pusing • Diare • Anoreksia • Batuk • Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999). Menyusul gejala klinis yang lain 1. DEMAM Demam berlangsung 3 minggu, yaitu : • Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. • Minggu II : Demam terus. • Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur. 2. GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN • Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. • Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan. • Terdapat konstipasi dan diare. 3. GANGGUAN KESADARAN • Kesadaran yaitu apatis – somnolen • Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit) (Rahmad Juwono, 1996). E. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan laboratorium • Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif, aneosinofilia, trombositopenia, dan anemia. • Biakan empedu : basil salmonella typhi ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. • Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi 1/200- Diperlukan titer anti bodi terhadap antigeno yang bernilai 4 kali antara masa akut dan konvalesene mengarahatau peningkatan kepada demam typhoid (Rahmad Juwono, 1996). F. Penatalaksanaan Terdiri dari 3 bagian, yaitu :  Perawatan  Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.  Untuk mencegah dekubitus, posisi tubuh harus diubah setiap 2 jam.  Mobilisasi sesuai kondisi.  Diet  Makanan diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan penyakitnya (mula-mula air-lunak-makanan biasa)  Makanan harus mengandung cukup cairan, tinggi kalori, tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, dan tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas. 3) Obat  Antimikroba Kloramfenikol, Tiamfenikol, Co-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulkametoksazol)  Obat Symptomatik Antipiretik Kartikosteroid, diberikan pada pasien yang toksik. Supportif : vitamin-vitamin. Penenang : diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikiatri (Rahmad Juwono, 1996). Pada Anak : • Klorampenikol : 50-100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas / minimal 14 hari. Pada bayi < 2 minggu : 25 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis. Bila dalam 4 hari panas tidak turun obat dapat diganti dengan antibiotika lain (lihat di bawah) • Kotrimoksasol : 8-20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas / minimal 10 hari • Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Kloramfenikol diterapi dengan Ampisilin 100 mg/ kg BB/hari selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis • Bila dengan upaya-upaya tersebut panas tidak turun juga, rujuk ke RSUD Perhatian : • Jangan mudah memberi golongan quinolon, bila dengan obat lain masih bisa diatasi (baca ulasan penulis dalam: Booming Cyprofloxacin) • Jangan mudah memberi Kloramfenikol bagi kasus demam yang belum pasti Demam Tifoid, mengingat komplikasi Agranulositotis • Tidak semua demam dengan leukopeni adalah Demam Tifoid • Demam < 7 hari tanpa leukositosis pada umumnya adalah infeksi virus, jangan beri kloramfenikol G. Relaps Relaps ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis (Ngastiyah ,1997). H. Komplikasi Komplikasi dapat dibagi dalam : 1. Komplikasi intestinal  Perdarahan usus  Perforasi usus  Ileus paralitik 2. Komplikasi ekstra intestinal.  Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.  Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik Paru : pneumoni, empiema, pleuritis.  Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.  Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.  Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.  Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.  Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996). I. Pencegahan Usaha terhadap lingkungan hidup :  Penyediaan air minum yang bersih, dan sehat.  Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene  Pemberantasan lalat.  Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan. Usaha terhadap manusia :  Imunisasi  Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Mansjoer, Arif 1999). J. Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 % rata-rata 5,7 % (Juwono Rachmat, 1996). ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. Registerasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal MR. 2. Keluhan Utama Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam. 1. Riwayat Penyakit Dahulu Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit yang lainnya. 4. Riwayat Psikososial 4. Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang dalami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya. 5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya. 2) Pola nutrisi dan metabolisme Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah. 3) Pola aktifitas dan latihan Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya. 4) Pola tidur dan aktifitas Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur. 5) Pola eliminasi Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. 6) Pola reproduksi dan sexual Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi perubahan. 7) Pola persepsi dan pengetahuan Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri. 8) Pola persepsi dan konsep diri Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. 9) Pola penanggulangan stress Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. 10) Pola hubungan interpersonal Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit. 11) Pola tata nilai dan kepercayaan Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu. 6. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak enak, anorexia. 2) Kepala dan leher Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. 3) Dada dan abdomen Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan. 4) Sistem respirasi Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung. 5) Sistem kardiovaskuler Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh. 5) Sistem integument Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat. 7) Sistem eliminasi Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam. 8) Sistem muskuloskolesal Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan. 9) Sistem endokrin Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil. 10) Sistem persyarafan Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita penyakit thypoid. B. Diagnosa keperawatan 1. Hipertermi b/d proses infeksi Salmonella Typhosa 2. Resiko defisit volume cairan b/d pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh. 3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang akibat mual, muntah, anoreksi, atau output yang berlebihan akibat diare. 4. Gangguan pola defekasi : diare b/d proses peradangan pada dinding usus halus. 5. Perubahan pola defekasi : konstipasi b/d proses peradangan pada dinding usus halus. 6. Resiko tinggi trauma fisik b/d gangguan mental, delirium/psikosis. D. Evaluasi Keperawatan. Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (diagnosa, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Hasil yang diharapkan pada tahap evaluasi adalah : - Anak menunjukkan tanda – tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi. - Anak menunjukkan tanda – tanda terpenuhinya kebutuhan cairan. - Anak tidak menunjukkan tanda – tanda penurunan kesadaran yang lebih lanjut. - Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat perkembangan anak. - Anak akan menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal. (Suriadi, dkk 1999). DAFTAR PUSTAKA  Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta. Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.  Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis, Jakarta.  Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.  Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta. ASKEP COPD /PPOK PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Black. J. M. & Matassarin,.E. J. 1993). Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer.(Enggram, B. 1996). COPD Kelompok penyakit paru obstruktif menahun : Asthma bronchial, Emfesyma, Bronchitis Chronis dan Bronciectase PATHOFISIOLOGI ASTHMA BRONKHIALE Asma merupakan suatu penyakit yang dapat mengenai pada anak-anak hingga dewasa dengan serangan yang sangat menakutkan tanpa mengenal waktu yang selalu membawa penderitaan bagi pasien dan asma dapat timbul karena kecemasan, kegiatan aktivitas yang berat, kelelahan, kurang tidur, infeksi pernafasan, obat-obatan dan alergen. Di negara-negara yang telah maju penelitiannya, diperkirakan 5% - 20% bayi dan anak-anak menderita asma. Sedangkan pada orang dewasa dan orang tua rata-rata berkisar antara 2% - 10%.(Sundaru H., hal-6, 1995). Penelitian yang pernah dilakukan dibeberapa tempat diperkirakan 2-5 % menderita asma. Insiden penyakit asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur pasien, jenis kelamin, bakat alergi, bunga, keturunan, lingkungan dan faktor psikologi. Berbagai masalah yang ditimbulkan pada penyakit asma tergantung pada usia, pekerjaan dan fungsi klien dalam keluarga tersebut. Tingginya angka kekambuhan pada penderita asma sering memberikan dampak pada psikologis dan biologis pasien. Tingkat emosi yang labil dan adanya kecenderungan untuk menolak saran-saran dalam upaya mengeliminasi perilaku yang mendukung kesehatannya, merupakan salah satu respon psikologis pasien asma. Pada serangan asma pasien mengalami keterbatasan fungsi dalam memenuhi segala kebutuhan dasarnya. Dengan demikian perlu kiranya difikirkan tentang pola asuhan keperawatan yang mampu memenuhi keterbatasan fungsi tersebut tanpa menambah beban emosional klien akibat tindakan perawat baik selama serangan, maupun setelah serangan sehingga klien terhindar dari kekambuhan dan dapat berfungsi secara optiman. DEFINISI Menurut Crocket (1997), Asma Bronkhiale didefinisikan sebagai suatu penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala bronkhospasme yang bersifat reversibel. Asma bronchiale menurut “ American’s Thoracic Society” dikutip dari Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. MACAM : Ekstrinsic / Atopic Asthma external agents faktor allergen Instrinsic / Non Atopic Asthma  penyebab sulit di identifikasi  dimungkinkan oleh beberapa penyebab : common cold, infeksi sal nafas atas, strees dll FAKTOR PENCETUS Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah : 1) Alergen Alergen adalah zat-zat tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus), spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya 2) Infeksi saluran nafas Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influensa merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkhiale. Diperkirakan dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas.(Sundaru, 1991). 3) Stress psikologik Stress psikologik bukan sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat Stress psikologik tetapi tidak menjadi penderita asma bronkhiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994). 4) Olah raga / kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asma bronkhiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (Exercise Induced Asthma / EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga. 5) Obat-obatan Beberapapasien asma bronkhiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. 6) Polusi udara Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. 7) Lingkungan kerja Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkhiale pencetusnya adalah lingkungan kerja (Sundaru H., 1991). Beberapa zat yang didapat di tempat pekerjaan yang dapat mencetuskan serangan asma seperti pada tabel berikut : PENCETUS LOKASI 1). Bulu dan serpih kulit binatang 2). Enzim bakteri subtilis 3). Debu kopi dan teh 4). Debu kapas 5). Toluen diisosianat 6). Debu gandum dan padi-padian 7). Amoniak, sulfur dioksida, asam klorida, klorin 8). Garam platina 9). Ampisiln, spiramisin, piperasin. 1).Laboratorium hewan dan peternakan 2). Industri detergen 3). Pengolahan kopi dan teh 4). Industri tekstil 5). Industri plastik 6). Pabrik roti, gudang gandum dan padi-padian 7).Industri kimia dan perminyakan 8). Pemurnian Platina 9). Industri Obat-obatan 8). Lain-lain Selain faktor-faktor tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor yang mencetuskan serangan asma seperti lingkungan dan cuaca yang terlalu lembab, terlalu panas, terlalu dingin, bumbu masak (monosodium glutamat), bahan pengawet makanan (asam benzoat), zat pewarna kuning (tartarazin). Dan beberapa keadaan dapat memperberat serangan asma seperti sinusitis, rinitis dan regurgitasi asam lambung. PATOFISIOLOGI Astma Allergi IL-12 IL-4 CELL MHC II Proliferasi IL-1 IL-2 (-) IL-5 IL-10 (-) IFN Gama IFN Gama TNF β IL-2 Cell sudah memiliki Ig-E dg afinitas lemah Berikatan Asma Bronkhiale Alergenik Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen dipresentasikan ke permukaan cel dan ditangkap oleh MHC dan membentuk sel Th. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1) mengaktifkan sel Th, melalui penglepasan IL-2 oleh sel Th. yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk Ig-E. Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin. Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil. Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas. Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus. Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif. Asma Bronkhiale Non Alergenik Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas. Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990). MANIFESTASI KLINIS Selama serangan asma, klien mengalami dispnea dan tanda-tanda kesulitan pernapasan. Permulaan tanda-tanda serangan terdapat sensasi konstriksi dada (dada terasa berat), whezing, batuk non produktif, takhikardi dan takipnea. Beratnya asma dapat diklasifikasikan dalam : ringan, sedang dan berat tergantung gejala-gejala. Sistem skoring diberikan untuk mengklasifikasikan tersebut. Tabel Penilaian Keperahan Asma (Skoring) Gejala skore Penggunaan Bronkhodilator skore Variabilitas PEFR (APE) skore  Terjaga malam hari  Gejala tiap hari  Gejala < tiap hari perminggu  < tiap minggu / waktu olah raga  Tidak ada serangan selama 3 bl 4 3 2 1 0  4 x / hari  1 – 4 x / hari  < tiap hari  < per minggu  tidak selama 3 bulan 4 3 2 1 0  25 %  15 – 25 %  10 – 15 %  6 – 10 %  < 6 % 4 3 2 1 0 Dikutip dari Assagaf H & Mukty A, 1995 Skore maksimum : 12 Asma ringan : 1 – 5 Asma sedang : 6 – 8 Asma berat : 9 – 12 Variabilitas PEFR= Harga PEFR tertinggi – harga PEFR terendah X 100 % Harga PEFR tertinggi PEFR : Peak Expiratory Flow Rate APE : Arus Puncak Ekspirasi PENGELOLAAN Episode asma akut (serangan asma) dapat termasuk kedaruratan medis. Intervensi medis untuk episode ini secara primer bertujuan : 1. Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan bronkhospasme atau membersihkan sekret yang berlebihan atau yang tertahan. 2. Memelihara keefektifan pertukaran gas 3. Mencegah komplikasi seperti gagal nafas akut dan status asmatikus Obat-obatan yang dipakai meliputi bronkhodilator dan anti inflamasi atau keduanya. Obat anti inflamasi meliputi :  Kortikosteroid  Sodium kromolin  Anti inflamasi lainnya Obat bronkhodilator : a. Adrenergik : • Epinefrin • Efedrin • Isoproterenol • Beta adrenergik agonis selektif b. Non Adrenergik : • Teofilin • Aminofilin c. Perlu juga dibeirkan oksigen Pengkajian : 1. Riwayat Keperawatan Perlu dikaji riwayat adanya pemaparan (pemajanan) faktor-faktor yang biasanya mencetuskan serangan asma bronkhiale. Dan perlu ditanyakan bagaimana kemampuan klien untuk menghindari faktor pencetus tersebut, ataukah klien sudah mengetahui beberapa faktor pencetus tersebut. 2. Keluhan Utama Keluhan utama klien adalah sesak napas, setelah terpapar oleh alergen atau faktor lain yang mencetuskan serangan asma bronkhiale. 3. Pemeriksaan Fisik : a. Sistem pernafasan • Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan periode inspirasi. • Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum, pengangkatan bahu waktu bernafas). • Pernafasan cuping hidung. • Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop. • Bunyi nafas : whezzing, pemanjangan ekspirasi. • Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif. b. Sistem Kardiovaskuler • Takhikardia • Tensi meningkat • Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10 mmHg pada waktu inspirasi)
• Sianosis
• Dehidrasi
• Diaforesis
c. Psikososial
• Peningkatan ansietas : takut mati, takut menderita, panik, gelisah

4. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Darah : Kadar IgE meningkat dan eosinophil meningkat
b. Gas darah arteri : Penurunan PaO2 dan PaCO2 namun selanjutnya PaCO2 meningkat sesuai dengan meningkatnya tekanan jalan nafas
c. Faal Paru : Menurunnya FEV1
d. Tes kulit : Untuk menentukan jenis alergen.

Diagnose Keperawatan dan Rencana Intervensi :

1. Bersihan jalan nafas tidak efektin b/d peningkatan produksi secret, bronchospasme, sekunder aktifitas tracheobronchial .
Rencana intervensi :

a. Kaji suara nafas tiap jam selama episode akut untuk menilai keadekuatan pertukaran gas.
b. Jika memungkinkan lakukan suction
c. Monitor warna dan konsistensi sputum karena asma sering sebagai akibat infeksi saluran nafas atas.
d. Kaji keefektifan batuk klien, anjurkan untuk batuk efektif.
e. Tingkatkan intake cairan untuk mencegah sekret yang kental, untuk mengembalikan cairan yang hilang akibat respirasi yang cepat.
f. Berikan humidifier untuk mengencerkan dahak.
g. Jika sekret kental dan sulit dikeluarkan, lakukan fisioterapi dada : Perkusi dan vibrasi.
h. Berikan perawatan mulut, setiap 2 – 4 jam, untuk menghilangkan rasa tidak enak akibat dari sekret.
i. Lakukan order dokter dalam pemberian expectoran

2. Ketidak efektifan pola napas b/d bronchospasme, sekunder hypesensitifitas trachea bronchus .
Rencana Intervensi :
a. Kaji kembali dan observasi frekuensi pernafasan, kedalaman pernapasan dan adanya tanda-tanda sesak nafas.
b. Monitor nilai analisa gas darah untuk mengetahui keefektifan pengobatan
c. Baringkan pasien dalam posisi fowler’s untuk meminimalkan kerja ekspansi dada.
d. Berikan Oksigen pernasal sesuai order dokter.
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat-obatan :
• Kortikosteroid
• Bronkhodilator
• Antihistamin

3. Ansietas b/d ketidak pastian kondisi, kesulitan bernafas, terjadinya serangan ulang.
Rencana intervensi :
a. Kaji tingkat ansietas (skala HART)
b. Kaji kebiasaan ketrampilan koping
c. Berikan dukungan emosional :
• Tetap berada di dekat pasien selama serangan akut
• Antisipasi kebutuhan pasien
• Berikan keyakinan yang menenangkan
d. Implementasikan teknik relaksasi
e. Kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana
f. Jangan berbicara bila sedang dispnea berat

4 Potensial terjadi kekambuhan serangan asma
Rencana intervensi
Berikan penyuluhan tentang usaha pencegahan serangan asma,yaitu :
a. Menjaga kesehatan dengan cara makan makanan yang bergizi, istirahat cukup, minum banyak, rekreasi dan olahraga yang sesuai.
b. Menjaga kesehatan lingkungan, dengan cara membersihkan rumah, ruangan, kamar tidur dan menghindari tempat lembab.
c. Menghindari faktor pencetus.
d. Menggunakan obat-obatan anti asma.
Peran peraat di sini yaitu mengajarkan cara menggunakan obat anti asma sesuai dengan aturan pakai.
e. Lain-lain (Meditasi).

.

DAFTAR PUSTAKA

Anes, SW. (1998). Essentials of Adult Health Nursing. Menlo Park. California.

Baratawidjaja, G. K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.

Black. JM and Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders Company. Philadelphia.

Engram,B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC. Jakarta.

Fax ,SI and Graw ,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America.

Gibson, JM. (1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk perawat. EGC. Jakarta.

Kaliner, MA. (1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National Institutes of Health Bethesda, Maryland.

Kontaraf, J. (1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung.

Sundaru H. (1995). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya. FKUI. Jakarta.




LAPORAN PENDAHULUAN
SEROSIS HEPATIS

A. Pengertian
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

B. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.

C. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.



D. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.

E. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis
• Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus, khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obat yang potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum dicatat dan dilaporkan.
Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin.

Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
Diagnosa Keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat


4. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap 1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2. Memberikan nutrien tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri • Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
• Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
• Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
• Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
Diagnosa keperawatan : perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
Tujuan : pemeliharaan suhu tubuh yang normal.
1. Catat suhu tubuh secara teratur.

2. Motivasi asupan cairan




3. Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.

4. Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.


5. Hindari kontak dengan infeksi.


6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi. 1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6. Mengurangi laju metabolik. • Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.
• Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.
Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.
1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.


3. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.


4. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya. 1. Meminimalkan pembentukan edema.
2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5. Meningkatkan mobilisasi edema.
6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar. • Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
• Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
• Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
• Mengubah posisi dengan sering.
Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu.
Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit.
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion pelembut (emolien).
3. Jaga agar kuku pasien selalu pendek. 1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan. • Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
• Melaporkan tidak adanya pruritus.
• Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
• Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
Diagnosa keperawatan : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
Tujuan : Perbaikan status nutrisi.
1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4. Pantang alkohol.
5. Pelihara higiene oral sebelum makan.
6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal. 1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3. Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.
4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6. Dapat mengurangi frekuensi mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.

9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius. • Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
• Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
• Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
• Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
• Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
• Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
• Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
• Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
• Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.
• Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
Tujuan : Pengurangan resiko cedera.
1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.
12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).
14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :
a. Mempertahankan lingkungan yang aman.
b. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan.
c. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
d. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi.
e. Melakukan kompres dingin jika diperlukan.
f. Mencatat lokasi tempat perdarahan.
g. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan penyuntikan.
15. Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat. 1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.
14. Meningkatkan keamanan pasien.
a. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.
b. Mengurangi resiko epistaksis sekunder akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
c. Mencegah trauma pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
d. Meningkatkan proses penyembuhan.
e. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.
f. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.
g. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.

• Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
• Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
• Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
• Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
• Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.
• Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
• Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
• Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).
• Tidak mengalami efek samping pemberian obat.
• Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
• Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan. 1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut. • Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
• Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
• Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
• Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
• Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
• Merasakan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.
1. Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.
3. Catat asupan dan haluaran cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.
5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan. 1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan. • Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.
• Menggunakan diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.
• Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
• Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
• Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan.
Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.
Tujuan : Perbaikan status mental.
1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.
3. Berikan perlindungan terhadap infeksi.
4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.
6. Batasi pengunjung.
7. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.
8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.
9. Bangunkan dengan interval. 1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.
3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien. • Memperlihatkan perbaikan status mental.
• Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal.
• Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
• Melaporkan pola tidur yang normal.
• Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan aktivitas di lingkungannya.
• Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.
• Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.
• Melaporkan kontinensia fekal dan urin.
• Tidak mengalami kejang.
Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan.
1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2. Hemat tenaga pasien.
3. Ubah posisi dengan interval.
4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.
a. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.
b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
c. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi. 1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
b. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.
c. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura). • Mengalami perbaikan status pernapasan.
• Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.
• Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat.
• Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
• Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.
• Memperlihatkan gas darah yang normal.
• Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis.


DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.




ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TB PARU & HEMAPTOE

Pangertian
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma pada paru.

Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M.,1999).

Faktor Resiko
 Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari Asia Tenggara.
 Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan penurunan status kesehatan.
 Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
 Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi kanker.

Patofisiologi

Mycobacterium TBC

Masuk jalan napas

Tinggal di Alveoli

Tanpa infeksi Inflamasi disebar oleh limfe

Fibrosis Timbul jar. Ikat sifat
Elastik & tebal.
Kalsifikasi
- Batuk Alaveolus tidak
- Spuntum purulen Exudasi kembali saat
- Hemoptisis ekspirasi
- BB menurun Nekrosis/perkejuan
Gas tidak dapat
Kavitasi berdifusi dgn. Baik.

Sesak

Kuman

Infeksi primer

Sembuh total Sembuh dgn. Sarang Komplikasi
ghon - Menyebar ke seluruh
tubuh scr. Bronkhogen,
limphogen, hematogen

Infeksi post primer Kuman dormant
Muncul bertahun kemudian


Diresorpsi kembali/sembuh Membentuk jar. keju Sarang meluas
Jika dibatukkan sembuh dgn.
membentuk kavitas. Jar. Fibrotik

.

Kavitas meluas Memadat & membungkus diri Bersih & menyembuh
Membentuk sarang tuberkuloma

Gejala Klinis
1. Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa.
2. Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5. Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

Pengkajian (Doegoes, 1999)
1. Aktivitas /Istirahat
- Kelemahan umum dan kelelahan.
- Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
- Sulit tidur dgn. Demam/kerungat malam.
- Mimpi buruk.
- Takikardia, takipnea/dispnea.
- Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
2. Integritas Ego :
- Perasaan tak berdaya/putus asa.
- Faktor stress : baru/lama.
- Perasaan butuh pertolongan
- Denial.
- Cemas, iritable.

3. Makanan/Cairan :
- Kehilangan napsu makan.
- Ketidaksanggupan mencerna.
- Kehilangan BB.
- Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri :
- Nyeri dada saat batuk.
- Memegang area yang sakit.
- Perilaku distraksi.
5. Pernapasan :
- Batuk (produktif/non produktif)
- Napas pendek.
- Riwayat tuberkulosis
- Peningkatan jumlah pernapasan.
- Gerakan pernapasan asimetri.
- Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
- Suara napas : Ronkhi
- Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan :
- Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
- Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial :
- Perasaan terisolasi/ditolak.

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan infornmasi kurang / tidak akurat.

Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
 Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
 Mendemontrasikan batuk efektif.
 Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.

Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
 Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
 Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
 Menu makanan yang disajikan habis
 Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.
2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/shli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau makanan per sonde.

DAFTAR PUSTAKA


Amin, M., (1999). Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :Airlangga Univerciti Press

Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC

(2000). Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta : EGC

Doengoes, (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Makalah Kuliah . Tidak diterbitkan.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.



LAPORAN PENDAHULUAN

“ LOW BACK PAIN “
( L B P )


A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu / seseorang yang mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya(2) . Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1 (2,4).
B. Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai). Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas (2,4) .
C. Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain(1,3).
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ internal yang lebih besar. Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat(1,3).
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi nyeri(1,3).
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting pada aktifitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung(2,4).
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (2,4).
D. Manifestasi Klinis
Pasien biasanya mengeluh nyeri punggung akut maupun nyeri punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya. Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.
Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan manifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable lingkungan dan situasi kerja (2,4).
E. Evaluasi Diagnostik
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung bawah. Sinar X-vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis. USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang (2).
F. Penatalaksanaan
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutut dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi , gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia (2,4).
G. Pengkajian
Pasien nyeri pungung dibimbing untuk menjelaskan ketidaknyamanannya (misal lokasi, berat, durasi, sifat, penjalaran dan kelemahan tungkai yang berhubungan). Penjelasan mengenai bagaimana nyeri timbul dengan tindakan tertentu atau dengan aktifitas dimana otot yang lemah digunakan secara berlebihan dan bagaimana pasien mengatasinya. Informasi mengenai pekerjaan dan aktifitas rekreasi dapat membantu mengidentifikasi area untuk pendidikan kesehatan.
Selama wawancara ini, perawat dapat melakukan observasi terhadap postur pasien, kelainan posisi dan cara jalan. Pada pemeriksaan fisik, dikaji lengkungan tulang belakang, Krista iliaka dan kesimetrisan bahu. Otot paraspinal dipalpasi dan dicatat adanya spasme dan nyeri tekan. Pasien dikaji adanya obesitas karena dapat menimbulkan nyeri punggung bawah (2).
H. Diagnosa Keperawatan (2)
1. Nyeri b.d masalah muskuloskeletal
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, dan berkurangnya kelenturan
3. Kurang pengetahuan b.d teknik mekanika tubuh melindungi punggung
4. Perubahan kinerja peran b.d gangguan mobilitas dan nyeri kronik
5. Gangguan nutrisi : lebih dari kebutuhan tubuh b. d obesitas
I. Intervensi dan Implementasi (2)
1. Meredakan nyeri
Untuk mengurangi nyeri perawat dapat menganjurkan tirah baring dan pengubahan posisi yang ditentukan untuk memperbaiki fleksi lumbal. Pasien diajari untuk mengontrol dan menyesuaikan nyeri yang dilakukan melalui pernafasan diafragma dan relaksasi dapat membantu mengurangi tegangan otot yang berperan pada nyeri punggung bawah. Mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dengan aktifitas lain missal membaca buku, menonton TV maupun dengan imajinasi (membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal tersebut).
Masase jaringan lunak dengan lembut sangat berguna untuk mengurangi spasme otot, memperbaiki peredaran darah dan mengurangi pembendungan serta mengurangi nyeri. Bila diberikan obat perawat harus mengkaji respon pasien pada setiap obat.


2. Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilitas fisik dipantau melalui pengkajian kontinu. Perawat mengkaji bagaimana pasien bergerak dan berdiri. Begitu nyeri punggung berkurang, aktifitas perawatan diri boleh dilakukan dengan regangan yang minimal pada struktur yang cedera. Perubahan posisi harus dilakukan perlahan dan dibantu bila perlu. Gerakan memutar dan melenggok perlu dihindari. Pasien didorong untuk berganti-ganti aktifitas berbaring, duduk dan berjalan-jalan dalam waktu lama. Perawat perlu mendorong pasien mematuhi program latihan sesuai yang ditetapkan, latihan yang salah justru tidak efektif.
3. Meningkatkan mekanika tubuh yang tepat
Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar.
4. Pendidikan kesehatan
Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar
5. Memperbaiki kinerja peran
Tanggung jawab yang berhubungan dengan peran mungkin telah berubah sejak terjadinya nyeri punggung bawah. Begitu nyeri sembuh, pasien dapat kembali ke tanggung jawab perannya lagi. Namun bila aktifitas ini berpengaruh terhadap terjadinya nyeri pungung bawah lagi, mungkin sulit untuk kembali ke tanggung jawab semula tersebut tanpa menanggung resiko terjadinya nyeri pungggung bawah kronik dengan kecacatan dan depresi yang diakibatkan.
6. Mengubah nutrisi dan penurunan berat badan
Penurunan BB melalui penyesuaian cara makan dapat mencegah kekambuhan nyeri punggung, dengan melalui rencana nutrisi yang rasional yang meliputi perubahan kebiasaan makan untuk mempertahankan BB yang diinginkan.
J. Evaluasi (2)
1. Mengalami peredaan nyeri
- Istirahat dengan nyaman
- Mengubah posisi dengan nyaman
- Menghindari ketergantungan obat
2. Menunjukkan kembalinya mobilitas fisik
- Kembali ke aktifitas secara bertahap
- Menghindari posisi yang menyebabkan ketidaknyamanan otot
- Merencanakan istirahat baring sepanjang hari
3. Menunjukkan mekanika tubuh yang memelihara punggung
- Perbaikan postur
- Mengganti posisi sendiri untuk meminimalkan stress punggung
- Memperlihatkan penggunaan mekanika tubuh yang baik
- Berpartisipasi dalam program latihan
4. Kembali ke tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
- Menggunakan teknik menghadapi masalah untuk menyesuaikan diri dengan situasi stress
- Memperlihatkan berkurangnya ketergantungan kepada orang lain untuk perawatan diri
- Kembali ke pekerjaan bila nyeri punggung telah sembuh
- Kembali ke gaya hidup yang produktif penuh
5. Mencapai BB yang diinginkan
- Mengidentifikasi perlunya penurunan BB
- Berpartisipasi dalam pengembangan rencana penurunan BB
- Setia dengan program penurunan BB














DAFTAR PUSTAKA :
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997




HERNIA

A. Definisi
- Adalah suatu benjolan/penonjolan isi perut dari rongga normal melalui lubang kongenital atau didapat(1).
- Adalah penonjolan usus melalui lubang abdomen atau lemahnya area dinding abdomen (3).
- Is the abnormal protrusion of an organ, tissue, of part of an organ through the structure that normally cotains it (1).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah penonjolan dari isi perut dalam rongga normal melalui lubang yang kongenital ataupun didapat.

B. Etiologi
Hernia dapat terjadi karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar, atau akibat tekanan rongga perut yang meninggi (2).

C. Klasifikasi
1. Menurut/tofografinya : hernia inguinalis, hernia umbilikalis, hernia femoralis dan sebagainya.
2. Urut isinya : hernia usus halus, hernia omentum, dan sebagainya.
3. Menurut terlibat/tidaknya : hernia eksterna (hernia ingunalis, hernia serofalis dan sebagainya).
Hernia inferna tidak terlihat dari luar (hernia diafragmatika, hernia foramen winslowi, hernia obturatoria).
4. Causanya : hernia congenital, hernia traumatika, hernia visional dan sebagainya.
5. Keadaannya : hernia responbilis, hernia irreponibilis, hernia inkarserata, hernia strangulata.



6. Nama penemunya :
a. H. Petit (di daerah lumbosakral)
b. H. Spigelli (terjadi pada lenea semi sirkularis) di atas penyilangan rasa epigastrika inferior pada muskulus rektus abdominis bagian lateral.
c. H. Richter : yaitu hernia dimana hanya sebagian dinding usus yang terjepit.
7. Beberapa hernia lainnya :
a. H. Pantrolan adalah hernia inguinalis dan hernia femoralis yang terjadi pada satu sisi dan dibatasi oleh rasa epigastrika inferior.
b. H. Skrotalis adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke skrotum secara lengkap.
c. H. Littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum Meckeli.

D. Tanda dan Gejala
Umumnya penderita menyatakan turun berok, burut atau kelingsir atau menyatakan adanya benjolan di selakanganya/kemaluan.bnjolan itu bisa mengecil atau menghilang, dan bila menangis mengejan waktu defekasi/miksi, mengangkat benda berat akan timbul kembali. Dapat pula ditemukan rasa nyeri pada benjolan atau gejala muntah dan mual bila telah ada komplikasi.







E. Pathways













F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diameter anulus inguinalis

G. Penatalaksanaan (2)
- Pada hernia inguinalis lateralis reponibilis maka dilakukan tindakan bedah efektif karena ditakutkan terjadi komplikasi.
- Pada yang ireponibilis, maka diusahakan agar isi hernia dapat dimasukkan kembali. Pasien istirahat baring dan dipuasakan atau mendapat diit halus. Dilakukan tekanan yang kontinyu pada benjolan misalnya dengan bantal pasir. Baik juga dilakukan kompres es untuk mengurangi pembengkakan. Lakukan usaha ini berulang-ulang sehingga isi hernia masuk untuk kemudian dilakukan bedah efektif di kemudian hari atau menjadi inkarserasi.
- Pada inkerserasi dan strangulasi maka perlu dilakukan bedah darurat.
Tindakan bedah pada hernia ini disebut herniotomi (memotong hernia dan herniorafi (menjahit kantong hernia). Pada bedah efektif manalis dibuka, isi hernia dimasukkan,kantong diikat dan dilakukan “bassin plasty” untuk memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bedah darurat, maka prinsipnya seperti bedah efektif. Cincin hernia langsung dicari dan dipotong. Usus dilihat apakah vital/tidak. Bila tidak dikembalikan ke rongga perut dan bila tidak dilakukan reseksi usus dan anastomois “end to end”.

H. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul (3)
1. Nyeri (khususnya dengan mengedan) yang berhubungan dengan kondisi hernia atau intervensi pembedahan.
Hasil yang diperkirakan : dalam 1 jam intervensi, persepsi subjektif klien tentang ketidaknyamanan menurun seperti ditunjukkan skala nyeri.
Indikator objektif seperti meringis tidak ada/menurun.
a. Kaji dan catat nyeri
b. Beritahu pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk dan mengangkat benda yang berat.
c. Ajarkan bagaimana bila menggunakan dekker (bila diprogramkan).
d. Ajarkan pasien pemasangan penyokong skrotum/kompres es yang sering diprogramkan untuk membatasi edema dan mengendalikan nyeri.
e. Berikan analgesik sesuai program.

2. Retensi urine (resiko terhadap hal yang sama) yang berhubungan dengan nyeri, trauma dan penggunaan anestetik selama pembedahan abdomen. Hasil yang diperkirakan : dalam 8-10 jam pembedahan, pasien berkemih tanpa kesulitan. Haluaran urine  100 ml selama setiap berkemih dan adekuat (kira-kira 1000-1500 ml) selama periode 24 jam.
a. Kaji dan catat distensi suprapubik atau keluhan pasien tidak dapat berkemih.
b. Pantau haluarna urine. Catat dan laporkan berkemih yang sering < 100 ml dalam suatu waktu. c. Permudah berkemih dengan mengimplementasikan : pada posisi normal untuk berkemih rangsang pasien dengan mendengar air mengalir/tempatkan pada baskom hangat. 3. Kurang pengetahuan : potensial komplikasi GI yang berkenaan dengan adanya hernia dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan mereka. Hasil yang diperkirakan : setelah instruksi, pasien mengungkapkan pengetahuan tentang tanda dan gejala komplikasi GI dan menjalankan tindakan yang diprogramkan oleh pencegahan. a. Ajarkan pasien untuk waspada dan melaporkan nyeri berat, menetap, mual dan muntah, demam dan distensi abdomen, yang dapat memperberat awitan inkarserasi/strangulasi usus. b. Dorong pasien untuk mengikuti regumen medis : penggunaan dekker atau penyokong lainnya dan menghindari mengejan meregang, konstipasi dan mengangkat benda yang berat. c. Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi diit tinggi residu atau menggunakan suplement diet serat untuk mencegah konstipasi, anjurkan masukan cairan sedikitnya 2-3 l/hari untuk meningkatkan konsistensi feses lunak. d. Beritahu pasien mekanika tubuh yang tepat untuk bergerak dan mengangkat. DAFTAR PUSTAKA 1. Core Principle and Practice of Medical Surgical Nursing. Ledmann’s. 2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II. Medica Aesculaplus FK UI. 1998. 3. Keperawatan Medikal Bedah. Swearingen. Edisi II. EGC. 2001. 4. Keperawatan Medikal Bedah. Charlene J. Reeves, Bayle Roux, Robin Lockhart. Penerjemah Joko Setyono. Penerbit Salemba Media. Edisi I. 2002. 5. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar UI. FK UI. RANGKUMAN MEDICAL BEDAH BY Doddy Yumam P SKep PROSTAT Adalah kelenjar dibawah VU laki-laki Fungsi : keluarkan cairan sifat basa , menetralisir cairan dalam vagina (sifat asam) supaya menjadi normal untuk media spermatozoa BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) merupakan jepitan jalan kencing (uretra) sebabkan VU penuh , Uretra (Hidroureter), ginjal (hidroneprosis), CRF!, atau Ngompol (netes) Prognosis : 50% usia>50, 60% usia>60, 70% usia >70, 80% usia >80, 90% usia >90 dengan gejala jelas
Gejala :
1. BAK sulit keluar ( Desistensi )
2. Pancaran melemah (wind urine string)
3. BAK harus mengejan
4. Prolong micturition (BAK lama)
5. Rasa pengosongan tidak puas (filing not)
6. Urgensi (tidak bisa menahan BAK = ngompol) atau urgensi inkontenisia
7. Frekwensi BAK>> (< 2 jam) 8. Nocturia (BAK malam hari > 1X)
9. Terminal brefing (terakhir menetes –netes)
10. Overflow inkontenesia (ngompol tapi VU penuh)
Pengobatan:
1. TURP (hasil > baik, kematian 1-2 %
2. Open prostatektomi (>tuntas, resiko kematian>)
3. Non pembedahan :
 Kecilkan prostat ( pinasterid / bagus utuk protat>> kurang lebih 3 bulan, efek samping turunkan kemampuan seks, rambut>>lebat)
 Lebarkan uretra (alpha bloker digunakan sebelum tidur, kurang lebih 2 tahun prostat <<, efek samping TD turun drastis/ sinkop, TD normal turun sedikit) obat Cardura (USA), Hytrin (INGGRIS) turunkan TD, Harnal (jepang) TD stabil ANEMIA Adalah kekurangan ertrosit (HB < Normal / < 11 (Depkes), WHO 9<12) Cirinya : pucat, lesu, letih, lemas Penyebab (prinsipnya ) : 1. Produksi << produksi darah oleh sunsum tulang(rusak)  Bahan << ( protein dan zat besi/FE<<, warna MDT hipokronik, mikrositik, feriti<<, TIBC,IBC meningkat, kurang asam folat / anemia megaloblastik  Aplatika / hipoplaktik ( sunsum tulang kering disebakan pestisida, radiasi nuklir, akan menjadi leukemia, multipel mioma 2. Blood loss (kekurangan darah akibat mens>>, cacing / infeksia nematoda, prolab recti, hemorhoid, hematemesis, mnelena, hematuria, epitaksis, gusi berdarah), periksa darah urin,feses, MDT
3. Kerusakan eritrosit (destruksi) ; penyakit malaria, talasemia, anemia bulat sabit, sunsum tulang sebabkan eritrosit tidak normal, uremia, panas>>
Terapi tergantung dari penyebabnya!!
TYPOID
Ciri khas : demam tinggi > 7 hari, mual, muntah nyeri
Diagnosis : gal kultur (ada salmonela +), suspeck widal O 1/320 , H 1/640
Therapi : Quinolon (cipro, levo amox) untuk wanita hamil ceftriaxon
DHF
Kriteria WHO : panas 2-7 hari, AT turun, plasma leked, HMT meningkat, Hmt turun sudah infus
Therapi : rehidrasi, periksa AT,Hmt /6-8 jam, anti piretik, anti emetik
MALARIA
Diagnosis : panas, menggigil, berkeringat, darah ditemukan plsmodium, tebal : jumlah plasmodium, tipis : jenis plasmodium
Resti plasmodium falcifarum !!
Obat wanita hamil : kloroquin, fansidar
HIPERTENSI
Definisi : S > 140, D>90
Therapi non farmakologi : diet rendah garam, ketenangan jiwa/mental, dengan tingkatkan agama/ bimbingan agama.
Therapi farmakologi : ACEI captopril,lanopril,inidapril, efek batuk, kontra indikasi hamil!! ; alpha bloker : BPH ; lansia : HCT< amlodipin cegah pikun ; stroke asrtan ASMA Ada riwayat sesak nafas sejak kecil (whesing !!), saat normal suara nafas normal, saat serangan ekskresi diperpanjang Therapi : bronchodilator (salbutamol, aminopilin, meptin) ; cegah inflamasi (pulmicort,budesonid) Aminopilin, teopilin beban jantung >>, maag, wanita hamil!!


TBC
Batuk kronis > 3 minggu, ditemukan BTA, sub febris, kurus/BB turun, nafsu makan turun, limfonodi, perut besar.
Obat : RHZE
Kontra indikasi wanita hamil streptomisin !!!
GASTRITIS
Adalah peradangan gaster (ulkus peptikum / food pain ; ulkus duodenium pain food, relaksasi /gemuk
Therapi : asam lambung Normal :antasid ; asam lambung kurang / lebih produksi : PPI/omz, lansoprasol,H2 bloker : rantin, famotidin, impepsa campuran keduanya
Anti biotik : bila ada heliop / bacter dengan metro, tetra, amox
STROKE
Factor resiko : kegemukan 2-4x; merokok 2-4x ; alcohol 2-4 x ; hipertensi 2-4 x ; DM 2-8 x; keturunan ayah <55, ibu>60 menurun ; kol>> ; trigliserid>>kepribadian type a ; AF 6-18x ; riwayat TIA
Ciri khas : Senyum perot ; Tangan tdk dapat digerakan ; Raiso mlku ; Omongan kacau ; Kebiasaan aneh muncul / Kesemutan ; Emosional
Penanganan : Santun ; Taati dokter ; Rubah posisi ; Olah raga sesuai kemampuan ;Keagamaan tingkatkan ; Empati, Emosi dikendalikan
GOUT
Ciri khas : ada topus (jendolan tulang), nyeri mendadak, rajanya sakit!!
Penanganan : banyak minum, rendah purin (JASBUKEL!!) ; obat probenesid ( asam urat cepat keluar
RA
Cirri kas : nyeri > 1 jam kurang lebih 1 minggu , ADA NODUL SENDI
Obat : anti radang NSAID, CLOROQUIN
KATARAK
Klinis lihat orang balik air terjun, silau, kelihatan hitam
Dibedakan : congenital, senilis, diabetikum, traumatika
Pengobatan operasi !!
ISK
Klinis : leko gelap + / pucat +, eritrosit +, angka kuman > 100000/cc dari kultur ; nyeri BAK, punggung




SEPSIS
Definisi
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap bakteriemia. Pada saat bakteriemia menyebabkan perubahan dalam sirkulasi menimbulkan penurunan perfusi jaringan dan terjadi shock sepsis. Sekitar 40% pasien sepsis disebabkan oleh mikroorganisme gram-positive dan 60% disebabkan mikroorganisme gram-negative. Pada orang dewasa infeksi saluran kencing merupakan sumber utama terjadinya infeksi. Di rumah sakit kemungkinan sumber infeksi adalah luka dan kateter atau kateter intravena. Organisme yang paling sering menyebabkan sepsis adalah staphylococcus aureus dan pseudomonas sp.
Tanda dan Gejala
Pasien dengan sepsis dan shock sepsis merupakan penyakit akut. Pengkajian dan pengobatan sangat diperlukan. Pasien dapat meninggal karena sepsis. Gejala umum adalah:
a. demam
b. berkeringat
c. sakit kepala
d. nyeri otot
Cari tahu sumber infeksi utama. Pertimbangkan sumber infeksi berikut:
a. infeksi saluran kencing
b. infeksi saluran pernapasan
c. infeksi kulit
d. meningitis
e. endokarditis
f. infeksi intra abdomen
g. osteomyelitis
h. penyakit inflamasi pelvis
i. penyakit menular seksual
Pada pasien sepsis kemungkinan ditemukan:
a. perubahan sirkulasi
b. penurunan perfusi perifer
c. tachycardia
d. tachypnea
e. pyresia atau temperature <36oC f. hypotensi Pengkajian Selalu menggunakan pendekatan ABCDE. Airway a. yakinkan kepatenan jalan napas b. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal) c. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU Breathing a. kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan b. kaji saturasi oksigen c. periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis d. berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask e. auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada f. periksa foto thorak Circulation a. kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan
b. monitoring tekanan darah, tekanan darah <>
c. periksa waktu pengisian kapiler
d. pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar
e. berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
f. pasang kateter
g. lakukan pemeriksaan darah lengkap
h. siapkan untuk pemeriksaan kultur
i. catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36oC
j. siapkan pemeriksaan urin dan sputum
k. berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.
Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik).
a. kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
Tanda ancaman terhadap kehidupan
Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, adapun indikasinya sebagai berikut:
a. penurunan fungsi ginjal
b. penurunan fungsi jantung
c. hyposia
d. asidosis
e. gangguan pembekuan
f. acute respiratory distress syndrome (ARDS) – tanda cardinal oedema pulmonal.
Shock septic didefinisikan sebagai sesis yang berat dengan tekanan darah sistolik <90>
Diposkan o



ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT

A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.


Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :

1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
1. Gegar kepala ringan
2. Memar otak
3. Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
1. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
2. Hipotensi sistemik
3. Hipoksia
4. Hiperkapnea
5. Udema otak
6. Komplikasi pernapasan
7. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

C. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien. 3. Pemeriksaan Fisik Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. 4. Pemeriksaan Penujang • CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. • MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. • Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. • Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis • X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang. • BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil • PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak • CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. • ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial • Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial • Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran. Penatalaksanaan Konservatif: • Bedrest total • Pemberian obat-obatan • Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran) Prioritas Perawatan: 1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak 2. Mencegah komplikasi 3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal 4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga 5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi. Tujuan: 1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap 2. Komplikasi tidak terjadi 3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain 4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan 5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah: 1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. 2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum. 3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak 4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma) 5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. C. INTERVENSI Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal. Rencana tindakan : • Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik. • Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume. • Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas. • Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi. • Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. • Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum. Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada. Rencana tindakan : • Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube. • Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. • Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia. • Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik. Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial. Rencana tindakan : Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran. Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Dapat menurunkan hipoksia otak. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma ) Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat. Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat. Rencana Tindakan : Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih. Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan. Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien. Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang Kriteri evaluasi : Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat. Rencana tindakan : • Bina hubungan saling percaya. Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan. • Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan. • Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga. • Berikan dorongan spiritual untuk keluarga. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi Rencana tindakan : • Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit. • Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan. • Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol. • Ganti posisi pasien setiap 2 jam • Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit. • Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali. • Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang. • Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam. • Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2. DAFTAR KEPUSTAKAAN Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company. Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company. Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta. Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press DAMPAK KEPERAWATAN KRITIS BAGI PERAWAT Dampak keperawatan kritis bagi perawat dengan menggali di lapangan tentang dampak-dampak (aspek fisik, psikologi dan sosial) yang dirasakan oleh perawat selama bekerja di unit keperawatan intensif. A. Positif 1. merupakan tantangan tantangan dalam artian menghadapi pasien-pasien kritis, misalnya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila pasien kritis bisa terselamatkan dan menjadi baik (survive) 2. ilmu selalu berkembang 3. cepat tanggap dengan kondisi pasien 4. memiliki skill atau keterampilan khusus yang tidak semua perawat bisa dan mampu melakukannya B. Negatif 1. stress fisik sangat tinggi dikarenakan harus memantau kondisi pasien selama 24 jam 2. stress psikologis tingkat kecemasa dan ketegang karena selalu dihadapkan dengan kondisi pasien yang kritis dan tidak stabil 3. aspek sosial: terisolir atau kuramg sosialisasi dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan yang lain 4. kurang istirahat dikarenakan tidak ada waktu khusus untuk istirahat 5. tidak ada insentif khusus pada perawat ruang intensif (sama dengan perawat ruang perwatan lain) 6. kekhawatiran akan tertularnya penyakit infeksi (infeksi nosokomoal tinggi) GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF) A. Pengertian Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya. Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau anuria. B. Etiologi dan Patofisiologi Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-fktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung. C. Patofisiologi Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel. Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi kongesti sistemik dan edema. Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang. Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung. Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif. D. Penanganan Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal, kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang lebih agresif . Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang sederhan namun sangat tepat dalam pennganan gagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jngn sampai memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk mengendalikan gejala. E. Pemeriksaan Diagnostik 1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular. 2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular. 3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding. 4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas. 1. Aktivitas/istirahat a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat. b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah pad aktivitas. 2. Sirkulasi a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen. b. Tanda : 1) TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan). 2) Tekanan Nadi ; mungkin sempit. 3) Irama Jantung ; Disritmia. 4) Frekuensi jantung ; Takikardia. 5) Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah 6) posisi secara inferior ke kiri. 7) Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat 8) terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah. 9) Murmur sistolik dan diastolic. 10) Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik. 11) Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian 12) kapiler lambat. 13) Hepar ; pembesaran/dapat teraba. 14) Bunyi napas ; krekels, ronkhi. 15) Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting 16) khususnya pada ekstremitas. 3. Integritas ego a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis) b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah tersinggung. 4. Eliminasi Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia), diare/konstipasi. 5. Makanan/cairan a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic. b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting). 6. Higiene a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri. b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal. 7. Neurosensori a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan. b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung. 8. Nyeri/Kenyamanan a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot. b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri. 9. Pernapasan a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan. b. Tanda : 1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan. 2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum. 3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal) 4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar. 5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi. 6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis. 10. Keamanan Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot, kulit lecet. 11. Interaksi sosial Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan. 12. Pembelajaran/pengajaran a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya : penyekat saluran kalsium. b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan. B. Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ; a. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola EKG b. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi). c. Bunyi ekstra (S3 & S4) d. Penurunan keluaran urine e. Nadi perifer tidak teraba f. Kulit dingin kusam g. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada. Tujuan Klien akan : Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung , Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung. Intervensi a. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel. b. Catat bunyi jantung Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup. c. Palpasi nadi perifer Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan. d. Pantau TD Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi. e. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena. f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi) Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti. 2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat. Tujuan /kriteria evaluasi : Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri, Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan. Intervensi a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta. Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung. b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat. Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan. c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas. Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas. d. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi) Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali, 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal. Tujuan /kriteria evaluasi, Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema., Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual. Intervensi : a. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi. Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring. b. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada. c. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut. Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis. d. Pantau TD dan CVP (bila ada) Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung. e. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi. Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal. f. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) g. Konsul dengan ahli diet. Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium. 4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-alveolus. Tujuan /kriteria evaluasi, Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi. Intervensi : a. Pantau bunyi nafas, catat krekles Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut. b. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam. Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen. c. Dorong perubahan posisi. Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia. d. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri. Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru. e. Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi 5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan. Tujuan/kriteria evaluasi Klien akan : Mempertahankan integritas kulit, Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit. Intervensi a. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus. Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi. b. Pijat area kemerahan atau yang memutih Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan. c. Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif. Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah. d. Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi. Rasional : Terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat kerusakan. e. Hindari obat intramuskuler Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi.. 6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi, terulangnya episode GJK yang dapat dicegah. Tujuan/kriteria evaluasi Klien akan : a. Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi. b. Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk menangani. c. Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu. Intervensi a. Diskusikan fungsi jantung normal Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan. b. Kuatkan rasional pengobatan. Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala. c. Anjurkan makanan diet pada pagi hari. Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk mencegah/membatasi menghentikan tidur. d. Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah. DAFTAR PUSTAKA Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 - 450 Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249. Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 1982, Hal.206 - 208 Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2, Edisi 4, Tahun 1995, Hal ; 704 – 705 & 753 - 763. KOMPLIKASI PGK Gagal Jantung Penderita PGK juga berisiko mengalami gagal jantung atau penyakit jantung iskemik. Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung bisa menyerang jantung bagian kiri, bagian kanan atau keduanya. Mengapa terjadi gagal jantung? Gagal jantung pada PGK biasanya didahului oleh anemia. Jika tidak diobati, anemia pada PGK bisa menimbulkan masalah yang serius. Jumlah sel darah merah yang rendah akan memicu jantung sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal ini menyebabkan pelebaran bilik jantung kiri yang disebut LVH (left ventricular hypertrophy). Lama kelamaan, otot jantung akan melemah dan tidak mampu memompa darah sebagaimana mestinya sehingga terjadilah gagal jantung. Hal ini dikenal dengan nama sindrom kardiorenal. Apa yang Anda rasakan? 1. Sesak napas 2. Merasa lelah 3. Tidak ada nafsu makan 4. Bengkak di pergelangan kaki, kaki, tungkai (kadang perut) 5. Batuk (yang semakin memburuk pada malam hari atau ketika berbaring) 6. Berat badan bertambah 7. Sering berkemih Berat ringannya gagal jantung, biasanya dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap kegiatan Anda sehari-hari: 1. Derajat 1: Tanpa keluhan - Anda masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak napas 2. Derajat 2: Ringan - aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan atau sesak napas, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka kluhan pun hilang 3. Derajat 3: Sedang - aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan atau sesak napas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan 4. Derajat 4: Berat - tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari, bahkan pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas. Pemeriksaan yang Anda jalani Selain memperoleh keterangan yang mendukung dari hasil wawancara dan pemeriksaan fisik, dokter biasanya melakukan serangkaian pemeriksaan guna menunjang diagnosis gagal jantung: 1. EKG (elektrokardiogram): untuk mengukur kecepatan dan keteraturan denyut jantung 2. Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung, serta menilai keadaan ruang jantung dan fungsi katup jantung. Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. 3. Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung, penimbunan cairan di paru-paru atau penyakit paru lainnya. 4. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type natriuretic peptide) yang pada gagal jantung akan meningkat. Bagaimana mengatasinya? 1. Perubahan gaya hidup • Diet rendah garam • Membatasi asupan cairan • Berhenti merokok 2. Obat-obatan, diberikan untuk membantu memperbaiki fungsi jantung dan meringankan gejala: • Diuretik: Untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan • Penghambat ACE (ACE inhibitors): untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung • Penyekat beta (beta blockers): Untuk mengurangi denyut jantung dan menurunkan tekanan darah agar beban jantung berkurang • Digoksin: Memperkuat denyut dan daya pompa jantung KRETINISME Definisi yaitu perawakan pendek akibat kurangnya hormone tiroid dalam tubuh. Hormone tiroid diproduksi oleh kelenjar tiroid (gondok) terutama sel folikel tiroid. Penyebab paling sering dari kekurangan hormone tiroid adalah akibat kurangnya bahan baku pembuat. Bahan baku terpenting untuk produksi hormone tiroid adalah yodium yang biasanya terdapat pada garam yang beryodium. Kretinisme dapat terjadi bila kekurangan berat unsur yodium terjadi selama masa kehamilan hingga tiga tahun pertama kehidupan bayi. Hormone tiroid bekerja sebagai penentu utama laju metabolic tubuh keseluruhan, pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta fungsi saraf. Sebenarnya gangguan pertumbuhan timbul karena kadar tiroid yang rendah mempengaruhi produksi hormone pertumbuhan, hanya saja ditambah gangguan lain terutama pada susunan saraf pusat dan saraf perifer. Bila kurangnya hormone tiroid terjadi sejak janin, maka gejalanya adalah Defisiensi mental (IQ rendah) disertai salah satu gejala atau keduanya yaitu : - gangguan pendengaran (kedua telinga dan nada tinggi) dan gangguan wicara, gangguan cara berjalan (seperti orang kelimpungan) ,mata juling, cara berjalan yang khas, kurangnya massa tulang, terlambatnya perkembangan masa pubertas dll. - cebol dan hipotiroidisme. Bila kekurangan hormone tiroid akibat kurangnya yodium terjadi pada masa kanak-kanak atau masa pertumbuhan, maka hanya terjadi perawakan yang pendek tanpa retardasi mental. Penderita biasanya kurus dan mukanya tetap menua sesuai umur disertai cara berjalan yang khas. Kekurangan hormone tiroid dapat menyebabkan perawakan pendek tetapi kelebihan hormone tiroid tidak menambahn tinggi badan tetapi menyebabkan penyakit lain yaitu hipertiroidisme. Terapi yang paling baik untuk kretinisme adalah pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menkomsumsi makanan yang diberi garam beryodium atau pemberian suplemen yodium terutama pada daerah endemic kurangnya yodium. Pada kurangnya yodium yang terjadi pada masa kanak-kanak dapat diberikan terapi hormone tiroid dari luar misalnya levo-tiroksin hingga kadar tiroid stimulating hormone (TSH) normal dicapai sambil memberikan suplemen yodium untuk merangsang produksi hormone. Perawakan pendek juga dapat disebabkan oleh factor di luar hormonal diatas yaitu 1. Sindroma cushing 2. Pseudihipoparatiroidisme 3. Perawakan pendek konstitusional 4. Perawakan pendek genetic 5. Retardasi pertumbuhan dalam janin 6. Sindroma-sindroma dengan salah satu gejala perawakan pendek misalnya : sindroma turner dll 7. Penyakit-penyakit kronis yang menyebabkan malnutrisi dalam perkembangan penyakitnya. Manusia dikatakan berperawakan raksasa (gigantisme) apabila tinggi badan mencapai dua meter atau lebih. Penyebab utama gigantisme adalah kelebihan hormone pertumbuhan / growth hormone. Gigantisme dapat terjadi bila keadaan kelebihan hormone pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis tulang menutup atau masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi hormone pertumbuhan terutama adalah tumor pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormone pertumbuhan. Ciri utama gigantisme adalah perawakan yang tinggi hingga mencapai 2 meter atau lebih dengan proporsi tubuh yang normal. Hal ini terjdi keran jaringan lunak seperti otot dan lainnya tetap tumbuh. gigantisme dapat disertai gangguan penglihatan bila tumor membesar hingga menekan khiasma optikum yang merupakan jalur saraf mata. Yang lebih bahaya adalah bila kelebihan hormone pertumbuhan terjadi setelah masa pertumbuhan lewat atau lempeng epifisis menutup karena akan menimbulkan penebalan tulang terutama pada tulang akral tanpa diikuti pertumbuhan jaringan lunak disekitarnya yang disebut akromegali. Penebalan tulang terutama pada wajah dan anggota gerak. Akibat penonjolan tulang rahang dan pipi, bentuk wajah menjadi kasar secara perlahan dan tampak seperti monyet. Tangan dan kaki membesar dan jari-jari tangan kaki dan tangan sangat menebal. Sering terjadi gangguan saraf perifer akibat penekanan saraf oleh jaringan yang menebal. Dan karena hormone pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat penting tubuh, penderita sering mengalami problem metabolisme termasuk diabetes mellitus. Terapi yang paling tepat untuk kelebihan hormone pertumbuhan tak lain adalah pengangkatan tumor pada hipofisis sedini mungkin untuk mencegah efek negative darinya. Terlepas dari postur tubuh yang cebol ataupun raksasa, mereka dapat berfungsi dan memiliki keturunan layaknya manusia pada umumnya kecuali pada kretinisme dengan retardasi mental yang kurang dapat berfungsi normal. Perawakan yang pendek maupun tinggi berlebih ini tidak diturunkan kecuali yang terkait genetic. Sehingga bila asupan bahan baku cukup dan tidak ada tumor pada hipofisis maka diharapkan keturunan yang dihasilkan akan normal-normal saja. (Hygiena Kumala Suci) Sumber pustaka : Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam jilid III 4th edition.2006.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta Sherwood Lauralee.1996.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem 2nd edition.EGC.Jakarta Murray K.Robert,dkk.1997.Biokimia Harper 24th edition.EGC.Jakarta DIABETES DAPAT DISEMBUHKAN MENGGUNAKAN STEM CELLS 13 dari 15 pasien sembuh; studi yang lebih besar masih perlu dilakukan WASHINGTON – Baru-baru ini para peneliti AS berhasil menyembuhkan 13 dari 15 pasien diabetes tipe 1 di Brasil dengan menggunakan metode stem cells. Pasien tersebut sekarang tidak mengkonsumsi insulin lagi untuk menyembuhkan penyakitnya. Diabetes tipe 1 atau diabetes juvenile, adalah gangguan yang menyerang auto imunisasi yang banyak ditemukan di anak-anak atau remaja. Gangguan ini menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas, yang disebut sel beta. Insulin dibutuhkan tubuh untuk mengatur kadar gula dalam darah, karena jika tidak, dapat menyebabkan kerusakan organ dan berakibat kematian. Para peneliti yang terlibat dalam studi ini menyatakan ini pertama kalinya pengobatan menggunakan stem cell membuahkan hasil positif. Richard K. Burt, ketua peneliti dari Northwestern University in Chicago, mengatakan masih terlalu awal untuk mengklaim keberhasilan ini. Masih perlu dilakukan studi yang melibatkan lebih banyak pasien. Pengobatan dengan stem cell ini sendiri bukannya tanpa resiko. Darah pertama kali diambil dari pasien dengan kisaran umur 14 sampai 31, kemudian dibekukan. Pasien kemudian menjalani kemoterapi selama 4 hari untuk menghancurkan sistem kekebalannya dan juga diberikan antibiotik untuk melawan infeksi. Stem cell yang sudah berada di dalam sampel darah kemudian dibalikkan kedalam tubuh pasien. Pasien selanjutnya menjalani opname selama 3 minggu. Dr. Burt mengatakan idenya adalah me “reset” sistem kekebalan dengan cara menutup sistem kekebalan yang lama. Dengan menginjeksikan stem cell maka sistem kekebalan baru akan terbentuk dan sekaligus menghentikan kerusakan sel-sel penghasil insulin di pankreas. Prosedur ini dilakukan terhadap pasien yang baru didiagnosa menderita diabetes dalam jangka waktu 6 minggu. Pada masa tersebut belum terlalu banyak sel beta yang mengalami kerusakan. Studi ini dilakukan oleh para peneliti di the University of Sao Paulo, Ribeirao Preto, Brazil. Studi ini dilakukan di Brazil karena di AS tidak ada yang mau melakukannya. Saat ini tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit diabetes tipe 1. Diabetes tipe ini menyerang sekitar 2 juta warga AS. Tipe 1 berbeda dengan tipe 2 yang lebih umum. Tipe 2 berhubungan dengan kelebihan berat badan dan lebih sering menyerang orang usia mulai 45 ke atas. Pasien tipe 1 diharuskan mengkonsumsi insulin setiap hari. GLAUKOMA Glaukoma merupakan kelainan mata yang dicirikan dengan rusaknya saraf optikyang berfungsi untuk membawa pesan-pesan cahaya dari mata ke otak. Kerusakan saraf optik ini disebabkan oleh kelebihan cairan humor yang mengisi bagian dalam bola mata. Cairan mata yang diproduksi oleh jaringan-jaringan di depan bola mata ini sebenarnya berfungsi untuk membawa makanan untuk kornea dan lensa mata. Cairan mata juga akan mempertahankan tekanan di dalam bola mata agar bentuknya tetap terjaga dengan baik. Tekanan yang dihasilkan oleh cairan mata disebut tekanan intraokuler. Kelebihan cairan pada bola mata bisa terjadi karena produksinyayangterlalu banyakatau laju pengeluarannya ke dalam aliran darah yang terlalu sedikit. Ketika mulai terakumulasi dalam jumlah banyak, cairan mata menyebabkan tekanan yang semakin besar pada semua bagian mata termasuk saraf optiknya. Tekanan tersebut akhirnya akan menekan sel-sel dalam retina dan menghancurkan saraf mata. Akibatnya, saraf optik tidak mampu lagi membawa pesan-pesannya ke otak yang berakibat penglihatan seseorang menjadi berkurang. Bila tidak segera diobati, orang tersebut dapat mengalami kebutaan total. Terdapat lebih dari 20 macam bentuk glaukoma yang memiliki perkembangan serupa. Bentuk-bentuk glaukoma tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar sebagai berikut. 1. Glaukoma Sudut Terbuka Glaukoma sudutterbuka merupakan penyakityang bersifat progresif, artinya akan semakin memburuk bila tidak diobati. Awalnya hanya ada beberapa sel saraf yang rusak. Titik-titik kebutaan akan berkembang di daerah sel-sel saraf tersebut berada. Semakin lama, semakin banyak sel-sel saraf yang akan rusak dan semakin besar daerah penglihatan yang hilang. Akhirnya, seseorang dapat mengalami kebutaan total. Umumnya tidak ada gejala-gejala awal yang berarti pada glaukoma sudut terbuka. Kehilangan penglihatan terjadi dengan sangat lambat, seringkali berlangsung beberapa tahun. Bila hanya satu mata yang terkena, mata sebelahnya akan mengambil alih fungsi penglihatan. Karena itu, kebanyakan penderita glaukoma tidak menyadari bahwa penglihatannya telah menurun. Seseorang baru akan menyadari adanya gloukoma setelah penglihatannya berkurang parah dan akan lebih sulit diatasi. 2. Glaukoma Sudut Tertutup Glaukoma sudut tertutup terjadi dengan sangat cepat. Beberapa jenis kecelakaan atau perubahan pada mata dapat menyebabkan cairan mata berkembang secaratiba-tiba. Efek dari glaukoma jenis ini akan muncul dalam waktu sangat singkat. Pengobatan Secara Medis Secara medis, gloukoma dapat diatasi, baik dengan obat maupun operasi. Umumnya sebelum dilakukan operasi, akan dicoba penggunaan obat terlebih dahulu. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi glaukoma adalah obat yang dapat mengurangi tekanan intraokuler. Secara umum, obat tersebut bekerja untuk menurunkan laju produksi cairan mata atau meningkatkan laju pengeluarannya. Namun, semua obat konvensional tersebut memiliki efek samping yang cukup berbahaya seperti reaksi alergi, pandangan kabur, sakit kepala, radang mata, penurunan tekanan darah, penurunan detak jantung, dan timbulnya batu ginjal. Sebagai alternatif, glaukoma dapat diobati dengan pemberian vitamin dan mineral yang dapat menurunkan tekanan intraokuler, seperti vitamin C, B1 (thiamin), kromium, dan seng. NAMA glaukoma DEFINISI glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. terdapat 4 jenis glaukoma: • glaukoma sudut terbuka • glaukoma sudut tertutup • glaukoma kongenitalis • glaukoma sekunder. keempat jenis glaukoma ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata dan karenanya semuanya bisa menyebabkan kerusakan saraf optikus yang progresif. PENYAKIT HIRSCHPRUNG DEFINISI Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Usus besar PENYEBAB Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma Down. GEJALA Gejala-gejala yang mungkin terjadi: - segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir) - tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir - perut menggembung - muntah - diare encer (pada bayi baru lahir) - berat badan tidak bertambah - malabsorbsi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. Pada anak yang lebih besar, gejalanya adalah sembelit menahun, perut menggembung dan gangguan pertumbuhan. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum. Pemeriksaan yang biasa dilakukan: # Rontgen perut (menunjukkan pelebaran usus besar yang terisi oleh gas dan tinja) # Barium enema # Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara mengembangkan balon di dalam rektum) # Biopsi rektum (menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf). PENGOBATAN Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik. PERAWATAN RESTORATIF UNTUK MENCEGAH GAGAL-PULIH PADA LANJUT USIA DI MASYARAKAT PENDAHULUAN Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia --misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis-- dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Proses penuaan terjadi secara linier dan dapat digambarkan melalui tiga tahap, yaitu: 1. kelemahan (impairment), 2. ketidakmampuan (disability), dan 3. kecacatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan munculnya sindroma gagal-pulih (frailty). Proses gagal-pulih sejalan dengan adanya penurunan kapasitas fungsional yang dapat berkembang menjadi masalah kesehatan serius apabila aksesibilitas dan utilitas skrining kesehatan bagi lanjut usia masih tetap rendah. Gagal-pulih pada lanjut usia merupakan akibat dari bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial. Kondisi tersebut dapat mengganggu lanjut usia dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya. Lanjut usia yang mengalami gangguan mood akan mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi aktivitas kehidupan sehari-harinya (AKS) atau activities of daily living (ADL). Sebaliknya, keterbatasan dalam memenuhi AKS dapat menjadi salah satu faktor penyebab munculnya depresi pada lanjut usia. Penelitian di Thailand memperlihatkan bahwa prevalensi disabilitas pada lanjut usia sebesar 19% (95%IK 17,8–20,2) dan ketergantungan terhadap pemenuhan AKS sebesar 6,9% (95%IK 6,1 – 7,7). Angka ketidakmampuan (disabilities rate) meningkat sesuai dengan perkembangan usia. Kapasitas fungsional wanita lebih rendah bila dibandingkan pria atau prevalensi kebutuhan untuk mendapatkan bantuan AKS pada wanita selama 21,3 tahun dan pria selama 18,6 tahun. Meskipun informasi mengenai angka penurunan kapasitas fungsional lanjut usia di Indonesia belum memadai, namun Palestin, Olfah dan Winarso (2005) melaporkan 77,4% lanjut usia di sebuah Panti Wredha sebelum diintervensi masih dibantu sebagian dalam memenuhi AKS-nya. Para ahli telah sepakat menggunakan parameter AKS untuk mengukur kapasitas fungsional seseorang dengan mengklasifikasikannya berdasarkan kepemilikan ketergantungan dalam beraktivitas sehari-hari, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, kebersihan diri, mobilisasi. Kapasitas fungsional merupakan kondisi kesehatan fisik yang sangat penting bagi kualitas hidup dan kesejahteraan lanjut usia. Adanya penurunan kapasitas fungsional dipengaruhi oleh berjalannya proses penuaan, multi penyakit , dan gangguan psikososial. Kondisi di atas juga dapat terjadi secara berangsur-angsur sebagai akibat dari anggota ekstrimitas tidak difungsikan atau tidak dilatih secara optimal. Intervensi kesehatan dan keperawatan dalam bentuk latihan fungsional serta dukungan lingkungan yang positif bagi lanjut usia dapat memelihara kapasitas fungsional dan kualitas hidup lanjut usia. Latihan fungsional dengan intensitas sedang dapat meningkatkan kualitas hidup, vitalitas, dan menurunkan gejala depresi pada lanjut usia secara efektif. Menurut penelitian, program latihan berjalan, mobilitas, dan keseimbangan fleksibel dan statis selama enam minggu dapat meningkatkan kapasitas fungsional lanjut usia. Bentuk program latihan yang memiliki daya ungkit cukup besar terhadap penurunan sindroma gagal-pulih pada lanjut usia adalah perawatan restoratif. Perawatan restoratif merupakan salah satu strategi utama dalam mengatasi sindroma gagal-pulih untuk meningkatkan luaran status kesehatan klien, dan merupakan bentuk intervensi keperawatan yang paling efektif saat ini untuk meningkatkan otonomi dan kemandirian klien. Sindromagagal-pulih Sindroma gagal-pulih adalah suatu kondisi tubuh sebagai akibat dari menurunnya kapasitas multisistem yang berisiko tinggi terhadap timbulnya berbagai penyakit, trauma atau kondisi kesehatan negatif lainnya namun kondisi tersebut dapat dicegah melalui intervensi tertentu. Contoh bentuk gagal-pulih, antara lain: perawatan diri yang tidak terpelihara karena kelemahan dan keletihan (fatigue) atau seseorang yang sering jatuh karena gaya berjalan yang tidak seimbang atau kelemahan. Gejala-gejala sindroma gagal-pulih, antara lain: 1. penurunan berat badan secara progresif, 2. kecepatan berjalan melambat, 3. kekuatan cengke-raman tangan menurun, 4. keletihan atau daya tahan menurun, dan 5. tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan tiga gejala atau lebih disebut “gagal-pulih”, apabila hanya menunjukkan satu atau dua gejala disebut “pregagal-pulih”, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun disebut “tak gagal-pulih”. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif. PERAWATANRESTORATIF Sindroma gagal-pulih dianggap sebagai prediktor kejadian jatuh, hospitalisasi, disabilitas yang memburuk dan kematian pada lanjut usia.14 Deteksi dini dan intervensi prevensi primer untuk mengatasi gejala yang timbul dapat mencegah atau menunda timbulnya gagal-pulih. Bentuk intervensi tersebut adalah metode perawatan restoratif atau perawatan pemulihan (restorative care). Perawatan restoratif merupakan bentuk intervensi keperawatan yang berfokus pada upaya membantu lanjut usia dalam proses pemulihan dan atau pemeliharaan kapasitas fungsional fisiknya serta memberikan bantuan agar lanjut usia dapat mengkompensasikan kemunduran fungsional fisiknya sehingga mampu mencapai derajat fungsional yang optimal dan mampu melakukan AKS secara mandiri, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, dan kegiatan lainnya. Perawatan restoratif sebenarnya telah dikembangkan di era 1950-an, namun mulai diperbincangkan kembali dalam praktik keperawatan di Amerika Serikat pada tahun 1998 untuk mengkalkulasi standar pembayaran jasa pelayanan keperawatan pada program pemulihan pasien di rumah sakit maupun institusi pelayanan keperawatan lainnya. Perawatan restoratif bukanlah terapi yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan atau kecacatan (limitation) lanjut usia, meskipun hasil dari upaya pemulihan kapasitas tidak sepenuhnya sama seperti kondisi sediakala. Perawatan restoratif menitikberatkan pada upaya preventif terhadap meluasnya dampak ketergantungan fisik, menurunnya aktivitas dan keterbatasan mobilitas. Oleh karena itu, perawatan restoratif digunakan untuk memaksimalkan kemampuan lanjut usia (ability) melalui peningkatan mekanisme self-care, kemandirian, kualitas hidup, gambaran diri (self-image) dan harga diri (self-esteem). Menurut Resnick (2004), terminologi perawatan restoratif berbeda dengan perawatan rehabilitasi (rehabilitation nursing). Perawatan rehabilitasi lebih berfokus pada upaya rehabilitasi seseorang sebagai akibat dari terjadinya penyakit atau cedera, misalnya: strok, fraktur panggul, atau dislokasi sendi. Tujuan yang ingin dicapai melalui rehabilitasi ditetapkan bersama oleh tim rehabilitasi yang terdiri dari banyak profesi (misalnya: dokter, perawat, psikolog, dokter gigi, fisioterapis, okupasiterapis, prostetik dan ortetik, terapis wicara, dan ahli gizi), namun target hasil intervensi sangat erat kaitannya dengan indikator medis. Aplikasi perawatan restoratif merupakan intervensi keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dengan jalan melatih klien melakukan AKS secara mandiri dan terstruktur. Berbagai studi intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan AKS memperlihatkan bahwa penurunan kapasitas fungsional lanjut usia dapat distabilkan atau dikurangi meskipun tidak dapat pulih seperti sediakala. Hasil pemulihan kapasitas fungsional lanjut usia tergantung dari pola dan jenis intervensi perawatannya, oleh karenanya perlu diberikan jenis intervensi yang spesifik dan efektif sesuai dengan permasalahannya. Kelebihan perawatan restoratif adalah metode ini memiliki teknik yang sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun. Sehingga perawatan restoratif dapat dilakukan oleh asisten perawat, keluarga atau orang-orang terdekat klien yang telah dilatih namun tetap dalam pengawasan perawat. Sebuah penelitian telah mengkomparasikan manfaat model perawatan restoratif yang diberikan secara individu dengan pendekatan keperawatan pada umumnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perawatan restoratif memiliki kemungkinan lanjut usia untuk tetap tinggal di rumah lebih besar (82% vs 71%; odds ratio [OR]= 1,99; 95%CI = 1,47-2,69), menurunkan kemungkinan dirujuk ke unit gawat darurat (10% vs 20%; OR = 0,44; 95% CI = 0,32-0,61), lama perawatan di rumah lebih pendek (mean [SD]= 24,8 [26,8] hari vs 34,3 [44,2] hari; p < p =" 0,07" p =" 0,05" p =" 0,02">
Perawatan restoratif memiliki manfaat yang lebih besar terhadap luaran kapasitas fisik dan psikologis lanjut usia dibandingkan dengan intervensi keperawatan yang konservatif. Menurut laporan Sacre, implementasi perawatan restoratif telah meningkatkan kapasitas fungsional terhadap 86% lanjut usia yang dirawat di panti jompo pada dua minggu pertama perawatan mereka. Tujuan utama perawat restoratif adalah :
1. meningkatkan mobilitas fisik yang optimal,
2. meningkatkan atau menjaga kekuatan dan koordinasi otot,
3. meningkatkan pengawasan diri,
4. mencegah kontraktur,
5. meningkatkan kemandirian AKS atau perawatan diri,
6. mencegah terjadinya cedera,
7. meningkatkan aktivitas sosial,
8. meningkatkan kepekaan terhadap pencapaian prestasi (sense of accomplishment),
9. mencegah isolasi sosial dan depresi,
10. meningkatkan kemampuan motorik,
11. meningkatkan kemampuan berkomunikasi,
12. meningkatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang berarti,
13. meningkatkan martabat dan peran sosial, dan
14. meningkatkan moralitas dan kepuasan dalam bekerja.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat di saat memberikan perawatan restoratif, adalah :
1. pahami bahwa setiap lanjut usia memiliki keunikan kapasitas dan keterbatasan fisik, kaji kapasitas dalam merawat diri, status mental, motivasi, dan dukungan keluarga;
2. prioritas intervensi lebih difokuskan pada kapasitas yang telah dimiliki atau yang lebih mudah untuk dipulihkan;
3. sesuaikan waktu latihan dengan kebiasaan lanjut usia;
4. berikan penghargaan/pujian apabila lanjut usia mampu melakukan latihan dengan lebih baik;
5. pemberian latihan sesuaikan dengan kondisi penyebab gagal-pulih, apakah disebabkan disabilitas fisik atau disabilitas mental;
6. hindarkan adanya komplikasi atau hal-hal yang berisiko, misalnya cedera, isolasi social, depresi);
7. dorong optimisme dengan harapan yang lebih baik dan rasa humor; dan
8. upaya pemulihan sangat bergantung pada proses individu dan dukungan tim kesehatan lainnya.




ASFIKSIA

A. Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H Markum, 2002).

B. Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.
1. Faktor ibu
 Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
 Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit eklampsia.
 Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
 Gravida empat atau lebih
 Sosial ekonomi rendah
2. Faktor plasenta
 Plasenta tipis
 Plasenta kecil
 Plasenta tak menempel
 Solusio plasenta
 Perdarahan plasenta
3. Faktor janin / neonatus
 Kompresi umbilikus
 Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
 Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
 Prematur
 Gemeli
 Kelainan congenital
 Pemakaian obat anestesi
 Trauma yang terjadi akibat persalinan
4. Faktor persalinan
 Partus lama
 Partus tindakan

C. Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan penurunan tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.

D. PATHWAYS

E. Manifestasi klinik
1. Pernafasan cuping hidung
2. Pernafasan cepat
3. Tidak bernafas
4. Nadi cepat
5. Cyanosis
6. Nilai APGAR kurang dari 6

Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan normal dapat dipakai penilaian dengan APGAR score sebagaimana tertera pada table berikut.

Tabel untuk menentukan tingkat/ derajat asfiksia yang dialami bayi

TANDA 0 1 2
Warna Kulit Pucat kebiruan Tubuh kemerahan ektremitas biru Seluruh tubuh kemerahan
Denyut Nadi Tidak teraba Kurang dari 100 Lebih dari 100
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Tonus Otot Tidak ada gerakan Gerakan fleksi pada ektremitas Bergerak aktif

Pernafasan Tidak ada Lambat tidak teratur Menangis kuat/ keras

Klasifikasi klinik nilai APGAR:

1. Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan glucose 40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.

2. Asfeksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas kembali.

3. Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).

4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia berat.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek)
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik

Gradasi Hipoksi Iskemia Ensepalopati pada bayi

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tingkat kesadaran Iritabel Letargi Stupor, koma
Tonus otot Normal Hipotonus Flaksit
Postur Normal Fleksi Deserebrasi
Reflek tendon / klonus Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada

Reflek Moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Medriasis Miosis Tidak bereflek cahaya
Kejang Tidak ada Sering terjadi Deserebrasi
EEG Normal Voltase rendah, berubah dengan kejang Isoelektrik


Durasi <24 jam 24jam - 14 hari Beberapa minggu Hasil akhir Baik Bervariasi Kematian berat G. Penatalaksanaan Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari.Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa: 1. Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, pertumbuhan homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan semakin sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan meningkat 2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/ hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia paska natal harus dicegah dan diatasi. 3. Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir 4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara cepat dan tepat. Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah: 1. Membersihkan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar. 2. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah. 3. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi 4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik. Tindakan Umum: 1. Pengawasan suhu tubuh Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik 2. Pembersihan jalan nafas Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa- gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal. 3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi. 4. Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksi a. Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan asfiksia 1. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan 2. Memberikan obat- obatan 3. Memberikan nutrisi parenteral b. Keuntungan dan kerugian therapy Cairan Keuntungan : 1. Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat ketempat target berlangsung cepat 2. Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan therapy lebih dapat diandalkan. 3. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi. 4. Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari. 5. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinal. Kerugian : 1. Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi 2. Komplikasi tambahan dapat timbul :  Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi  Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )  Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan. c. Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia 1. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun kemasannya. 2. Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian) 3. Memeriksa kepatenan tempat insersi 4. Monitor daerah insersi terhadap kelainan 5. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program 6. Monitor kondisi dan reaksi pasien d. Teknik pemasangan infuse  Siapkan alat-alat  Cuci tangan lalu gunakan sarung tangan tangan  Pilih vena yang terbaik, jika perlu bersihkan area insersi dengan gerakan melingkar dari pusat keluar dengan larutan anti septic dan biarkan mengering.  Pasang tourniquet 4-5 inchi di atas tempat insersi.  Fiksasi vena, letakkan ibu jari di atas vena untuk mencegah pergerakan dan untuk meregangkan kulit melawan arah penusukan.  Tusuk vena, pegang tabung bening kateter, tempatkan posisi jarum dengan sudut 30-400. Tusukkan searah dengan aliran vena menembus vena rasakan letupan dan lihat adanya aliran balik darah.  Rendahkan jarum sampai sejajar dengan kulit. Dorong kateter ke dalam vena kira-kira ¼ - ½ inchi sebelum melepas jarum penuntun dan dorong kateter.  Lepas tourniquet, tarik jarum penuntun.  Pasang ujung selang infuse.  Fiksasi kateter.  Atur kecepatan tetesan sesuai dengan program.  Pasang balutan steril.  Berikan label pada dressing (tanggal, jam, ukuran kateter, initial nama pemasang).  Lepaskan sarung tangan, alat-alat dibersihkan. e. Tehnik memfiksasi / mempertahankan kepatenan dari alat kepada bayi asfiksia yang terpasang infuse Metode Chevron  Potong plester ukuran 1,25 cm, letakkan di bawah hubungan kateter dengan bagian yang berperekat menghadap ke atas.  Silangkan kedua ujung plester melalui hubungan kateter dan rekatkan pada kulit pasien.  Rekatkan plester ukuran 2,5 cm melintang diatas sayap kateter dan sayap infuse untuk memperkuat kemudian berikan label. f. Memberikan cairan dengan menggunakan NGT Adalah memasukkan cairan kedalam lambung bayi dengan menggunakan NGT. Dengan tujuan memenuhi kebutuhan tubuh akan makanan dan cairan, yang dilakukan pada bayi yang mengalami kesulitan mengisap dan bayi dengan kelainan bawaan misalnya labiopalatoskisis atau atresia esophagus. Persiapan: Alat:  Susu atau cairan sesuai dengan kebutuhan  Corong  NGT apabila belum terpasang  Air matang pada tempatnya  Alas dada bayi  Spuit ukuran sesuai dengan kebutuhan  Plester  Kasa steril  Pada tempatnya  Gunting verban  Bengkok Pasien: 1. Pasang alas pada dada bayi. 2. Bayi disiapkan dengan kepala lebih tinggi dari badan, misalnya dengan menggunakan bantal. 3. Bila pemberian cairan dilakukan melalui hidung maka lubang hidung harus dibersihkan dahulu. 4. Pipa diukur dari epigastrium sampai ke hidung kemudian belok ke telinga, selanjutnya pipa diberi tanda. 5. Ujung pipa dilicinkan dengan air atau pelican lainnya. 6. Bagian pangkal pipa diklem atau dilipat, tutup dengan jari dan ujung dimasukkan melalui hidung dengan hati-hati sampai batas yang diberi tanda. Perhatikan keadaan umum bayi, apakah ada tanda-tanda sesak napas atau tidak. 7. Periksa apakah pipa betul-betul masuk ke dalam lambung, caranya dengan mengisap cairan lambung menggunakan sepuit. Kemudian pastikan bahwa betul-betul yang keluar cairan lambung, caranya dengan menggunakan lakmus biru atau warna cairan. 8. Corong atau spuit dipasang pada pangkal pipa. 9. Tuangkan sedikit air matang, klem dibuka kemudian cairan dimasukkan melalui corong, selama pemberian cairan corong ditutup dengan kasa steril untuk mencegah kontaminasi. 10. Bila cairan sudah hampir habis tuangkan sedikit air matang untuk membilas. 11. Bila pipa dipasang secara menetap, pangkal pipa diklem atau dilipat dan diikat setelah itu difiksasi pada dahi dengan plester. g. Komplikasi therapy cairan intravena  Infeksi  Emboli Udara h. Jumlah kebutuhan cairan pada bayi baru lahir Kebutuhan Cairan Pada Neonatus BERAT LAHIR UMUR DALAM HARI 1_- 2 3 - 7 7 – 30 < 750 100- 250 150 - 300 120 – 180 750 -1000 80 - 150 100 - 150 120 – 180 1000 - 1500 60 - 100 80 -150 120 -180 !500 - 2500 60- 80 100 - 150 120 – 180 TERM 60 -80 100 - 150 120 - 180 i. Macam cairan yang diperlukan untuk bayi baru lahir MACAM CAIRAN OSMOLARITAS KARBOHIDRAT ( G/ l ) KALORI KEMASAN ( ML) DEKTROSE MALTOSE D5 % 278 50 200 250,500 D 10 % 506 100 400 500 MARTOS- 10 % 284 100 400 500 BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) A. DEFINISI Bayi berat lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram ( berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir ). Ada dua macam BBLR yaitu : 1. Bayi yang kurang bulan ( KB / SMK ) : bayi yang dilahirkan dengan umur kurang dari 37 minggu. 2. Bayi kecil masa kehamilan ( KMK ) : bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir kurang dari persentie ke-10 kurva pertumbuhan janin. Sedangkan Bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram disebut bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ). B. ETIOLOGI Faktor Ibu :  Umur ibu pada dibawah 20 tahun dan diatas 35 th  Perdarahan antepartum  Bahan teratogonik ( alcohol, radiasi, obat )  Penyakit kronis  Keadaan penyebab Infusifiensi plasenta ( penyakit jantung, ginjal, paru, hipertensi, dll )  Malnutris  Kelainan uterus  Hidramnion  Trauma  Jarak kehamilan terlalu dekat  Pekerjaan berat semasa hamil Faktor Plasenta • Penyakit Vaskuler • Kehamilan ganda • Malformasi • Tumor • Plasenta privea Faktor Janin • Kelainan kromosom • Malformasi • Infeksi congenital ( missal : rubella ) • Kehamilan ganda • Ketuban pecah dini C. TANDA – TANDA KLINIS Gambaran klinis BBLR secara umum adalah : • Berat kurang dari 2500 gram • Panjang kurang dari 45 cm • Lingkar dada kurang dari 30 cm • Lingkar kepala kurang dari 33 cm • Umur kehamilan kurang dari 37 minggu • Kepala lebih besar • Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang • Otot hipotonik lemah • Pernapasan tak teratur dapat terjadi apnea • Eksremitas : paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi-lurus • Kepala tidak mampu tegak • Pernapasan 40 – 50 kali / menit • Nadi 100 – 140 kali / menit D. PROBLEMATIK BBLR Dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomis maupun fisiologis maka mudah timbul beberapa kelainan seperti berikut ini : 1. Suhu tubuh yang tidak stabil oleh karena kesulitan mempertahankan suhu tubuh yang disebabkan oleh penguapan yag bertambah akibat dari kurangnya jaringan lemak dibawah kulit, permukaan tubuh relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, otot yang tidak aktif,produksi panas yang berkurang oleh karena lemak coklat (brown fat) yang belum cukup serta pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. 2. Gangguan pernafasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR. Hal ini disebabkan kekurangan surfactan(rasio lesitin/sfingomielin kurang dari 2), pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernafasan yang masih lemah yang tulang iga yang mudah melengkung(pliable thorak) 3. Penyakit gangguan pernafasan yang sering pada bayi BBLR adalah penyakit membran hialin dan aspirasi pneumoni. 4. Gangguan alat pencernaan dan problema nutrisi, distensi abdomen akibat dari motilitas usus berkurang, volume lambung berkurang sehingga waktu pengosongan lambung bertambah, daya untuk mencernakan dan mengabsorbsi lemak, laktosa,vitamin yang larut dalam lemakdan bebberapa mineral tertentu berkurang. Kerja dari sfingter kardio esofagus yang belum sempurna memudahkan terjadinya regurgitasi isi lambung ke esofagus dan mudah terjadi asspirasi. 5. Immatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia dan defisiensi vitamin K. 6. Ginjal yang immatur baik secara anatomis maupun fungsinya. Produksi urine yang sedikit, urea clearence yang rendah, tidak sanggup mengurangi kelebihan airtubuh dan elektrolit dari badan dengan akibat mudah terjadi edema dan asidosis metabolik. 7. Perdarahan mudahbterjadi karena pembuluh darah yang rapuh(fragile), kekurangan faktor pembekuan seperti protrombine, faktor VII dan faktor christmas. 8. Gangguan imunologok, daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahya kadar Ig G gamma globulin. Bayi prematur relatif belum sanggup membentuk antibodi dan daya fagositosis serta reaksi terhadap infeksi masih belum baik. 9. Perdarahan intraventrikuler, lebih dari 50% bayi prematur menderita perdarahan intraventrikuler. Hal ini disebabkan oleh karena bayi BBLR sering menderita apnea,asfuksia berat dan sindroma gangguan pernafasan. Luasnya perdarahan intraventrikuler ini dapat 10. Retrolental Fibroplasia : dengan menggunakan oksigen dengan konsentrasi tinggi(PaO2 lebih dari 115 mmHg : 15 kPa) maka akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah retina yang diikuti oleh proliferasi kapiler-kapiler baru kedaerah yang iskemi sehingga terjadi perdarahan, fibrosis, distorsi dan parut retina sehingga bayi menjadi buta. Untuk menghindari retrolental fibroplasia maka oksigen yang diberikan pada bayi prematur tidak boleh lebih dati 40%. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter permenit. E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK • Pemeriksaan glucose darah terhadap hipoglikemia • Pemantauan gas darah sesuai kebutuhan • Titer Torch sesuai indikasi • Pemeriksaan kromosom sesuai indikasi • Pemantauan elektrolit • Pemeriksaan sinar X sesuai kebutuhan ( missal : foto thorax ) F. PENATALAKSANAAN  Penanganan bayi Semakin kecil bayi dan semakin premature bayi, maka semakin besar perawatan yang diperlukan, karena kemungkinan terjadi serangan sianosis lebih besar. Semua perawatan bayi harus dilakukan didalam incubator  Pelestarian suhu tubuh Bayi dengan berat lahir rendah, mempunyai kesulitan dalam mempertahankan suhu tubuh. Bayi akan berkembang secara memuaskan, asal suhu rectal dipertahankan antara 35,50 C s/d 370 C. Bayi berat rendah harus diasuh dalam suatu suhu lingkungan dimana suhu normal tubuhnya dipertahankan dengan usaha metabolic yang minimal. Bayi berat rendah yang dirawat dalam suatu tempat tidur terbuka, juga memerlukan pengendalian lingkungan secara seksama. Suhu perawatan harus diatas 25 0 C, bagi bayi yang berat sekitar 2000 gram, dan sampai 300 C untuk bayi dengan berat kurang dari 2000 gram  Inkubator Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat didalam incubator. Prosedur perawatan dapat dilakukan melalui “jendela“ atau “lengan baju“. Sebelum memasukkan bayi kedalam incubator, incubator terlebih dahulu dihangatkan, sampai sekitar 29,4 0 C, untuk bayi dengan berat 1,7 kg dan 32,20C untuk bayi yang lebih kecil. Bayi dirawat dalam keadaan telanjang, hal ini memungkinkan pernafasan yang adekuat, bayi dapat bergerak tanpa dibatasi pakaian, observasi terhadap pernafasan lebih mudah.  Pemberian oksigen Ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi preterm BBLR, akibat tidak adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi O2yang diberikan sekitar 30- 35 % dengan menggunakan head box, konsentrasi o2 yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat menimbulkan kebutaan  Pencegahan infeksi Bayi preterm dengan berat rendah, mempunyai system imunologi yang kurang berkembang, ia mempunyai sedikit atau tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi. Untuk mencegah infeksi, perawat harus menggunakan gaun khusus, cuci tangan sebelum dan sesudah merawat bayi, memakai masker, gunakan gaun/jas, lepaskan semua asessoris dan tidak boleh masuk kekamar bayi dalam keadaan infeksi dan sakit kulit.  Pemberian makanan Pemberian makanan secara dini dianjurkan untuk membantu mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperbillirubin. ASI merupakan pilihan pertama, dapat diberikan melalui kateter ( sonde ), terutama pada bayi yang reflek hisap dan menelannya lemah. Bayi berat lahir rendah secara relative memerlukan lebih banyak kalori, dibandingkan dengan bayi preterm.  Petunjuk untuk volume susu yang diperlukan Umur/hari Jmlh ml/kg BB 1 50- 65 2 100 3 125 4 150 5 160 6 175 7 200 14 225 21 175 28 150 G. PROGNOSIS Pada saat ini harapan hidup bayi dengan berat 1501- 2500 gram adalah 95 %, tetapi berat bayi kurang dari 1500 gram masih mempunyai angka kematian yang tinggi. Kematian diduga karena displasia bronkhopulmonal, enterokolitis nekrotikans, atau infeksi sekunder. BBLR yang tidak mempunyai cacat bawaan selama 2 tahun pertama akan mengalami pertumbuhan fisik yang mendekati bayi cukup bulan dengan berat sesuai masa gestasi. Pada BBLR , makin imatur dan makin rendah berat lahir bayi, makin besar kemungkinan terjadi kecerdasan berkurang dan gangguan neurologik. H. MEMULANGKAN BAYI Sebelum pulang bayi sudah harus mampu minum sendiri, baik dengan botol maupum putting susu ibu. Selain itu kenaikan berat badan berkisar antara 10 – 30 gram / hari dan suhu tubuh tetap normal diruang biasa. Biasanya bayi dipulangkan dengan berat badan lebih dari 2000 gram dan semua masalah berat sudah teratasi. I. PENGKAJIAN  Sirkulasi : Nadi apikal mungkin cepat dan atau tidak teratur dalam batas normal(120-160 dpm). Mur-mur jantung yang dapat didengar dapat menandakan duktusarteriosus paten(PDA).  Makanan/cairan Berat badan kurang 2500(5lb 8 oz).  Neuroensori Tubuh panjang, kurus, lemas dengan perut agak gendut. Ukuran kepala besar dalam hubungannya dengan tubuh, sutura mungkin mudah digerakan, fontanel mungkin besar atau terbuka lebar. Edema kelopak mata umum terjadi, mata mungkin merapat(tergantung usia gestasi). Refleks tergantung pada usia gestasi ; rooting terjadi dengan baik pada gestasi minggu 32; koordinasi refleks untuk menghisap, menelan, dan bernafas biasanya terbentuk pada gestasi minggu ke 32; komponen pertama dari refleks Moro(ekstensi lateral dari ekstremitas atas dengan membuka tangan)tampak pada gestasi minggu ke 28; komponen keduaa(fleksi anterior dan menangis yang dapat didengar) tampak pada gestasi minggu ke 32. Pemeriksaan Dubowitz menandakan usia gestasi antara minggu 24 dan 37.  Pernafasan Skor apgar mungkin rendah. Pernafasan mungkin dangkal, tidak teratur; pernafasan diafragmatik intermiten atau periodik(40-60x/mt). Mengorok, pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal dan substernal, atau berbagai derajat sianosis mungkin ada. Adanya bunyi “ampelas” pada auskultasi, menandakan adaya sindrom distress pernafasan (RDS).  Keamanan Suhu berfluktuasi dengan mudah. Menangis mungkin lemah. Wajah mungkin memar, mungkin ada kaput suksedoneum. Kulit kemerahan atau tembus pandang, warna mungkin merah. muda/kebiruan, akrosianosis, atau sianosis/pucat. Lanugo terdistribusi secara luas diseluruh tubuh. Ekstremitas mungkin tampak edema. Garis telapak kaki mungkin tidak ada pada semua atau sebagian telapak. Kuku mungkin pendek.  Seksualitas Genetalia : Labia minora wanita mungkin lebih besar dari labia mayora, dengan klitoris menonjol ; testis pria mungkin tidak turun, rugae mungkin banyak atau tidak ada pada skrotum. J. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengankelemahan otot pernafasan. 2. Resiko tinggi tidak efektifnya terumoregulasi : hipotermi berhubungan dengan mekanisme pengaturan suhu tubuh immatur. 3. Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan immaturitas fungsi imunologik. 4. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan lemahnya daya cerna dan absorbsi makanan. K. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN NO TUJUAN INTERVENSI 1. 2. 3. 4. Setelah mendapat tindakan keparawatan 3x24 jam tidak terjadi gangguan pola nafas(nafas efektif) Kriteria Hasil :  Akral hangat  Tidak ada sianosis  Tangisan aktif dan kuat  RR : 30-40x/mt  Tidak ada retraksi otot pernafasan Setelah mendapatkan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi gangguan terumoregulasi Kriteria Hasil :  Badan hangat  Suhu : 36,5-37oC Setelah mendapat tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi infeksi Kriteria Hasil :  Tidak ada tanda-tanda infeksi(tumor,dolor,rubor,calor,fungsiolaesa)  Suhu tubuh normal (36,5-37oC) Setelah tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi gangguan nutrisi Kriteria Hasil :  Diet yang diberikan habis tidak ada residu  Reflek menghisap dan menelan kuat  BB meningkat 100 gr/3hr. 1.1. Monitor pernafasan (kedalaman, irama, frekuensi ) 1.2. Atur posisi kepala lebih tinggi 1.3. Monitor keefektifan jalan nafas, kalau kerlu lakukan suction. 1.4. Lakukan auskultasi bunyi nafas tiap 4 jam 1.5. Perthankan pemberian O2 1.6. Pertahankan bayi pada inkubator dengan penghangat 1.7. Kolaborasii untuk X foto thorax 2.1. Pertahankan bayi pada inkubator dengan kehangatan 37oC 2.2. Beri popok dan selimut sesuai kondisi 2.3. Ganti segera popok yang basah oleh urine atau faeces 2.4. Hindarkan untuk sering membuka penutup karena akan menyebabkan fluktuasi suhu dan peningkatan laju metabolisme 2.5. Atur suhu ruangan dengan panas yang stabil 3.1. Monitor tanda-tanda infeksi(tumor,dolor,rubor,calor,fungsiolaesa) 3.2. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi 3.3. Anjurkan kepada ibu bayi untuk memakai jas saat masuk ruang bayi dan sebelum dan/sesudah kontak cuci tangan 3.4. Barikan gizi (ASI/PASI) secara adekuat 3.5. Pastikan alat yang kontak dengan bayi bersih/steril 3.6. Berikan antibiotika sesuai program 3.7. Lakukan perawatan tali pusat setiap hari 4.1. Kaji refleks menghisap dan menelan 4.2. Monitor input dan output 4.3. Berikan minum sesuai program lewat sonde/spin 4.4. Sendawakan bayi sehabis minum 4.5. Timbang BB tiap hari. II. TERMOREGULASI PADA BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH A. PERANAN HIPOTALAMUS Suhu tubuh hampir seluruhnya diatur oleh mekanisme persarafan, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipotalamus Pada bayi baru lahir pusat pengatur suhu tubuhnya belum berfungsi dengan sempurna, sehingga mudah terjadi penurunan suhu tubuh, terutama karena lingkungan yang dingin. B. PENGATUR PANAS Pengatur panas atau temperatur regulasi terpelihara karena adanya keseimbangan antara panas yang hilang melalui lingkungan, dan produksi panas. Kedua proses ini aktifitasnya diatur oleh susunan saraf pusat yaitu hipotalamus. Dengan prinsip adanya keseimbangan panas tersebut bayi baru lahir akan berusaha menstabilkan suhu tubuhnya terhadap faktor-faktor penyebab hilangnya panas karena lingkungan. Pada saat kelahiran, bayi mengalami perubahan dari lingkungan intra uterin yang hangat ke lingkungan ekstra uterin ynag relatif lebih dingin. Hal tersebut menyebabkan penurunan suhu tubuh 2o-3oC, terutama hilangnya panas karena evaporasi atau penguapan cairan ketuban pada kulit bayi yang tidak segera dikeringkan. Kondisi tersebut akan memacu tubuh menjadi dingin yang akan menyebabkan respon metabolisme dan produksi panas. Pengaturan panas pada bayi baru lahir berhubungan dengan metabolisme dan penggunaan oksigen. Dalam lingkungan tertentu pada batas suhu maksimal, penggunaan oksigen dan metabolisme minimal, karena itu suhu tubuh harus dipertahankan untuk keseibangan panas. Bayi cukup bulan dalam keadaan tanpa pakaian dapat bertahan pada suhu lingkungan sekitar 32-34oC. Sedangkan batas pada orang dewasa 26-28oC. Oleh karena itu bayi baru lahir normal memerlukan suhu lingkungan yang lebih hangat dan suhu lingkungan tersebut harus dipelihara dengan baik. Pada bayi baru lahir lemak subkutannya lebih sedikit dan epidermis lebih tipis dibandingkan pada orang dewasa. Pembuluh darah pada bayi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan dan semua ini dibawah pengaruh hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu. Kelenturan pada tubuh bayi menurun pada daerah permukaan sehingga akan mempercepat hilangnya panas. Hal tersebut dipengaruhi panjang badan bayi, perbandingan permukaan utbuh dengan berat badan dari usia bayi, yang semua ini dapat mempengaruhi batas suhu normal. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah(BBLR) jaringanadiposa sedikit dan kelenturan menurun sehingga memerlukan suhu lingkungan yang lebih panas untuk mencapai suhu yang normal. Jika suhu lingkungan turun dibawah suhu yang rendah, bayi akan merespon dengan meningkatkan oksigen danmemperbesar metabolisme sehingga akan meningkatkan produksi panas. Bila bayi berada ditempat terbuka dengan lingkugan yang dingin dapat menyebabkan habisnya cadangan glikogen dan menyebabkan asidosis. C. PRODUKSI PANAS ATAU THERMOGENESIS Ditempat yang terbuka dan lingkungan yang dingin bayi baru lahir memerlukan penambahan panas. Bayi mempunyai mekanisme fisiologi untuk meningkatkan produksi panas dipengaruhi oleh karena : Meningkatnya Metabolisme Rate, Aktifitas otot dan Thermogenesis Kimiawi : a. Basal Metabolisme Rate Basal metabolisme rate adalah jumlah energi yang digunakan tubuh selama istirahat mutlak dan keadaan sadar. Pada bayi baru lahir, gerakan tubuh, menggigil merupakan mekanisme penting untuk memproduksi panas. Gerakan menggigil terjadi ketika reseptor kulit menurun pada suhu lingkungan yang dingin, dan kondisi tersebut akan diteruskan kesusunan saraf pusat yang akan menstimuli sistem saraf simpatis untuk menggunakan cadangan lemak coklat, yang merupakan sumber panas yang utama untuk mengatasi stres dingin. Pelepasan norephineprin oleh kelenjar adrenal dan saraf lokal berakhir pada lemak coklat yang menyebabkan trigliserid dapat dimetabolisme menjadi gliserol dan fatty acid (asam lemak). Oksidasi asam lemak ini meningkatkan produksi panas. Jika suplai lemak coklat habis maka respon metabolisme terhadap keadaan dingin akan berkurang. Oksidasi asam lemak pada bayi tergantung dari tersedianya oksigen, glukosa, Adenosin Tri Phospat (ATP) dan kemampuan bayi untuk mengubah menjadi panas. Kemampuan bayi untuk menghasilkan oanas dapat berubah pada keadaan patologis seperti hipoksia, asidosis, dan hipoglikemi. b. Aktifitas otot Menggigil adalah bentuk dari aktifitas otot yang disebabkan karena suhu yang dingin. Produksi panas terjadi melalui peningkatan metabolisme rate dan aktifitas otot. Jika bayi tidak menggigil berarti metabolisme rate pada bayi sudah cukup. c. Thermogenesis Kimiawi Disebabkan karena pelepasan norephineprin dan ephineprin oleh rangsang saraf simpatis. D. ALIRAN DARAH KE KULIT Kecepatan aliran darah yang tinggi menyebabkan konduksi panas yang disalurkan dari inti tubuh ke kulit sangat efisien. Efek aliran darah kulit pada konduksi panas dari inti tubuh permukaan kulit menggambarkan peningktan konduksi panas hampir delapan kali lipat. Oleh karena itu “Kulit merupakan sistem pengatur radiator panas yang efektif “, dan aliran darah ke kulit adalah mekanisme penyebaran panas yang paling efektif dari inti tubuh ke kulit. Dengan meletakan bayi telungkup didada ibu akan terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi sehingga bayi akan memperoleh kehangatan karena ibu merupakan sumber panas yang baik bagi bayi. E. HILANGNYA PANAS PADA BAYI Hilangnya panas pada bayi merupakan keadaan yang merugikan, karena itu suhu tubuh normal pada bayi harus dipelihara. Menurut buku Maternal and Neonatal Nursing, 1994, hilangnya panas pada bayi baru lahir melalui empat cara yaitu : a. Radiasi Radiasi yaitu : transfer panas dari bayi kepermukaan yang lebih dingin, dan obyek yang tidak berhubungan langsung dengan bayi. Hal tersebut dapat diartikan, panas tubuh bayi memancar ke lingkungan sekitar bayi yang lebih dingin. Contoh : 1. Udara dingin pada dinding luar dan jendela 2. Penyekat tempat tidur bayi yang dingin b. Evaporasi Evaporasi yaitu : hilangnya panas ketika air dari kulit bayi menguap. Kondisi tersebut disebabkan karena adanya cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Contoh : 1. Bayi lahir tidak langsung dikeringkan dari cairan ketuban. 2. Selimut atau popok basah bersentuhan dengan kulit bayi. c. Konduksi Konduksi yaitu : transfer panas yang terjadi ketika bayi kontak langsung dengan permukaan obyek yang dingin. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan permukaan yang lebih dingin. Contoh : 1. Tangan perawat yang dingin 2. Tempat tidur, selimut, stetoskop yang dingin d. Konveksi Konveksi yaitu : Hilangnya panas pada bayi yang terjadi karena aliran udara yang dingin menyentuk kulit bayi Hal tersebut terjadi karena aliran udara sekliling bayi yang dingin. Contoh : 1. Bayi diletakan didekat pintu atau jendela yang terbuka 2. Aliran udara dari pipa AC. F. RESPON BAYI TERHADAP HIPOTERMI Pada saat suhu kulit mulai turun, thermoreseptor menyebarkan impuls kesusunan saraf pusat, distimuli sistem saraf simpatis, norephineprin dilepaskan oleh kelenjar adrenal dan saraf setempat yang berakhir dengan lemak coklat dimetabolisme untuk memproduksi panas. G. PENILAIAN HIPOTERMI BAYI BARU LAHIR a. Gejala Hipotermi Bayi Baru Lahir  Bayi tidak mau minum atau menetek  Bayi tampak lesu atau mengantuk saja  Tubuh bayi teraba dingin  Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras(Skleremia) b. Tanda-Tanda Hipotermi Sedang (Stress Dingin)  Aktifitas berkurang, letargis  Tangisan lemah  Kulit berwarna tidak rata  Kemampuan menghiisap lemah  Kaki teraba dingin c. Tanda-Tanda Hipotermi Berat (Cedera Dingin)  Sama dengan hipotermi sedang  Bibir dan kuku kebiruan  Pernafasan lambat  Pernafasan tidak teratur  Bunyi jantung lambat  Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik d. Tanda-Tanda Stadium Lanjut Hipotermi  Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang  Bagian tubuh lainnya pucat  Kulit memgeras dan timbul kemerahan pada punggung, kaki dan tangan (Sklerema) H. TINDAKAN PENCEGAHAN HIPOTERMIA Upaya mencegah hipotermi pada bayi baru lahir sangat penting dan merupakan prioritas agar bayi terhindar dari kondisi yang tidak dikehendaki. Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu sekeliling bayi rendah dan upaya mempertahankan suhu tubuh tetap hangat tidak diterapkn dengan tepat, terutama pada masa stabilisasi yaitu 6-12 jam pertama setelah lahir. Contoh, terjadi hipotermi karena bayi baru lahir dibiarkan basah dan telanjang selama menunggu plasenta lahir. Bayi baru lahir mudah sekali terkena hipotermi. Hal ini disebabkan oleh karena : a. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna b. Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas c. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas d. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar tidak kedinginan Untuk mencegah terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir perlu dilakukan upaya pencegahan yaitu : a. Ibu melahirkan bayi ditempat yang hangat Ruangan tempat ibu melahirkan harus hangat dan tertutup dengan sirkulasi udara yang cukup baik serta penyinaran cukup terang. b. Segera mengeringkan tubuh bayi Bayi lahir dengan tubuh basah oleh ketuban akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh, akibatnya dapat timbul serangan dingin(cold stress) Bayi baru lahir yang kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena pusat pengatur suhunya belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermi yang sering tidak terdeteksi oleh ibu atau perawat. Untuk mencegah timbulnya serangan dingin tindakan yang dilakukan yaitu :  Setelah lahir bayi diletakan pada tempat yang diberi alas haduk kering, bersih dan hangat  Segera keringkan bayi dengan haduk, lakukan dengan tepat mulai dari kepala kemudian seluruh tubuh. Bila handuk basah harus diganti yang kering, bersih dan hangat.  Bungkus bayi dengan kain kering dan hangat bayi diberi topi atau tutup kepala dan diberi kaos tangan dan kaos kaki. c. Segera letakan bayi pada dada ibu. Kontak langsung kulit ibu dan bayi agar mendapatkan kehangatan. Ibu merupakan sumber panas yang baik bagi bayi baru lahir. d. Menunda memandikan bayi. Memandikan bayi dilakukan setelah suhu tubuh bayi setabil, bayi tampak aktif dan sehat. Memandikan bayi ditunda selama 24 jam setelah kelahiran. I. Teknik meningkatkan suhu bayi. a. Bayi ditempatkan pada inkubator dengan yang dilengkapi dengan alat pengatur suhu. b. Couves yang diberi lampu penghangat. c. Membedong bayi . d. Metode kanguru. BAB III RESUME A. HASIL STUDI KASUS KLIEN DENGAN BBLR By ny N I ( umur 6 hari ) dirawat diRSDK ruang PBRT sejak 6 hari yang lalu karena gemelli dengan berat badan lahir sangat rendah ( BBLSR ). Dari hasil pengkajian didapatkan by NI lahir pada tanggal 9 Nopember 2003 jam 11.45 di Rumah Sakit Bersalin Ibu dan Anak Plamongan Indah pada kehamilan 28 minggu. Lahir spontan, gemelli, apgar skore 8- 9- 10, dengan BBL 1100 gram PB 38cm. Pada pengkajian didapatkan data kepala mesosephal, lingkar kepala 30 cm, lingkar dada 28 cm, frekuensi nafas 44 kali / menit, ada retraksi otot- otot pernafasan, bunyi nafas vesikuler, terdengar bunyi jantung I – II murni, hepar lien tak teraba, genetalia bersih, jenis kelamin perempuan, ekstremitas gerak kurang aktif, capillary refill < 3 “, kulit kemerhan ,transparan, lemak sub kutan kurang, refleks hisap dan menelan masih lemah. Bayi minum dengan speen/ sendok tidak dapat menghabiskan sesuai program, langsung dipasang NGT. Bayi minum PASI Prenan, karena ASI belum keluar lancar. Pada hari ketiga bayi mulai minum ASI. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 16,3 gr %, Ht 50 %, Leukosit 14. 000 /ul, Trombosit 225.000 / ul, Na 135 mmol/l, K 5,0 mmol/l, Cl 109 mmol/l, Ca 2,22mmol/l, GDS 146 mg/dl. Pengobatan yang diberikan 2 x 50 mg inj ampicillin, 1 x 0,5 mg inj vit k, 2 x 2,5 inj gentamisin, infuse dext 5 % 90/4/4 tts, O2 head box 6 liter / menit.. Sesuai dengan pengkajian yang didapatkan pada bayi dengn BBLR dapat dirumuskan masalahnya berdasarkan analisa data sebagai berikut : No Data Penyebab Masalah 1 S : - O : • Klien hanya menghabiskan 3 cc setiap kali minum • Refleks hisap dan menelan masih lemah Kelemahan refleks hisap dan menelan Ggn pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2 S : - O : • RR 44x/menit • Tangisan lemah • Tidak aktif • Terpasang O2 head box 6 liter/menit • Retraksi otot- otot pernafasan Otot pernafasan yang masih lemah Tidak efektifnya pola nafas 3 S : - O : • BBL 110 gram • Umur Kehamilan 28 minggu • Terpasang infuse umbilicus • Terdapat tanda0tanda prematuritas ( Lanugo, kulit kemerahan, transparan, lemak subkutan kurang, dll ) Defisit imunologi Resiko infeksi 4 S : - O : • Kulit kemerahan • Transparan • Lemak sub kutan kurang Ketidak matangan struktur kulit Resiko gangguan integritas kulit Dari analisa data diatas, dapat disimpulkan diagnosa keperawatan yang muncul adalah 3. Ggn pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelemahan reflek menelan dan menghisap 4. Tidak efektifnya pola nafas b.d otot pernafasan yang masih lemah 5. Resiko infeksi b.d deficit imunologi 6. Resiko ggn integritas kulit b.d ketidak matangan struktur kulit Pada bayi Ny NI telah diberikan perawatan selama 5 hari, antara lain memperhatikan nutrisi yang dibutuhkan klien, dengan memasang NGT, dan menganjurkan ibu memberikan ASI. Berhubung ASI keluar hanya sedikit dan payudara ibu bengkak, maka bayi diberi minum PASI / prenan. Selain itu, untuk memantau ketidak efektifan jalan nafas bayi, telah dilakukan pemantauan terhadap pernafasan, pemberian O2 head box sesuai program, dan memposisikan kepala bayi sedikit lebih tinggi, dengan menaikkan inkubator pada bagian kepala. Sedangkan tindakan keperawatan untuk pencegahan infeksi pada bayi, perawat telah melakukan monitoring terhadap tanda- tanda infeksi, memakai baju khusus pada waktu merawat bayi dan mencuci tangan sebelum dan sesudah merawat bayi. Program medis untuk pemberian antibiotika juga telah dilaksanakan sesuai program. Agar tidak terjadi gangguan integritas kulit, perawat senantiasa memperhatikan kebersihan lingkungan bayi, dengan mengganti popok setiap kali bayi bab/bak. Mengganti posisi bayi setiap 2 jam sekali juga dilakukan oleh perawat karena bayi tidak aktif. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari, gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan gangguan pola nafas dapat diatasi , tidak terjadi infeksi dan tidak terjadi ggn integritas kulit. B. HASIL DISKUSI DENGAN EXPERT Menurut expert I, ( dokter residen anak ), BBLR dapat disebabkn dari tiga factor yaitu factor ibu, plasenta dan janin. Penatalaksanaan pada BBLR ditekankan pada pengawasan terumoregulasi, nutrisi dan pencegahan infeksi. Pada BBLRS, dimana fungsi paru belum matur, pernafasan menjadi prioritas dalam penatalaksanaan. BBLR harus dirawat didalam incubator dengan suhu ruangan 35 0 C, bayi harus dijaga agar tetap kering, setiap kali BAK/BAB harus segera dibersihkan dan diganti popoknya. Kebutuhan nutrisi klien harus diberikan sedini mungkin dengan dosis minimal. Biasanya dimulai dari 5 cc/ 2jam, yang paling diutamakan pemberian ASI. Untuk mencegah terjadinya infeksi, diberikan terapi profilaksis Anti Biotika selama 3 hari. Sedangkan pada BBLSR dimana fungsi paru belum maksimal, bayi diberi terapi O2 head box 6 l/ menit. Hal ini senada dengan pendapat expert II ( perawat PBRT ), yang berpendapat nutrisi pada BBLR sangat penting terutama pemberian ASI. Bila nutrisi BBLR tercukupi, maka masalah infeksi dapat diminimalkan karena daya tahan tubuh bayi yang tercukupi nutrisinya akan lebih baik terutama bila bayi mendapatkan ASI. Meskipun demikian, expert II juga berpendapat pengaturan suhu pada BBLR amat penting, bayi harus dijaga agar tidak terjadi hipotermi. C. DISKUSI DENGAN KELUARGA ( IBUNYA ) Ny N, sejak hamil 1 bulan tidak suka makan, karena rasanya mual-mual. Tetapi setelah umur kehamilan 5 bulan, Ny N mulai bisa makan. Ny N memeriksakan kehamilannya pada bidan, Ny N tidak tahu kalau bayinya kembar. Pada saat ini Ny N belum dapat memberikan ASI yang banyak pada bayinya, keluarnya ASI baru sedikit, dokter menyarankan agar bayinya diberi ASI, untuk mempercepat pertumbuhan bayinya. D. PERMASALAHAN 1. Apakah pada bayi baru lahir dengan BBLR yang tidak ditempatkan pada inkubator dan hanya dibedong akan dapat terhindar dari gangguan terumoregulasi : hipotermi? 2. Bagaimanakah pencegahan agar tidak terjadi hipotermi pada bayi baru lahir? 3. Bagaimanakah tehnik yang dipergunakan untuk meningkatkan suhu tubuh bayi? 4. Perlukah orang tua diberi tahu, bahwa ASI dapat mempercepat peningkatan BB bayi, dan cara merawat payudara agar produksi ASI dapat mencukupi kebutuhan bayinya. BAB IV PEMBAHASAN Dari hasil studi pustaka, studi kasus pada bayi berat lahir rendah, diperoleh 3 permasalahan pokok, yaitu masalah pengaturan panas badan, pemberian makanan, dan menghindarkan infeksi. 1. Pengaturan suhu badan BBLR akan cepat kehilangan panas badan menjadi hipotermia, karena pusat pengaturan panas belum berfungsi dengan baik, metabolisme rendah, dan permukaan badan relative lebih luas. Oleh karena itu bayi harus dirawat di incubator sehingga panas badannya mendekati suhu seperti dalam rahim. Pada kasus BB 1650 gram dengan panjang 38 cm, seharusnya bayi dirawat dalam inkubator dengan pengaturan suhu incubator 35 o C. Berhubung inkubator yang tersedia hanya 2 buah dan dipakai untuk pasien gemelli dengan berat badan yang lebih rendah dari By. DK dan bayi gemelli tersebut dilahirkan lebih dulu, maka untuk By. DK ditempatkan pada couves dengan lampu penghangat 100 watt.Tindakan lain untuk mempertahankan kestabilan suhu tubuh adalah dengan mengganti baju, selimut, atau popok yang basah dengan segera, memandikan bayi dengan minyak dengan cepat serta membedong bayi. Selama hari perawatan tidak terjadi hipotermi dengan suhu tubuh berkisar antara 36,5 o - 37 o C. 2. Makanan bayi Alat pencernaan bayi masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan belum matang, sedangkan protein kebutuhannya 3 – 5 gr / kgbb dan kalori 110 kal / kgbb, sehingga pertumbuhannya meningkat. Pada kasus pemberian makanan dengan ASI / PASI dengan interval pemberian 2 jam sejumlah 10 cc. Pemberian makanan peroral dengan sonde, selama hari perawatan I-II menunjukan residu 5cc, sehingga jumlah susu yang dapat hanya 5cc, pada hari II jumlah residu 2cc, sehingga susu dapat dimasukkan sesuai yang diprogramkan yaitu 10cc.Berhubung sampai hari III ASI belum keluar maka By. DK diberikan PASI yaitu Prenan. Sampai dengan hari ketiga perawatan berat badan By. DK belum ada kenaikan. Hal ini juga membuktikan bahwa kualitas ASI lebih baik dari pada PASI. 3. Menghindari infeksi Kerentanan terhadap infeksi lebih disebabkan karena daya tahan tubuh masih lemah, kémampuan leukosit masih lemah dan pembentukan antibody belum sempurna. Upaya yang dilakukan seharusnya dilakukan perawatan dalam inkubator namun karena suatu hal yang sudah disebutkan seperti diatas maka yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi pengunjung dan meminimalkan tindakan pemeriksaan dan pemeriksaan laboratorium. Prinsip semua tindakan adalah aseptic. Pemberian antibiotik profilaksis secara oral. Selama masa perawatan bayi tidak menunjukkan tanda-tanda terjadinya infeksi, ditandai dengan tanda vital normal. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN BBLR adalah suatu keadaan dimana berat lahir bayi kurang dan 2500 gram. Penyebab BBLR dapat berasal dari factor ibu, factor plasenta dan factor janin. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang dilanda krisis ekonomi akan. berdampak pada penurunan status social ekonomi masyarakatnya, sehingga beresiko peningkatan angka kejadian BBLR. Masalah pokok bayi berat lahir rendah adalah pengaturan suhu badan bayi agar tidak terjadi hipotermia, pemberian makanan agar pertumbuhan meningkat, dan mencegah terjadinya infeksi oleh karena daya tahan yang belum kuat. Pada bayi baru lahir perlu sekali diperhatikan pemantauan suhu tubuh karena dengan berubahnya lingkungan bayi dari intra uterin yang hangat ke ekstra uterine yang dingin dapat menimbulkan gangguan terumoregulasi : hipotermi pada bayi, terutama pada bayi dengan BBLR dimana pusat pengatur suhu tubuh yaitu hipotalamus juga belum terbentuk dengan sempurna/immatur. B. REKOMENDASI 1. Ruangan tempat ibu melahirkan harus hangat dan tertutup dengan sirkulasi udara yang cukup baik 2. Segera mengeringkan tubuh bayi setelah dilahirkan 3. Segera letakan bayi kedada ibu 4. Menunda memandikan bayi setelah dilahirkan 5. Setting incubator disesuaikan dengan berat badan dan umur bayi 6. Bila bayi dirawat didalam couves beri lampu penghangat. 7. Membedong bayi untuk menjaga kehangatan pada bayi. DAFTAR PUSTAKA 1. Rustam Muchtar (1998). Sinopsis Obstetri, EGC. Jakarta. 2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985), Ilmu Kesehatan Anak, Jilid III, Jakarta, Balai Penerbit FKUI. 3. Saifudin, Abdul Bari dkk (2002), Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Edisi 1, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 4. Wholey and Wong (1997), Essential of Pediatric Nursing, St. Louis Mosby. 5. Rosa M Sacharin ( 1996 ), Prinsip Keperawatan Pediatrik, Jakarta, EGC 6. Sarwono P ( 1986 ), Ilmu Kebidanan, Edisi II, Cetakan 3, Jakarta, Yayasan Bina DAFTAR PUSTAKA 1. Berhman, Kliegman & Arvin. (1996). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Alih Bahasa : A. Samik Wahab. Jilid 1. Jakarta : EGC. 2. A.H Markum. (2002). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI 3. Staf pengajar IKA FKUI. (1995). Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta : IKA FKUI. 4. Persis Mary Hamilton. (1999). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta : EGC. 5. Purnawan,J,dkk ( 1989 ) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 2, Jakarta : Media Aeusculapius FKUI 6. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal da Neonatal, jakarta : JNPKKR-POGI. 7. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (2002). Ilmu Kebidanan, jakarta : JNPKKR-POGI. 8. Mochtar, Rustam. (1998).Sinopsis Obstetri : Obstetri fisiologi, obstetri patologi, edisi 2, jakarta : EGC.. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hari pertama kehidupan bayi merupakan saat-saat yang kritis dan memerlukan pengelolaan yang baik karena pada saat kelahiran, bayi mengalami suhu dari lingkungan intra uterin yang hangat ke lingkungan ekstra uterin yang dingin. Hal tersebut disebabkan karena pada saat lahir, kemampuan bayi untuk mengatur produksi panas tubuhnya belum sempurna, maka bayi yang baru lahir selalu mengalami penurunan suhu tubuh. Bayi baru lahir yang tubuhnya basah oleh cairan ketuban, atau adanya aliran udara melalui jendela atau pintu yang terbuka, akan mempercepat terjadinya penguapan, dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh,akibatnya dapat timbul serangan dingin atau cold stress. Pada saat kelahiran, suhu tubuh bayi akan turun 2oC-3oC, terutama hilangnya panas karena evaporasi atau adanya cairan ketuban yang tidak segera dikeringkan. Pada saat terjadi penurunan suhu, bayi tidak bereaksi dengan meningkatkan metabolisme tubuhnya,akibatnya bayi akan mengalami stress dingin. Bayi yang mengalami stress dingin biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil karena kontrol suhu tubuhnya belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermi yang seringkali tidak terdekteksi oleh penolong persalinan. Hipotermi adalah penurunan suhu tubuh dibawah 36,5oC(suhu axilla). Akibat dari hipotermi, bayi akan mengalami stress dingin atau “cold stress”. Sedangkan suhu tubuh bayi normal adalah 36,5oC-37,5oC Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu sekeliling bayi rendah dan upaya mempertahankan suhu tetap hangat tidak diterapkan secara tepat, terutama pada masa stabilisasi, yaitu 6-12 jam pertama setelah lahir. Bila bayi dibiarkan dalam lingkungan suhu yang dingin maka bayi akan kehilangan panas melalui eveporasi, konveksi,dan radiasi sebanyak 200 kalori/kilogram berat badan/menit, sedangkan pembentukan panas yang dapat diproduksi hanya per sepuluh dari jumlah kehilangan panas diatas dalam waktu yang bersamaan, dan kondisi tersebut akan menyebabkan penurunan suhu tubuh sebanyak 2oC dalam waktu 15 menit. Keadaan ini sangat berbahaya untuk neonatus. Akibat suhu yang rendah metabolisme jaringan akan meningkat dan berakibat lebih mudah terjadi asidosis metabolik berat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu hipotermi yang terjadi pada neonatus dapat menyebabkan hipoglikemi. Akibat lain dari hipotermi yaitu dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh yang berakhir dengan kegagalan fungsi jantung, perdarahan, terutama pada paru-paru, ikterus dan kematian. Tanda hipotermi pada bayi baru lahir, yaitu : bayi tidak mau menetek/minum, bayi tampak lemas dan mengantuk, tubuh bayi teraba dingin, dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras atau sklerema. Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang dari 36,5oC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengaalami hipotermi sedang (suhu 32oc-36oC). Disebut hipotermi kuat bila suhu tubuh kurang dari 32oC. Untuk mengukur suhu hipotermi sedang-berat diperlukan thermometer ukuran rendah (Low reading thermometer) Disamping sebagai suatu gejala, hipotermi dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian. Hipotermi menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah, yang mengakibatkan terjadinya metabolik anaerobik, meningkatkan kebutuhan oksigen, mengakibatkan hipoksemia dan berlanjut dengan kematian. B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Setelah menyelesaikan kontrak belajar saya mampu memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan BBLR yang mempunyai resiko gangguan terumoregulasi : hipotermi 2. Setelah menyelesaikan kontrak belajar, saya mampu : a. Menjelaskan proses pengaturan panas pada bayi BBLR b. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi thermogenesis pada bayi dengan BBLR c. Menjelaskan cara pemindahan panas tubuh bayi dengan BBLR d. Menjelaskan cara penilaian hipotermi pada bayi dengan BBLR e. Menjelaskan tindakaan pencegahan hipotermi pada bayi BBLR f. Menjelaskan tehnik meningkatkan suhu bayi dengan BBLR g. Memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan BBLR yang beresiko mengalami gangguan terumoregulasi : hipotermi TERMOREGULASI PADA BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) A. DEFINISI Bayi berat lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram ( berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir ). Ada dua macam BBLR yaitu : 1. Bayi yang kurang bulan ( KB / SMK ) : bayi yang dilahirkan dengan umur kurang dari 37 minggu. 2. Bayi kecil masa kehamilan ( KMK ) : bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir kurang dari persentie ke-10 kurva pertumbuhan janin. Sedangkan Bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram disebut bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ). B. ETIOLOGI 1. Faktor Ibu 2. Faktor Plasenta 3. Faktor Janin C. TANDA – TANDA KLINIS Gambaran klinis BBLR secara umum adalah : • Berat kurang dari 2500 gram • Panjang kurang dari 45 cm • Lingkar dada kurang dari 30 cm • Lingkar kepala kurang dari 33 cm • Umur kehamilan kurang dari 37 minggu • Kepala lebih besar • Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang • Otot hipotonik lemah • Pernapasan tak teratur dapat terjadi apnea • Eksremitas : paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi-lurus • Kepala tidak mampu tegak • Pernapasan 40 – 50 kali / menit • Nadi 100 – 140 kali / menit C. PROBLEMATIK BBLR Dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomis maupun fisiologis maka mudah timbul beberapa kelainan seperti berikut ini : 1. Suhu tubuh yang tidak stabil 2. Gangguan pernafasan 3. Gangguan alat pencernaan 4. Immatur hati 5. Ginjal yang immatur baik secara anatomis maupun fungsinya 6. Mudah terjadi perdarahan 7. Gangguan imunologik 8. Perdarahan intraventrikuler 9. Retrolental Fibroplasia TERMOREGULASI PADA BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH A. PERANAN HIPOTALAMUS Sebagai pengatur suhu tubuh Pada BBL belum berfungsi dengan sempurna B. PENGATUR PANAS Pengatur panas terpelihara karena : • Keseimbangan antara panas yang hilang melalui lingkungan hipo- • Produksi panas. talamus Pada BBL : • Penurunan suhu 2oC-3oC • Lemak subcutan sedikit • Epidermis tipis • Pembuluh darah mudah dipengaruhi suhu lingkungan • Kelenturan tubuh bayi menurun • Jaringan adiposa sedikit Suhu lingkungan menurun O2 meningkat memperbesar metabolisme Cadangan glikogen habis asidosis C. PRODUKSI PANAS ATAU THERMOGENESIS a. Meningkatkan Basal Metabolisme Rate Basal metabolisme rate adalah jumlah energi yang digunakan tubuh selama istirahat mutlak dan keadaan sadar. Kemampuan bayi untuk menghasilkan panas dapat berubah pada keadaan patologis seperti hipoksia, asidosis, dan hipoglikemi. b. Aktifitas otot Menggigil adalah bentuk dari aktifitas otot yang disebabkan karena suhu yang dingin. Produksi panas terjadi melalui peningkatan metabolisme rate dan aktifitas otot. Jika bayi tidak menggigil berarti metabolisme rate pada bayi sudah cukup. c. Thermogenesis Kimiawi Disebabkan karena pelepasan norephineprin dan ephineprin oleh rangsang saraf simpatis. D. HILANGNYA PANAS PADA BAYI a. Radiasi Radiasi yaitu : transfer panas dari bayi kepermukaan yang lebih dingin, dan obyek yang tidak berhubungan langsung dengan bayi. Hal tersebut dapat diartikan, panas tubuh bayi memancar ke lingkungan sekitar bayi yang lebih dingin. Contoh : 1. Udara dingin pada dinding luar dan jendela 2. Penyekat tempat tidur bayi yang dingin b. Evaporasi Evaporasi yaitu : hilangnya panas ketika air dari kulit bayi menguap. Kondisi tersebut disebabkan karena adanya cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Contoh : 1. Bayi lahir tidak langsung dikeringkan dari cairan ketuban. 2. Selimut atau popok basah bersentuhan dengan kulit bayi. c. Konduksi Konduksi yaitu : transfer panas yang terjadi ketika bayi kontak langsung dengan permukaan obyek yang dingin. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan permukaan yang lebih dingin. Contoh : 1. Tangan perawat yang dingin 2. Tempat tidur, selimut, stetoskop yang dingin d. Konveksi Konveksi yaitu : Hilangnya panas pada bayi yang terjadi karena aliran udara yang dingin menyentuk kulit bayi Hal tersebut terjadi karena aliran udara sekliling bayi yang dingin. Contoh : 1. Bayi diletakan didekat pintu atau jendela yang terbuka 2. Aliran udara dari pipa AC. E. RESPON BAYI TERHADAP HIPOTERMI Pada saat suhu kulit mulai turun, thermoreseptor menyebarkan impuls kesusunan saraf pusat, distimuli sistem saraf simpatis, norephineprin dilepaskan oleh kelenjar adrenal dan saraf setempat yang berakhir dengan lemak coklat dimetabolisme untuk memproduksi panas. F. PENILAIAN HIPOTERMI BAYI BARU LAHIR a. Gejala Hipotermi Bayi Baru Lahir  Bayi tidak mau minum atau menetek  Bayi tampak lesu atau mengantuk saja  Tubuh bayi teraba dingin  Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi mengeras(Skleremia) b. Tanda-Tanda Hipotermi Sedang (Stress Dingin)  Aktifitas berkurang, letargis  Tangisan lemah  Kulit berwarna tidak rata  Kemampuan menghiisap lemah  Kaki teraba dingin c. Tanda-Tanda Hipotermi Berat (Cedera Dingin)  Sama dengan hipotermi sedang  Bibir dan kuku kebiruan  Pernafasan lambat  Pernafasan tidak teratur  Bunyi jantung lambat  Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik d. Tanda-Tanda Stadium Lanjut Hipotermi  Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang  Bagian tubuh lainnya pucat  Kulit memgeras dan timbul kemerahan pada punggung, kaki dan tangan (Sklerema) H. TINDAKAN PENCEGAHAN HIPOTERMIA Bayi baru lahir mudah sekali terkena hipotermi. Hal ini disebabkan oleh karena : a. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna b. Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas c. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas d. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar tidak kedinginan e. Lemak subcutan sedikit f. Epidermis tipis g. Pembuluh darah mudah dipengaruhi suhu lingkungan h. Kelenturan tubuh bayi menurun i. Jaringan adiposa sedikit Untuk mencegah hipotermia : a. Ibu melahirkan bayi ditempat yang hangat Ruangan tempat ibu melahirkan harus hangat dan tertutup dengan sirkulasi udara yang cukup baik serta penyinaran cukup terang. b. Segera mengeringkan tubuh bayi Bayi lahir dengan tubuh basah oleh ketuban akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas tubuh, akibatnya dapat timbul serangan dingin(cold stress) Bayi baru lahir yang kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena pusat pengatur suhunya belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermi yang sering tidak terdeteksi oleh ibu atau perawat. Untuk mencegah timbulnya serangan dingin tindakan yang dilakukan yaitu :  Setelah lahir bayi diletakan pada tempat yang diberi alas haduk kering, bersih dan hangat  Segera keringkan bayi dengan haduk, lakukan dengan tepat mulai dari kepala kemudian seluruh tubuh. Bila handuk basah harus diganti yang kering, bersih dan hangat.  Bungkus bayi dengan kain kering dan hangat bayi diberi topi atau tutup kepala dan diberi kaos tangan dan kaos kaki. c. Segera letakan bayi pada dada ibu. Kontak langsung kulit ibu dan bayi agar mendapatkan kehangatan. Ibu merupakan sumber panas yang baik bagi bayi baru lahir. d. Menunda memandikan bayi. Memandikan bayi dilakukan setelah suhu tubuh bayi setabil, bayi tampak aktif dan sehat. Memandikan bayi ditunda selama 24 jam setelah kelahiran. I. Teknik meningkatkan suhu bayi. e. Bayi ditempatkan pada inkubator dengan yang dilengkapi dengan alat pengatur suhu. f. Couves yang diberi lampu penghangat. g. Membedong bayi . h. Metode kanguru. KEJANG DEMAM I.1 Latar Belakang Bangkitan kejang yang terjadi pada anak dengan demam merupakan masalah bagi setiap dokter yang mengobati anak. Lima persen anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya dan 99% dokter anak di New York pernah sekurang-kurangnya sekali dalam setahun mengobati anak dengan kejang demam untuk pertama kalinya (Asness. Dkk, 1975) Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada seseorang dengan suhu tubuh yang meninggi akibat proses ekstrakranium. Biasanya berupa serangan grand mal (pergerakan klonik tonik). Kisaran umur penderita antara 6 bulan hingga 5 tahun, dan anak laki-laki lebih sering terserang daripada anak perempuan (Lumbantobing dan Sofyan Ismail, 1970). Demam dengan kejang yang lama dapat menyebabkan nekrosis neuron dan kerusakan otak menetap, bahkan dapat menyebabkan kematian langsung. Oleh karena kejang merupakan gejala, bukan penyakit, maka perlu dicari sebab-sebabnya, misalnya kelainan intrakranium, gangguan metabolik dan lain-lain. Beberapa keadaan yang oleh beberapa ahli diduga sebagai faktor resiko untuk terjadinya kejang demam adalah riwayat keluarga dengan kejang demam. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan (Lumbantobing, 1995). Yang diturunkan ialah kemungkinan adanya defisiensi enzim tertentu yang menyebabkan maturasi otak terhambat (Soetomenggolo, 1989). Adanya gangguan kehamilan dan proses persalinan yang sulit, juga banyak disinggung sebagai faktor resiko kejang demam, adanya gangguan kehamilan yang menyebabkan perkembangan janin terhambat, termasuk sel otak, begitu juga halnya dengan adanya riwayat persalinan yang sulit diduga akan menyebabkan gangguan dari perkembangan sel otak yang akan menurunkan nilai ambang kejang (Soetomenggolo, 1989). I.2 Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk: 1. mengenal lebih jauh kejang demam. Dalam uraian ini akan dibahas apa dan bagaimana kejang demam, cara-cara pemeriksaan, penatalaksanaan dan pengobatan kejang demam yang lazim diberikan dengan luminal dan diazepam. 2. sebagai syarat untuk mengikuti ujian profesi pada kepaniteraan klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Derajat tingginya suhu dianggap cukup untuk mendiagnosis kejang demam ialah 38OC atau lebih (Lumbantobing, 1995; Hassan dan Alatas, 1985). Kejang terjadi akibat adanya loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan lebih dari biasanya, meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grisea ke substansia alba yang disebabkan oleh demam yang bersumber di luar otak, umumnya mengenai anak berusia 3 bulan sampai 5 tahun (Freeman, 1980; Menkes, 1980). II.2 Klasifikasi Livingstone (1970) membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu : kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Yang digolongkan kejang demam sederhana ialah : a) kejang umum, b) waktu singkat, c) umur serangan pertama kurang dari 6 tahun, d) frekuensi serangan 1-4 kali per tahun, dan e) EEG normal. Yang digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ialah : a) Kejang lama dan bersifat fokal, b) umur lebih dari 6 tahun, c) frekuensi serangan lebih dari 4 kali per tahun, dan d) EEG setelah tidak demam abnormal. Sejak tahun 1995, pembagian golongan kejang demam yang digunakan di sub-bagian Syaraf Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI terdiri atas 3 jenis kejang demam yaitu : a) kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih dari 15 menit, fokal atau multipel (lebih dari 1 kali kejang per episode demam), b) kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kejang demam kompleks dan c) kejang demam berulang ialah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam (Soetomenggolo, 1995). II.3 Epidemiologi Kejang demam jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan ataupun lebih dari 5 tahun. Pada sejumlah 110 kasus kejang demam yang diselidiki Millichap dkk, tahun 1973 ditemukan 2 penderita berumur kurang dari 6 bulan dan 6 penderita berumur lebih dari 5 tahun. Lumbantobing tahun 1975 mendapatkan insidensi tertinggi berkisar antara usia 6 bulan sampai 1 tahun (Lumbantobing, 1995). Kebanyakan penyelidik menemukan bahwa kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Lumbantobing, pada tahun 1975 mendapatkan perbandingan penderita kejang demam anak laki-laki dan perempuan sebesar 1,25 : 1 dari 165 anak yang diteliti (Lumban tobing, 1995). II.4 Etiologi Riwayat keluarga kejang demam diteliti sebagai salah satu faktor risiko kejang demam. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan (Lumbantobing, 1995). Yang diturunkan ialah kemungkinan adanya defisiensi enzim tertentu yang menyebabkan maturasi otak terhambat (Soetomenggolo, 1989). Riwayat lahir prematur, berat badan lahir rendah, trauma persalinan, asfiksia neonatorum dan penyakit perinatal diduga juga sebagai faktor risiko kejang demam (Hendarto, 1988: Soetomenggolo, 1989). Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah belum mempunyai alat-alat tubuh sempurna seperti bayi aterm. Imaturitas susunan syaraf pusat menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan intrakranial. Tulang tengkorak yang lunak dan jaringan otak imatur lebih rentan terhadap kompresi kepala dan risiko perdarahan intrakranial adalah 5 kali lebih sering dibandingkan bayi aterm. Trauma persalinan diartikan sebagai kelainan akibat trauma yang disebabkan oleh persalinan yang ditolong dengan menggunakan alat seperti ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, persalinan dengan jalan operasi dan persalinan bokong. Akibat dari trauma persalinan pada kepala umumnya berupa hematoma dan perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak yang permanen (Nawawi, 1996). Asfiksia neonatorum berat akan mengakibatkan terjadinya gangguan pertukaran gas dan oksigen tubuh. Ambilan oksigen yang menurun ini akan menyebabkan berkurangnya saturasi oksigen darah atau hipoksemia. Hipoksemia ini akan mengganggu fungsi jantung sehingga curah jantung menurun dan sirkulasi darah ke otak berkurang yang akan menimbulkan iskemia otak. Hipoksemia dan iskemia inilah yang dapat menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat berupa udema, kerusakan sel otak dan atrofi serebri (Nawawi, 1996). Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,misalnya: 1. demam itu sendiri 2. efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak 3. respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi 4. perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit 5. ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas. 6. gabungan semua faktor tersebut diatas. Lumbantobing, 1995 menentukan penyebab demam pada kejang demam antara lain: 1. tonsilitis dan/atau faringitis 2. otitis media akut 3. enteritis/gastroenteritis 4. enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 5. bronkitis 6. bronkhopneumonia 7. morbili 8. varicella 9. dengue demam berdarah 10. tidak diketahui II.5 Patofisiologi Demam akan menimbulkan kejang melalui mekanisme, yaitu: a) demam menurunkan nilai ambang rangsang sel yang belum matang, b) demam menyebabkan dehidrasi sehingga keseimbangan elektrolit terganggu dan timbul perubahan potensial membran, c) demam menaikkan metabolisme basal, sehingga terjadi timbunan asam laktat and CO2 yang menyebabkan kerusakan neuron, d) demam akan menaikkan CBF dan mengubah metabolisme sel sehingga nilai ambang sel dan potensial membran otak menurun, e) demam menaikkan kebutuhan oksigen dan pemakaian energi (glukosa dan ATP) sehingga mengganggu pengangkutan ion-ion keluar masuk sel (Nawawi,1996). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi dari metabolisme. Bahan utama metabolisme otak adalah glukosa. Sifat prosesnya adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Glukosa akan dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah Lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstrasekuler 2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya 3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Kenaikan suhu 10C mengakibatkan peningkatan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada anak usia 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,dibandingkan dengan orang dewasa hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak juga punya ambang kejang yang berbeda. Terulangnya kejang demam lebih dikarenakan ambang kejang yang rendah. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Namun, kejang yang berlangsung lama biasanya terjadi apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat. Semua ini adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga menyebabkan permeabilitas kapiler dan timbul udema otak yang dapat menyebabkan kerusakan neuron otak. Kerusakan pada lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang lama akan dapat menimbulkan serangan epilepsi spontan (Hasan & Alatas, 1985). II.6 Diagnosis Bangkitan kejang pada bayi dan anak biasanya bersamaan dgn kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat. Serangan kejang biasanya dalam 24 jam pertama demam, berkangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi untuk sejenak, tetapi anak akan terbangun kembali tanpa ada kelainan syaraf. Livingstone membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan: 1. Kejang demam sederhana (‘simple febrile convulsion’) 2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (‘epilepsy triggered off by fever’) Ciri-ciri kejang demam sederhana adalah: 1. kejang bersifat umum 2. lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) 3. usia waktu kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun 4. frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun 5. EEG normal Kejang demam yang tidak sesuai dengan ciri tersebut di atas tersebut oleh Livingstone sebagai epilepsi yang dicetuskan oleh demam, contoh epilepsi yng dicetuskan oleh demam menurut Livingstone, ialah: 1. kejang berlangsung lama atau bersifat fokal/setempat 2. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit 3. kejang bersifat umum 4. kejang timbul dalm 16 jam pertama setelah timbulnya demam 5. pemeriksaan syaraf sebelum dan sesudah kejang normal 6. pemeriksaan EEG dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan 7. frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi tersebut digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Biasanya kejang disebabkan kelainan sedangkan demam hanya faktor pencetus. Pada kejang demam sederhana tidak dijumpai kelainan fisik neurologik, maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks dijumpai kelainan fisik neurologik berupa hemiplegia, diplegia (Hasan & Alatas, 1985; soetomenggolo, 1989). Namum EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi dikemudian hari (Nawawi, 1996). II.7 Diagnosis Banding Demam dengan kejang, harus diperkirakan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan syaraf pusat (otak). Kelainan didalam otak biasanya terjadi akut sesaat dan kronik berulang. Pada kejadian akut sesaat biasanya dikarenakan: 1.Infeksi a. Ekstrakranial : - ETOF - KDS b. intrakranial -meningitis - ensefalitis - abses otak 2. gangguan metabolisme 3. gangguan elektrolit 4. gangguan kardiovaskular 5. keganasan 6. malformasi 7. keracunan 8. withdrawl obat Sedangkan kronik berulang kali terdiri dari: 1. epilepsi 2. tak terklarifikasi Penyebab dari kejang di luar otak biasanya karena tetanus dan tetani (Hasan&Alatas, 1985; Haslam, 1996). II.8 Penatalaksanaan Ada 4 hal yang perlu dikerjakan dalam perawatan dan pengobatan kejang demam yaitu: a) pengobatan fase akut atau mengatasi kejang secepatnya, b) mencari dan mengobati penyebab kejang, c) pengobatan profilaksis terhadap terulangnya kejang, d) mempertahankan dan menunjang kehidupan penderita (Goodrige, 1987; Hassan & Alatas, 1985; Soetomenggolo, 1989). a) Pengobatan fase akut Pada kejang demam sederhana, biasanya kejang berlangsung singkat dan akan berhenti sendiri. Pada waktu penderita kejang, buka semua pakaian yang ketat. Untuk mencegah aspirasi penderita dimiringkan dengan posisi kepala lebih rendah. Sangat penting agar jalan nafas bebas dan oksigenasi terjamin, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi (Soetomenggolo, 1989). Pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen, awasi tanda-tanda vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung. Utnuk menurunkan suhu yang tinggi penderita dapat dikompres air dingin. Dianjurkan pemberian antipiretik parasetamol 10 mg/kgBB/hari (Ongkie, 1980; Good Ridge, 1987). b) Pengobatan profilaksis terhadap terulangnya kejang demam Pencegahan terhadap terulangnya kejang demam sangat perlu oleh karena kejang berulang dan lama dapat menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 3 cara pengobatan proliferasi yaitu : 1) Profilaksis intermiten pada waktu demam 2) Profilaksis terus menerus dengan anti konvulsan tiap hari 3) Pencegahan kejang lama dengan pemberian anti konvulsan pada waktu kejang (Good Ridge, 1987; Soetomenggolo, 1989) 1) Profilaksis intermiten Profilaksis intermiten diberikan pada waktu penderita sedang demam, dapat diberikan oleh orang tua penderita atau pengasuh anak tersebut. Obat anti kejang yang diberikan pada saat penderita kejang adalah diazepam 5 mg untuk penderita umur 3 tahun, dan 7,5 mg untuk penderita berumur di atas 3 tahun secara supositoria tiap jam (Soetomenggolo, 1989; Hassan & Alatas, 1985; Haslam, 1996). Bila diberikan per oral dosis 0,5 mg/kgBB pada waktu kejang (Goodrige, 1987; Hassan & Alatas, 1985; Haslam, 1996). 2) Profilaksis terus menerus dengan anti konvulsan tiap hari Untuk profilaksis terus menerus dengan anti konvulsan dapat digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari, namun diperhatikan efek samping dari fenobarbital berupa timbul kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah, dan agresif. Untuk menurunkan efek samping yang mungkin timbul, dosis fenobarbital dapat diturunkan. Obat lain yang sekarang mulai banyak dipakai dengan efek lebih baik dan efek samping yang minimal adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari (Soetomenggolo, 1995). 3) Pencegahan kejang lama dengan pemberian anti konvulsan pada waktu kejang Penanganan penderita dengan kejang lama yaitu dengan pemberian fenitoin/difenilhidantoin loading dose dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari, ditunggu 2-4 jam, bila masih kejang penderita dirawat di ICU dan berikan anastesi umum. Bila kejang berhenti, maka diberikan dosis rumatan fenitoin dengan dosis 5-8 mg/kgBB/hari atau fenobarbital dengan dosis 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis (Sunartini, 1991; Ongkie, 1980). c) Mempertahankan dan menunjang kehidupan Pengobatan tambahan dan tindakan lain ditujukan untuk mengatasi keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan kejang bertambah hebat atau berlangsung lama seperti halnya hiperpireksia, udema serebri dan hipoglikemia. Pendidikan kepada orang tua perlu diberikan agar orang tua memberikan pertolongan yang sebaik-baiknya bila anak kejang. Perlu disarankan kepada orang tua agar segera membawa anak ke rumah sakit bila: anak kejang pertama kali, umur anak 18 bulan atau kurang, kejang berlangsung lebih dari 15 menit (Goodrige, 1987). Dianjurkan untuk memberikan IVFD ringer laktat atau Dextrose 5% sebelum mengirim penderita kejang demam kompleks (Goodrige, 1987). d). Mencari dan mengobati penyebab kejang Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada penderita kejang demam yang pertama. Pada bayi sering gejala meningitis tidak jelas, sehingga fungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan ialah EEG, USG, kultur dan elektrolit darah serta CT Scan otak (Soetomenggolo, 1995). II.9 Komplikasi Kejang demam yang lama menyebabkan kebutuhan O2 meningkat, metabolisme otak naik, terjadi kejang. Akhirnya spasme saluran nafas sesak, apneu, hipoksia dan asidosis metabolik. Dengan metabolisme anaerob terjadi asidosis laktat. Hipoksia menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat, terjadi udema, kerusakan sel otak dan sistem syaraf terganggu seperti hemiparesis, epilepsi dan gangguan mental organik (Hasan & Alatas, 1985). II.10 Prognosis Kejang demam sederhana mempunyai prognosis yang baik, hanya 1-10% berkembang menjadi epilepsi. Pada kejang demam sederhana tidak didapatkan gangguan intelektual dan belajar maupun kelainan fisik neurologik (Nawawi, 1996). Pada kejang kompleks, kecenderungan untuk menjadi epilepsi sangat tinggi (30-50%), sedangkan kecenderungan untuk gangguan intelektual, gangguan belajar dan retardasi mental 5 kali lebih besar dibanding dari anak normal. Pada anak yang menderita kejang demam pertama, kecenderungan akan menderita kejang demam berikutnya adalah 50%. Apabila ditemukan kelainan neurologis berupa hemiparesis dan EEG berupa ‘epilepsi discharge’, maka kecenderungan menjadi epilepsi sangat tinggi, lebih dari 75%. Hal-hal yang dapat mempengaruhi prognosis penderita di kemudian hari menjadi epilepsi, biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau gangguan tumbuh kembang, 2) ada riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, 3) kejang demam fokal, lebih lama dari 15 menit atau berkali-kali dalam sehari (Halmas, 1996). Dengan penatalaksanaan yang dini dan tepat, tidak akan terjadi kematian. Apabila penanganan terhambat angka mortalitas 0,74% (Halmas, 1996). III. KESIMPULAN 1. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh 38OC atau lebih oleh suatu proses ekstrakranial. 2. Kejang demam dibagi 2 : - Kejang demam sederhana - Epilepsi yang diprovokasi oleh demam 3. Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun lebih sering menyerang laki-laki. 4. Etiologi: a. Faktor genetik b. Riwayat kehamilan dan persalinan yang kurang baik. c. Sepuluh penyebab demam menurut Lumbantobing terdiri atas : radang liang telinga tengah, radang saluran cerna, radang saluran nafas, radang paru dan saluran nafas, campak, cacar air dsb. d. Beberapa faktor yang menyebabkan kejang demam: demam itu sendiri, efek produk toksik mikroorganisme, respon alergik/keadaan imun abnormal, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit ,ensefalitis viral dan gabungan semua faktor diatas. 5. Patofisiologi: kenaikan suhu menyebabkan perubahan keseimbangan membran berupa difusi K + + Na+ sehingga terjadi lepas muatan listrik, meluas ke seluruh sel atau ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter sehingga terjadi kejang. 6. Diagnosis: KDS menurut Livingstone: kejang umum, terjadi kurang dari 15 menit, usia kurang dari 6 tahun, frekuensi serangan 1-4 kali setahun dan EEG normal. ETOF menurut Livingstone: kejang lama, fokal ,usia diatas 6 tahun saat serangan pertama, frekuensi diatas 4 kali dalam setahun dan EEG abnormal 7. Diagnosis Banding: - Kelainan dalam otak : akut sesaat dan kronik berulang - Kelainan diluar otak : tetanus dan tetani. 8.Penatalaksanaan: a. pengobatan fase akut. b. mencari dan mengobati penyebab kejang. c. pengobatan profilaksis terhadap terulangnya kejang. d. mempertahankan dan menunjang kehidupan penderita. 9. Komplikasi: hemiparesis, epilepsi dan gangguan mental organik. 10.Prognosis KDS baik, sedangkan KDK cenderung menjadi epilepsi dan gangguan intelektual. DAFTAR PUSTAKA Asness, R. S., Novick, L. P., Nealis, J., Nguyen, M. L. 1975. The First Febrile Seizure : A Study of Current Pediatric Practice. Dalam Ongkie A. S., Kejang Demam Pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia Vol 30 : hal: 99, 1980. Freeman, J. M. 1980. Febrile Seizure a Consessus of Their Significancy, Evaluation and Treatment. Dalam Nawawi, Idham, 1996. Faltor Risiko Kejang Demam pada Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, hal: 6, Yogyakarta. Goodridge, D. M. G. 1987. Febrile Convulsions in Childhood. Dalam F> B. Gibber (ed): Medicine International Indonesian Edition Neurology, Vol 2 (16) hal: 1884-87.
Hasan, Rusepno dan Alatas, Husein (eds). 1985. Kejang Demam. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 847-54, Jakarta.
Hendarto, S. K. 1988. Kejang Pada Anak. Ed 1 dalam Nawawi, Idham; 1996. Faktor Risiko Kejang Demam pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, hal: 13, Yogyakarta.
Haslam, Robert H.A,1996 Kejang Demam Dalam Behrman,Richard E;Kleigmen, Robert M. & Arvin,Ann M. (eds),Nelson Text book of Pediatrics,15/E, WB. Sauders Company, pp: 2059-60, Philadelphia, Pennsylvania.
Lumbantobing, S. M. dan Sofhan Ismail: Pengobatan Status Convulsius Anak dengan Diazepam (Valium), Majalah Kedokteran Indonesia, 4; hal: 182, 1970.
Lumbantobing, S. M. 1995. Kejang Demam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Menkes, J. H. 1980. Textbook of Child Neurology, 2nd edition, dalam Nawawi, Idham, 1996. Faktor Risiko Kejang Demam pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, hal: 6, Yogyakarta.
Nawawi, Idham. 1996. Faktor Risiko Kejang Demam pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ongkie, A. S., Kejang Demam pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia, 4: hal :182, 1970.
Pratiknya, A. W. 1986. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, hal. 190-1.
Soetomenggolo, T. S. 1989. Kejang Demam. Dalam S. M. Lumbantobing dan H. Sfyan Ismael (eds). Penatalaksanaan Mutakhir Kejang pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 41-9, Jakarta.
Sunartini. 1991. Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.






BAGAN MEMBERANTAS KEJANG
1. Segera diberikan diazepam iv atau diazepam per rektal
(Dosis rata-rata 0, 3 mg/kgBB atau dosis <10 kg = 5 mg rektiol; >10 kg = 10 mg rektiol)
Bila kejang tidak berhenti tunggu 15 menit
Dapat di ulang dengan dosis/cara yang sama
Kejang berhenti
Berikan dosis awal fenobarbital
dosis neonatus: 30 mg/im
1 bln-1thn: 50 mg/im
> 1 thn: 75 mg/im
Pengobatan rumatan pada 4 jam kemudian
dosis: hari 1 + 2: Fenobarbital 8 – 10 mg/ kgBB dibagi 2 dosis
hari berikutnya: Fenobarbital 4-5 mg/kgBB dibagi 2 dosis
2. Bila diazepam tidak tersedia, maka:
Langsung memakai fenobabital dengan dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan pengobatan rumatan.




PNEUMONIA

PENGERTIAN
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan adanya konsolidasi akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli. (Axton & Fugate, 1993)

PENYEBAB

- Virus Influensa
- Virus Synsitical respiratorik
- Adenovirus
- Rhinovirus
- Rubeola
- Varisella
- Micoplasma (pada anak yang relatif besar)
- Pneumococcus
- Streptococcus
- Staphilococcus


TANDA DAN GEJALA

 Sesak Nafas
 Batuk nonproduktif
 Ingus (nasal discharge)
 Suara napas lemah
 Retraksi intercosta
 Penggunaan otot bantu nafas
 Demam
 Ronchii
 Cyanosis
 Leukositosis
 Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar


Jenis
Pneumonia lobular
Bronchopneumonia

PATOFISIOLOGI

Kuman mati Virulensi tinggi

Destruksi jaringan

Shunt darah arteriole alveoli
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur : Anak-anak cenderung mengalami infeksi virus dibanding dewasa
Mycoplasma terjadi pada anak yang relatif besar
Tempat tinggal: Lingkungan dengan sanitasi buruk beresiko lebih besar

Riwayat Masuk
Anak biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi. Kesadaran kadang sudah menurun apabila anak masuk dengan disertai riwayat kejang demam (seizure).

Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit saluran pernafasan lain seperti ISPA, influenza sering terjadi dalam rentang waktu 3-14 hari sebelum diketahui adanya penyakit Pneumonia.
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan dapat memperberat klinis penderita

Pengkajian
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan

2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,

3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun

4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan

6. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,

7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare

Studi Laboratorik :
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal
Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Infeksi Paru
Karakteristik : batuk (baik produktif maupun non produktif) haluaran nasal, sesak nafas, Tachipnea, suara nafas terbatas, retraksi, demam, diaporesis, ronchii, cyanosis, leukositosis
Tujuan :
Anak akan mengalami pola nafas efektif yang ditandai dengan :
Suara nafas paru bersih dan sama pada kedua sisi
Suhu tubuh dalam batas 36,5 – 37,2OC
Laju nafas dalam rentang normal
Tidak terdapat batuk, cyanosisi, haluaran hidung, retraksi dan diaporesis

Tindakan keperawatan
Lakukan pengkajian tiap 4 jam terhadap RR, S, dan tanda-tanda keefektifan jalan napas
R : Evaluasi dan reassessment terhadap tindakan yang akan/telah diberikan
Lakukan Phisioterapi dada secara terjadwal
R : Mengeluarkan sekresi jalan nafas, mencegah obstruksi
Berikan Oksigen lembab, kaji keefektifan terapi
R : Meningkatkan suplai oksigen jaringan paru
Berikan antibiotik dan antipiretik sesuai order, kaji keefektifan dan efek samping (ruam, diare)
R : Pemberantasan kuman sebagai faktor causa gangguan
Lakukan pengecekan hitung SDM dan photo thoraks
R : Evaluasi terhadap keefektifan sirkulasi oksigen, evaluasi kondisi jaringan paru
Lakukan suction secara bertahap
R : Membantu pembersihan jalan nafas
Catat hasil pulse oximeter bila terpasang, tiap 2 – 4 jam
R : Evaluasi berkala keberhasilan terapi/tindakan tim kesehatan

2. Defisit Volume Cairan b.d :
- Distress pernafasan
- Penurunan intake cairan
- Peningkatan IWL akibat pernafasan cepat dan demam

Karakteristik :
Hilangnya nafsu makan/minum, letargi, demam., muntah, diare, membrana mukosa kering, turgor kulit buruk, penurunan output urine.

Tujuan : Anak mendapatkan sejumlah cairan yang adekuat ditandai dengan :
Intake adekuat, baik IV maupun oral
Tidak adanya letargi, muntah, diare
Suhu tubuh dalam batas normal
Urine output adekuat, BJ Urine 1.008 – 1,020

Intervensi Keperawatan :
Catat intake dan output, berat diapers untuk output
R : Evaluasi ketat kebutuhan intake dan output
Kaji dan catat suhu setiap 4 jam, tanda devisit cairan dan kondisi IV line
R : Meyakinkan terpenuhinya kebutuhan cairan
Catat BJ Urine tiap 4 jam atau bila perlu
R : Evaluasi obyektif sederhana devisit volume cairan
Lakukan Perawatan mulut tiap 4 jam
R : Meningkatkan bersihan sal cerna, meningkatkan nafsu makan/minum

Diagnosa lain :

1. Perubahan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan b.d anoreksia, muntah, peningkatan konsumsi kalori sekunder terhadap infeksi
2. Perubahan rasa nyaman b.d sakit kepala, nyeri dada
3. Intoleransi aktivitas b.d distres pernafasan, latergi, penurunan intake, demam
4. Kecemasan b.d hospitalisasi, distress pernafasan



Referensi :
Acton, Sharon Enis & Fugate, Terry (1993) Pediatric Care Plans, AddisonWesley Co. Philadelphia

LAPORAN KASUS

1. PENGKAJIAN
1.1 Identitas
Nama : An. AAL
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 4 bulan
Agama : Islam
Alamat : Pamekasan Nama orang tua : Tn. Suk
Usia : 38 tahun
Pendidikan : D III
Pekerjaan : Guru (PNS)
Agama : Islam
Alamat : Pamekasan

Data Medik
Tanggal masuk : 3 Juli 2002
Jam Masuk : 23.35 WIB
Cara masuk : lewat IRD
Diagnosa Medik : Pneumonia & Susp. Encephalitis


1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang ke rumah sakit dengan diantar keluarga setelah sebelumnya mengalami mencret selama 2 hari (mulai 1 Juli 2002) dengan jumlah feses + ½ gelas tiap kali mencret dan frekuensi 4 – 5 kali tiap hari. Feses tidak disertai lendir/darah. Demam terjadi sejak 3 hari sebelum demam dan naik turun. Klien sudah dibawa ke Dokter tapi tidak sembuh.
Saat ini klien dibawa ke RS karena kejang dan tidak sadarkan diri. Kejang yang dialami klien terjadi tangal 3 Juli 2002 pagi hari (pk. 09.00 WIB) saat demam, selama l.k 2 menit. Kejang tonik disertai dengan keluarnya ludah dari mulut klien. Klien tidak mengalami cyanosis dan tidak mampu menangis setelah kejang. Kejang hilang dengan sendirinya dan hanya terjadi satu kali. Kejang tidak terjadi lagi hingga klien masuk dirumah sakit, tetapi kesadaran klien tetap menurun. (GCS : M 2 V 1 E 2)

1.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Kilen tidak pernah menggalami kejang sebelumnya, klien tidak pernah mengalami batuk pilek akhir-akhir ini. Pernah batuk pilek usia 2 bulan.

1.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terkaji

1.5 Riwayat Tumbuh Kembang
Klien telah bisa tengkurap

1.6 Pengkajian Sistem
 Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, suhu tubuh 38,8OC, BB 6 kg, LK 45 cm, LD 43 Cm, kemerahan pada kulit bokong dan punggung, popok basah

 Sistem Pulmonal
Subyektif : -
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, RR 36 X/menit (dengan bantuan oksigen 6 l/m) pola nafas eupnea, sputum banyak keluar dari mulut, penggunaan otot bantu pernafasan, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru basal kanan dan kiri.

 Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : -
Obyektif : Denyut nadi 124 X/menit, TD tidak terkaji.

 Sistem Neurosensori
Subyektif : -
(a) Obyektif : GCS menurun (V 2 M 1 E 2), refleks pupil positif isokhor, reflek iris positif, Babinski 1 (-) Babinski 2 (+/?) refleks patella dalam batas normal, refleks palmar (+)

 Sistem Musculoskeletal
Subyektif : -
Obyektif : tonus otot menurun, Kekuatan otot 3/3/3/3
retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan

 Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : b.a.k 3-4 kali sehari, Jumlah urine banyak, warna kuning muda volume tidak diketahui

 Sistem digestif
Subyektif : -
Obyektif : b.a.b 1 kali sehari (?), konsistensi feses normal

1.7 Hasil Laboratorik
Tanggal 3 Juli 2001; 23.50 WIB
Hb : 8,3 mg% (11,4 – 15,1 mg%)
Trombosit : 564 X 109/l (150 – 300 X 109/l )
Leukosit : 29,7 X 109/l (4,3 – 11,3 X 109/l )
PCV : 0, 26 ( 0,38-0,42 )
Glukosa : 165 mg/dl ( < 200 ) Elektrolit : Kalium : 3,85 mEq/l ( 3,8 – 5,0 mEq /l) Natrium : 113 mEq/l (136 – 144 mEq/l) Analisa Gas Darah pH : 7, 396 (7,35 – 7,45 ) pCO2 : 32,1 mmHg ( 25 – 45 mmHg) pO2 : 335,4 mmHg (80 – 104 mmHg) HCO3 : 4,2 mmol/l (< 4,25 mmol/l) O2 saturasi : 99,8 % CO2 saturasi : 20,2 mmol/l BE : - 5,7 (-3,3 -- +1,2) Terapi Pengobatan : - Oksigen T-Piece 40 % - D5 ½ S 500 cc/24 jam - Sonde D5 3 X 25 cc ASI/PASI 5 X 25 cc - Cefotaxim 3 X 500 mg - Cloxacillin 3 X 500 mg - Dilantin 3 X 52 mg - Dexamethason 3 X 1 mg - Valium 2 mg (bila perlu) ANALISA DATA Data Etiologi Masalah DS : - DO : Na 133 mEq/l Riwayat diare Diare Pengeluaran Elektrolit berlebih intravekal : Natium, Kalium Kadar Natrium rendah Keseimbangan cairan dan elektrolit DS : - DO : Sputum pada mulut Ronchii lapang basal paru Invasi kuman penyakit Per tahanan lokal : Produksi sputum berlebih oleh sel goblet Cairan sputum menumpuk pada bronkus terminalis & bronkeolus Sumbatan nafas Bersihan Jalan Nafas DS :- DO : Suhu tubuh 38,8 OC Invasi kuman Pertahanan tubuh nonspesifik : Pengeluaran pirogen Peningkatan sirkulasi perifer Peningkatan Suhu tubuh Thermoregulasi DS : - DO : GCS (M2 V1 E 2) Tonus otot 3/3/3/3 Kondisi sakit, ketidakberdayaan Pengaruh (depresi) SSP Penururnan kesadaran Resiko Cidera Keselamatan 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Bersihan Jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret pada jalan nafas DS : - DO : - Terdapat secret/sputum pada mulut, Ronchii lapang basal paru kanan kiri 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d Hiponatremia sekunder terhadap diare DS : - DO : - Natrium 133 mEq/l - Riwayat Diare (data sekunder) 3. Hiperthermia b.d proses penyakit DS : - DO : -Suhu tubuh 38,8 OC 4. Resiko tinggi injuri b.d penurunan kesadaran, kelemahan fisik DS : - DO : GCS 5 (M2 V1 E2), Tonus otot 3/3/3/3 PERENCANAAN Bersihan Jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret pada jalan nafas Hasil yang diharapkan : Jalan nafas bersih Rencana Tindakan Rasional Kaji tanda-tanda vital; terutama pernafasan Kaji bersihan jalan nafas : sputum, mulut, stridor, ronchii Atur posisi klien : kepala hiperekstensi Atur posisi klien : Trendelenburk Lakukan fibrasi paru dan postural drainage Lakukan penghisapan lendir tiap 3 jam atau bila perlu Evaluasi hasil kegiatan tiap 3 jam atau bila perlu Pernafasan merupakan karakteristik utama yang terpengaruh oleh adanya sumbatan jalan nafas Pemantauan kepatenan jalan nafas penting untuk menentukan tindakan yang perlu diambil Meminimalkan resiko sumbatan jalan nafas oleh lidah dan sputum Merupakan mekanisme postural drainage, memfasilitasi pengeluaran secret paru Rangsangan fisik dapat meningkatkan mobilitas secret dan merangsang pengeluaran secret lebih banyak Eliminasi lendir dengan suction sebaiknya dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 10 menit, dengan pengawasan efek samping suction Memasatikan tindakan/prosedur yang dilakukan telah mengurangi masalah pada klien Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d Hiponatremia sekunder terhadap diare Hasil yang diharapkan : - Kadar Natrium kembali normal - Tidak terdapat tanda-tanda hiponatremia : kejang, penurunan kesadaran, kelemahan Rencana Tindakan Rasional Kaji adanya tanda/gejala hiponatremia Kaji Intake dan output harian Berikan ekstra cairan mengandung Natrium (kolaborasi dengan dokter) Lakukan pemeriksaan elektrolit : Na minimal dua hari sekali Gejala hiponatremia; terutama kejang sangat berbahaya bagi kondisi anak dan dapat memperberat kondisi serta menimbulkan cidera Memastikan kebutuhan cairan harian tercukupi Meningkatkan kadar Natrium dalam darah, koreksi dengan menghitung defisit Natrium (berdaraskan hasil laboratorium) Mengevaluasi hasil seluruh tindakan Hiperthermia b.d proses penyakit Hasil yang diharapkan : - Suhu tubuh normal (36-37OC) Rencana Tindakan Rasional Kaji saat timbulnya demam Kaji tanda-tanda vital tiap 3 jam atau lebih sering Berikan kebutuhan cairan ekstra Berikan kompres dingin Kenakan pakaian minimal Berikan terapi cairan intravena RL ½ Saline dan pemberian antipiretik Atur suhu incubator Mengidentifikasi pola demam Acuan untuk mengetahui keadaan umum klien Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak Konduksi suhu membantu menurunkan suhu tubuh Pakaian yang tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh Pemberian caiaran sangat penting bagi klien dengan suhu tinggi. Pemberian caiaran merupakan wewenang dokter sehingga perawat perlu berkolaborasi dalam hal ini. Inkubator mampu mempengaruhi suhu lingkungan bayi; penting dalam proses konduksi dan evaporasi 3. PELAKSANAAN DAN EVALUASI Tanggal 4 Juli 2001 Bersihan Jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret pada jalan nafas Jam Implementasi Evaluasi 07.30 07.45 07.50 07.50 08.00 08.00 11.00 11.05 11.10 14.00 14.00 Mengkaji tanda-tanda vital : S : 38,6;P : 38 X/m Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (+), stridor(+), ronchii (+) pada lapang basal paru Mengatur posisi klien : kepala hiperekstensi, diganjal dengan kain Mengatur posisi klien : Trendelenburk Melakukan fibrasi paru dan postural drainage Melakukan penghisapan lendir Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (+), stridor(+), ronchii (+) pada lapang basal paru Melakukan fibrasi paru dan postural drainage Melakukan penghisapan lendir Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (-), stridor(+), ronchii (+) minimal pada lapang basal paru Melakukan penghisapan lendir Tanggal 4 Juli 2001; 14.00 WIB S : - O : lendir pada mulut berkurang Stridor minimal (+) Ronchii grade I pada palang paru A : Masalah belum teratasi P : Rencana tetap, dilanjutkan Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d Hiponatremia sekunder terhadap diare Jam Implementasi Evaluasi 09.00 09.10 09.15 10.00 12.10 Mengkaji adanya tanda/gejala hiponatremia Mengkaji Intake dan output harian Memberikan ekstra cairan mengandung Natrium (kolaborasi dengan dokter) : NS 60 cc Mengkaji tanda kejang Mengkaji tanda kejang S : - O : tanda klinis hiponatreima (-) Intake total 660 cc, Output l.k 500 cc A : Masalah teratasi sebagian P : Evaluasi elektrolit, kaji tanda klinis hiponatremia Hiperthermia b.d proses penyakit Jam Implementasi Evaluasi 07.25 07.30 09.00 09.00 09.00 10.25 12.00 13.30 Mengkaji saat timbulnya demam : l.k 2 jam yang lalu Kaji tanda-tanda vital : S : 38,6 Membuka selimut, mematikan mesin inkubator, membuka jendela sirkulasi inkubator pemberian antipiretik : Pamol 60 mg Mengkaji tanda vital : S ; 38,2OC Mengkaji tanda vital : S : 37,8OC Mengkaji tanda vital : S : 37,5OC S : - O : Suhu tubuh 37,4OC A : Masalaha teratasi P : - Tanggal 5 Juni 2001 Bersihan Jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret pada jalan nafas Jam Implementasi Evaluasi 07.30 07.45 07.50 07.50 08.00 08.00 11.00 11.05 11.10 14.00 14.00 Mengkaji tanda-tanda vital : S : 37,3;P : 38 X/m Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (-), stridor(+), ronchii (+) minimal pada lapang basal paru Mengatur posisi klien : kepala hiperekstensi, diganjal dengan kain Mengatur posisi klien : Trendelenburk Melakukan fibrasi paru dan postural drainage Melakukan penghisapan lendir Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (-), stridor(-), ronchii (+) minimal pada lapang basal paru Melakukan fibrasi paru dan postural drainage Melakukan penghisapan lendir Mengkaji bersihan jalan nafas : sputum (-), stridor(-), ronchii (+) minimal pada lapang basal paru Melakukan penghisapan lendir Tanggal 5 Juli 2001; 14.00 WIB S : - O : lendir pada mulut berkurang Stridor (-) Ronchii grade I pada palang paru A : Masalah belum teratasi P : Rencana tetap, dilanjutkan Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d Hiponatremia sekunder terhadap diare Jam Implementasi Evaluasi 09.00 09.10 09.15 Mengkaji adanya tanda/gejala hiponatremia Mengkaji Intake dan output harian Mengkaji hasil laboratorium : Na 138 mEq/l S : - O : Na 138 mEq/l A : Masalah teratasi P : - Kondisi anak stabil, Ronchii Grade I, Produksi sputum berkurang, tanda kejang (-) Anak dipindah ke Ruang UPI Anak Lt. II Askep CHF A. Konsep Dasar Medis 1. Anatomi Fisiologi Jantung adalah organ berongga, berotot, yang terletak ditengah-tengah toraks, dan jantung menempati rongga jantung dan diafragma, beratnya sekitar 300 gram dan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, beratnya latihan, dan penyakit jantung. Fungsi jantung adalah memompa darah kejaringan, menyuplai oksigen, dan zat nutrisi lain sambil mengangkut karbondioksida dan hasil metabolisme. (Smeltzer and Bare, 2001) a. Anatomi Daerah dipertengahan dada diantara kedua paru disebut mediastinum. Perikardium, melindungi permukaan jantung agar dapat berfungsi dengan baik. Sisi kanan dan kiri jantung masing-masing tersusun atas atrium dan ventrikel, dipisahkan oleh septum. Ruangan jantung bagian atas atrium, secara anatomi terpisah dari ruangan jantung sebelah bawah atau ventrikel, oleh suatu unulus fibrosus. Keempat katub jantung terletak dalam cincin ini secra fungsional jantungf dibagi menjadi alat pompa kanan dan kiri, yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru, dan darah bersih keperedaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konseptualisasi dari urutan aliran darah, secara anatomi: vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis, paru-paru, vena pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteria, arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava. Arteri koronaria adalah pembuluh yang menyuplai otot jantung yang mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap oksigen dan nutrisi jantung menggunakan 70%-80% oksigen yang dihantarkan melalui arteri koronaria. Otot jantung adalah jaringan otot khusus yang menyusun dinding jantung. Otot jantung mirip otot serat lurik (skelet) yang dibawah control kesadaran, namun secara fungsional otot jantung menyerupai karena sifatnya involunter. Otot jantung itu sendiri dinamakan miokardium. Lapisan dalam miokardium yang berhubungan langsung dengan darah dinamakan endokardium, dan lapisan sel dibagian luar dinamakan epikardium. Katub trikuspidalis terletak diantara atrium dekstra dan ventrikel dekstra. Katub bikuspidalis terletak diantara atrium sinistra dan ventrikel sinistra. Katub semilunaris arteri pulmonalis terletak diantara ventrikel dekstra dan arteri pulmonalis. Sirkulasi darah pada peredaran darah kecil terdiri dari arteri pulmonalis merupakanpembuluh darah yang keluar dari ventrikel dekstra menuju paru-paru. b. Fisiologi Aktivitas listrik jantung terjadi akibat ion (partikel bermuatan seperti natrium, kalium, kalsium) bergerak menembus membrane sel. Perbedaan muatan listrik yang tercatat dalam sebuah sel mengakibatkan potensial aksi jantung. Pada keadaan istirahat, otot jantung terdapat dalam keadaan terpolarisasi, artinya terdapat perbedaan muatan listrik anatar bagian dalam membrane yang bermuatan positif. Siklus jantung bermula saat dilepaskan impuls listrik, mulailah fase depolarisasi dengan bergeraknya ion kedalam sel, maka bagian dalam sel akan menjadi positif, kontraksi otot terjadi setelah depolarisasi, sel otot jantung normalnya akan mengalami depolarisasi ketika sel-sel tetangga mengalami depolarisasi. Repolarisasi terjadi saat sel kembali kekeadaan dasar dan sesuai dengan relaksasi otot miokardium. Otot jantung tidak seperti otot lurik atau otot polos,mempunyai periode refraktori yang panjang, pada saat sel tidak dapat distimulasi untuk berkontraksi. Hal tersebut melindungi jantung dari kontraksi berkepanjangan yang dapat menjadikan henti jantung mendadak. Koping elektromekanikal dan kontraksi jantung yang normal, tergantung pada komposisi cairan intertisial sekitar otot jantung. (Smeltzer & Bare 2001, hal 723). 2. Definisi Ada beberapa pengertian CHF menurut beberapa ahli: a. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah sindroma yang terjadi bila jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic dan oksigenasi jantung. (Carpenito, 1999) b. Pengertian gagal jantung secara umum adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagalmemompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. (Ilmu penyakit dalam. 1996 h, 975) c. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. (Smeltzer & Bare Vol 2, hal 805 th 2001) 3. Etiologi Penyebab CHF ada beberapa factor yang sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas pada jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung meliputi: a. Penyakit arterosklerosis koroner yang mengakibatkan disfungsi pada miokardium karena terganggunya aliran darah pada otot jantung. b. Hipertensi sistemik/ pulmonal yang mengakibatkan meningkatnya beban kerja jantung yang akhirnya mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. c. Peradangan dan penyakitMiokardium degenaratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara tidak langsung merusak serabut otot jantung dan menyebabkan kontraksi menurun. d. Penyakit jantung lain, yang sebenarnya tidak ada secara langsung mempengaruhi jantung, mekanisme yang terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung misalnya stenosis katub semiluner, ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah misalnya tamponade pericardium, perikarditis kontriktif dan stenosis katub AV, peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi “maligna”) dapat menyebabkan gagal jantung tidak ada hipertropi miokardial. e. Factor sistemik, yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tirotoksikosis) hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas plektrolit dapat menurunkankontraktilitas jantung. f. Gangguan kontraktilitas (miokard infark/ miopati) yang mengganggufungsi miokard karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding abnormal dan mengubah daya kembangruang jantung tersebut yang akhirnya menyebabkan penurunan curah jantung. g. Gangguan Afterload (Stenosis Aorta/ Hipertensi Sistemik) stenosis menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri keaorta pada waktu sistolik ventrikel, yang menyebabkan beban ventrikel meningkat dan akibatnya ventrikel kiri hipertropi yang mengurangi daya renggang dinding ventrikel dan dinding relative menjadi kaku dan pada akhirnya dapat mengurangi volume sekuncup dan menyebabkan gagal jantung, katub AV, peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanana darah sistemik dapat menyebabkan gagal jantung tidak ada hipotrofi miokardial. h. Factor sistemik, yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung seperti meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tiroktositas) hipoksia, dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas plektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung. 4. Patofisiologi Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR x SV dimana curah jantung ( CO = Cardiak Output ) adalah fungsi frekuensi jantung, Heart x Volume sekuncup ( SV = Stroke Volume ). Frekuensi jantung adalah fungsi saraf otonom. Bila curah jantung berkurang system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan fungsi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekuatan serabtu otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan pada setiap kontraksi tergantung pada tiga factor: preload, kontraktilitas dan afterload. • Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya renggangan serabut jantung. • Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. • Afterload, bergantung pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan utnuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan afterload. Pada gagal jantung, jika satu atau lebih dari ketiga factor tersebut terganggu mengakibatkan curah jantung berkurang mengakibatkan curah jantung berkurang 5. Manifestasi klinis 1) Edema pada tungkai 2) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena hepar. 3) Asites Jika pembesaran vena dihepar berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan. 4) Anoreksia dan mual Terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena didalam rongga abdomen. 5) Nokturia Terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring, karena curah jantung akan membaik dengan istirahat 6) Lemah Karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah, katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan. (Smeltzer & Bare, 2001, hal. 807-808) 6. Pemeriksaan Diagnostik a. EKG : Hipertropi arterial dan ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia. b. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding. c. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi atau struktur katub dan area penurunan kontraktilitas ventrikuler. d. Kateterisasi jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri, stenosis katub atau insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner. e. Rontgen dada : Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi/ hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal. f. USG jantung : Menggunakan ultra sonograpi untuk melihat keadaan jantung. g. Oksimetri nadi : Saturasi O2 mungkin rendah, terutama gagal jantung kongestif akut memperburuk PPOM. 7. Penatalaksanaan Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah sebagai berikut: Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan tambahan bahan-bahan farmakologis. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebnihan dengan terapi diuretic, diet dan istirahat. Adapun penatalaksanaan yang diberikan adalah: a. Penatalaksanaan farmakologis 1) Digitalis/ Digoxin Peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung, efek yang dihasilkannya peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah, peningkatan diuresis. 2) Diuretik/ Lasix Memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal, efeknya dapat mendilatasi venula, sehingga meningkatkan kapasitas vena yang akhirnya mengurangi preload (darah vena yang kembali kejantung). 3) Vasodilator/ Natrium Nitroprusida/ Nitrogliserin Digunakan untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel, yang dapat memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat ditirunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat. b. Penatalaksanaan lain 1) Meningkatkan oksigen dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat dan pembatasan aktivitas. 2) Diet, klien dianjurkan untuk diet pantang garam dan pantang cairan. 8. Komplikasi a. Syok kardiogenik Terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan luas. b. Episode tromboembolik: Disebabkan kurangnya mobilitas pasien penderita jantung dan adanya gangguan sirkulasi yang menyertai kelainan ini berperan dalam pembentukan thrombus intrakardial dan intravaskuler. c. Efusi perikardial dan tamponade jantung Masuknya cairan kedalam kantung perikardium dan efusi ini menyebabkan penurunan curah jantung serta aliran balik vena kejantung dan hasil akhir proses ini adalah tamponade jantung. Askep Hipertensi A. KONSEP DASAR ANATOMI FISIOLOGI 1. Anatomi a. Jantung Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis kelima kiri pada linea midclavicular. Hubungan jantung adalah: Atas : pembuluh darah besar Bawah : diafragma Setiap sisi : paru  Belakang : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis b. Arteri Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki laposan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ). c. Arteriol Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat. d. Pembuluh darah utama dan kapiler Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah utama. e. Sinusoid Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan. f. Vena dan venul Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama lain. (Gibson, John. Edisi 2 tahun 2002, hal 110) Gambar: Sistem sirkulasi jantung (Gibson, john, 2002) 2. Fisiologi Jantung mempunyai fungsi sebagai pemompa darah yang mengandung oksigen dalam sistem arteri, yang dibawa ke sel dan seluruh tubuh untuk mengumpulkan darah deoksigenasi (darah yang kadar oksigennya kurang) dari sistem vena yang dikirim ke dalam paru-paru untuk reoksigenasi (Black, 1997) B. KONSEP DASAR MEDIS HIPERTENSI 1. Pengertian Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002, edisi 8 volume 2 hal 896). Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 90 mmHg atau bila pasien memakai140 mmHg, tekanan darah diastolik obat antihipertensi (FKUI, Kapita Selekta, hal 518) Hipertensi adalah tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal, tinggi sampai hipertensi maligna. (Doenges, 2000, hal 39) Definis operasional; Hipertensi adalah tekanan darah tinggi diatas 140/90 mmHg. 2. Etiologi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a. Hipertensi Esensial/Hipertensi Primer: yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na. Peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko, seperti: obesitas, alkohol, merokok serta polisitemia. b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan esterogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal. Hiperaldosteronisme primer dan sindrom cushing, feokromusitoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain (FKUI, Kapita Selekta, hal 518). 3. Patofisiologi Hipertensi sebagai suatu penyakit dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang tidak normal. Batas yang tepat dari kelainan ini tidak pasti. Nilai yang didapat diterima berbeda sesuai dengan usia dan jenis kelamin (sistolik 140-160 mmHg; diastolik 90-95 mmHg). Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung, tekanan perifer dan tekanan atrium kanan. Didalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal. Berbagai faktor seperti faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme kalium dalam ginjal, serta obesitas dan faktor endotel mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah. Stres dengan peninggian aktivitas saraf simpatis menyebabkan kontriksi fungsional dan hipertensi struktural. Berbagai promotor prosesor-growth bersama dengan kelainan fungsi membran sel yang sama dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskuler akan menyebabkan peninggian terhadap perifer dan peningkatan tekanan darah, mengenai kelainan fungsi membran sel membuktikan adanya defek transpor Na+ dan atau Ca++ lewat membran sel yang disebabkan oleh faktor genetik atau oleh peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular yang dapat menghambat pompa natrium yang bersifat vasokontriksi. Sistem renin angiotensin dan aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi, sekresi angiotensin yang mengakibatkan retensi natrium dan air merupakan salah satu peran timbulnya hipertensi. Adanya hubungan hipertensi dan kadar gula darah yang membuat parahnya penderita. Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan peninggian tekanan darah yang menetap. (Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, hal 457) Manifestasi Klinis Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian, gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak atau jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sulit tidur, mata berkunang-kunang dan pusing. (Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, jilid 1, hal 518) 5. Pemeriksaan Diagnostik a. Hemoglobin/Hematokrit: Bukan diagnostik tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia . b. Glukosa: Hiperglikemia (DM adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar ketokolamin (meningkatkan hipertensi). c. Kalsium serum: Peningkatan kadar kalsium dapat meningkatkan hipertensi. d. VMA urin (metabolit ketokolamin): Kenaikan dapat mengindikasikan adanya feokromositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat dilakukan untuk mengkaji feokromositoma bila hipertensi hilang timbul. e. Asam urat: Hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi. f. IVP: Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi. g. EKG: Dapat menunjukan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi. (Doenges, 2002, hal 42) 6. Penatalaksanaan Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan diastolik dibawah 90 mmHg dan mengontrol faktor resiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja atau dengan obat anti hipertensi. Modifikasi gaya hidup, langkah-langkah yang dianjurkan: a. Penurunan berat badan, b. Membatasi alkohol, c. Peningkatan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari), d. Mengurangi asupan natrium (garam), e. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak dan kolesterol dalam makanan. f. Obat anti hipertensi: Diberikan obat diuretik/betabloker. Beberapa obat anti hipertensi: Captopril, Atenolol, Propanolol, Tiazid. Beberapa obat diuretik: Lasix, Furosemid (Mansjoer Arif et al, 2001; 519 ) 7. Komplikasi a. Pada mata: Berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. b. Gagal jantung: Merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat disamping kelainan koroner dan miokard. c. Pada otak: Sering terjadi perdarahan yang disebabkan pecahnya mikro aneurisma yang dapat mengakibatkan kematian. d. Gagal ginjal: Dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama pada proses akut seperti pada hipertensi maligna. (Tjokronegoro Arjatmo dan Utama Hendra, IPD edisi III, jilid 2, hal 470) VESIKOLITHIASIS A. Pengertian Batu perkemihan dapat timbul pada berbagai tingkat dari sistem perkemihan (ginjal, ureter, kandung kemih), tetapi yang paling sering ditemukan ada di dalam ginjal (Long, 1996:322). Vesikolitiasis merupakan batu yang menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka aliran yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan berhenti dan menetes disertai dengan rasa nyeri ( Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1998:1027). Pernyataan lain menyebutkan bahwa vesikolitiasis adalah batu kandung kemih yang merupakan keadaan tidak normal di kandung kemih, batu ini mengandung komponen kristal dan matriks organik (Sjabani dalam Soeparman, 2001:377). Vesikolitiasis adalah batu yang ada di vesika urinaria ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat atau ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah terjadinya kristalisasi dalam urin (Smeltzer, 2002:1460). Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal akibat adanya obstruksi (Smeltzer, 2002:1442). Long, (1996:318) menyatakan sumbatan saluran kemih yang bisa terjadi dimana saja pada bagian saluran dari mulai kaliks renal sampai meatus uretra. Hidronefrosis adalah pelebaran/dilatasi pelvis ginjal dan kaliks, disertai dengan atrofi parenkim ginjal, disebabkan oleh hambatan aliran kemih. Hambatan ini dapat berlangsung mendadak atau perlahan-lahan, dan dapat terjadi di semua aras (level) saluran kemih dari uretra sampai pelvis renalis (Wijaya dan Miranti, 2001:61). Vesikolithotomi adalah alternatif untuk membuka dan mengambil batu yang ada di kandung kemih, sehingga pasien tersebut tidak mengalami ganguan pada aliran perkemihannya Franzoni D.F dan Decter R.M (http://www.medscape.com, 8 Juli 2006). B. Etiologi Menurut Smeltzer (2002:1460) bahwa, batu kandung kemih disebabkan infeksi, statis urin dan periode imobilitas (drainage renal yang lambat dan perubahan metabolisme kalsium). Faktor- faktor yang mempengaruhi menurut Soeparman (2001:378) batu kandung kemih (Vesikolitiasis) adalah 1. Hiperkalsiuria Suatu peningkatan kadar kalsium dalam urin, disebabkan karena, hiperkalsiuria idiopatik (meliputi hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan protein), hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau kelebihan kalsium. 2. Hipositraturia Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I (lengkap atau tidak lengkap), minum Asetazolamid, dan diare dan masukan protein tinggi. 3. Hiperurikosuria Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium karena masukan diet purin yang berlebih. 4. Penurunan jumlah air kemih Dikarenakan masukan cairan yang sedikit. 5. Jenis cairan yang diminum Minuman yang banyak mengandung soda seperti soft drink, jus apel dan jus anggur. 6. Hiperoksalouria Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini disebabkan oleh diet rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium intestinal, dan penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi garam empedu. 7. Ginjal Spongiosa Medula Disebabkan karena volume air kemih sedikit, batu kalsium idiopatik (tidak dijumpai predisposisi metabolik). 8. Batu Asan Urat Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan hiperurikosuria (primer dan sekunder). 9. Batu Struvit Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan organisme yang memproduksi urease. Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari : 1. 75 % kalsium. 2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat). 3. 6 % batu asam urat. 4. 1-2 % sistin (cystine). C. Pathofisiologi Kelainan bawaan atau cidera, keadan patologis yang disebabkan karena infeksi, pembentukan batu disaluran kemih dan tumor, keadan tersebut sering menyebabkan bendungan. Hambatan yang menyebabkan sumbatan aliran kemih baik itu yang disebabkan karena infeksi, trauma dan tumor serta kelainan metabolisme dapat menyebabkan penyempitan atau struktur uretra sehingga terjadi bendungan dan statis urin. Jika sudah terjadi bendungan dan statis urin lama kelamaan kalsium akan mengendap menjadi besar sehingga membentuk batu (Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2001:997). Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kemudian dijadikan dalam beberapa teori (Soeparman, 2001:388): 1. Teori Supersaturasi Tingkat kejenuhan komponen-komponen pembentuk batu ginjal mendukung terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak menetap menyebabkan terjadinya agregasi kristal dan kemudian menjadi batu. 2. Teori Matriks Matriks merupakan mikroprotein yang terdiri dari 65 % protein, 10 % hexose, 3-5 hexosamin dan 10 % air. Adanya matriks menyebabkan penempelan kristal-kristal sehingga menjadi batu. 3. Teori Kurangnya Inhibitor Pada individu normal kalsium dan fosfor hadir dalam jumlah yang melampaui daya kelarutan, sehingga membutuhkan zat penghambat pengendapan. fosfat mukopolisakarida dan fosfat merupakan penghambat pembentukan kristal. Bila terjadi kekurangan zat ini maka akan mudah terjadi pengendapan. 4. Teori Epistaxy Merupakan pembentuk batu oleh beberapa zat secara bersama-sama. Salah satu jenis batu merupakan inti dari batu yang lain yang merupakan pembentuk pada lapisan luarnya. Contoh ekskresi asam urat yang berlebih dalam urin akan mendukung pembentukan batu kalsium dengan bahan urat sebagai inti pengendapan kalsium. 5. Teori Kombinasi Batu terbentuk karena kombinasi dari bermacam-macam teori diatas. D. Manifestasi Klinis Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria, jika terjadi obstruksi pada leher kandung kemih menyebabkan retensi urin atau bisa menyebabkan sepsis, kondisi ini lebih serius yang dapat mengancam kehidupan pasien, dapat pula kita lihat tanda seperti mual muntah, gelisah, nyeri dan perut kembung (Smeltzer, 2002:1461). Jika sudah terjadi komplikasi seperti seperti hidronefrosis maka gejalanya tergantung pada penyebab penyumbatan, lokasi, dan lamanya penyumbatan. Jika penyumbatan timbul dengan cepat (Hidronefrosis akut) biasanya akan menyebabkan koliks ginjal (nyeri yang luar biasa di daerah antara rusuk dan tulang punggung) pada sisi ginjal yang terkena. Jika penyumbatan berkembang secara perlahan (Hidronefrosis kronis), biasanya tidak menimbulkan gejala atau nyeri tumpul di daerah antara tulang rusuk dan tulang punggung. Selain tanda diatas, tanda hidronefrosis yang lain menurut Samsuridjal (http://www.medicastore.com, 26 Juni 2006) adalah: 1. Hematuri. 2. Sering ditemukan infeksi disaluran kemih. 3. Demam. 4. Rasa nyeri di daerah kandung kemih dan ginjal. 5. Mual. 6. Muntah. 7. Nyeri abdomen. 8. Disuria. 9. Menggigil. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjangnya dilakukan di laboratorium yang meliputi pemeriksaan: 1. Urine a pH lebih dari 7,6 biasanya ditemukan kuman area splitting, organisme dapat berbentuk batu magnesium amonium phosphat, pH yang rendah menyebabkan pengendapan batu asam urat. b Sedimen : sel darah meningkat (90 %), ditemukan pada penderita dengan batu, bila terjadi infeksi maka sel darah putih akan meningkat. c Biakan Urin : Untuk mengetahui adanya bakteri yang berkontribusi dalam proses pembentukan batu saluran kemih. d Ekskresi kalsium, fosfat, asam urat dalam 24 jam untuk melihat apakah terjadi hiperekskresi. 2. Darah a Hb akan terjadi anemia pada gangguan fungsi ginjal kronis. b Lekosit terjadi karena infeksi. c Ureum kreatinin untuk melihat fungsi ginjal. d Kalsium, fosfat dan asam urat. 3. Radiologis a Foto BNO/IVP untuk melihat posisi batu, besar batu, apakah terjadi bendungan atau tidak. b Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak dapat dilakukan, pada keadaan ini dapat dilakukan retrogad pielografi atau dilanjutkan dengan antegrad pielografi tidak memberikan informasi yang memadai. 4. USG (Ultra Sono Grafi) Untuk mengetahui sejauh mana terjadi kerusakan pada jaringan ginjal. 5. Riwayat Keluarga Untuk mengetahui apakah ada anggota keluarga yang menderita batu saluran kemih, jika ada untuk mengetahui pencegahan, pengobatan yang telah dilakukan, cara mengambilan batu, dan analisa jenis batu. E. Komplikasi Komplikasi yang disebabkan dari Vesikolithotomi (Perry dan Potter, 2002:1842) adalah sebagai berikut: a. Sistem Pernafasan Atelektasis bida terjadi jika ekspansi paru yang tidak adekuat karena pengaruh analgetik, anestesi, dan posisi yang dimobilisasi yang menyebabkan ekspansi tidak maksimal. Penumpukan sekret dapat menyebabkan pnemunia, hipoksia terjadi karena tekanan oleh agens analgetik dan anestesi serta bisa terjadi emboli pulmonal. b. Sistem Sirkulasi Dalam sistem peredaran darah bisa menyebabkan perdarahan karena lepasnya jahitan atau lepasnya bekuan darah pada tempat insisi yang bisa menyebabkan syok hipovolemik. Statis vena yang terjadi karena duduk atau imobilisasi yang terlalu lama bisa terjadi tromboflebitis, statis vena juga bisa menyebabkan trombus atau karena trauma pembuluh darah. c. Sistem Gastrointestinal Akibat efek anestesi dapat menyebabkan peristaltik usus menurun sehingga bisa terjadi distensi abdomen dengan tanda dan gejala meningkatnya lingkar perut dan terdengar bunyi timpani saat diperkusi. Mual dan muntah serta konstipasi bisa terjadi karena belum normalnya peristaltik usus. d. Sistem Genitourinaria Akibat pengaruh anestesi bisa menyebabkan aliran urin involunter karena hilangnya tonus otot. e. Sistem Integumen Perawatan yang tidak memperhatikan kesterilan dapat menyebabkan infeksi, buruknya fase penyembuhan luka dapat menyebabkan dehisens luka dengan tanda dan gejala meningkatnya drainase dan penampakan jaringan yang ada dibawahnya. Eviserasi luka/kelurnya organ dan jaringan internal melalui insisi bisa terjadi jika ada dehisens luka serta bisa terjadi pula surgical mump (parotitis). f. Sistem Saraf Bisa menimbulkan nyeri yang tidak dapat diatasi. F. Pengobatan Menurut Soeparman ( 2001:383) pengobatan dapat dilakukan dengan : 1. Mengatasi Simtom Ajarkan dengan tirah baring dan cari penyebab utama dari vesikolitiasis, berikan spasme analgetik atau inhibitor sintesis prostaglandin, bila terjadi koliks ginjal dan tidak di kontra indikasikan pasang kateter. 2. Pengambilan Batu a Batu dapat keluar sendiri Batu tidak diharapkan keluar dengan spontan jika ukurannya melebihi 6 mm. b Vesikolithotomi. c Pengangkatan Batu 1. Lithotripsi gelombang kejut ekstrakorporeal Prosedur non invasif yang digunakan untuk menghancurkan batu. Litotriptor adalah alat yang digunakan untuk memecahkan batu tersebut, tetapi alat ini hanya dapat memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm ke bawah. Bila batu di atas ukuran ini dapat ditangani dengan gelombang kejut atau sistolitotomi melalui sayatan prannenstiel. Setelah batu itu pecah menjadi bagian yang terkecil seperti pasir, sisa batu tersebut dikeluarkan secara spontan. 2. Metode endourologi pengangkatan batu Bidang endourologi mengabungkan ketrampilan ahli radiologi mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Batu diangkat dengan forseps atau jarring, tergantung dari ukurannya. Selain itu alat ultrasound dapat dimasukkan ke selang nefrostomi disertai gelombang ultrasonik untuk menghancurkan batu. 3. Ureteroskopi Ureteroskopi mencakup visualisasi dan akses ureter dengan memasukkan alat ureteroskop melalui sistoskop. Batu dapat dihancurkan dengan menggunakan laser, litotrips elektrohidraulik, atau ultrasound kemudian diangkat. d Pencegahan (batu kalsium kronik-kalsium oksalat) 1. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat) 2. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentuk batu yaitu sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon malam hari), dan bila batu tunggal dengan meningkatkan masukan cairan dan pemeriksaan berkala pembentukan batu baru. 3. Pengaturan diet dengan meningkatkan masukan cairan, hindari masukan soft drinks, kurangi masukan protein (sebesar 1 g/Kg BB /hari), membatasi masukan natrium, diet rendah natrium (80-100 meq/hari), dan masukan kalsium. 4. Pemberian obat Untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada. REPAIR HIPOSPADIA DEFINISI HIPOSPADIA Kelainan congenital pada penis OUE : - proximal dari Gland - ventral Chorde / Insidensi  1 : 300 / kelahiran bayi laki-laki ( Sweet , et.all.; 1974 )  Perlu penangananCermat Tepat  Sehingga Komplikasi di minimalisir C. ETIOPATOGENESIS  Kausa pasti  belum diketahui  multifaktor  Faktor : 1. Genetik  sangat berperan 2. Etnik & Geografis 3. Hormonal 4. Pencemaran Lingkungan E. KLASIFIKASI Barcat (1973) ANTERIOR 65 % – 70 % * Glandular * Coronal * Anterior Penil - MIDDLE HYPOSPADIAS * 10 % * Middle Penile - POSTERIOR HYPOSPADIAS * 20 % * Posterior Penil * Penoscrotal * Perineal F. TERAPI  Tujuan : - Anatomi - Fungsi  Yang perlu di pertimbangkan dalam repair hipospadia 1.Usia 2.Tipe Hipospadia 3.Ukuran Penis 4.Chordee +/-  Pengalaman dan kepercayaan operator sangat menentukan tahapan dan keberhasilan operasi * 2 hal pokok dalam repair hipospadia 1. Release chordee 2. Urethroplasty * Waktu ideal 6 bulan 18 bulan sebaiknya sebelum sekolah KESIMPULAN  Repair hipospadia antara satu tahap dengan dua tahap untuk terjadinya komplikasi tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05).
 Kejadian komplikasi pasca repair hipospadia yang paling banyak yaitu fistula urethrocutaneus(12,69%).
 Kepecayaan diri dan pengalaman operator menentukan tentang tahap dan keberhasilan operasi.
 Di sarankan penanganan hipospadia dilakukan dengan operasi satu tahap.




LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN TYPHOID

A. PENGERTIAN
Typhoid adalah penyakit infeksi mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. ( Ngastiyah, 1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab dari penyakit typhoid adalah bakteri Salmonella typhosa, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C.. Bakterri tersebut merupakan gram negatif tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O, antigen H dan antigen Vi. (IPD,1996).

C. GAMBARAN KLINIS
Pada minggu pertama keluhan dan gejala yang muncul adalah demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut sampai epitaksis.
Minggu kedua gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor )., hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. ( IPD, 1996 ).

D. PATOGENESIS
Infeksi terjadi pada saluran cerna, basil diserap di usus halus. Melalui pembuluh limfe halus masuk ke dalam peredaran darah sampai organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ itu membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah ( bakterimia ) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak Peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin.




E. PATHWAYS

Salmonella typhi


Mulut


Musnah Lambung


Usus halus

Jaringan limfoid peradangan/ nekrosis


Jaringan limfe mesentrial tukak mukosa sekresi enzim
Usus halus cerna meningkat

Sirkulasi porta aliran darah
dari usus melalui duktus thoraxilus imobilisasi malabsorbsi perforasi Peristaltik
usus halus


limfa/ hati bakterimia perdarahan diare


difagosit endotoksin


hidup mati sintesa dan pelepasan
zat pirogen

pembuluh
darah Hypotalamus


septikemia hypertermi


syok septik evaporasi meningkat


penurunan
kesadaran reabsorbsi air keringat banyak
dalam kolon meningkat


cairan ekstraseluler berkurang





ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA TEMBUS THORAX DENGAN PEMASANGAN BULLOW DRAINAGE


A. Latar Belakang
Pada trauma (luka tusuk di dada), biasanya disebabkan oleh benda tajam, bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga paru-paru. Mekanisme penyebabnya bisa satu tusukan kuat ataupun satu gerakan mendadak yang hebat. Akibatnya, selain terjadi peradarahan dari rongga paru-paru, udara juga akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, paru-paru pada sisi yang luka akan mengempis. Penderita nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang (Kartono, M. 1991).

B. Konsep Dasar.
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
Isi :
 Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
 Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

Gambar Rongga Thoraks :


Jantung Sternum
& perikardium Saraf frenikus
Vena Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf vagus

Aorta Vertebra
Sal. Torasika




2. Patofisiologi
Trauma tusuk dada kanan

Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,
rongga pleura, udara bisa pemb.darah jaringan paru-paru.
masuk

- Open pneumotoraks Terjadi perdarahan :
- Close pneumotoraks = ringan kurang 300 cc ---- di punksi
- Tension pneumotoraks = sedang 300 - 800 cc ------ di pasang drain
= berat lebih 800 cc ------ torakotomi
Tek. Pleura meningkat
terus Tek. Pleura meningkat terus
mendesak paru-paru


- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar bernapas/bernapas berat) = nyeri bernapas / tekan.
- nyeri bernapas = pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah
- poto toraks gambaran udara lebih 1/4 = anemis / pucat
dari rongga torak = poto toraks 15 - 35 % tertutup bayangan

WSD/Bullow Drainage


- terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas kulit
- nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. - Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. - Gangguan mobilitas fisik
- Inefektif bersihan jalan napas - Potensial Kolaboratif : Atelektasis dan
Pergeseran mediatinum



3. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.

b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

4. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

c. Mendorong berkembangnya paru-paru.
 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

e. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.




d. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

5. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

6. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

7. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.


C. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
 Sesak napas
 Nyeri, batuk-batuk.
 Terdapat retraksi klavikula/dada.
 Pengambangan paru tidak simetris.
 Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
 Adanya suara sonor/hipersonor/timpani.
 Bising napas yang berkurang/menghilang.
 Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
 Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
 Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
 Takhikardia, lemah
 Pucat, Hb turun /normal.
 Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
 Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.
 Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
 Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
 Kemampuan sendi terbatas.
 Ada luka bekas tusukan benda tajam.
 Terdapat kelemahan.
 Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
 Terjadi peningkatan metabolisme.
 Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.
 Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
 Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :
 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
 Pa O2 normal / menurun.
 Saturasi O2 menurun (biasanya).
 Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
 Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,



Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.




NEFROKALSINOSIS PADA ANAK

PENDAHULUAN
Nefrokalsinosis adalah peningkatan kadar kalsium dalam korteks atau medula ginjal yang dapat bersifat fokal atau difus. Kondisi ini biasanya merupakan akibat kelainan metabolik seperti asidosis tubular renal, hiperkalsiuria, dan hiperoksaluria. Modalitas ultrasonografi dapat mendeteksi dini kelainan ini. Nefrokalsinosis dapat menyebabkan nefropati tubulointerstisial dan menyebabkan gagal ginjal kronik pada beberapa kondisi seperti oksalosis dan sindrom Bartter neonatal. Pengobatan tergantung pada kelainan metabolik yang mendasarinya.1

NEFROKALSINOSIS
Istilah nefrokalsinosis awalnya dicetuskan oleh Albright pada tahun 1934 untuk menyatakan deposisi garam kalsium di parenkim ginjal pada hiperparatiroidisme. Nefrokalsinosis kini lebih sering dihubungkan dengan gambaran radiologis untuk menunjukkan kalsifikasi difus di parenkim ginjal. Gambarannya berbeda dengan kalsifikasi di dalam lumen ureter dan kandung kemih yang disebut dengan nefrolitiasis.2
Nefrokalsinosis didefiniskan sebagai peningkatan kadar kalsium ginjal, paling sering disebabkan oleh hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, yang menyebabkan deposisi kalsium di parenkim ginjal (nefrokalsinosis kortikal) atau piramida medula (nefrokalsinosis medular). Nefrokalsinosis tipe kortikal sering disebabkan oleh nekrosis tubular akut (NTA), sedangkan tipe medular merupakan perluasan dari nefrokalsinosis kortikal atau kelainan tersendiri akibat gangguan metabolik.2,3

Patofisiologi
Kelainan metabolisme kalsium, seperti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria dapat memicu pembentukan batu kalsium di ginjal (nefrolitiasis) dan deposisi garam kalsium dalam parenkim ginjal (nefrokalsinosis). Deposisi yang meluas dapat menyebabkan penyakit tubulointerstisial kronik dan insufisiensi ginjal. Tanda-tanda awal kerusakan akibat hiperkalsemia terlihat pada tingkat intraselular di dalam sel-sel epitel tubulus. Keadaan ini menyebabkan distorsi mitokondria, sitoplasma, dan membran basalis.2
Debris kalsium di sel menyebabkan oklusi tubulus, mengakibatkan atrofi obstruktif nefron, inflamasi non spesifik, dan fibrosis interstisial. Drainase urin yang terganggu melalui tubulus yang berkalsifikasi menyebabkan atrofi daerah korteks dan mengakibatkan parut korteks. Abnormalitas fungsional konsentrasi urin (osmolalitas) adalah perubahan pada ginjal yang pertama kali terdeteksi. Dampak ini berhubungan dengan menurunnya transpor klorida di dalam segmen asenden nefron.2
Kerusakan lain fungsi tubulus, seperti asidosis tubular dan nefritis salt-losing, juga dapat terjadi. Deposisi kalsium yang terus berlanjut dan tidak disadari akhirnya menyebabkan insufisiensi ginjal kronik. Nefrokalsinosis diperberat dengan pembentukan batu ginjal, yang memperburuk insufisiensi ginjal, menyebabkan uropati obstruktif. Gambaran histologis berupa deposit kristal kalsium fosfat atau kalsium oksalat di dalam interstisium ginjal.2

Penyebab
Pada nefrokalsinosis dan nefrolitiasis pada anak, sebanyak 64% kasus berhubungan dengan lesi di struktur ginjal atau infeksi saluran kemih, 10% berhubungan dengan hiperkalsemia atau hiperkalsiuria, 6% dengan sistinuria, dan 20% sisanya idiopatik. Sebuah survei retrospektif terhadap 152 anak dengan nefrokalsinosis menunjukkan 34% berhubungan dengan hiperkalsiuria idiopatik dan 32% dengan berbagai kelainan tubulus herediter. Manifestasi klinis yang ada antara lain gagal tumbuh pada usia hingga 1 tahun (46%), retardasi mental/psikomotor (28%), dan infeksi saluran kemih (34%).4 Berbeda halnya dengan orang dewasa, 40% kasus nefrokalsinosis medular berhubungan dengan hiperparatiroidisme dan 20% berhubungan dengan asidosis tubular renal. Dengan kata lain, 5% pasien dewasa dengan hiperparatiroidisme mengalami nefrokalsinosis. Sebanyak 95% nefrokalsinosis pada dewasa adalah tipe medular dan 5% sisanya tipe kortikal. Pada 70% pasien dewasa dengan asidosis tubular renal tipe I, terjadi nefrokalsinosis dan nefrolitiasis.2
Nefrokalsinosis juga dijumpai pada asidosis tubular renal distal familial, dengan gejala gagal tumbuh, riketsia, asidosis metabolik hiperkloremia, hipokalemia, hipofosfatemia, dan hiperkalsiuria.5 Nefrokalsinosis pada asidosis tubular renal distal (tipe 1) biasanya bersifat ireversibel, meskipun dengan pengaturan kalsium urin yang adekuat, tetapi insidens nefrolitiasis dapat dikurangi secara bermakna.6 Pada anak-anak dengan riketsia hipofosfatemia, pembentukan nefrokalsinosis berhubungan dengan asupan fosfat tinggi dan deposisi presipitat kalsium fosfat di ginjal.7 Gangguan terkait lain adalah hipofosfatemia kaitan X (X-linked hypophosphatemia/XLH) yang ditandai dengan riketsia, hipofosfatemia, dan hiperfosfaturia. Pengobatan XLH dengan fosfat oral dan vitamin D meningkatkan ekskresi kalsium urin dan nefrokalsinosis. Diuretik tiazid mengurangi ekskresi kalsium urin.3 Nefrokalsinosis juga dapat terjadi pada pseudohipoaldosteronisme, suatu kelainan homeostasis elektrolit yang ditandai dengan respon tidak adekuat tubulus ginjal (dan jaringan lainnya) atau resistensi terhadap kerja aldosteron, dengan manifestasi kadar garam rendah, hiperkalemia, dan asidosis metabolik.6
Nefrokalsinosis juga berhubungan erat dengan sindrom Bartter (hypercalciuric Bartter syndrome), yaitu sekelompok kelainan tubulus herediter yang disebabkan oleh gangguan reabsorpsi natrium klorida di dalam saluran asenden loop of Henle dan tubulus distal. Gejalanya adalah alkalosis hipokalemia, hiperaldosteronisme, hiperreninisme, dan normotensi. Hiperkalsiuria pada varian penyakit ini terjadi akibat peningkatan kadar prostaglandin E2 di urin dan serum 1,25 dihiroksi-D3, metabolit aktif vitamin D3. Prostaglandin E2 merangsang 1α-hidroksilasi 25-OHD, menyebabkan peningkatan kadar 1,25(OH)2D dalam sirkulasi, sehingga ekskresi kalsium di urin meningkat dan terjadi nefrokalsinosis. Nefrokalsinosis terjadi khususnya pada sindrom Bartter tipe I, II, dan V. Pengobatan dengan indometasin dapat mengurangi hiperkalsiuria, tetapi ekskresi kalsium ginjal dapat tetap meningkat dan nefrokalsinosis terus terjadi. Indometasin bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase yang menghalangi produksi prostaglandin berlebih. Pembentukan metabolit aktif vitamin D pun berkurang.6

Hiperkalsemia
Hiperkalsemia didefinisikan sebagai kadar kalsium serum > 10,6 mg/dL atau ketika kalsium ion > 1,38 mmol/L. Hiperkalsemia dapat dibagi ke dalam: gangguan fungsi paratiroid, vitamin D, atau pada reseptor keduanya. Gejala hiperkalsemia antara lain: kelemahan otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, gangguan mental, depresi, hipertensi, dan penurunan berat badan. Nefrokalsinosis terjadi akibat hiperkalsemia kronik yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif. Nefrolitiasis biasa menyertai gangguan ini.8



Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme primer jarang terjadi pada anak. Median usia pada anak adalah 16,8%. Adanya adenoma jinak soliter dari kelenjar paratiroid adalah gambaran patologi tersering (65-85%). Kadar kalsium serum pada hiperparatiroidisme primer adalah > 14 m/dL dan secara umum menimbulkan gejala. Pasien memiliki kadar fosfor serum rendah dan hiperkalsiuria. Batu ginjal dan nefrokalsionis merupakan salah satu gejala. Efek terhadap tulang adalah resorpsi tulang subperiosteal, pembentukan kista, dan “brown tumors”. Tata laksana meliputi pembedahan kelenjar paratiroid untuk mengendalikan hiperkalsemia.8

Asidosis Tubular Renal Distal
Asidosis tubular renal (ATR) primer ditandai dengan asidosis metabolik hiperkloremik kronik akibat ketidakmampuan mengasamkan urin. Kelainan ini dapat bersifat primer atau sekunder akibat kerusakan ginjal lain. Asidosis tubular renal primer dibagi atas tiga jenis, yaitu ATR proksimal (tipe 2), ATR distal atau klasik (tipe 1), dan ATR hiperkalemik (tipe 4).9 Tipe I ditandai dengan gangguan transfer ion hidrogen dari darah ke urin pada tubulus distal, sedangkan tipe II ditandai dengan gangguan konservasi bikarbonat oleh ginjal.2
Menifestasi klinis ATR distal antara lain anoreksia, gagal tumbuh, hipotonia, kadar serum bikarbonat rendah, dan nefrokalsinosis pada beberapa kasus.9 Tipe II jarang menyebabkan kalkulus.2

Sindrom Bartter
Sindrom Bartter adalah kelainan kongenital tubular kronik yang ditandai dengan alkalosis metabolik hipokalemia, poliuria, salt wasting, hiperkaliuria, dan hiperaldosteronisme. Pada kelainan ini, terjadi resistensi terhadap efek konstriksi oleh angiotensin, hiperplasia aparatus jukstaglomerula, dan meningkatnya produksi renin ginjal. Sebagian pasien mengalami hiperkalsiuria dan nefrokalsinosis.9

Riketsia Hipofosfatemia Terkait X [X-linked Hypophosphatemia (XLH) Rickets (Vitamin D Resistant Rickets)]
Riketsia XLH adalah kelainan terkait X yang disebabkan oleh berkurangnya reabsorpsi fosfat di tubulus ginjal seiring dengan disregulasi 1-α-hidroksilase pada tubulus kontortus proksimal. Kelainan ini menyebabkan kadar 1,25-dihidroksivitamin D normal atau turun dibandingkan dengan derajat hipofosfatemia. Riketsia XLH adalah kelainan hipofosfatemia diturunkan tersering. Nefrokalsinosis terjadi akibat efek terapi dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Pengobatan riketsia XLH adalah dengan memberikan fosfat oral dan suplemen kalsitriol.9,10

Nefrokalsinosis pada Neonatus
Nefrokalsinosis juga dijumpai pada 16% bayi prematur. Sebuah penelitian yang meneliti efek jangka panjang nefrokalsinosis neonatus pada fungsi ginjal menunjukkan resolusi spontan pada 75% kasus dan menyimpulkan bahwa nefrokalsinosis tidak berhubungan dengan disfungsi ginjal. Analisis lain menunjukkan bahwa usia gestasi, kelamin laki-laki, lamanya pemasangan ventilator, ketergantungan oksigen, durasi dan frekuensi pengobatan gentamisin, kadar toksik gentamisin/vankomisin, rendahnya asupan garam, dan deksametason pascanatal berhubungan secara signifikan dengan nefrokalsinosis.2
Nefrokalsinosis juga ditemukan pada bayi-bayi prematur yang mendapatkan furosemid dosis tinggi untuk jangka waktu lama akibat gagal jantung kongestif pada duktus arteriosus persisten atau penyakit paru. Baik nefrokalsinosis dan nefrolitiasis dapat terjadi. Komplikasi terjadi 11-50 hari setelah pemberian terapi furosemid. Penambahan hidroklortiazid pada furosemid dapat mencegah pembentukan kalkulus lebih lanjut dan mengikis batu yang sudah terbentuk. Bayi-bayi prematur yang mendapatkan furosemid sebaiknya secara teratur dipantau dengan ultrasonografi ginjal. Penggunaan furosemid jangka panjang juga dapat menyebabkan nefrokalsinosis medular pada orang dewasa.2

Hiperoksaluria
Hiperoksaluria primer adalah kelainan autosom resesif terjadinya produksi dan ekskresi oksalat berlebih di urin. Hiperoksaluria primer dapat menyebabkan nefrokalsinosis dan nefrolitiasis akibat defisiensi enzim karboligase. Terdapat dua tipe kelainan: tipe I adalah defisiensi ketoglutarat-glioksilat-karboksilase yang menyebabkan asiduria glikolat, dan tipe II berupa defisiensi dehidrogenase gliserat D yang menyebabkan asiduria gliserat 1.2

Baik anak laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk terkena. Terjadi litiasis ginjal dan nefrokalsinosis sebelum usia 5 tahun. Kelainan bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian akibat gagal ginjal jika tidak diobati. Transplantasi hati diperlukan untuk mengatasi kelainan metabolik yang ada.2
Hiperoksaluria sekunder lebih jarang terjadi dan berhubungan dengan gangguan metabolisme asam empedu. Penyebab hiperoksaluria sekunder antara lain panjang usus yang pendek akibat reseksi ileum atau pintas yeyunoileal, penyakit Crohn, sindrom blind loop, dan meningkatnya pencernaan sayuran berdaun hijau. Nefrolitiasis lebih sering terjadi dibandingkan dengan nefrokalsinosis.2

Gambaran Radiologis
Mayoritas kasus nefrokalsinosis bersifat asimtomatik dan teridentifikasi dengan pemeriksaan radiologi. Nefrokalsinosis medular terlihat oleh ultrasonografi sebagai gambaran ekogenik pada piramida sebelum nefrokalsinosis dapat dideteksi dengan foto polos abdomen.2 Kalsifikasi ginjal pada nefrokalsinosis dapat terlihat pada foto polos dan CT Scan abdomen berupa daerah radioopak yang melapisi piramida medula atau di dalam parenkim ginjal. Kalsifikasi pada gambaran ultrasonografi berupa daerah hiperekoik, biasanya di dalam piramida medula. Sebagian besar nefrokalsinosis adalah sistemik, maka kalsifikasi biasanya bilateral.11

Foto Polos
Deteksi dengan foto polos dapat dilakukan jika kadar terkumpul dalam parenkim ginjal telah mencapai 100 HU. Gambaran kalsifikasi juga tergantung pada ukuran batu (< 2 mm jarang terdeteksi), resolusi spasial teknik perekaman, dan faktor kontras.2 Computed Tomography Scan (CT Scan) Pemeriksaan CT Scan dianggap sebagai modalitas paling sensitif untuk mendiagnosis nefrokalsinosis. Pemeriksaan ini dapat mengetahui nefrokalsinosis pada tahap paling awal, memberikan gambaran densitas yang jelas, dan ukuran luasnya nefrokalsinosis, serta mampu membedakan dengan kista ginjal. Pemeriksaan ini juga sensitif untuk mendeteksi nefrokalsinosis akibat hiperoksaluria dan hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan MRI jarang digunakan untuk mendiagnosis nefrokalsinosis karena tidak mampu membedakan deposit kalsium.2 Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan USG memberikan gambaran ekogenik pada sudut-sudut piramida ginjal dan ekolusen pada pusat piramida. Piramida ginjal terlihat baik sebagai gambaran melingkar atau struktur ekogenik. Gambaran ini dapat dilihat oleh USG sebelum terlihat oleh foto polos. Kalsifikasi di korteks menyebabkan meningkatnya ekogenitas kortikal dengan bayangan lengkap pada kasus berat. Fibrosis piramida ginjal memberikan gambaran ekogenik.2 Pemeriksaan USG juga bisa menimbulkan positif/negatif palsu pada infark ginjal kronik, angiomiolipoma, hemangioma, onkositoma, dan keganasan (karsinoma sel ginjal, sarkoma, metastasis).2 Tata Laksana Tata laksana nefrokalsinosis tergantung pada kelainan yang mendasarinya, misalnya paratiroidektomi untuk mengatasi hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme. Extracorporeal shock wave lithiotripsy (ESWL) dapat dilakukan dan memberikan hasil yang baik untuk batu berukuran < 5 mm, cukup memuaskan untuk batu berukuran 5-10 mm, dan jarang digunakan untuk batu berukuran > 10 mm, karena kemungkinan timbulnya debris yang dapat menyebabkan steinstrasse.2

Daftar Pustaka

1. Lau SC. Renal calculi in children. In: Chiu MC, Yap HK, editors. Practical paediatric nephrology, an update of current practices.King's Road: Medcom Limited; 2005.
2. Khan AN, MacDonald S, Chandramohan M, Chandramohan H. Nephrocalcinosis. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/379449-overview tanggal 6 Juni 2009.

3. Seikaly MG, Baum M. Thiazide diuretics arrest the progression of nephrocalcinosis in children with X-linked hypophosphatemia. Pediatrics. 2001;108:1-4.
4. Nephrocalcinosis in children: a retrospective survey. Pediatr Nephrol. 2000;14:1016-1021.
5. Bentur L, Alon U, Mandel H, Pery M, Berant M. Familial distal renal tubular acidosis with neurosensory deafness: early nephrocalcinosis. Am J Nephrol. 1989;9:470-474.
6. Hui J. Renal tubular disorders. In: Chiu MC, Yap HK, editors. Practical paediatric nephrology, an update of current practices.King's Road: Medcom Limited; 2005.
7. Alon U, Donaldson DL, Hellerstein S, Warady BA, Harris DJ. Metabolic and histologic investigation of the nature of nephrocalcinosis in children with hypophosphatemic rickets and in the Hyp mouse. J Pediatr. 1992;120:899-905.
8. Ali FN, Langman CB. Disorders of mineral metabolism. In: Kher KK, Schnaper HW, Makker SP, editors. Clinical pediatric nephrology. CRC Press; 2006. 37-60.
9. Kaplan BS. Disorders of renal tubular function. In: Kaplan BS, M eyers, editors. Pediatric nephrology and urology: the requisites in pediatrics. Elsevier Health Sciences; 2004. 231-240.
10. Seikaly M, Brown R, Baum M. Nephrocalcinosis is associated with renal tubular acidosis in children with X-linked hypophosphatemia . Pediatrics. 1996;91:91-93.
11. Conery J, Bellab R. Pediatric uroimaging. In: Kaplan BS, Meyers KEC, editors. Pediatric nephrology and urology: the requisites in pediatrics. Elsevier Health Sciences; 2004. 22-32.





Atelektasis
DEFINISI
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

SINDROMA LOBUS MEDIALIS

Sindroma lobus medialis merupakan atelektasis jangka panjang, dimana lobus media (tengah) dari paru-paru kanan mengkerut.
Penyebabnya biasanya adalah penekanan bronkus oleh suatu tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.

Paru-paru yang tersumbat dan mengkerut, dapat berkembang menjadi pneumonia yang tidak dapat sembuh total dan peradangan kronis, jaringan parut dan bronkiektasis.

ATELEKTASIS PERCEPATAN

Atlektasis percepatan biasanya terjadi pada pilot pesawat tempur.
Penerbangan dengan kecepatan tinggi akan menutup saluran pernafasan yang kecil, menyebabkan alveoli (kantong udara kecil di paru-paru) menciut.

MIKROATELEKTASIS TERSEBAR ATAU TERLOKALISASI
Pada keadaan ini, sistem surfaktan paru-paru terganggu.
Surfaktan adalah zat yang melapisi alveoli dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan, sehingga mencegah pengkerutan.

Bila bayi prematur kekurangan surfaktan, mereka akan mengalami sindroma gawat pernafasan.
Orang dewasa juga bisa mengalami mikroatelektsis karena:
- terapi oksigen yang berlebihan
- infeksi berat dan luas (sepsis)
- faktor lainnya yang merusak lapisan alveoli.

PENYEBAB
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2 cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru.
Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.

Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening.

Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat.
Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi.

Faktor resiko terjadinya atelektasis:
# Pembiusan (anestesia)/pembedahan
# Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
# Pernafasan dangkal
# Penyakit paru-paru.

GEJALA

Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan.
Penderita sindroma lobus medialis mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, walaupun banyak yang menderita batuk-batuk pendek.

Gejalanya bisa berupa:
- gangguan pernafasan
- nyeri dada
- batuk.

Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah).

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Rontgen dada akan menunjukkan adanya daerah bebas udara di paru-paru.

Untuk menentukan penyebab terjadinya penyumbatan mungkin perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau bronkoskopi serat optik.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena.

Tindakan yang biasa dilakukan:
# Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang
# Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya
# Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
# Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
# Postural drainase
# Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
# Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
# Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat

Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.

PENCEGAHAN

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis:
# Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin.
Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan.
# Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan tekanan terus menerus ke paru-paru sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.


Aspergilosis Bronkopulmoner Alergika
DEFINISI
Aspergilosis Bronkopulmoner Alergika (ABPA) adalah suatu reaksi alergi terhadap jamur yang disebut aspergillus, yang menyebabkan peradangan pada saluran pernafasan dan kantong udara di paru-paru.

PENYEBAB
Jamur Aspergillus fumigatus.
Aspergillus bisa tumbuh di daun-daun yang telah mati, gandum yang disimpan, kotoran burung, tumpukan pupuk dan tumbuhan yang membusuk lainnya.

Infeksi akibat aspergillus (misalnya pneumonia atau aspergiloma) jarang terjadi. Tetapi beberapa orang menunjukkan suatu reaksi alergi (hipersensitivitas) terhadap jamur ini (disebut aspergilosis bronkopulmoner alergika), yang ditandai dengan adanya peradangan pada saluran pernafasan (bronkus) atau kantong udara (alveolus).
Penyakit ini bisa menyerupai asma atau pneumonia, dan pada kenyataanya, sebagian besar penderita ABPA juga menderita asma.

Resiko tinggi terjadinya ABPA ditemukan pada penderita asma atau fibrosis kistik.
GEJALA
Gejalanya terdiri dari:
- gejala asma yang semakin memburuk
- mengi/bengek
- batuk (bisa disertai dahak berwarna kecoklatan atau kemerahan)
- demam

DIAGNOSA
Dari berbagai pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
# Jumlah eosinofil meningkat
# Kadar antibodi IgE meningkat (kadar IgE total dan IgE khusus untuk aspergillus)
# Tes kulit antigen aspergillus
# Antibodi aspergillus positif
# Rontgen dada menunjukkan adanya infiltrasi dan bayangan yang mengerupai jari tangan
# CAT scan dada menunjukkan adanya bronkiektasis sentral atau sumbatan lendir
# Pewarnaan dan biakan dahak untuk jamur
# Bronkoskopi disertai pembiakan dan biopsi transbronkial
# Biopsi paru (jarang dilakukan).

PENGOBATAN
Aspergillosis alergika diobati dengan prednisone per-oral (melalui mulut).
Bisa juga dibantu dengan pemberian antibiotik anti-jamur (intraconazole).

Penderita asma sebaiknya juga melanjutkan terapi inhalernya yang biasa.

Respon terhadap pengobatan biasanya baik, meskipun sering terjadi kekambuhan.

PENCEGAHAN
Orang-orang dengan faktor predisposisi (asma, fibrosis kistik, dll), sebaiknya menghindari lingkungan dimana jamur aspergillus ditemukan.
Asma Karena Pekerjaan
DEFINISI
Asma Karena Pekerjaan adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang ditandai dengan serangan sesak nafas, bengek dan batuk, yang disebabkan oleh berbagai bahan yang ditemui di tempat kerja.

Gejala-gejala tersebut biasanya timbul akibat kejang pada otot-otot yang melapisi saluran udara, sehingga saluran udara menjadi sangat sempit.

PENYEBAB
Banyak bahan (alergen, penyebab terjadinya gejala) di tempat kerja yang bisa menyebabkan asma karena pekerjaan. Yang paling sering adalah molekul protein (debu kayu, debu gandum, bulu binatang, partikel jamur) atau bahan kimia lainnya (terutama diisosianat).
Angka yang pasti dari kejadian asma karena pekerjaan tidak diketahui, tetapi diduga sekitar 2-20% asma di negara industri merupakan asma karena pekerjaan.

Para pekerja yang memiliki resiko tinggi untuk menderita asma karena pekerjaan adalah;
# Pekerja plastik
# Pekerja logam
# Pekerja pembakaran
# Pekerja penggilingan
# Pekerja pengangkut gandum
# Pekerja laboratorium
# Pekerja kayu
# Pekerja di pabrik obat
# Pekerja di pabrik deterjen.

GEJALA
Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpapar oleh alergen dan seringkali berkurang atau menghilang jika penderita meninggalkan tempat kerjanya.
Gejala seringkali semakin memburuk selama hari kerja dan membaik pada akhir minggu atau hari libur.

Beberapa penderita baru mengalami gejalanya dalam waktu 12 jam setelah terpapar oleh alergen.

Gejalanya berupa:
- sesak nafas
- bengek
- batuk
- merasakan sesak di dada.

DIAGNOSA
Dalam riwayat perjalanan penyakit, biasanya penderita merasakan gejala yang semakin memburuk jika terpapar oleh alergen tertentu di lingkungan tempatnya bekerja.
Pada pemeriksaan dengan stetoskop akan terdengar bunyi wheezing (bengek, mengi).

Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
# Tes fungsi paru
# Pengukuran puncak laju aliran ekspirasi sebelum dan sesudah bekerja
# Rontgen dada
# Hitung jenis darah
# Tes provokasi bronkial (untuk mengukur reaksi terhadap alergen yang dicurigai)
# Tes darah untuk menemukan antibodi khusus.


PENGOBATAN
Pengobatan sama seperti jenis asma lainnya, yaitu diberikan bronkodilator (obat yang membuka saluran pernafasan), baik dalam bentuk obat hirup (contohnya albuterol) atau dalam bentuk tablet (contohnya theophylline).

Untuk serangan yang hebat, dapat diberikan corticosteroid (misalnya prednisone) per-oral (melalui mulut) dalam jangka pendek.
Untuk penanganan jangka panjang, lebih baik diberikan corticosteroid dalam bentuk hirup.

PENCEGAHAN
Industri yang menggunakan zat-zat yang dapat menyebabkan asma, harus mengkontrol debu dan udara, karena untuk menghilangkannya adalah suatu hal yang mustahil.

Pekerja dengan asma yang berat, jika memungkinkan, harus mengganti pekerjaannya karena pemaparan yang terus menerus akan menjadikan asma bertambah berat dan bersifat menetap.

Jika alergen/penyebabnya telah diketahui, untuk mencegah terjadinya gejala, sebaiknya penderita menghindari alergen tersebut.

HBSAG +
Untuk menyatakan seseorang terkena enyakit hepatitis virus aktif perlu adanya gejala gangguan fungsi hati yang dapat diketahui dari uji saring serologik seperti yang annada lakukan. Tetapi itu sebenarnya belum cukup bila tanpa disertai tes untuk keberadaan virus. HBSAg = hepatitis (virus) B "Surface" (="Permukaan") Ag, baru bagian dari virus yang biasanya akan cukup lama positifnya, baik untuk penderita Hepatitis "abortif" (terinfeksi tetapi tidak menderita sakit / tidak keluar gejala) atau yang kemudian menderta ringan / subklinik = "carrier", dan saat benar-benar terinfeksi plus gejala hepatitis virus, disertai tes fungsi hati yang menyimpang tentunya. Jadi dari hanya data singel atas tes HBSAg serologik, masih belum bisa dijadikan bukti acuan yang kuat, oleh karena itu ananda masih perlu observasi lebih lanjut. Bila HBCAg plus gejala klinik dan serologik-nya bener-benar menjadi positif, barulah menandakan ananda benar-benar menderita HB Aktif, yang bisa menular secara parenteral (kontak langsung darah dengan cara-cara seperti transfusi, suntikan dengan jarum yang dipakai bersama secara berurutan, luka-luka kecil mulut atau saluran lainnya). Diet - upaya terapi akan sangat ditentukan oleh berat - luas jaringan / sel hati yang telah terkena infeksi virus. Saat ini ananda bisa melakukan langkah preventif dengan hidup sehat dan jangan menambah resiko dengan kontak langsung dengan penderita hepatitis virus. Jangan keburu stres dulu dengan keadaan yang telah ditemukan, karena secara perlahan namun pasti, stres dapat mempengaruhi dan menurunkan status imun tubuh. Tindakan terbaik untuk menanggulangi virus Hepatitis B (ataupun virus Hepatitis jenis lainnya) adalah deteksi segera, vaksinasi segera dan obati segera. Tim konsultasi mediasehat juga beranggotakan apoteker dan mengatakan telah ada sediaan vaksinasi Hepatitis B, yaitu dengan nama Intron Alfa (isinya virus Hepatitis B rekombinan dengan interveron). Pengobatan Hepatitis B yang telah ada di Indonesia adalah dengan menggunakan interveron-alfa (sediaan suntikan) dan lamivudine (atau yang biasa disebut juga dengan sebutan 3TC-HBV, sediaan oral). Saat ini juga telah ada Adefovir Dipivoxil (Hepsera), anti virus oral baru yang menekan replikasi virus pada saat mengalami mutasi. Seperti halnya Lamivudine (3TC-HBV), Hepsera memberikan manfaat pada perbaikan jaringan hati. Obat dan preparat untuk hepatitis itu termasuk golongan obat keras, jadi kalaupun ternyata ananda telah dinyatakan benar-benar positif kena hepatitis B, maka ananda harus dan dipastikan akan benar-benar berada dalam pengawasan dokter untuk pemakaian obat dan pemantauan kesehatan ananda sampai ananda dinyatakan sembuh atau minimal kondisi membaik. Demikian penjelasan dari saya, semoga dapat membantu.

HBsAg (hepatitis B surface antigen) adalah protein yang dilepaskan oleh virus hepatitis B yang sedang menginfeksi tubuh. Karena itu, protein ini dapat digunakan sebagai penanda atau marker terjadinya infeksi hepatitis B.
HBsAg dapat ditemukan baik pada penyakit hepatitis B akut maupun kronis. Pada kasus akut, HBsAg akan menghilang dalam waktu 6 bulan atau kurang. Sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan terus menerus ditemukan dalam darah lebih dari 6 bulan. Sekitar 97% orang dewasa muda yang terkena infeksi hepatitis B hanya mengalami fase akut, kemudian sembuh sendiri. Sisanya, terus berlanjut menjadi hepatitis kronis.
Lawan dari HBsAg adalah anti-HBS (hepatitis B surface antibody), yaitu antibodi yang dibentuk tubuh akibat rangsangan protein HBsAg. Gunanya untuk membantu melenyapkan virus hepatitis B. Pada orang yang hanya mengalami infeksi akut, dalam darahnya ditemukan anti-HBS. Kasus seperti ini juga disebut serokonversi anti-HBsAg. Berbeda halnya dengan mereka yang berlanjut ke hepatitis kronis, biasanya tidak ditemukan anti-HBS.
Ada dua jenis infeksi kronis hepatitis B, yaitu infeksi 'tenang' dan infeksi aktif. Pada infeksi tenang, virus hepatitis B bersembunyi dalam sel hati atau sel lainnya. Virus tidak memperbanyak diri atau kalaupun memperbanyak diri, jumlahnya sangat sedikit. Karena itu, dalam keadaan infeksi tenang, penderita tidak menularkan penyakitnya ke orang lain. Sebaliknya, pada infeksi aktif, virus aktif memperbanyak diri dan ditemukan dalam jumlah cukup besar di dalam darah. Pada tipe infeksi ini, penularan ke orang lain dapat terjadi. Di kedua jenis infeksi kronis ini, nilai HBsAg ditemukan positif. Untuk membedakannya harus dilakukan pemeriksaan protein virus lainnya yaitu HBeAg (hepatitis B e-antigen). Protein ini hanya ditemukan jika virus aktif bereplikasi (infeksi aktif).
Interpretasi Hasil Pemeriksaan
HBsAg negatif: orang yang diperiksa belum pernah terpapar virus hepatitis B atau pernah terpapar tetapi hanya mengalami infeksi akut dan virus telah dilenyapkan.
HBsAg positif: penderita sedang mengalami infeksi tetapi tidak diketahui apakah dapat menularkan ke orang lain atau tidak.
Anti-HBs positif: penderita mempunyai kekebalan terhadap infeksi hepatitis B, diperoleh dari vaksinasi atau infeksi yang sembuh sebelumnya.
HBeAg positif: virus aktif memperbanyak diri dan penderita dapat menularkan virus hepatitis B ke orang lain.
HBeAg negatif : virus sedang tenang dan tidak aktif bereplikasi, penderita tidak dapat menularkan virus ke orang lain. Tetapi sebagai catatan, beberapa galur virus hepatitis B tidak memproduksi protein HBeAg walaupun sedang aktif memperbanyak diri.

Definisi: HBsAg singkatan dari antigen permukaan hepatitis B. When a healthcare provider orders blood tests to determine if someone is infected with the hepatitis B virus , one thing he is looking for is HBsAG in the blood. Ketika kesehatan penyedia perintah tes darah untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi hepatitis B virus , satu hal yang ia cari adalah HBsAg dalam darah. If it is found, along with other specific antibodies , it means the person has a hepatitis B infection. Jika ditemukan, bersama dengan spesifik lainnya antibodi , itu berarti orang tersebut memiliki infeksi hepatitis B. HBsAG, which is cleared within 4 to 6 months in self-limited infections (infections that resolve by themselves), can be detected in the blood during both acute infections (infections that come on suddenly) and chronic infections (infections that last for longer than 6 months). HBsAg, yang dibersihkan dalam waktu 4 sampai 6 bulan pada infeksi diri terbatas (infeksi yang menyelesaikan dengan sendirinya), dapat dideteksi dalam darah selama kedua infeksi akut (infeksi yang datang tiba-tiba) dan infeksi kronis (infeksi yang berlangsung lebih lama dari 6 bulan). In addition to the signs and symptoms that a patient has, additional antibodies can be tested to distinguish between acute and chronic infections. Selain tanda-tanda dan gejala yang pasien, antibodi tambahan dapat diuji untuk membedakan antara infeksi akut dan kronis.
At the center of the hepatitis B virus is DNA , which contains the genes the virus uses to replicate itself. Di pusat dari virus hepatitis B merupakan DNA , yang berisi gen virus digunakan untuk mereplikasi dirinya sendiri. Surrounding the DNA is a protein called HBcAG (hepatitis B core antigen), which cannot be detected with blood tests. Sekitar DNA adalah protein yang disebut HBcAg (hepatitis B antigen inti), yang tidak dapat dideteksi dengan tes darah. Surrounding this is HBsAG, which is actually part of the protective "envelope." Sekitarnya ini HBsAg, yang sebenarnya bagian dari pelindung "amplop." This envelope surrounds the virus and protects it from attack by the body's immune system . amplop virus ini mengelilingi dan melindungi dari serangan oleh tubuh sistem kekebalan tubuh . However, this system is good at getting through this envelope in order to kill the virus. Namun, sistem ini baik pada mendapatkan melalui amplop ini untuk membunuh virus. When it does, remnants of surface antigen protein are left in the blood like debris, which lab tests can detect. Ketika hal itu terjadi, sisa-sisa protein permukaan antigen yang tersisa dalam darah seperti puing-puing, tes laboratorium yang dapat mendeteksi.
Penyakit
Hepatitis B is a disease caused by the hepatitis B virus, and can be acute or chronic. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B, dan dapat akut atau kronis. Infection with hepatitis B virus is the leading cause of chronic hepatitis worldwide and people with chronic hepatitis B infection are at increased risk for developing liver cancer (hepatocellular carcinoma). Infeksi virus hepatitis B adalah penyebab utama hepatitis kronis di seluruh dunia dan orang-orang dengan infeksi hepatitis B kronis akan meningkatkan risiko untuk mengembangkan kanker hati (hepatocellular carcinoma). In addition, the hepatitis B virus is the leading cause of cirrhosis in the world. Selain itu, virus hepatitis B adalah penyebab utama sirosis di dunia.
In the United States, about 1.5 million people are infected with the hepatitis B virus. Di Amerika Serikat, sekitar 1,5 juta orang terinfeksi virus hepatitis B. However, worldwide, about 400 million people have the virus, with most of these people living in Asia. Namun, di seluruh dunia, sekitar 400 juta orang telah virus, dengan sebagian besar orang-orang yang tinggal di Asia. Clearly, this is a significant public health and medical problem. Jelas, ini adalah kesehatan masyarakat yang signifikan dan masalah medis.
Acute hepatitis B is when a person exposed to the hepatitis B virus begins to develop the signs and symptoms of viral hepatitis. Akut hepatitis B adalah ketika seseorang terkena virus hepatitis B mulai mengembangkan tanda dan gejala hepatitis virus. This period of time, called the incubation period, is an average of 90 days, but could be as short as 45 days or as long as 6 months. Jangka waktu ini, yang disebut periode inkubasi, adalah rata-rata 90 hari, tetapi bisa sesingkat 45 hari atau selama 6 bulan. For most people this infection will cause mild to moderate discomfort but will go away by itself because of the body's efforts in fighting the virus. Bagi kebanyakan orang infeksi ini akan menyebabkan ketidaknyamanan ringan sampai sedang, tetapi akan hilang dengan sendirinya karena upaya tubuh dalam melawan virus. Other people could have very serious problems such as fulminant liver failure. Orang lain bisa saja masalah yang sangat serius seperti gagal hati fulminan.
Chronic hepatitis B is when a person has acute infection but is unable to get rid of the infection. Kronis hepatitis B adalah ketika seseorang memiliki infeksi akut tetapi tidak mampu untuk menyingkirkan infeksi. Whether the disease becomes chronic or completely resolves depends mostly on the age of the infected person. Apakah penyakit ini menjadi kronis atau benar-benar menyelesaikan sebagian besar tergantung pada usia orang yang terinfeksi. About 90% of infants infected at birth will progress to chronic disease. Sekitar 90% dari bayi yang terinfeksi saat lahir akan berkembang menjadi penyakit kronis. However, as a person ages, the risk of chronic infection decreases such that between 20%-50% of children and less than 10% of older children or adults will progress from acute to chronic infection. Namun, sebagai orang usia, risiko infeksi kronis menurun seperti bahwa antara 20% -50% dari anak-anak dan kurang dari 10% anak tua atau orang dewasa akan kemajuan dari akut terhadap infeksi kronis.
Symptoms Gejala
In general, the symptoms of acute hepatitis B are the same for all acute viral hepatitis. Secara umum, gejala hepatitis B akut adalah sama untuk semua hepatitis virus akut. Usually the first symptom is a loss of appetite (called anorexia), followed by nausea, and then perhaps, vomiting. Biasanya gejala pertama adalah hilangnya nafsu makan (anoreksia disebut), diikuti dengan mual, dan mungkin, muntah. In some people these symptoms can be serious, lasting several weeks and requiring medical care. Pada beberapa orang gejala ini bisa serius, beberapa minggu yang langgeng dan membutuhkan perawatan medis. Other symptoms are extreme tiredness, weight-loss, aches and pains of muscles and joints, headache, light sensitivity, sore throat, cough, and runny nose. Gejala lainnya adalah kelelahan ekstrim, penurunan berat badan, sakit dan nyeri otot dan sendi, sakit kepala, kepekaan cahaya, sakit tenggorokan, batuk, dan pilek.
These symptoms usually appear after the incubation period, which is an average of 90 days. Gejala ini biasanya muncul setelah masa inkubasi, yang merupakan rata-rata 90 hari. As explained earlier, this is the time between infection with the virus and the appearance of symptoms. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ini adalah waktu antara infeksi dengan virus dan munculnya gejala. This means that if a physician could diagnose you with hepatitis B at the earliest possible moment, you were actually infected weeks earlier. Ini berarti bahwa jika dokter bisa mendiagnosa Anda dengan hepatitis B pada saat sedini mungkin, Anda benar-benar terinfeksi minggu sebelumnya. It simply takes a period of time for the virus to damage the liver sufficiently enough before the body responds with the symptoms associated with viral hepatitis. Ini hanya membutuhkan periode waktu bagi virus untuk merusak hati cukup cukup sebelum tubuh merespon dengan gejala yang terkait dengan virus hepatitis.
Jaundice , which is the accumulation of the chemical bilirubin in the body's tissues, is another possible symptom. Sakit kuning, yang merupakan akumulasi dari bilirubin kimia dalam tubuh jaringan, adalah gejala lain mungkin. This appears as a yellow coloring to the skin and around the whites of the eyes. Ini muncul sebagai pewarna kuning pada kulit dan sekitar bagian putih mata. While this is the most recognizable viral hepatitis symptom, jaundice only develops in about 30% of people with hepatitis B -- the majority of people with acute hepatitis B will not have any jaundice. Sementara ini adalah gejala hepatitis yang paling dikenal virus, penyakit kuning hanya berkembang di sekitar 30% orang dengan hepatitis B - mayoritas orang dengan hepatitis B akut tidak akan memiliki penyakit kuning apapun. In fact, it is not unusual for people with acute hepatitis B to have no symptoms. Bahkan, tidak jarang untuk orang dengan hepatitis B akut tidak memiliki gejala. These people are said to be asymptomatic and might not even be aware of their infection. Orang-orang ini dikatakan asimtomatik dan bahkan mungkin tidak mengetahui mereka infeksi. Most symptoms are usually gone after 1-3 months, but many people note continued tiredness for much longer. Kebanyakan gejala biasanya hilang setelah 1-3 bulan, tetapi banyak orang catatan lanjutan lelah untuk lebih lama lagi.
Transmisi
The hepatitis B virus is most easily spread by infected body fluids coming into contact with your mucous membranes or blood. Hepatitis B virus yang paling mudah menular melalui cairan tubuh yang terinfeksi masuk ke dalam kontak dengan selaput lendir atau darah. Body fluids which are most often identified as infectious are blood, saliva, semen and vaginal secretions. Cairan tubuh yang paling sering diidentifikasi sebagai infeksi adalah darah, air liur, air mani dan cairan vagina. For health care workers, many more body fluids are considered potentially infectious and precautions are required. Untuk tenaga kesehatan, cairan tubuh banyak lagi yang dianggap berpotensi menular dan tindakan pencegahan yang diperlukan.
The most common ways that hepatitis B virus spreads is through sexual or extremely familiar contact with someone infected, sharing needles and syringes with someone infected, and the birthing process from an infected mother to the child. Yang paling umum cara-cara yang menyebar virus hepatitis B adalah melalui hubungan seks atau sangat akrab dengan seseorang yang terinfeksi, jarum suntik dan alat suntik dengan seseorang yang terinfeksi, dan proses melahirkan dari ibu yang terinfeksi kepada anak. In fact, this last type of spread, called perinatal transmission, was so common that public health officials began recommending routine childhood hepatitis B vaccination. Bahkan, jenis terakhir menyebar, disebut transmisi perinatal, sangat umum bahwa para pejabat kesehatan masyarakat mulai merekomendasikan anak vaksinasi hepatitis B rutin. Some sources say that as many as one-third of Americans with chronic hepatitis B infection were infected as infants or young children. Beberapa sumber mengatakan bahwa sebanyak sepertiga orang Amerika dengan infeksi hepatitis B kronis terinfeksi sebagai bayi atau anak-anak muda.
Diagnosis Diagnosa
Doctors diagnose hepatitis B by testing your blood for the presence of antibodies to a specific part of the hepatitis B virus. Dokter mendiagnosa hepatitis B dengan tes darah anda untuk kehadiran antibodi terhadap bagian tertentu dari virus hepatitis B. That specific part is called HBsAG, and it stands for hepatitis B surface antigen. Itu bagian tertentu disebut HBsAg, dan singkatan antigen permukaan hepatitis B. This antigen is actually viral protein that the body will recognize as something that shouldn't be around and will start developing an immune response against it. antigen ini sebenarnya protein virus yang tubuh akan mengenali sebagai sesuatu yang tidak boleh di sekitar dan akan mulai mengembangkan respon kekebalan terhadap itu.
Another antibody that doctors measure in your blood, called IgM anti-HBc, is an even better test for establishing acute hepatitis B infection. Lain antibodi yang dokter mengukur dalam darah Anda, yang disebut anti-HBc IgM, adalah tes yang lebih baik untuk menetapkan infeksi hepatitis B akut. This measures the IgM antibody created by your body's immune system to a different viral protein called core antigen. Ini mengukur antibodi IgM yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh Anda untuk protein virus yang berbeda yang disebut antigen inti.
The body's immune response against the virus is usually very effective because most people will completely get rid of the virus. respon kekebalan tubuh terhadap virus biasanya sangat efektif karena kebanyakan orang benar-benar akan menyingkirkan virus. Depending on how vigorous this immune response is, and the degree of infection, you might not even realize you are sick! Tergantung pada seberapa kuat respon imun, dan tingkat infeksi, Anda bahkan mungkin tidak sadar bahwa Anda adalah sakit!
However, some people do not clear the virus and they develop chronic hepatitis B. Doctors diagnose this disease by measuring both HBsAg and the antibody to the core protein, called anti-HBc. Namun, beberapa orang tidak jelas virus dan mereka mengembangkan kronis hepatitis B. Dokter mendiagnosa penyakit ini dengan mengukur baik HbsAg dan antibodi terhadap protein inti, yang disebut anti-HBc. People with chronic hepatitis B have both of these circulating in their blood. Orang dengan hepatitis B kronis memiliki kedua beredar dalam darah mereka.
Pemeriksaan HbA1c untuk Penderita Diabetes
HbA1c adalah salah satu pemeriksaan yang digunakan untuk menegakkan diagnosis diabetes, baik tipe 1 maupun 2. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengetahui apakah kontrol penyakit diabetes baik atau tidak.
Pemeriksaan HbA1c menggambarkan kadar gula darah rata-rata dua atau tiga bulan yang lalu; bukan kadar gula darah saat ini. Itulah sebabnya pemeriksaan ini sering digunakan untuk menilai keberhasilan kontrol diabetes.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur persentasi hemoglobin sel darah merah yang diselubungi oleh gula. Semakin tinggi nilainya berarti kontrol gula darah buruk dan kemungkinan komplikasi semakin tinggi.
Pada orang yang tidak menderita diabetes, kadar HbA1c berkisar 4,5 sampai 6 persen. Jika kadarnya 6,5% atau lebih pada dua pemeriksaan terpisah, maka kemungkinan orang tersebut menderita diabetes. Nilai antara 6 sampai 6,5% menunjukkan keadaan prediabetes.
Penderita diabetes yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama biasanya memiliki kadar HbA1c lebih dari 9 persen. Sedangkan target pengobatan adalah kadar HbA1c sebesar 7 persen atau kurang.