MUTIARA HIKMAH

3 Kemungkinan Terkabulnya Do'a

Sudah bertahun-tahun, si Muhammad selalu memanjatkan do’a. Tak kunjung pula dikabulkan. Lama-kelamaan ia pun lantas berputus asa.
Mungkin ada satu pelajaran yang si Muhammad belum mengetahuinya termasuk pula kita. Perlu dipahami bahwa setiap do’a yang kita panjatkan—jika memang terpenuhi syarat-syaratnya—niscaya diijabahi. Namun belum tentu yang kita minta bisa persis seperti itu. Boleh jadi Allah beri yang lebih baik. Boleh jadi Allah alihkan ke pilihan lain karena siapa tahu yang kita minta bisa mencelakakan diri kita. Barangkali pula Allah berikan persis sesuai dengan apa yang kita minta. Ini semua tergantung pada hikmah Allah Ta’ala.
Contoh gampangnya seperti seorang dokter. Ia mendapati pasien yang sakit dan ingin diobati. Si pasien mengeluhkan penyakitnya seperti ini dan seperti ini. Lantas dokter pun memberikan ia resep obat. Boleh jadi yang ia beri adalah yang persis yang diminta oleh si pasien. Boleh jadi pula dokter beri resep yang lebih baik, lebih dari yang si pasien kira. Boleh jadi pula si dokter memberi resep obat yang lain, tidak seperti yang si pasien minta, namun dokter tersebut tahu mana yang terbaik. Demikianlah permisalan terkabulnya do’a.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad 3/18, dari Abu Sa'id; derajat hasan)

Ingatlah bahwa Allah Ta’ala memang Maha Mengijabahi setiap do’a. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu'min: 60).
Boleh jadi Allah mengabulkan do’a tersebut sebagaimana yang diminta. Boleh jadi Allah ganti dengan yang lebih baik. Boleh jadi pula Allah ganti dengan yang lain karena yang kita minta barangkali tidak baik untuk kita.

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Jika setiap orang memahami hal ini, maka tentu ia akan terus banyak berdo’a dan banyak memohon pada Allah. Karena setiap do’a yang dipanjatkan pasti bermanfaat. Segala sesuatu yang Allah karuniakan, itulah yang terbaik.
Janganlah berputus asa! Don’t give up!


















Risalah Talak (1): Hukum dan Macam Talak
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, rumaysho.com berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.[1]
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”[2]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.[3]
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”[4] Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi[5], Syaikh Al Albani[6], dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi[7].
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.[8]
Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i
Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.
Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.[9]
Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.[10]

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, rumaysho.com berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.[1]
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”[2]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.[3]
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”[4] Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi[5], Syaikh Al Albani[6], dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi[7].
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.[8]
Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i
Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.
Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.[9]
Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.[10]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. ________________________________________
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346.
[2] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.
[3] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki, Dr. ‘Abdul Fattah Muhammad Al Halawi, Dar ‘Alam Al Kutub, 10/323
[4] HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196.
[5] Sunan Al Baihaqi, 7/322.
[6] Irwaul Gholil no. 2040
[7] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan pertama, 1409, 10-12.
[8] Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224.
[9] Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa talak sunni adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.
[10] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, hal. 13-14.



Di Saat Impian Belum Terwujud
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setiap orang pasti memiliki impian dan cita-cita. Berbagai usaha pun dikerahkan untuk mencapai impian tersebut. Namun kadang usaha untuk menggapai impian kandas di tengah jalan dikarenakan berbagai rintangan dari dalam maupun dari luar. Tentu saja impian yang kami maksudkan di sini adalah impian yang logis yang bisa dicapai dan bukan hanya khayalan di negeri antah berantah. Di saat impian tadi belum terwujud, bagaimanakah cara untuk menggapainya? Semoga tulisan ini bisa memberikan solusi terbaik.

Belajar dari Kisah Ibrahim 'alaihis salam dan Istrinya
Suatu pelajaran yang patut dicontoh adalah kisah Nabi Ibrahim 'alaihis salam bersama istrinya, Sarah. Lihatlah impiannya untuk memiliki anak sekian lama, akhirnya bisa terwujud. Padahal ada tiga sebab yang menjadi penghalang ketika itu. Sarah sudah sangat tua, Ibrahim pun demikian dan Sarah adalah wanita yang mandul.[1] Ada ulama yang berpendapat bahwa ketika anaknya Ishaq itu lahir, Sarah berusia 90-an tahun dan Ibrahim berusia 100-an tahun.[2] Namun di usia sudah sangat senja seperti itu, Allah Ta'ala memudahkan mereka memiliki anak, yaitu Ishaq yang akan menjadi seorang Nabi. Mengenai kisah Ibrahim dan Sarah, kita dapat melihat dalam dua surat. Dalam kisah mereka, Allah Ta'ala menceritakan kedatangan tamu (para malaikat). Ia pun dan istrinya menjamu mereka dengan sangat baiknya dan malaikat tersebut membawa kabar gembira pada Ibrahim dan Sarah atas kelahiran Ishaq,
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul". Mereka berkata: "Demikianlah Tuhanmu memfirmankan" Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Adz Dzariyaat: 24-30)
Dalam surat Huud, Allah Ta'ala menceritakan,
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ (71) قَالَتْ يَا وَيْلَتَا أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ (72)
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh." ” (QS. Huud: 71-72)
Lihatlah bagaimana impian Sarah dan Ibrahim untuk memiliki anak baru terwujud setelah mereka berada di usia sangat-sangat tua. Ketika menyebutkan kisah ini, Allah Ta'ala pun mengatakan di akhir kisah bahwa Allah itu Al 'Alim (Maha Mengilmui) dan Al Hakim (Maha Bijaksana). Artinya, Allah Ta'ala memiliki ilmu yang sempurna. Sedangkan Allah itu Al Hakim menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak, keadilan, rahmat, ihsan, dan kebaikan yang sempurna. Di samping itu Allah Ta'ala pun betul-betul menempatkan sesuatu pada tempatnya. Inilah pelajaran di balik nama Allah Al Alim dan Al Hakim.[3] Suatu yang mustahil dapat terjadi jika Allah menghendaki. Suatu impian yang sulit terwujud dapat digapai dengan kekuasaan Allah. Allah Ta'ala berfirman,
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21). Maha Mulia Allah Ta'ala dengan segala sifat-sifatnya yang maha sempurna.
Pahamilah Takdir Ilahi
Ketahuilah setiap yang terjadi di muka bumi ini sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh sejak 50.000 tahun yang lalu sebelum penciptaan langit dan bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Jika seseorang mengimani takdir ini dengan benar, maka ia pasti akan memperoleh kebaikan yang teramat banyak. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” (Al Fawaid, hal. 94) [4]
Yang Allah takdirkan tidaklah sia-sia. Pasti ada hikmah di balik itu semua. Allah Ta'ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39). Oleh karena itu, jika impian itu belum terwujud, maka perlu kita pahami bahwa itulah ketentuan Allah. Allah menjanjikan hikmah di balik itu semua karena sifat hikmah yang sempurna yang Dia miliki.

Terus Tawakkal dan Berusaha Semaksimal Mungkin
Kita harus punya sifat optimis dengan selalu bertawakkal (menyandarkan hati pada Allah) dan tetap berusaha untuk menggapai impian yang kita cita-citakan. Ingatlah bahwa siapa saja yang bertakwa dan bertawakkal pada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya, maka pasti Allah Ta'ala akan memberikan ia jalan keluar dan akan memberikan ia selalu kecukupan. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
Perlu diperhatikan bahwa impian bukan sekedar angan-angan yang tidak ada realisasinya. Jika impian ingin dicapai, tentu harus ada usaha semaksimal mungkin. Cobalah kita saksikan contoh gampangnya adalah seekor burung ketika ia ingin menggapai impiannya untuk memperoleh makanan di hari itu, dia pun pergi ke luar sarangnya untuk mencari hajat yang ia butuhkan. Ketika pulang pun ia dalam keadaan tenang. Inilah yang diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Umar bin Al Khottob;derajat hasan). Lihatlah bagaimana seekor burung saja mewujudkan impiannya dengan mencari rizki, dengan berusaha semaksimal mungkin. Bagaimanakah lagi kita selaku insan yang diberi anugerah akal oleh Sang Kholiq?

Teruslah Memohon pada Allah
Untuk mewujudkan impian, janganlah lupakan Yang Di Atas. Kadang kita lalai dan hanya bergantung pada diri kita sendiri yang lemah dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Maka perbanyaklah do'a. Karena setiap do'a pastilah bermanfaat. Allah Ta'ala berfirman,
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu'min: 60)
Jika ada yang bertanya, “Aku sudah seringkali berdo'a, namun mengapa impianku belum tercapai juga?” Kami bisa memberi jawaban sebagai berikut:
Pertama: Do'a boleh jadi terkabul, namun kita saja yang tidak mengetahui bentuk terkabulnya. Terkabulnya do'a bisa jadi dengan dipalingkan dari kejelekan dari do'a yang kita minta. Dan boleh jadi Allah simpan terkabulnya do'a tadi di akhirat kelak. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad, dari Abu Sa'id; derajat hasan)
Contohnya seseorang berdo'a, “Allahummar-zuqnii, Allahummar-zuqnii” (Ya Allah, berilah aku rizki. Ya Allah, berilah aku rizki). Boleh jadi do'a tersebut, Allah kabulkan segera atau diakhirkan. Allah Ta'ala Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba tersebut. Bahkan boleh jadi pula, Allah simpan do'a tersebut untuk meninggikan derajatnya di surga. Ini tentu saja lebih tinggi dari kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan di akhirat kelak tentu jauh berbeda dari kebahagiaan di dunia. Malik bin Dinar mengatakan,
لو كانت الدنيا من ذهب يفنى ، والآخرة من خزف يبقى لكان الواجب أن يؤثر خزف يبقى على ذهب يفنى ، فكيف والآخرة من ذهب يبقى ، والدنيا من خزف يفنى؟
“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Lalu bagaimana lagi jika akhirat itu adalah emas yang akan kekal abadi dan dunia adalah tembikar yang akan fana?”[5]
Kedua: Terkabulnya do'a boleh jadi diakhirkan agar seseorang tetap giat dan bersemangat dalam berdo'a. Ketika ia giat berdo'a, maka ia pun akan mendapatkan ketinggian derajat di akhirat kelak. Cobalah kita perhatikan apa yang terjadi pada para Nabi 'alaihimush sholaatu wa salaam. Mereka terus saja berdo'a dan memperbanyak do'a, namun terkabulnya do'a mereka diakhirkan agar mereka tetap semangat dalam berdo'a. Di antara contohnya adalah Nabi Ayyub 'alaihis salam yang diberi cobaan penyakit selama 18 tahun sehingga ia pun dijauhi kerabat dan yang lainnya. Namun ia tetap terus berdo'a dan berdo'a. Allah pun memujinya karena kesabarannya tersebut,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 44)[6]
Ketiga: Boleh jadi do'a tersebut sulit terkabul karena beberapa faktor penghalang. Di antara faktor penghalang adalah seseorang mengangkat tangan ke langit, namun ia sering mengkonsumsi makanan, minuman dan menggunakan pakaian yang haram atau diperoleh dari hasil yang haram (sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Muslim no. 1015, dari Abu Hurairah). Inilah yang membuat do'a seseorang sulit terkabul. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita rajin mengintrospeksi diri, siapa tahu do'a kita tidak kunjung terkabul karena sebab mengkonsumsi yang haram.

Penutup
Teruslah berusaha, memohon pada Allah, dan janganlah putus asa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim no. 2664, dari Abu Hurairah)
Jadikanlah impian kita semata-mata untuk tujuan akhirat dan bukan dunia semata. Jika ingin meraih kekayaan, jadikanlah ia sebagai amal sholih untuk tujuan akhirat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465, shahih)
Ketika impian tercapai, maka perbanyaklah syukur pada Allah dengan selalu taat dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lihatlah bagaimana do'a Ibrahim ketika di usia senja ia masih diberi keturunan.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (39)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39). Ada ulama yang mengatakan bahwa ketika Isma'il lahir, usia Ibrahim 99 tahun dan ketika Ishaq lahir, usia beliau 112 tahun.[7]

baca selengkapnya di sini:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setiap orang pasti memiliki impian dan cita-cita. Berbagai usaha pun dikerahkan untuk mencapai impian tersebut. Namun kadang usaha untuk menggapai impian kandas di tengah jalan dikarenakan berbagai rintangan dari dalam maupun dari luar. Tentu saja impian yang kami maksudkan di sini adalah impian yang logis yang bisa dicapai dan bukan hanya khayalan di negeri antah berantah. Di saat impian tadi belum terwujud, bagaimanakah cara untuk menggapainya? Semoga tulisan ini bisa memberikan solusi terbaik.
Belajar dari Kisah Ibrahim 'alaihis salam dan Istrinya
Suatu pelajaran yang patut dicontoh adalah kisah Nabi Ibrahim 'alaihis salam bersama istrinya, Sarah. Lihatlah impiannya untuk memiliki anak sekian lama, akhirnya bisa terwujud. Padahal ada tiga sebab yang menjadi penghalang ketika itu. Sarah sudah sangat tua, Ibrahim pun demikian dan Sarah adalah wanita yang mandul.[1] Ada ulama yang berpendapat bahwa ketika anaknya Ishaq itu lahir, Sarah berusia 90-an tahun dan Ibrahim berusia 100-an tahun.[2] Namun di usia sudah sangat senja seperti itu, Allah Ta'ala memudahkan mereka memiliki anak, yaitu Ishaq yang akan menjadi seorang Nabi. Mengenai kisah Ibrahim dan Sarah, kita dapat melihat dalam dua surat. Dalam kisah mereka, Allah Ta'ala menceritakan kedatangan tamu (para malaikat). Ia pun dan istrinya menjamu mereka dengan sangat baiknya dan malaikat tersebut membawa kabar gembira pada Ibrahim dan Sarah atas kelahiran Ishaq,
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul". Mereka berkata: "Demikianlah Tuhanmu memfirmankan" Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Adz Dzariyaat: 24-30)
Dalam surat Huud, Allah Ta'ala menceritakan,
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ (71) قَالَتْ يَا وَيْلَتَا أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ (72)
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh." ” (QS. Huud: 71-72)
Lihatlah bagaimana impian Sarah dan Ibrahim untuk memiliki anak baru terwujud setelah mereka berada di usia sangat-sangat tua. Ketika menyebutkan kisah ini, Allah Ta'ala pun mengatakan di akhir kisah bahwa Allah itu Al 'Alim (Maha Mengilmui) dan Al Hakim (Maha Bijaksana). Artinya, Allah Ta'ala memiliki ilmu yang sempurna. Sedangkan Allah itu Al Hakim menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak, keadilan, rahmat, ihsan, dan kebaikan yang sempurna. Di samping itu Allah Ta'ala pun betul-betul menempatkan sesuatu pada tempatnya. Inilah pelajaran di balik nama Allah Al Alim dan Al Hakim.[3] Suatu yang mustahil dapat terjadi jika Allah menghendaki. Suatu impian yang sulit terwujud dapat digapai dengan kekuasaan Allah. Allah Ta'ala berfirman,
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21). Maha Mulia Allah Ta'ala dengan segala sifat-sifatnya yang maha sempurna.
Pahamilah Takdir Ilahi
Ketahuilah setiap yang terjadi di muka bumi ini sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh sejak 50.000 tahun yang lalu sebelum penciptaan langit dan bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Jika seseorang mengimani takdir ini dengan benar, maka ia pasti akan memperoleh kebaikan yang teramat banyak. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” (Al Fawaid, hal. 94) [4]
Yang Allah takdirkan tidaklah sia-sia. Pasti ada hikmah di balik itu semua. Allah Ta'ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39). Oleh karena itu, jika impian itu belum terwujud, maka perlu kita pahami bahwa itulah ketentuan Allah. Allah menjanjikan hikmah di balik itu semua karena sifat hikmah yang sempurna yang Dia miliki.
Terus Tawakkal dan Berusaha Semaksimal Mungkin
Kita harus punya sifat optimis dengan selalu bertawakkal (menyandarkan hati pada Allah) dan tetap berusaha untuk menggapai impian yang kita cita-citakan. Ingatlah bahwa siapa saja yang bertakwa dan bertawakkal pada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya, maka pasti Allah Ta'ala akan memberikan ia jalan keluar dan akan memberikan ia selalu kecukupan. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
Perlu diperhatikan bahwa impian bukan sekedar angan-angan yang tidak ada realisasinya. Jika impian ingin dicapai, tentu harus ada usaha semaksimal mungkin. Cobalah kita saksikan contoh gampangnya adalah seekor burung ketika ia ingin menggapai impiannya untuk memperoleh makanan di hari itu, dia pun pergi ke luar sarangnya untuk mencari hajat yang ia butuhkan. Ketika pulang pun ia dalam keadaan tenang. Inilah yang diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Umar bin Al Khottob;derajat hasan). Lihatlah bagaimana seekor burung saja mewujudkan impiannya dengan mencari rizki, dengan berusaha semaksimal mungkin. Bagaimanakah lagi kita selaku insan yang diberi anugerah akal oleh Sang Kholiq?
Teruslah Memohon pada Allah
Untuk mewujudkan impian, janganlah lupakan Yang Di Atas. Kadang kita lalai dan hanya bergantung pada diri kita sendiri yang lemah dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Maka perbanyaklah do'a. Karena setiap do'a pastilah bermanfaat. Allah Ta'ala berfirman,
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu'min: 60)
Jika ada yang bertanya, “Aku sudah seringkali berdo'a, namun mengapa impianku belum tercapai juga?” Kami bisa memberi jawaban sebagai berikut:
Pertama: Do'a boleh jadi terkabul, namun kita saja yang tidak mengetahui bentuk terkabulnya. Terkabulnya do'a bisa jadi dengan dipalingkan dari kejelekan dari do'a yang kita minta. Dan boleh jadi Allah simpan terkabulnya do'a tadi di akhirat kelak. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad, dari Abu Sa'id; derajat hasan)
Contohnya seseorang berdo'a, “Allahummar-zuqnii, Allahummar-zuqnii” (Ya Allah, berilah aku rizki. Ya Allah, berilah aku rizki). Boleh jadi do'a tersebut, Allah kabulkan segera atau diakhirkan. Allah Ta'ala Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba tersebut. Bahkan boleh jadi pula, Allah simpan do'a tersebut untuk meninggikan derajatnya di surga. Ini tentu saja lebih tinggi dari kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan di akhirat kelak tentu jauh berbeda dari kebahagiaan di dunia. Malik bin Dinar mengatakan,
لو كانت الدنيا من ذهب يفنى ، والآخرة من خزف يبقى لكان الواجب أن يؤثر خزف يبقى على ذهب يفنى ، فكيف والآخرة من ذهب يبقى ، والدنيا من خزف يفنى؟
“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Lalu bagaimana lagi jika akhirat itu adalah emas yang akan kekal abadi dan dunia adalah tembikar yang akan fana?”[5]
Kedua: Terkabulnya do'a boleh jadi diakhirkan agar seseorang tetap giat dan bersemangat dalam berdo'a. Ketika ia giat berdo'a, maka ia pun akan mendapatkan ketinggian derajat di akhirat kelak. Cobalah kita perhatikan apa yang terjadi pada para Nabi 'alaihimush sholaatu wa salaam. Mereka terus saja berdo'a dan memperbanyak do'a, namun terkabulnya do'a mereka diakhirkan agar mereka tetap semangat dalam berdo'a. Di antara contohnya adalah Nabi Ayyub 'alaihis salam yang diberi cobaan penyakit selama 18 tahun sehingga ia pun dijauhi kerabat dan yang lainnya. Namun ia tetap terus berdo'a dan berdo'a. Allah pun memujinya karena kesabarannya tersebut,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 44)[6]
Ketiga: Boleh jadi do'a tersebut sulit terkabul karena beberapa faktor penghalang. Di antara faktor penghalang adalah seseorang mengangkat tangan ke langit, namun ia sering mengkonsumsi makanan, minuman dan menggunakan pakaian yang haram atau diperoleh dari hasil yang haram (sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Muslim no. 1015, dari Abu Hurairah). Inilah yang membuat do'a seseorang sulit terkabul. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita rajin mengintrospeksi diri, siapa tahu do'a kita tidak kunjung terkabul karena sebab mengkonsumsi yang haram.
Penutup
Teruslah berusaha, memohon pada Allah, dan janganlah putus asa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim no. 2664, dari Abu Hurairah)
Jadikanlah impian kita semata-mata untuk tujuan akhirat dan bukan dunia semata. Jika ingin meraih kekayaan, jadikanlah ia sebagai amal sholih untuk tujuan akhirat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465, shahih)
Ketika impian tercapai, maka perbanyaklah syukur pada Allah dengan selalu taat dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lihatlah bagaimana do'a Ibrahim ketika di usia senja ia masih diberi keturunan.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (39)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39). Ada ulama yang mengatakan bahwa ketika Isma'il lahir, usia Ibrahim 99 tahun dan ketika Ishaq lahir, usia beliau 112 tahun.[7]
Semoga tulisan ini bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. ________________________________________
[1] Faedah dari penjelasan Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 810, Muassasah Ar Risalah, Beirut, Libanon, cetakan pertama, 1423 H.
[2] Sebagaimana disebutkan dalam tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan surat Adz Dzariyat ayat 29.
[3] Lihat Ar Risalah At Tabukiyah (Zaadul Muhaajir), Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 42, terbitan Darul Hadits.
[4] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/473, Mawqi' At Tafasir.
[6] Lihat penjelasan Syaikh Musthofa Al 'Adawi dalam Fiqh Ad Du'aa, hal 116, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H.
[7] Lihat tafsir Al Jalalain ketika menjelaskan surat Ibrahim ayat 39.
Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إذَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ
“Di antara shalat lima waktu, di antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang berikutnya, di antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan yang berikutnya, akan mengampuni dosa-dosa di antara kedunya asalkan dosa-dosa besar dijauhi.”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[2]
Dalam hadits lain, beliau bersabda,
مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.”[3]
Dalam hadits lain disebutkan,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amr ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).”[4]
Hadits lain pula,
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْهُ مِنْ النَّارِ حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukminah, maka Allah akan memerdakan setiap anggota tubuhnya dari neraka. Sampai pun kemaluannya yang ia memerdekakan, itu pun akan selamat.”[5]
Hadits-hadits di atas dan semisalnya terdapat dalam kitab shahih.
Dalam hadits lain disebutkan pula,
الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَالْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api. Hasad akan memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.”[6]
Yang menjadi masalah dalam memahami hadits-hadits di atas, ada yang memahami bahwa amalan kebaikan itu hanya menghapuskan dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa besar, itu baru bisa terhapus dengan taubat. Sebagaimana dalam sebagian hadits disebutkan,
مَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ
“Selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”
Alhamdulillah, wash shalaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma'in.
Pembaca sekalian yang moga selalu dalam penjagaan Allah dan senantiasa mendapatkan barokah dari-Nya. Tulisan kali ini adalah tulisan yang tertunda sebelumnya. Baru sempat saat ini rumaysho.com melanjutkannya. Bahasan ini adalah bahasan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai apa saja yang termasuk pelebur dosa yang nanti akan beliau jelaskan sampai sepuluh rincian. Insya Allah rumaysho.com akan menyicilnya perlahan-lahan. Moga Allah mudahkan dan memberikan kekuatan. Allahumma yassir wa a’in.
Ketiga: Amalan kebaikan sebagai pelebur dosa.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إذَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ
“Di antara shalat lima waktu, di antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang berikutnya, di antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan yang berikutnya, akan mengampuni dosa-dosa di antara kedunya asalkan dosa-dosa besar dijauhi.”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[2]
Dalam hadits lain, beliau bersabda,
مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.”[3]
Dalam hadits lain disebutkan,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amr ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).”[4]
Hadits lain pula,
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْهُ مِنْ النَّارِ حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukminah, maka Allah akan memerdakan setiap anggota tubuhnya dari neraka. Sampai pun kemaluannya yang ia memerdekakan, itu pun akan selamat.”[5]
Hadits-hadits di atas dan semisalnya terdapat dalam kitab shahih.
Dalam hadits lain disebutkan pula,
الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَالْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api. Hasad akan memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.”[6]
Yang menjadi masalah dalam memahami hadits-hadits di atas, ada yang memahami bahwa amalan kebaikan itu hanya menghapuskan dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa besar, itu baru bisa terhapus dengan taubat. Sebagaimana dalam sebagian hadits disebutkan,
مَا اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ
“Selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” Maka kami akan menjawab masalah ini dari beberapa sisi.
Inti dari bahasan ini adalah dengan melakukan amalan kebaikan bisa menghapuskan dosa. Jadi jangan remehkan kebaikan sekecil pun juga. Wallahu walliyut taufiq.

________________________________________
[1] HR. Muslim no. 233, dari Abu Hurairah.
[2] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760, dari Abu Hurairah.
[3] HR. Bukhari no. 1521, dari Abu Hurairah.
[4] HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144. Kata Ibnu Baththol, hadits ini semakna dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Ath Thagobun: 15) (Lihat Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/194, Asy Syamilah)
[5] HR. Bukhari no. 6715 dan Muslim no. 1509.
[6] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.









Buktikan Cintamu pada Nabi!

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[4]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[6]

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[7]

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[8]

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)
Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[9]

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[10]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[11] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[12]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[13]

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[14]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[15] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[4]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[6]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[7]
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[8]
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)
Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[9]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[10]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[11] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[12]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[13]
Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[14]
Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[15] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[16] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[17]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[18]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[19]
Nantikan pembahasan kami tentang perayaan Maulid Nabi, sejarah dan pandangan ulama mengenai perayaan tersebut. Semoga Allah mudahkan.
________________________________________
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.
[2] Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.
[3] HR. Bukhari no. 6632.
[4] HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’
[5] I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.
[6] HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[7] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.
[8] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[9] HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.
[10] HR. Muslim no. 2541.
[11] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[12] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.
[13] Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.
[14] HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.
[15] HR. Bukhari no. 3461
[16] Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.
[17] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[18] Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.
[19] Majmu’ Fatawa, 25/298.



Menjadi Umat Terbaik dengan Saling Menasehati

Pembahasan berikut adalah risalah ringkas dari Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa saja yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat terbaik.”

Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)

Setiap rasul yang Allah utus dan setiap kitab yang Allah turunkan, semuanya mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Yang dimaksud ma’ruf adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi oleh Allah.
Yang dimaksud munkar adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah.
Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab datangnya hukuman dunia sebelum hukuman di akhirat. Janganlah menyangka bahwa hukuman meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya menimpa orang yang zholim dan pelaku maksiat, namun boleh jadi juga menimpa manusia secara keseluruhan.

Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaklah orang yang faqih (paham) terhadap yang diperintahkan dan faqih (paham) terhadap yang dilarang. Begitu pula hendaklah dia halim (santun) terhadap yang diperintahkan, begitu pula terhadap yang dilarang. Hendaklah orang tersebut orang yang ‘alim terhadap apa yang ia perintahkan dan larang. Ketika dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia bersikap lemah lembut terhadap apa yang ia perintahkan dan ia larang. Lalu ia harus halim dan bersabar setelah ia beramar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Luqman,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Ketahuilah bahwa orang yang memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar termasuk mujahid di jalan Allah. Jika dirinya disakiti atau hartanya dizholimi, hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala di sisi Allah. Sebagaimana hal inilah yang harus dilakukan seorang mujahid pada jiwa dan hartanya. Hendaklah ia melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam rangka ibadah dan taat kepada Allah serta mengharap keselamatan dari siksa Allah, juga ingin menjadikan orang lain baik. Janganlah ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk tujuan mencari kedudukan mulia atau kekuasaan. Janganlah ia melakukannya karena bermusuhan atau benci di hatinya pada orang yang diajak amar ma’ruf nahi munkar. Janganlah ia melakukannya dengan tujuan-tujuan semacam ini.

Kadang memerintahkan pada yang kebaikan itu dengan cara yang baik dan tidak membawa dampak jelek. Kadang pula mencegah kemungkaran dilakukan dengan baik tanpa membawa dampak jelek. Sebaliknya jika menghilangkan kemungkaran malah dengan cara yang mungkar pula (bukan dengan cara yang baik), maka itu sama saja seseorang ingin mensucikan khomr (yang najis kata sebagian ulama, pen), dengan air kencing (yang najis pula, pen). Siapa yang melarang kemungkaran namun malah dengan yang mungkar, maka itu hanya membawa banyak kerusakan daripada mendapatkan keuntungan. Kadang kerugian itu sedikit atau banyak. Wallahu a’lam.

Pembahasan berikut adalah risalah ringkas dari Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa saja yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat terbaik.”
Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)
Setiap rasul yang Allah utus dan setiap kitab yang Allah turunkan, semuanya mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Yang dimaksud ma’ruf adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi oleh Allah.
Yang dimaksud munkar adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah.
Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab datangnya hukuman dunia sebelum hukuman di akhirat. Janganlah menyangka bahwa hukuman meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya menimpa orang yang zholim dan pelaku maksiat, namun boleh jadi juga menimpa manusia secara keseluruhan.
Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaklah orang yang faqih (paham) terhadap yang diperintahkan dan faqih (paham) terhadap yang dilarang. Begitu pula hendaklah dia halim (santun) terhadap yang diperintahkan, begitu pula terhadap yang dilarang. Hendaklah orang tersebut orang yang ‘alim terhadap apa yang ia perintahkan dan larang. Ketika dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia bersikap lemah lembut terhadap apa yang ia perintahkan dan ia larang. Lalu ia harus halim dan bersabar setelah ia beramar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Luqman,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Ketahuilah bahwa orang yang memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar termasuk mujahid di jalan Allah. Jika dirinya disakiti atau hartanya dizholimi, hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala di sisi Allah. Sebagaimana hal inilah yang harus dilakukan seorang mujahid pada jiwa dan hartanya. Hendaklah ia melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam rangka ibadah dan taat kepada Allah serta mengharap keselamatan dari siksa Allah, juga ingin menjadikan orang lain baik. Janganlah ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk tujuan mencari kedudukan mulia atau kekuasaan. Janganlah ia melakukannya karena bermusuhan atau benci di hatinya pada orang yang diajak amar ma’ruf nahi munkar. Janganlah ia melakukannya dengan tujuan-tujuan semacam ini.
Kadang memerintahkan pada yang kebaikan itu dengan cara yang baik dan tidak membawa dampak jelek. Kadang pula mencegah kemungkaran dilakukan dengan baik tanpa membawa dampak jelek. Sebaliknya jika menghilangkan kemungkaran malah dengan cara yang mungkar pula (bukan dengan cara yang baik), maka itu sama saja seseorang ingin mensucikan khomr (yang najis kata sebagian ulama, pen), dengan air kencing (yang najis pula, pen). Siapa yang melarang kemungkaran namun malah dengan yang mungkar, maka itu hanya membawa banyak kerusakan daripada mendapatkan keuntungan. Kadang kerugian itu sedikit atau banyak. Wallahu a’lam.
***
Diterjemahkan dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjelasan firman Allah: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnaas dalam Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama,, Muharram, 1422, hal. 62-65.


Faedah Surat Yasin: Setiap Bekas Amal Kebaikan Akan Dicatat

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Surat yang sudah sangat ma’ruf di tengah-tengah kita yaitu surat Yasin. Sampai-sampai sebagian orang pun sudah menghafalnya karena saking seringnya surat ini dibaca. Namun coba tanyakan berapa banyak orang yang bisa memahami kandungan surat tersebut. Kami sangat tertarik sekali untuk mengkaji ayat demi ayat darinya. Karena sungguh banyak pelajaran penting seputar aqidah dan masalah lainnya yang sebenarnya bisa kita gali dari surat Yasin.

Di antaranya dapat dibaca dalam artikel berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Mari kita lihat apa saja faedah penting dari ayat tersebut sebagaimana diterangkan oleh para ulama pakar tafsir.

Faedah pertama
Allah akan menghidupkan makhluk yang telah mati, yang telah menjadi tulang belulang ketika hari kiamat kelak, saat hari berbangkit. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati”. Kata Ibnu Katsir, ini terjadi pada hari kiamat[1]. Artinya di hari kiamat semua yang telah mati akan kembali dihidupkan. Ayat ini dengan sangat terang menunjukkan adanya hari berbangkit. Inilah bagian aqidah yang mesti diyakini seorang muslim.

Faedah kedua
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bisa menghidupkan hati siapa saja yang Dia kehendaki termasuk orang-orang kafir yang mati hatinya karena tenggelam dalam kesesatan. Allah bisa jadi menunjuki mereka dari kesesatan menuju jalan hidayah. Sebagaimana Allah berfirman setelah menceritakan mengenai orang yang keras hatinya,
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al Hadid: 17)[2]
Sebelumnya Allah Ta’ala menerangkan,
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)

Faedah ketiga
Allah akan mencatat setiap amalan yang pernah dilakukan[3], baik yang baik maupun yang jelek[4]. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
“dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan”

aedah keempat
Mengenai ayat,
وَآَثَارَهُمْ
“(dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan) dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”.
Yang dimaksud “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” ini ada tiga pendapat di kalangan pakar tafsir:
1. Bekas langkah kaki mereka. Pendapat ini dipilih oleh Al Hasan, Mujahid dan Qotadah.
2. Langkah kaki menuju shalat Juma’t. Pendapat ini dipilih oleh Anas bin Malik.
3. Bekas kebaikan dan kejelekannya yang orang lain ikuti. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Al Faro’, Ibnu Qutaibah dan Az Zujaj.[5]
Yang menunjukkan bahwa bekas langkah kaki akan dicatat, baik langkah dalam kebaikan maupun keburukan adalah sebagaimana penjelasan Qotadah (seorang tabi’in) yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir. Qotadah rahimahullah mengatakan, “Seandainya Allah lalai dari urusan manusia, maka tentu saja bekas-bekas (kebaikan dan kejelekan) itu akan terhapus dengan hembusan angin. Akan tetapi Allah Ta’ala menghitung seluruh amalan manusia, begitu pula bekas-bekas amalan mereka. Sampai-sampai Allah Ta’ala akan menghitung bekas-bekas amalan mereka baik dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan. Barangsiapa yang ingin dicatat bekas amalan kebaikannya, maka lakukanlah.”[6] Maksud yang disampaikan oleh Qotadah ini juga disampaikan dalam beberapa hadits di antaranya sebagai berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ فَأَرَادَ بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, "Di sekitar masjid ada beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian ingin pindah dekat masjid." Mereka menjawab, "Benar wahai Rasulullah, kami memang ingin seperti itu." Beliau lalu bersabda, "Wahai Bani Salamah, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat."[7]
Disebutkan dalam Tafsir Ath Thobari sebuah riwayat dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata,
شكت بنو سَلِمة بُعد منازلهم إلى النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فنزلت( إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ) فقال: "عَلَيكُمْ مَنَازِلَكُم تُكْتَبُ آثارُكم"
“Bani Salamah dalam keadaan kebimbangan karena tempat tinggal mereka jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas turunlah ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. Beliau bersabda, “Tetaplah kalian di tempat tinggal kalian. Bekas-bekas langkah kalian akan dicatat.”[8]
Artinya di sini, langkah menuju masjid dalam amalan kebaikan akan dicatat, begitu pula langkah pulang dari masjid. Ketika seseorang menuntut ilmu, harus menaiki kendaraan karena sangat jauhnya tempat pengajian, maka putaran roda pun akan dicatat sebagai kebaikan karena ini adalah bekas amalan kebaikan yang ia lakukan. Begitu pula ketika seseorang harus mengeluarkan biaya untuk menuntut ilmu dari para guru (masyaikh) di luar negeri, maka setiap usaha menuju ke sana yang ia lakukan, itu pun akan dicatat. Begitu pula rasa capek dalam kebaikan, itu pun akan dicatat. Sungguh Maha Besar karunia Allah. Namun kita sendiri yang sebenarnya tidak menyadari hal ini.
Begitu pula bekas langkah dalam melakukan kemaksiatan pun akan dicatat. Ketika ia mengendarai mobil untuk menuju tempat zina dan berdua dengan kekasih yang belum halal baginya, langkah menuju tempat maksiat tersebut akan dicatat. Dengan mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita pun tidak bertekad melakukan maksiat dan dosa.

Faedah kelima
Sebagaimana tafsiran “bekas-bekas amalan” lainnya adalah bahwa bekas kebaikan dan kejelekan yang diikuti orang lain, itu pun akan dicatat. Artinya jika kebaikan kita diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan pahala. Begitu pula jika kejelekan yang kita lakukan diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan dosa.
Dalil yang mendukung tafsiran ini adalah hadits-hadits berikut ini.
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.”[9]
Jika ilmu yang bermanfaat diikuti oleh orang lain, seseorang yang menyebarkan kebaikan tersebut akan mendapatkan pahala orang yang mengikuti kebaikannya meskipun ia telah berada di liang lahat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholih yang mendoakan dirinya. ”[10]
Oleh karena itu jangan meremehkan satu kebaikan untuk disampaikan pada yang lainnya, apalagi sampai yang kita sampaikan adalah ilmu yang bermanfaat. Begitu pula janganlah sampai menyebarkan satu kejelekan sedikit pun karena jika itu diikuti orang lain, maka kita pun akan mendapatkan dosanya. Maka penjelasan ini menjelaskan bahaya seseorng menyebar syirik, bid’ah dan maksiat. Semoga Allah memberi petunjuk.

Faedah keenam
Segala sesuatu akan dicatat di Lauhul Mahfuzh (lembaran yang tejaga). Inilah yang disebutkan Allah Ta’ala,
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
Setiap kebaikan dan kejelekan yang dilakukan, sungguh akan dicatat di Lauhul Mahfuzh.

Faedah ketujuh
“Imamul Mubin” yang dimaksudkan di sini adalah ummul kitab (induk kitab). Demikian disebutkan dalam ayat lain,
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al Isro’: 71). Yang dimaksudkan dengahn pemimpinnya di sini adalah dengan kitab amalan mereka yang bersaksi atas kejelekan dan kebaikan yang mereka lakukan.
Maksud ayat di atas sama dengan firman Allah dalam ayat lainnya,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah Para Nabi dan saksi-saksi.” (QS. Az Zumar: 69)
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun".” (QS. Al Kahfi: 49)[11]
Alhamdulillah, dari ayat yang singkat ini kita bisa menggali faedah-faedah yang luar biasa. Semoga sajian ini bermanfaat. Sungguh nikmat jika terus menerus kita dapat menggali faedah-faedah berharga dari setiap ayat Al Qur’an yang kita baca.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Surat yang sudah sangat ma’ruf di tengah-tengah kita yaitu surat Yasin. Sampai-sampai sebagian orang pun sudah menghafalnya karena saking seringnya surat ini dibaca. Namun coba tanyakan berapa banyak orang yang bisa memahami kandungan surat tersebut. Kami sangat tertarik sekali untuk mengkaji ayat demi ayat darinya. Karena sungguh banyak pelajaran penting seputar aqidah dan masalah lainnya yang sebenarnya bisa kita gali dari surat Yasin. Di antaranya dapat dibaca dalam artikel berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Mari kita lihat apa saja faedah penting dari ayat tersebut sebagaimana diterangkan oleh para ulama pakar tafsir.
Faedah pertama
Allah akan menghidupkan makhluk yang telah mati, yang telah menjadi tulang belulang ketika hari kiamat kelak, saat hari berbangkit. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati”. Kata Ibnu Katsir, ini terjadi pada hari kiamat[1]. Artinya di hari kiamat semua yang telah mati akan kembali dihidupkan. Ayat ini dengan sangat terang menunjukkan adanya hari berbangkit. Inilah bagian aqidah yang mesti diyakini seorang muslim.
Faedah kedua
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bisa menghidupkan hati siapa saja yang Dia kehendaki termasuk orang-orang kafir yang mati hatinya karena tenggelam dalam kesesatan. Allah bisa jadi menunjuki mereka dari kesesatan menuju jalan hidayah. Sebagaimana Allah berfirman setelah menceritakan mengenai orang yang keras hatinya,
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al Hadid: 17)[2]
Sebelumnya Allah Ta’ala menerangkan,
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Faedah ketiga
Allah akan mencatat setiap amalan yang pernah dilakukan[3], baik yang baik maupun yang jelek[4]. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
“dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan”
Faedah keempat
Mengenai ayat,
وَآَثَارَهُمْ
“(dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan) dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”.
Yang dimaksud “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” ini ada tiga pendapat di kalangan pakar tafsir:
1. Bekas langkah kaki mereka. Pendapat ini dipilih oleh Al Hasan, Mujahid dan Qotadah.
2. Langkah kaki menuju shalat Juma’t. Pendapat ini dipilih oleh Anas bin Malik.
3. Bekas kebaikan dan kejelekannya yang orang lain ikuti. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Al Faro’, Ibnu Qutaibah dan Az Zujaj.[5]
Yang menunjukkan bahwa bekas langkah kaki akan dicatat, baik langkah dalam kebaikan maupun keburukan adalah sebagaimana penjelasan Qotadah (seorang tabi’in) yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir. Qotadah rahimahullah mengatakan, “Seandainya Allah lalai dari urusan manusia, maka tentu saja bekas-bekas (kebaikan dan kejelekan) itu akan terhapus dengan hembusan angin. Akan tetapi Allah Ta’ala menghitung seluruh amalan manusia, begitu pula bekas-bekas amalan mereka. Sampai-sampai Allah Ta’ala akan menghitung bekas-bekas amalan mereka baik dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan. Barangsiapa yang ingin dicatat bekas amalan kebaikannya, maka lakukanlah.”[6] Maksud yang disampaikan oleh Qotadah ini juga disampaikan dalam beberapa hadits di antaranya sebagai berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَلَتِ الْبِقَاعُ حَوْلَ الْمَسْجِدِ فَأَرَادَ بَنُو سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى قُرْبِ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُمْ « إِنَّهُ بَلَغَنِى أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ». قَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ « يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ ».
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, "Di sekitar masjid ada beberapa bidang tanah yang masih kosong, maka Bani Salamah berinisiatif untuk pindah dekat masjid. Ketika berita ini sampai ke telinga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Rupanya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian ingin pindah dekat masjid." Mereka menjawab, "Benar wahai Rasulullah, kami memang ingin seperti itu." Beliau lalu bersabda, "Wahai Bani Salamah, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat, tetapkanlah kalian tinggal di rumah kalian, sebab langkah kalian akan dicatat."[7]
Disebutkan dalam Tafsir Ath Thobari sebuah riwayat dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata,
شكت بنو سَلِمة بُعد منازلهم إلى النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فنزلت( إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ) فقال: "عَلَيكُمْ مَنَازِلَكُم تُكْتَبُ آثارُكم"
“Bani Salamah dalam keadaan kebimbangan karena tempat tinggal mereka jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas turunlah ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. Beliau bersabda, “Tetaplah kalian di tempat tinggal kalian. Bekas-bekas langkah kalian akan dicatat.”[8]
Artinya di sini, langkah menuju masjid dalam amalan kebaikan akan dicatat, begitu pula langkah pulang dari masjid. Ketika seseorang menuntut ilmu, harus menaiki kendaraan karena sangat jauhnya tempat pengajian, maka putaran roda pun akan dicatat sebagai kebaikan karena ini adalah bekas amalan kebaikan yang ia lakukan. Begitu pula ketika seseorang harus mengeluarkan biaya untuk menuntut ilmu dari para guru (masyaikh) di luar negeri, maka setiap usaha menuju ke sana yang ia lakukan, itu pun akan dicatat. Begitu pula rasa capek dalam kebaikan, itu pun akan dicatat. Sungguh Maha Besar karunia Allah. Namun kita sendiri yang sebenarnya tidak menyadari hal ini.
Begitu pula bekas langkah dalam melakukan kemaksiatan pun akan dicatat. Ketika ia mengendarai mobil untuk menuju tempat zina dan berdua dengan kekasih yang belum halal baginya, langkah menuju tempat maksiat tersebut akan dicatat. Dengan mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita pun tidak bertekad melakukan maksiat dan dosa.
Faedah kelima
Sebagaimana tafsiran “bekas-bekas amalan” lainnya adalah bahwa bekas kebaikan dan kejelekan yang diikuti orang lain, itu pun akan dicatat. Artinya jika kebaikan kita diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan pahala. Begitu pula jika kejelekan yang kita lakukan diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan dosa.
Dalil yang mendukung tafsiran ini adalah hadits-hadits berikut ini.
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.”[9]
Jika ilmu yang bermanfaat diikuti oleh orang lain, seseorang yang menyebarkan kebaikan tersebut akan mendapatkan pahala orang yang mengikuti kebaikannya meskipun ia telah berada di liang lahat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholih yang mendoakan dirinya. ”[10]
Oleh karena itu jangan meremehkan satu kebaikan untuk disampaikan pada yang lainnya, apalagi sampai yang kita sampaikan adalah ilmu yang bermanfaat. Begitu pula janganlah sampai menyebarkan satu kejelekan sedikit pun karena jika itu diikuti orang lain, maka kita pun akan mendapatkan dosanya. Maka penjelasan ini menjelaskan bahaya seseorng menyebar syirik, bid’ah dan maksiat. Semoga Allah memberi petunjuk.
Faedah keenam
Segala sesuatu akan dicatat di Lauhul Mahfuzh (lembaran yang tejaga). Inilah yang disebutkan Allah Ta’ala,
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
Setiap kebaikan dan kejelekan yang dilakukan, sungguh akan dicatat di Lauhul Mahfuzh.
Faedah ketujuh
“Imamul Mubin” yang dimaksudkan di sini adalah ummul kitab (induk kitab). Demikian disebutkan dalam ayat lain,
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al Isro’: 71). Yang dimaksudkan dengahn pemimpinnya di sini adalah dengan kitab amalan mereka yang bersaksi atas kejelekan dan kebaikan yang mereka lakukan.
Maksud ayat di atas sama dengan firman Allah dalam ayat lainnya,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah Para Nabi dan saksi-saksi.” (QS. Az Zumar: 69)
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun".” (QS. Al Kahfi: 49)[11]
Alhamdulillah, dari ayat yang singkat ini kita bisa menggali faedah-faedah yang luar biasa. Semoga sajian ini bermanfaat. Sungguh nikmat jika terus menerus kita dapat menggali faedah-faedah berharga dari setiap ayat Al Qur’an yang kita baca.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

________________________________________
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muasasah Qurthubah, 11/347.
[2] Idem.
[3] Idem.
[4] Lihat Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/497; Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 9/8; Ma’alimut Tanzil, Al Baghowi, Dar Thoyyibah, 7/9; Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 6/153
[5] Zaadul Masiir, 9/8-9.
[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/348.
[7] HR. Muslim no. 665.
[8] Tafsir Ath Thobari, 20/498.
[9] HR. Muslim no. 1017
[10] HR. An Nasai no. 3651 dan At Tirmidzi no. 1376. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/350-351.
________________________________________

Allah Memberi Kekayaan dengan Maha Adil
Berikut adalah tafsir surat Asy Syuraa ayat 27 tentang keadilan Allah dalam memberikan rizki dan kekayaan. Semoga bermanfaat.

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[1]

Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[2] Hadits ini dinilai dho’if (lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasar shahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.

Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan Mereka
Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan kekufuran. Artinya disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah musyrikin Mekkah dalam surat Al Qolam. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19)
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam: 17-19), silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Orang-orang yang berdusta ini diuji dengan kebaikan dan harta yang melimpah untuk mereka. Mereka diberikan harta yang begitu banyak, juga diberikan keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai dengan kemauan mereka. Dan pemberian ini bukanlah diberikan karena kemuliaan mereka di sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat mereka semakin terlena dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]

Kesimpulan
Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan ia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran. Karena Allah berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5). Kita harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang Allah beri, malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksiat, syirik dan kekufuran.
Sehingga jika sudah kita mengerti hal ini, maka kita mesti iri pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita. Itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah beri. Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah beri taufik. Sungguh terasa nikmat jika kita dapat terus mengkaji Al Qur’an walaupun sesaat.

Berikut adalah tafsir surat Asy Syuraa ayat 27 tentang keadilan Allah dalam memberikan rizki dan kekayaan. Semoga bermanfaat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[2] Hadits ini dinilai dho’if (lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasar shahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan Mereka
Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan kekufuran. Artinya disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah musyrikin Mekkah dalam surat Al Qolam. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19)
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam: 17-19), silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Orang-orang yang berdusta ini diuji dengan kebaikan dan harta yang melimpah untuk mereka. Mereka diberikan harta yang begitu banyak, juga diberikan keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai dengan kemauan mereka. Dan pemberian ini bukanlah diberikan karena kemuliaan mereka di sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat mereka semakin terlena dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]
Kesimpulan
Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan ia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran. Karena Allah berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5). Kita harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang Allah beri, malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksiat, syirik dan kekufuran.
Sehingga jika sudah kita mengerti hal ini, maka kita mesti iri pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita. Itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah beri. Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah beri taufik. Sungguh terasa nikmat jika kita dapat terus mengkaji Al Qur’an walaupun sesaat.

________________________________________
[1] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/278, Muassasah Qurthubah.
[2] As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[3] Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 880, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1423 H.










Shalatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk kalangan orang-orang shalih, sekaligus salah satu dari sahabat utama yang dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, imam yang utama dari sejumlah sahabat yang lainnya.

Beliau telah menghabiskan hidup dan segenap jiwa raganya, harta kekayaannya serta waktunya untuk diinfakkan dan berjihad di jalan Allah. Termasuk memberikan pelayanan dalam dakwah dan penyampaian wahyu.

Dialah sahabat Abu Bakar yang nama lengkapnya Abdullah bin Abi Quhafah Al Qurasyi At Tamimi yang terkenal dengan sebutan Abu Bakar Asy Syiddiq.

Beliau sangat mudah mencucurkan air mata saat membaca Al Quran dalam shalatnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya pengalaman hidup beliau bersama Al Quran. Sehingga beliau tidak mampu menahan perasaannya dari kejadian kejadian yang pernah dialaminya ketika membaca Al Quran.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Mereka melalui Abu Bakar yang sedang shalat bersama dengan yang lainnya.” Aisyah menuturkan, Saya pun berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Wahai Rasulullah, sesungguhnyaAbu Bakar adalah seorang laki laki yang lembut hatinya, apabila telah membaca Al Quran beliau tidak mampu menahan cucuran air mata dari keduanya.” (HR Muslim)

Adapun kekhusyukan beliau serta tangisan beliau di dalam shalat, benar-benar berpengaruh besar kepada orang-orang di sekelilingnya.Hal ini menyebabkan orang-orang Quraisy yang menguasai Mekah pada waktu itu mengajukan sejumlah syarat kepada beliau ketika beliau menunaikan shalat.

Akhirnya kaum kafir Quraisy menemui Ibnu Ad Daghinah yang saat itu memberikan jaminan keamana kepada Abu BakarAsh Shiddiq. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Ibnu Ad Daghinah, suruhlah Abu Bakar untuk beribadah kepada Rabbnya di rumahnya, hendaklah dia shalat dan membaca apa yang dia kehendaki dan janganlah dia menyakiti kami. Sesungguhnya kami khawatir perkara itu menjadi fitnah bagi anak dan istri kami.”

Ibnu Ad Daghinah pun mengatakan hal itu kepada Abu Bakar, sehingga beliau mulai beribadah kepada Allah di rumahnya, dengan tidak mengeraskan shalatnya begitupun dengan bacaannya.

Kemudian Abu Bakar mulai membangun sebuah masjid di halaman rumahnya, beliau shalat dan membaca Al Quran di masjid itu. Pada saat itu, berkumpullah istri-istri dari kalangan orang musyrik dan anak-anak mereka, mereka begitu kagum akan shalat yang didirikan Abu Bakar dengan terus memperhatikannya. Abu Bakar adalah seorang laki laki yang sering menangis, beliau tidak bisa menahan air matanya ketika membaca AL Quran (Kisah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Ibnu Hiban)

Sahl bin Sa’d dia berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak pernah melirik ketika dalam shalat.” (Fadhail Ash Shahabat I/208, Imam Ahmad)

Mujahis menuturkan, “Keadaan Ibnu Az Zubair ketika dia berdiri menunaikan shalat, seperti sebuah kayu yang kokoh (tidak bergerak).” Dikisahkan pula bahwa Abu Bakar pun seperti itu ketika shalat. Abdurrazaq berkata, “Penduduk Mekah menuturkan bahwa Ibnu Zubair mencontohshalat dari Abu Bakar, dan Abu Bakar mencontohnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fadhail Ash Shahabat I/208, Imam Ahmad)

***
artikel muslimah.or.id
disalin dari buku Shalatnya Para Kekasih Allah karya Ahmad Musthafa Ath Thathawi (Terjemah dari buku Shalat Ash Shalihin wa Qishash Al ‘Abidin)




Fluktuasi Keimanan
Kategori Tazkiyatun Nufus | 25-12-2010 | 4 Komentar

Sebab-sebab bertambahnya keimanan

Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah :

Pertama
Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.

Kedua
Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.

Ketiga
Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.

Keempat
Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)

Sebab-sebab berkurangnya keimanan
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut :

Pertama
Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya

Kedua
Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.

Ketiga
Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong.

Keempat
Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id


HUKUM MENYEMIR RAMBUT

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.

Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)

Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah].

… Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah). Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.

Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ

“Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini.

Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,

كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ

“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id)

Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,

دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ ، فَقَال عُمَرُ : هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ . وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ : هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ

“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. Lihat Majma’ Az Zawa’id)

Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.

Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”

Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)

Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)

Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.

Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?

Syaikh rahimahullah menjawab:

Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.

Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?

Syaikh rahimahullah menjawab:

Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)

Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”

Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)

Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”

Syaikh rahimahullah menjawab:

Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).

Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:

Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.

Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.

Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .

Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.

Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.

Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)

Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan,

“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)

Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi?

Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta. Wallahu a’lam bish showab.

Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****
29 Rabi’ul Awwal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, SS
Artikel www.muslim.or.id




Dalil-dalil dan hukum mencukur jenggot/lihyah bagi laki-laki
Jumat, 19 Desember 2003 - 20:35:28 :: kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Fatwa Lajnah Daimah Lajnah Daimah Lil Ifta Jilid V/133
.: :.
Antara hadits-hadits sahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot dan jambang kemudian mewajibkan orang-orang lelaki beriman supaya memotong atau menipiskan kumis mereka serta pengharaman dari mencukur atau memotong jenggot mereka ialah: "Abdullah bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah kumis kamu". HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.

"Dari Abi Imamah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab". Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.

"Dari Aisyah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara jenggot". HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn Majah.

Bagi individu yang menjiwai hadits di atas pasti mampu memahami bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam melarang setiap mukmin dari meniru atau menyerupai tatacara orang-orang kafir sama ada dari golongan Yahudi, Nasrani, Majusi atau munafik. Antara penyerupaan yang dilarang oleh Rasulullah ialah berupa pengharaman ke atas setiap orang lelaki yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka. Kemudian Rasulullah melarang pula dari memelihara kumis karena dengan memelihara kumis kemudian mencukur jenggot telah menyerupai perbuatan semua golongan orang-orang kafir. Antara motif utama dari larangan Rasulullah itu ialah agar orang-orang yang beriman dapat memelihara sunnah supaya tidak mudah pupus disamping mengharamkan setiap orang yang beriman dari meniru tata-etika, amalan dan tata-cara orang-orang kafir atau jahiliah.

Larangan yang berupa penegasan dari syara ini telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam melalui hadits-hadits Rasulullah. Terlalu sukar untuk ditolak atau dinafikan tentang pengharaman mencukur jenggot ini karena terlalu banyak hadits-hadits sahih yang telah membuktikannya dengan terang tentang pengharaman tersebut.

Memang tidak dapat diragukan, antara penyerupaan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ialah meniru perbuatan orang-orang kafir yang kebanyakan dari mereka lebih gemar mencukur jenggot dan jambang mereka kemudian membiarkan (memelihara) kumis mereka sebagai hiasan. Ketegasan larangan mencukur jenggot yang membawa kepada penyerupaan masih dapat difahami melalui hadits-hadits Rasulullah yang seterusnya sebagaimana di bawah ini:

"Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka". HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. "Dari Abi Hurairah Radiyallahu ‘anhu: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Bahwasanya ahli syirik memelihara kumisnya dan memotong jenggotnya, maka janganlah meniru mereka, peliharalah jenggot kamu dan potonglah kumis kamu". HR al Bazzar.

"Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi (penyembah berhala) karena mereka itu memotong (mencukur) jenggot mereka dan memanjangkan (memelihara) kumis mereka". HR Muslim.

"Tipiskanlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu. Di riwayat yang lain pula : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR al Bukhari.

Dari Abi Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Di antara fitrah dalam Islam ialah memotong kumis dan memelihara jenggot, bahwasanya orang-orang Majusi memelihara kumis mereka dan memotong jenggot mereka, maka janganlah kamu menyerupai mereka, hendaklah kamu potong kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR Ibn Habban.

"Dari Abdullah bin Umar berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam seorang Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara mereka) tinggalkan cara mereka". HR al Baihaqi.

"Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot". HR Muslim.

"Dari Abi Hurairah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR Muslim.

"Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani". HR Ahmad.

"Dari Ibn Abbas berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu". HR al Bazzar.

Jumhur ulama (ulama tafsir, hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits (tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia menggunakan lafaz atau kalimah (صيغة الامر) : "nada (gaya) perintah" yang tegas, jelas (dan diulang-ulang). Lihat : (تفسير النصوص) Adib Saleh. Jld. 2 : 241.

Larangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman tidak mencukur jenggot mereka dan tidak menyerupai Yahudi, Nasrani atau Majusi telah dilahirkan oleh Rasulullah melalui sabdanya dengan beberapa gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, terang dan tegas. Sebagaimana hadits-hadits sahih di bawah ini:

"Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu". HR al-Bukhari dan Muslim.

"Tinggalkan cara mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu". HR al-Bazzar.
"Tinggalkan cara Majusi (jangan meniru Majusi)". HR Muslim.
"Dan janganlah kamu sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani". HR Ahmad.
"Janganlah kamu sekalian menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu". HR al-Bazzar.
Hadits-hadits di atas amat jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mewajibkan kepada setiap orang-orang yang beriman agar memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Di samping itu mengharamkan mereka dari meniru perbuatan orang-orang kafir, sama ada golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, munafik atau orang fasiq yang mengingkari perintah dan melanggar larangan yang terdapat di dalam hadits-hadits sahih tentang jenggot dan penyerupaan sebagaimana kenyataan dari hadits-hadits sahih di atas tadi.

Begitu juga jika diteliti beberapa hadits di atas, maka antara ketegasan hadits tersebut ialah melarang orang-orang beriman dari meniru (menyerupai) perbuatan, amalan atau tingkah laku golongan Yahudi, Nasrani, Majusi dan semua orang-orang kafir, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara memotong (mencukur) jenggot dan kemudian memelihara pula kumis. Amat jelas dalam setiap hadits di atas perintah atau perintah dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Antara tujuan perintah tersebut ialah supaya orang-orang yang beriman tidak menyerupai golongan orang-orang kafir tidak kira apa jenis kekafiran mereka. Nabi telah memberi peringatan melalui hadits-hadits sahihnya kepada siapa yang melanggar dan mengabaikan perintah syara termasuk memelihara jenggot.

Hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tabrani yang telah dikemukakan di atas, perlu dijiwai dan diresapi di hati setiap mukmin agar sentiasa menjadi panduan dan perisai untuk memantapkan pegangan (istiqamah) dalam memelihara hukum berjenggot. Hadits yang dimaksudkan ialah:

"Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhuberkata : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka dia telah tergolong (agama) kaum itu". HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. Menurut keterangan al-Hafiz al-Iraqi dalam (تخريج الاحياء) bahwa sanad hadits ini sahih.

Kesahihan hadits di atas dapat memberi keyakinan dan penerangan bahwa barang siapa yang meniru atau menjadikan orang-orang jahiliah sama ada dari kalangan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagai contoh dan mengenepikan amalan yang telah ditetapkan oleh agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, maka peniru tersebut akan tetap menjadi golongan kafir yang ditiru selagi tidak bertaubat malah akan terus bersama mereka sampai di akhirat. Kesahihan ini dapat diperkuat dan dipastikan lagi dengan hadits sahih di bawah ini: "Tiga jenis manusia yang dibenci oleh Allah (antara mereka) ialah penganut Islam yang masih memilih (meniru) perbuatan jahiliah". HR al-Bukhari.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda: "Barangsiapa yang meniru (menyerupai) seperti mereka (orang-orang bukan Islam) sehingga ia mati, maka ia telah termasuk dalam golongan (mereka sehingga ke akhirat)". Memelihara jenggot adalah fitrah Islamiyah yang diamalkan oleh semua nabi-nabi, rasul-rasul ‘alaihissalam, para sahabat dan orang-orang yang sholih. Pengertian fitrah Islamiyah boleh difahami dari apa yang telah dijelaskan oleh Imam as Suyuti di dalam kitabnya: "Sebaik-baik pengertian tentang fitrah boleh dikatakan bahwa ia adalah perbuatan mulia dipilih dan dilakukan oleh para nabi-nabi dan dipersetujui oleh syara sehingga menjadi seperti satu kemestian ke atasnya".

Sirah atau sejarah semua rasul-rasul dan nabi-nabi sampai ke sirah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam serta tarikh semua para sahabat terutama Khulafa ar Rasyidin telah didedahkan kepada kita bahwa mereka semua didapati memelihara jenggot karena mengimani dan mentaati setiap perintah agama dan berpegang kepada fitrah yang diturunkan kepada rasul yang diutus untuk mendidik dan menunjukkan mereka jalan kebenaran. Mereka yakin hanya dengan mentaati Nabi atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam semua aspek akan berjaya di dunia dan di akhirat. Antara kisah nabi yang terdapat di dalam al-Quran yang disebut dengan jenggot ialah kisah Nabi Harun sebagaimana firman Allah: "Harun menjawab : Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan pula kepalaku". (QS Thaha, 20:94). Para Isteri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam juga suka melihat Nabi berjenggot sehingga ada yang meletakkan minyak wangi di jenggot dan jambang Nabi. Sebagaimana hadits sahih di bawah ini: "Dari Aisyah Ummul Mukminin berkata : Aku mewangikan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan sebaik-baik wangi-wangian pada rambut dan jenggotnya". Muttafaq ‘alaihi. "Berkata Anas bin Malik : Jenggot Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam didapati lebat dari sini ke sini, maka diletakkan kedua tangannya di pipinya". HR Ibn Asyakir (dalam Tarikhnya).

Di dalam kitab (فتح الباري) Jld. 10: 335, terdapat nash yang ditulis: "Memelihara jenggot adalah kesan peninggalan yang diwariskan oleh (Nabi) Ibrahim alaihissalam wa ala nabiyina as salatu wassalam sebagaimana dia mewariskan (wajibnya) jenggot maka begitu juga (wajibnya) berkhatan".

"Dari Jabir berkata : Sesungguhnya Rasulullah lebat jenggotnya". HR Muslim. "Dari Muamar berkata : Kami bertanya kepada Khabbab, adakah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membaca (al-Quran) di waktu Zuhur dan Asar? Beliau berkata : Ya! Kami bertanya, dari mana engkau tahu? Beliau menjawab : Dengan bergerak-geraknya jenggot Rasulullah". HR al Bukhari.

"Dari Jabir berkata : Kebiasaannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apabila bersikat dimulakan pada rambutnya kemudian pada jenggotnya". HR Muslim.

"Dari Umar berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam lebat jenggotnya, di riwayat yang lain tebal jenggotnya dan di lain riwayat pula subur jenggotnya". HR at Tirmidzi.
"Dari Anas bin Malik berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apabila berwuduk meletakkan tapak tangannya yang berair ke bawah dagunya dan diratakan (air) di jenggotnya. Beliau bersabda : Beginilah aku disuruh oleh Tuhanku". HR Abu Daud.
"Terdapat pada jenggot (Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam) jenggot yang putih". HR Muslim.
"Tidak kelihatan uban di jenggotnya kecuali sedikit". HR Muslim.
"Rambut yang putih (uban) di kepala dan di jenggot (Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam) tidak melebihi dua puluh helai". HR al-Bukhari.

Semua Para Sahabat Radiyallahu ‘anhu Berjenggot

Melalui keterangan yang diperolehi dari hadits sahih, atsar dan sirah (sejarah para sahabat) terbukti tidak seorangpun dari kalangan para sahabat yang mencukur jenggot mereka dan tidak seorangpun yang menghalalkan perbuatan mencukur jenggot. Ini terbukti karena didapati keseluruhan para sahabat berjenggot. Sebagaimana keterangan dari hadits-hadits di bawah ini: "Didapati Abu Bakar lebat jenggotnya, Utsman jarang (tidak lebat) jenggotnya tetapi panjang, dan Ali tebal jenggotnya". HR Tirmidzi.

"Berkata al-Bukhari : Ibn Umar menipiskan kumisnya sehingga kelihatan kulitnya yang putih dan memelihara jenggot dan jambangnya". Lihat: Fathulbari, jild 10, : 334.

"Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong". HR al-Bukhari.

Hadits-hadits di atas bukan saja menjelaskan suatu contoh perbuatan Nabi Muhammad, para nabi sebelum Rasulullah dan juga para sahabat yang semua mereka memelihara jenggot. Malah hadits-hadits di atas juga merupakan lanjutan yang berupa perintah dari nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam meneruskan perintah (lanjutan) tersebut ke atas orang-orang yang beriman supaya memelihara jenggot mereka. Anehnya, dalam hal perintah yang nyata ini dirasakan sukar difahami oleh segolongan para mufti, hakim, imam, ustadz dan alim ulama yang bertebaran di negara ini. Apakah mereka tidak pernah terjumpa (terbaca) walaupun sepotong dari beberapa hadits-hadits sahih sebagaimana yang tercatit di atas yang mewajibkan memelihara jenggot sehingga mereka tidak sudi memeliharanya? Jika sekiranya mereka telah terbaca salah satu dari hadits-hadits tersebut mengapa pula tidak mau menerima dan mentaatinya? Apakah mereka merupakan ulama buta, tuli, pekak dan bisu sehingga tidak dapat melihat, memahami, mengetahui dan menyampaikan sebegitu banyaknya hadits-hadits sahih yang memperkatakan tentang jenggot? Mengapa pula perintah dan larangan syara sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah di bawah ini tidak mereka sadari ? "Dan apa yang disampaikan oleh Rasul maka hendaklah kamu ambil (patuhi) dan apa yang ditegah kamu (dari melakukannya) maka hendaklah kamu tinggalkan". AL Hasyr, 59:7.

Ayat di atas memberi penekanan agar setiap orang-orang yang beriman bersikap patuh (taat), sama ada patuh dengan cara melaksanakan segala apa yang disuruh oleh Allah dan RasulNya atau patuh dengan cara meninggalkan segala apa yang telah dilarang atau diharamkan.

Orang-orang yang beriman tidak boleh mencontoh sikap Iblis yang enggan mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila diarah supaya sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Iblis dilaknat karena mengingkari satu perintah Allah. Keengganan mematuhi perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam identik seperti mengingkari perintah Allah karena mentaati Rasulullah adalah asas mentaati Allah, maka mereka yang tidak mau mematuhi atau mentaati perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang diulang berkali-kali supaya memelihara jenggot dan jambang dengan alasan berjenggot itu tidak rapi, serabutan, kelihatan jelek dan sebagainya. Maka keingkaran dan alasan seperti ini ditakuti menyerupai alasan Iblis dan petanda yang mereka telah mewarisi sikap Iblis yang congkak, biadab, bangga diri dan akhirnya ia dikekalkan di neraka hanya lantaran tidak mau mematuhi satu-satunya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu sujud kepada bapa sekalian manusia..

Mentaati Allah dan Rasulnya dalam setiap aspek adalah bukti kokoh yang menandakan seseorang itu benar-benar mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, karena syarat untuk mencintai Allah dan RasulNya ialah ketaatan. Sebagaimana firman Allah: "Katakanlah jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Ali Imran, 3:31.

Cinta perlukan pembuktian walaupun dalam hal atau perkara yang kecil dan dianggap remeh. Sikap orang-orang yang beriman apabila mengetahui bahwa Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu hukum dan menyeru mereka supaya mematuhinya, maka oleh karena cinta mereka yang tinggi terhadap Allah dan Rasulnya maka mereka akan mematuhinya tanpa banyak persoalan. Kepatuhan mereka adalah benar-benar didorong oleh rasa cinta kepada Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman apabila mereka diseru kepada Allah dan RasulNya agar menghukum di antara mereka, ucapan mereka ialah : Kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".An Nuur 24:51.

Orang-orang yang beriman akan mentaati segala perintah Allah dan RasulNya walaupun sekecil-kecilnya karena mereka mengimani bahwa perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib dipatuhui. Mereka menyedari jika perintah yang kecil dan mudah tidak mampu dilaksanakan tentunya yang besar-besar akan ditinggalkan. Malah orang yang beriman akan sentiasa berpegang teguh dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang terdapat pada ayat di bawah ini: "Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajipan Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". AL Maidah, 5:92.

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah". An Nisaa’ 4:64.

Ayat-ayat di atas merupakan perintah agar kita mengambil (mentaati perintah yang berupa setiap apa) yang didatangkan (yang berupa perintah) dari Allah dan RasulNya kemudian meninggalkan semua yang ditegah (dilarang atau diharamkan) serta melaksanakan semampu mungkin setiap perintah terutamanya yang nyata wajibnya.

Allah dan RasulNya tidak meridhai perbuatan orang-orang kafir, oleh sebab itu melaknat siapapun dari kalangan orang Islam yang meniru cari mereka yang tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya seperti perbuatan mencukur jenggot kemudian memelihara kumis mereka saja. Orang-orang yang menyedari bahwa perbuatannya yang suka meniru perbuatan orang-orang kafir itu dibenci, dilaknat dan tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya tetapi mereka masih meneruskan perbuatan tersebut dan menyukainya, maka ingatlah Allah telah mengancam orang-orang seperti ini dengan firmanNya: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti (apa yang menimbulkan) kemurkaan Allah dan (karena) membenci keridhaanNya, sebab itu Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka". Muhammad 47:28.

Nabi melarang orang-orang yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka malah berkali-kali menyuruh memeliharanya dengan berbagai-bagai ungkapan agar dapat difahami dan diterima oleh umatnya. Apakah benar seseorang itu mencintai Allah dan RasulNya jika perkara yang paling mudah dan tidak mengeluarkan modal ini mereka abaikan dan tidak memperdulikannya langsung? Apakah mereka tidak mampu untuk memahami perintah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak mau mentaatinya? Suri tauladan dari siapakah yang sewajarnya ditiru oleh orang-orang yang beriman? Apakah lebih berbangga dan menyenangi contoh yang ditiru dari Yahudi, Nasrani atau Majusi yang ditegah dari menirunya? Atau mencintai contoh dari Rasul utusan Allah, contoh dari para sahabat Rasulullah dan contoh dari orang-orang sholih yang dibanggakan oleh setiap orang yang beriman apabila dapat mematuhi dan mentaati contoh tersebut? Contoh yang terbaik dan selayaknya dibanggakan hanyalah contoh yang ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah (dan kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingati Allah". AL AHZAB, 33:21.

"Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". IBRAHIM, 14:36.

Berkata as-Syeikh Ismail al-Ansari dalam memperkatakan hadits (atsar) dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu: Tidak syak lagi bahwa kata-kata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan perbuatannya lebih berhak dan utama dipatuhi daripada kata-kata selain dari Nabi, tidak kira siapapun orang itu".

Mencintai Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dan sunnahnya ialah dengan cara mencontoh segala suri teladan dan amalannya, mentaati seruannya dan mematuhi segala perintahnya semampu mungkin.

Berjenggot atau berjambang adalah suri teladan, perintah dan amalan yang berupa sunnah para rasul, para nabi, para sahabat dan orang-orang sholih sejak dahulu kala sampai ke hari kiamat.

(Lihat تحريم حلق اللحى . للعاصمى 6. Muhammad Ahmad bin Ismail) Tanya :
Apa hukumnya mencukur jenggot (lihyah) atau mencukur sebagiannya?
Jawab :
Alhamdulillah, mencukur jenggot hukumnya haram berdasarkan hadits-hadits shahih yang secara tegas melarangnya. Dan berdasarkan dalil-dalil umum yang melarang menyerupai orang-orang kafir. Diantaranya hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan potonglah kumis." Dalam riwayat lain berbunyi: "Potonglah kumis dan peliharalah jenggot."

Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan itu. Maksud memelihara jenggot adalah membiarkannya tumbuh secara alami. Termasuk memeliharanya adalah membiarkannya tanpa mencukur, mencabut atau memotongnya sedikitpun. Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma' (kesepakatan) tentang hukum wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.

Beliau berdalil dengan sejumlah hadits, diantaranya adalah hadits Ibnu Umar terdahulu dan hadits Zaid bin Arqam yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Barangsiapa tidak memotong sebagian dari kumisnya maka ia bukan termasuk golonganku (golongan yang melaksanakan sunnahku)." Hadits tersebut dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi, ia berkata dalam kitab Al-Furu' bahwa riwayat yang dibawakan oleh rekan-rekan kami dari kalangan madzhab Hambali di atas menegaskan hukum haramnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma' telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani." Dalam riwayat lain berbunyi: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (H.R Imam Ahmad).

Bahkan Umar bin Khaththab menolak persaksian orang yang mencabuti jenggotnya. Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: "Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci." Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita. Dalam riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam adalah seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir) Dalam riwayat lain disebutkan: "Tebal jenggotnya" dalam riwayat lain: "Banyak jenggotnya", maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)




Wanita Penghuni Neraka
Ahad, 27 Juli 2003 - 08:35:52 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Muhammad Faizal Ibnu Jamil
.: :.
Saudariku Muslimah … .

Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.

Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.

Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.

Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)


Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”


Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)


Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.


Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya beliau bersabda : “Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)


Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.


Wanita Penghuni Neraka

Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)


Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.


Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.
Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu 'anhum : “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)


Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)


Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)


Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal.
Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)


Saudariku Muslimah … .

Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.

Saudariku Muslimah … . Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.
Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)

Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.


Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.


Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

2. Durhaka Terhadap Suami


Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :
1. Durhaka dengan ucapan.
2. Durhaka dengan perbuatan.
3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.

Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.

Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.

Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.

Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)

Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.

3. Tabarruj


Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.
Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan : “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )


Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)


Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”


Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.


Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.
Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.

Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.

Wahai saudariku Muslimah … . Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)
Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.

Saudariku Muslimah … .


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)

Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.

Wallahu A’lam bish Shawwab. (Dikutip dari tulisan Muhammad Faizal Ibnu Jamil, Judul asli Wanita Penghuni Neraka, MUSLIMAH/Edisi XXII/1418/1997/Kajian Kali Ini. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/nar.htm)





Wanita Penghuni Neraka
Ahad, 27 Juli 2003 - 08:35:52 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Muhammad Faizal Ibnu Jamil
.: :.
Saudariku Muslimah … .

Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.

Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.

Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.

Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)


Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”


Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)


Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.


Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya beliau bersabda : “Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)


Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.


Wanita Penghuni Neraka

Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)


Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.


Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.
Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu 'anhum : “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)


Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)


Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)


Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal.
Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)


Saudariku Muslimah … .

Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.

Saudariku Muslimah … . Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.
Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)

Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.


Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.


Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

2. Durhaka Terhadap Suami


Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :
1. Durhaka dengan ucapan.
2. Durhaka dengan perbuatan.
3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.

Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.

Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.

Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.

Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)

Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.

3. Tabarruj


Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.
Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan : “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )


Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)


Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”


Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.


Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.
Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.

Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.

Wahai saudariku Muslimah … . Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)
Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.

Saudariku Muslimah … .


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)

Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.

Wallahu A’lam bish Shawwab. (Dikutip dari tulisan Muhammad Faizal Ibnu Jamil, Judul asli Wanita Penghuni Neraka, MUSLIMAH/Edisi XXII/1418/1997/Kajian Kali Ini. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/nar.htm)




Tanda Hari Kiamat : Munculnya Imam Mahdi
Senin, 31 Oktober 2005 - 03:41:24 :: kategori Aqidah
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
.: :.
Tanda-tanda hari Kiamat
Ketika para shahabat sedang duduk-duduk membicarakan tentang hari kiamat, muncullah Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya kepada mereka:
مَا تَذْكُرُونَ؟
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Maka para shahabat menjawab:
السَّاعَةَ.
“Hari Kiamat”.
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ السَّاعَةَ لَا تَكُونُ حَتَّى تَكُونَ عَشْرُ آيَاتٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَالدُّخَانُ وَالدَّجَّالُ وَدَابَّةُ الْأَرْضِ وَيَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَطُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنَارٌ تَخْرُجُ مِنْ قُعْرَةِ عَدَنٍ تَرْحَلُ النَّاسَ. وفي روية: الْعَاشِرَةِ نُزُولُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم وأحمد والترمذي وأبو داود)
Sesungguhnya hari kiamat tidak akan terjadi sehingga terjadinya sepuluh tanda-tandanya. Ditenggelamkannya ke dalam bumi di tiga negeri di timur, barat dan jazirah Arab; munculnya asap, Dajjal, binatang melata di bumi (yang dapat berbicara), Ya’juz dan Ma’juz, terbitnya matahari dari barat, apa yang muncul dari dasar ‘Adn yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya. (Dalam riwayat lain): yang kesepuluh turunnya Isa bin Maryam صلى الله عليه وسلم. (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Di dalam riwayat-riwayat selain Muslim dijelaskan bahwa turunnya Isa عليه السلام adalah ketika kaum muslimin dipimpin oleh Imam Mahdi. Berarti imam Mahdi muncul sebelum turunnya Isa. Jadi, diantara tanda-tanda hari Kiamat yang besar (kubra) adalah munculnya Imam Mahdi. Ia akan memimpin seluruh kaum muslimin di dunia dengan penuh keadilan dan kemakmuran.

Imam Mahdi memenuhi bumi dengan keadilan
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلاَفٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَرْضَى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ الْأَرْضِ يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا. (رواه أحمد)
Aku berikan kabar gembira kepada kalian tentang akan dibangkitkannya Imam Mahdi pada umatku untuk memimpin seluruh manusia di kala terjadinya perselisihan dan kegoncangan. Maka dia akan memenuhi bumi ini dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kejahatan dan kedhaliman. Seluruh penduduk langit dan bumi ridla kepadanya. Dia membagi harta kepada manusia dengan merata. (HR. Ahmad).
Berkata al-Haitsami: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya dengan ringkas dan diriwayatkan oleh imam dengan beberapa sanad. Abu Ya’la juga meriwayatkan dengan ringkas dan rawi-rawinya adalah rawi-rawi tsiqah (terpercaya)”. (Majma’uz Zawaid 77 hal. 313-314; Lihat Asyrathu asy-Sya’ah oleh Yusuf bin Abdullah al-Waabil.

Kemakmuran pada masa Imam Mahdi
Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَخْرُجُ فِي آخر أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ يَسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهَا وَيُعْطَى الْمَالُ صِحَاحًا وَتكْثِرُ الَمَاشِيَةُ وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ يَعِيْشُ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيًا (يَعْنِي حِجَجًا). (رواه الحاكم في المستدرك وصصحه الألباني في الصحيحة 2/328 رقم 711)
Akan keluar di akhir umatku al-Mahdi, Allah akan memberikan hujan untuknya, bumi akan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan baginya, dan dibagikan harta dengan merata, ternak melimpah, umat bertambah besar. Dan dia akan hidup selama 7 atau 8 (yakni tahun). (HR. Hakim dalam Mustadrak dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2/328 hadits ke 711)

Imam Mahdi dari turunan Ahlul Bait
Diriwayatkan pula hadits-hadits tentang munculnya Imam Mahdi para shahabat lain seperti Ali bin Abi Thalib, berkata Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
الْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلِ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ اللهُ فِي لَيْلَةٍ. (رواه أحمد في مسنده وابن ماجه في سننه وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير رقم 6611)
Al-Mahdi dari kami ahlul bait, Allah “memperbaikinya” dalam semalam. (HR. Ahmad dalam Musnadnya; Ibnu Majah dalam Sunan-nya; dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. hadits 6611)
Berkata Ibnu Katsir: “Yakni Allah menerima taubatnya, mengampuninya, memberikan taufiq kepadanya, mengilhamkan dan membimbingnya.” (An-Nihayah fil Fitan wal Malahim, Ibnu Katsir 1/29).

Sifat Imam Mahdi: lebar jidatnya dan mancung hidungnya
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
اَلْمَهْدِيُّ مِنَّي أَجْلَى الْجَبْهَةُ أَقْنَى اْلأَنْفُ يَمْلأُ اْلأَرْضُ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجُوْرًا، يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِيْنَ. (رواه أبو داود في سننه والحاكم في مستدركه. قال الألباني: اسناده حسن؛ انظر صحيح الجامع 6/22-23 رقم 6612)
Al-Mahdi dariku, lebar jidatnya, mancung hidungnya, memenuh bumi dengan kebijaksanaan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kedhaliman dan kejelekan. Dia menguasai tujuh tahun. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, Hakim dalam Mustadraknya; Berkata al-Albani: “Isnadnya hasan”. Lihat Shahihul Jami’: 6/222-223 hadits no. 6612)

Imam Mahdi dari keturunan Fathimah
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasanya ia mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata:
اَلْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ. (رواه أبو داود)
Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “al-Mahdi dari keluargaku dari keturunan Fatimah. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah; Dishahihan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ hadis no. 6610)

Imam Mahdi mengimami shalat kaum muslimin dan Nabi Isa عليه السلام
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمُ الْمَهْدِي تَعَال صَلَّى بِنَا. فَيَقُوْلُ: لاَ إِنَّ بَعْضَهُمْ أَمِيْرِ بَعْضٍ تَكْرِمَةَ اللهُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ.
Akan turun Isa bin Maryam, kemudian berkata penguasa mereka: “Kemarilah, shalatlah mengimami kami”. Maka Isa berkata: “Tidak, sesungguhnya sebagian mereka pemimpin sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah kepada umat ini”. (HR. Harits bin Abu utsamah dalam Musnad-nya sebagaimana dalam kitab al-Manaarul Munif oleh Ibnul Qayyim, hal. 147-148 dan dalam al-Fatawi oleh Suyuthi 2/64; Berkata Ibnul Qayyim: “Isnad hadits ini jayyid”)

Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim dengan tanpa menyebutkan al-Mahdi:
...فَيَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَمِيرُهُمْ تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُولُ لَا إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ تَكْرِمَةَ اللَّهِ هَذِهِ الْأُمَّةَ . (رواه مسلم)
… Maka turun Isa bin Maryam, kemudian berkata penguasa mereka yaitu al-Mahdi: “Kemarilah, shalatlah mengimami kami”. Maka Isa berkata: “Tidak, sesungguhnya sebagian mereka pemimpin sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah kepada umat ini”. (HR. Muslim)

Nama Imam Mahdi: Muhammad bin Abdillah
Diriwayatkan tentang nama Imam Mahdi dan nama bapaknya dalam beberapa hadits, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
لَا تَذْهَبُ أَوْ لَا تَنْقَضِي الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي. وفي رواية: يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمُ أَبِي. (رواه أبو داود في سننه، قال الألباني: صحيح، انظر صحيح الجامع الصغير رقم 5180)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Tidak akan lenyap dunia ini hingga Arab dikuasai oleh seseorang dari keluargaku yang namanya mencocoki namaku. Dalam riwayat lain: Namanya mencocoki namaku dan nama bapaknya mencocoki nama bapakku (HR. Abu Dawud; Berkata al-Albani: “Hadits shahih”; lihat Shahihul Jami’u ash-Shaghir hadits no. 5180)

Berkata Ibnu Katsir رحمه الله tentang nama Imam Mahdi: “Dia adalah Muhammad bin Abdullah al-Alawi al-Fathimi al-Hasani. (an-Nihayah al-Fitan wal Malahim, juz 1 hal. 29)
Yakni Muhammad bin Abdullah anak Ali bin Abi Thalib dari Fathimah turunan al-Hasan.
Mutawatirnya hadits tentang al-Mahdi

Beberapa para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Imam Mahdi adalah mutawatir seperti:
1. al-Hafidh Abul Hasan as-Sijistani
رحمه الله
Beliau رحمه الله berkata: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang menyebutkan imam Mahdi. Dan bahwasanya dia dari ahlul bait nabi صلى الله عليه وسلم, menguasai selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan. Bahwa isa عليه السلام turun membantu beliau memerangi Dajjal dan beliaulah yang mengimami shalat sedangkan Isa عليه السلام bermakmum di belakangnya”.
2. Muhammad as-Safarini رحمه الله
Beliau berkata: “Telah banyak riwayat-riwayat tentang keluarnya Imam Mahdi hingga mencapai derajat mutawatir maknawi dan telah tersebar berita tersebut di kalangan para ulama ahlus sunnah hingga menjadi aqidah dan keyakinan mereka”.
3. Imam asy-Syaukani رحمه الله
Beliau رحمه الله berkata: “Hadits-hadits tentang mutawatirnya berita Imam mahdi al-Muntadhar (yang ditunggu) yang kita bisa berpijak dengannya ada lima puluh hadits. Di dalamnya ada yang shahih, hasan, dan ada pula yang dlaif namun terdukung dengan keduanya. Maka yang demikian adalah mutawatir dengan tidak ada keraguan dan kerancuan padanya. Bahkan tepat untuk dikatakan mutawatir berita yang diriwayatkan kurang dari itu sebagaimana dalam kaidah-kaidah musthalah hadits. Adapun ucapan-ucapan para shahabat yang menyatakan dengan jelas akan munculnya Imam Mahdi, maka lebih banyak lagi dan memiliki hukum marfu’ karena dalam perkara ini tidak memungkinkan seseorang berijtihad”.
4. Shiddiq Hasan Khan رحمه الله
Beliau رحمه الله berkata: “Hadits-hadits yang tersebut tentang Imam Mahdi dengan berbagai macam riwayatnya sangat banyak dan telah mencapai derajat mutawatir maknawi. Diriwayatkan dalam sunan dan lain-lainnya dalam kitab-kitab para ulama Islam, mu’jam-mu’jam dan musnad-musnad.

Tempat turunnya Imam Mahdi
Berkata Ibnu Katsir رحمه الله: “…Maka keluarlah Imam Mahdi dari negeri masyrik, bukan dari gua Samira seperti yang dipahami oleh orang-orang bodoh dari kalangan Syi’ah…. (an-Nihayah al-Fitan wal Malahim, juz 1 hal. 290)

Beliau رحمه الله berkata juga: “Nanti Imam Mahdi akan didukung oleh orang-orang dari negeri masyriq, membelanya, menolongnya, menunaikan perintahnya, dan mengokohkan kedudukannya. Bendera-bendera mereka hitam yang menunjukkan kesederhanaan dan ketenangan, karena bendera Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun hitam yang dijuluki dengan ‘aqab. (an-Nihayah al-Fitan wal Malahim, juz 1 hal. 290)

Wallahu a’lam.

[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 66/Th. II, tanggal 10 Jumadi Awwal 1426 H/17 J u n i 2005 M, judul asli Tanda-tanda Hari Kiamat, munculnya Imam Mahdi, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)




Tanda Hari Kiamat : Turunnya nabi Isa 'alaihissalam
Kamis, 17 November 2005 - 06:32:05 :: kategori Aqidah
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
.: :.
Diantara tanda-tanda hari Kiamat Kubra adalah turunnya nabi Isa عليه السلام sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih dan mutawatir.
Bahkan Allah سبحانه وتعالى telah mengisyaratkan tentang turunnya Isa عليه السلام sebagai tanda datangnya hari kiamat dalam firman-Nya:
وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلاً إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ يَصِدُّونَ
57 وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ 58 إِنْ هُوَ إِلاَّ عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ وَجَعَلْنَاهُ مَثَلاً لِبَنِي إِسْرَائِيلَ 59 وَلَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلاَئِكَةً فِي اْلأَرْضِ يَخْلُفُونَ 60 وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ فَلاَ تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُونِ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ. الزخرف: 57-61
Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun. Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar sebagai ilmu tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kalian ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (az-Zukhruuf: 57-61)
Ayat terakhir dalam Firman Allah di atas yaitu وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ bermakna “Beliau عليه السلام merupakan ilmu tentang hari kiamat”.

Disebutkan dalam Tafsir al-Qurthubi bahwa yang dimaksud adalah turunnya nabi Isa عليه السلام merupakan ilmu tentang dekatnya hari kiamat. Lebih didukung lagi dengan bacaan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid dan lain-lain dari para imam ahlut tafsir yaitu وَإِنَّهُ لَعَلَمٌ لِلسَّاعَةِ dengan difathahkan huruf ‘ain dan lam-nya menjadi ‘alamun yang bermakna “tanda” (yang berarti “Isa عليه السلام sebagai tanda hari kiamat” -pen.). (Tafsir al-Qurthubi (16/ 105); lihat pula Tafsir ath-Thabari (25/90-91))

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya kepada Ibnu Abbas bahwa beliau berkata ketika menafsirkan وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَة: “Yang dimaksud adalah keluarnya Isa عليه السلام sebelum hari kiamat”. (Musnad Imam Ahmad: 4/329 no. hadits 2921 dengan tahqiq Ahmad Syakir dan beliau berkata: “Sanadnya Shahih”)

Diangkatnya Nabi Isa عليه السلام
Termasuk isyarat akan turunnya Isa عليه السلام adalah berita tentang diangkatnya Nabi Isa عليه السلام -ruh dan jasadnya- ke langit dalam keadaan masih hidup. Sebagaimana disebutkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam firman-Nya:
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا (157) بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا (158) وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا. النساء: 157-159
Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (an-Nisaa’: 157-159)

Dalam ayat ini kita mendapatkan beberapa pelajaran penting, diantaranya:
1. Nabi Isa عليه السلام tidak dibunuh dan tidak disalib, melainkan Allah angkat kepada-Nya, yakni dari kalimat: بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ yang bermakna “Bahkan Allah angkat kepada-Nya”.
2. Para ahlul kitab akan beriman kepadanya sebelum kematian Nabi Isa عليه السلام. Ini merupakan isyarat bahwa Isa sebelum meninggalnya akan turun ke dunia dan ahlul kitab akan beriman kepadanya.

Isyarat al-Qur'an di atas dijelaskan lebih rinci dalam hadits-hadits yang shahih, diantaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ. (متفق عليه)
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh akan turun di tengah kalian Ibnu Maryam عليه السلام sebagai hakim yang adil. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi dan menggugurkan jizyah serta membagikan harta hingga tidak ada yang menerimanya seorangpun.
Kemudian Abu Hurairah berkata: “Bacalah oleh kalian –jika kalian mau—ayat:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا. النساء: 159
Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (an-Nisaa’: 159) (HR. Bukhari Muslim)
Disamping nash yang jelas dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang akan turunnya Isa عليه السلام, riwayat Abu Hurairah di atas memberikan pelajaran yang sangat penting bagi kita, yaitu tafsir seorang shahabat dan pemahaman salaf terhadap ayat Allah سبحانه وتعالى dalam surat an-Nisaa’ ayat 159 bahwa ahlul kitab akan beriman sebelum hari kiamat adalah ketika turunnya Isa عليه السلام.
Dengan jelas Abu Hurairah mengatakan bahwa ayat ini mengisyaratkan turunnya Nabi Isa عليه السلام di akhir zaman menjelang hari kiamat. Sedangkan kita mengetahui bahwa pemahaman para shahabat adalah pemahaman yang paling dekat dengan kebenaran, karena mereka telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah dan Rasul-Nya sebagai umat yang terbaik, golongan yang selamat dan dijamin dengan keridlaan dan surga.
2. Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا أُنْزِلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ؟ (رواه البخاري ومسلم)
Bagaimana kalian jika diturunkan di tengah kalian Ibnu Maryam, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian. (HR Bukhari dan Muslim).
3. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه, beliau mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَالَ فَيَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَمِيرُهُمْ تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُولُ لاَ إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ تَكْرِمَةَ اللَّهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ. (رواه مسلم)
Akan tetap ada segolongan umatku yang berperang di atas kebenaran dalam keadaan menang sampai hari kiamat. Kemudian turun Isa Ibnu Maryam عليه السلام, maka berkatalah pemimpin mereka:”Kemarilah memimpin sholat kami”. Maka ia pun berkata: ”Tidak, sesungguhnya sebagian kalian memimpin sebagian yang lain, sebagai kemuliaan yang Allah berikan kepada umat ini.”(HR Muslim).
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
اْلأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَّتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ وَأَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ِلأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ نَازِلٌ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَاعْرِفُوهُ رَجُلاً مَرْبُوعًا إِلَى الْحُمْرَةِ وَالْبَيَاضِ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ مُمَصَّرَانِ كَأَنَّ رَأْسَهُ يَقْطُرُ وَإِنْ لَمْ يُصِبْهُ بَلَلٌ فَيَدُقُّ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَدْعُو النَّاسَ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَيُهْلِكُ اللَّهُ فِي زَمَانِهِ الْمِلَلَ كُلَّهَا إِلاَّ اْلإِسْلَامَ وَيُهْلِكُ اللَّهُ فِي زَمَانِهِ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ وَتَقَعُ اْلأَمَنَةُ عَلَى اْلأَرْضِ حَتَّى تَرْتَعَ اْلأُسُودُ مَعَ اْلإِبِلِ وَالنِّمَارُ مَعَ الْبَقَرِ وَالذِّئَابُ مَعَ الْغَنَمِ وَيَلْعَبَ الصِّبْيَانُ بِالْحَيَّاتِ لاَ تَضُرُّهُمْ فَيَمْكُثُ أَرْبَعِينَ سَنَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّي عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ. (رواه أحمد وصححه ابن شاكر)
Para Nabi adalah seperti saudara sebapak, ibu mereka berbeda tapi agama mereka satu. Sesungguhnya akulah yang paling berhak dengan Isa Ibnu Maryam karena tidak ada antaraku dan dia seorang nabi pun. Sungguh dia akan turun, maka jika kalian melihatnya kenalilah dia! Dia adalah seorang yang berkulit antara merah dan putih dalam keadaan berpakaian dua kain yang bercelup ja’faran, rambut-nya seperti meneteskan air padahal tidak basah. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi, menggugurkan jizyah, dan mengajak manusia kepada agama Islam. Allah binasakan pada zaman-nya seluruh agama-agama selain Islam. Allah binasakan juga Dajjal. Maka terjadilah keamanan di muka bumi hingga singa-singa merumput bersama dengan unta-unta, macan-macan dengan sapi-sapi, dan serigala-serigala dengan domba-domba, serta anak-anak kecil bermain dengan ular-ular dengan tidak memberikan madharat sedikit pun kepada mereka. Demikianlah berlangsung selam empat puluh tahun, kemudian beliau meninggal dan dishalatkan oleh kaum muslimin. (HR Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
5. Hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat yang diantaranya menyebutkan akan turunnya Isa عليه السلام yaitu hadits Hudzaifah Ibnu Usaid dan lainnya dalam Shahih Muslim dan lain-lain. (Lihat pembahasan yang telah lalu)

Kami tidak memuat seluruh hadits-hadits tentang turunnya Isa عليه السلام karena terlalu banyaknya. Sebagian riwayat terkandung dalam kisah Dajjal, sebagian lain-nya diriwayatkan berkenaan dengan hadits-hadits Imam Mahdi. Atau riwayat-riwayat yang khusus menceritakan tentang turunnya Isa عليه السلام di akhir zaman.

Hadits-hadits tersebut dimuat di hampir seluruh kitab-kitab hadits. Dalam kitab-kitab Shahih terutama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan lainnya; dalam kitab-kitab sunan seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan lain-lainnya; ataupun dalam musnad-musnad seperti Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya.

Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika dikatakan hadits-hadits tersebut berderajat Aahaad, apalagi menyatakan hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai sebagai hujjah, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok sesat mu’tazilah dan para pengikutnya atau kelompok kafir Qadiyaniyah Ahmadiyah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nabi Isa عليه السلام masih hidup sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kitab Shahih (Bukhari dan Muslim -pen.) Dan akan turun sebagaimana telah tsabit dalam hadits nabi صلى الله عليه وسلم:
يَنْزِلُ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكَمًا عَادِلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ. (متفق عليه)
Akan turun di tengah kalian Isa bin Maryam صلى الله عليه وسلم sebagai hakim yang adil dan Imam yang bijaksana. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi dan menggugurkan jizyah. (Bukhari Muslim)”. (Majmu’ Fatawa, jilid 4/322)

[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]

(Dikutip dari Bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 70/Th. II tgl 08 Jumadi tsani 1426 H/15 J u l i 2005 M, judul asli Tanda-tanda Hari Kiamat, turunnya Nabi Isa 'alaihissalam, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)




Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq
Selasa, 30 Maret 2004 - 09:17:19 :: kategori Manhaj
Penulis: Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur
.: :.
BAB 15
Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq

134. Abu Musa berkata :
“Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah 2/468 nomor 469)
135. Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya :
“Saya larang kamu berzina, mencuri, dan minum khomer namun seandainya kamu bertemu Allah Azza wa Jalla dengan (masih) berbuat ini lebih saya sukai daripada kamu bertemu Allah membawa pemikiran Amru bin Ubaid dan shahabat-shahabatnya.” (Al Ibanah 2/466 nomor 464)
136. Abul Jauza berkata :
[ Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk yang disebut dalam ayat :
Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119) (Al Ibanah 2/467 nomor 466-467) ]
137. Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa :
“Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang musik dan peminum khomer dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’ 56)
138. Yahya bin Ubaid berkata :
Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan berkata :
“Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.” (Al Bida’ 59)
139. Arthaah bin Al Mundzir berkata :
“Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasiq lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah).” (Asy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah 132 nomor 87)
140. Sa’id bin Jubair berkata :
“Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun mubtadi’.” (Ibid nomor 89)
141. Ketika dikatakan kepada Malik bin Mighwal bahwa anaknya bermain-main dengan burung, ia berkata:
“Alangkah baiknya apa yang menyibukkannya dari berteman dengan mubtadi’.” (Ibid 133 nomor 90)
142. Imam Al Barbahary berkata :
“Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka bersamanya.” (Syarhus Sunnah 124 nomor 149)
143. Abu Hatim berkata, saya mendengar Ahmad bin Sinan mengatakan :
“Seandainya bertetangga denganku pemusik tetap lebih aku sukai daripada ahli bid’ah yang jadi jiranku. Karena pemusik itu mungkin dapat untuk saya larang dan saya hancurkan musiknya (tamburnya) sedang mubtadi’ ia merusak semua manusia, tetangga maupun para pemuda (tanpa disadari, ed.)” (Al Ibanah 2/469 nomor 473)
144. Imam Asy Syafi’iy --rahimahullah-- berkata :
“Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa kecuali syirik jauh lebih baik (lebih ringan dosanya, ed.) daripada ia menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (bid’ah).” (Syarhus Sunnah halaman 124, disandarkan kepada Al Baihaqy dalam I’tiqad 158)
145. Imam Ahmad berkata :
“Kuburan Ahli Sunnah pelaku dosa besar bagaikan taman sedang kuburnya ahli bid’ah biarpun ahli zuhud adalah jurang (neraka). Orang fasiq di kalangan Ahli Sunnah termasuk wali-wali Allah sedang orang-orang zuhud (ahli ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.” (Thabaqat Hanabilah 1/184)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)




Adakah Taubat Bagi Ahli Bid’ah?
Selasa, 30 Maret 2004 - 09:32:52 :: kategori Manhaj
Penulis: yaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi
.: :.
BAB 22
Adakah Taubat Bagi Ahli Bid’ah?

211. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari ahli bid’ah.” (Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 1620)
212. Dari Abu Amru Asy Syaibani ia berkata :
“Selalu dikatakan bahwa Allah enggan (menolak) memberi taubat kepada ahli bid’ah dan ia tidak berpindah kecuali menuju yang lebih jelek lagi.” (Ibnu Wadldlah 61 dan 62)
213. Dari Ibnu Syaudzab ia berkata, saya mendengar Abdullah bin Al Qasim berkata :
“Tidaklah seorang hamba yang berada di atas hawa nafsu lalu ia meninggalkannya melainkan ia berpindah kepada yang lebih jelek lagi.”
Kemudian saya menyebutkan hadits ini (hadits pada poin 211) kepada sebagian shahabat kami lalu katanya :
[ Pembenarannya terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mengatakan :
Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya panah (menembus keluar) dari sasarannya dan tidak akan kembali sampai mati.” ] (Ibnu Wudldlah : 61-62)
214. Dari Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata, ada seseorang yang berpendapat dengan satu pendapat lalu kembali dan meninggalkannya maka saya mendatangi Muhammad (bin Sirin) dengan gembira untuk menyampaikan berita ini kepada beliau dan mengatakan : “Bagaimana perasaanmu bahwa si Fulan telah meninggalkan pemikirannya yang selama ini dianutnya?”
Beliau menjawab : “Perhatikanlah ke mana dia berpindah, sesungguhnya penutup hadits (tentang Khawarij, ed.) ini lebih keras lagi terhadap mereka dibanding awalnya yaitu mereka lepas dari agama Islam dan tidak akan kembali kepadanya.” (Ibid)
215. Dari Mu’awiyah bin Shalih (ia mengatakan) bahwa Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashry berkata :
“Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi enggan memberi izin ahli bid’ah untuk bertaubat.” (Al Lalikai 1/141 nomor 285)
216. Seseorang berkata kepada Ayyub : “Hai Abu Bakr, sesungguhnya Amru bin Ubaid sudah kembali meninggalkan pemikirannya.”
Beliau berkata : “Sesungguhnya ia tidak akan kembali.”
Orang itu berkata lagi : “Benar. Sungguh ia telah kembali!”
Ayyub berkata pula :
[ Sungguh dia tidak akan kembali --diulanginya tiga kali--. Ketahuilah bahwa dia tidak akan kembali. Tidakkah kamu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (ketika beliau berkata) :
“Mereka lepas dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya (sasarannya) yang kemudian tidak akan kembali sampai mati.” ] (Al Lalikai nomor 286)
217. Abdullah bin Al Mubarak berkata :
“Wajah ahli bid’ah itu diliputi kegelapan (tidak bercahaya) meskipun ia meminyakinya sehari tiga kali.” (Al Lalikai nomor 284)
218. Dari Ibnul Mubarak dari Al Auza’i dari Atha’ Al Khurasani sesungguhnya ia berkata :
“Hampir-hampir Allah itu tidak mengizinkan ahli bid’ah itu taubat.” (Al Lalikai 283)
219. Sufyan Ats Tsaury berkata :
“Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada kemaksiatan karena (pelaku) maksiat dapat (diharapkan) bertaubat sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat (diharapkan) untuk bertaubat.” (Majmu’ Fatawa 11/372)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)



POSISI TANGAN KETIKA I'TIDAL


A. Muqaddimah
Pada prinsipnya i'tidal harus dilaksanakan karena merupakan rukun dalam shalat. Hanya saja, bagaimana cara beri'tidal khususnya pada posisi tangan ternyata ada dua sikap yang dipilih oleh kaum muslimin.
1. Saat i'tidal posisi tangan bersedekap, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Pendapat ini dipegang oleh Syaikh Bin Bazz, Syaikh Utsaimin dll.
2. Saat i'tidal posisi tangan tidak bersedekap tapi melepaskan kedua belah tangan dan meluruskannya kebawah. Pendapat ini dipegang oleh Muhammad Nashiruddin al-Bani dan murid-muridnya.

B. Dalil-dalil tentang meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri saat i'tidal

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ

Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa'd ia berkata: "Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat." (HR Bukhari)





2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i:

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

Kata Ashim bin Kulaib: Aku pernah diberitahu oleh ayahku bahwa Wail bin Hujr berkata: Pada suatu kali aku ingin melihat Rasulullah saw shalat. Aku lihat, ketika sedang shalat beliau mengawali shalatnya dengan takbir sambil mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya dan lengan bawahnya. Bila hendak ruku', maka beliau mengangkat kedua tangannya seperti ketika beliau bertakbir di awal shalat. Kemudian beliau meletakkan tangannya diatas kedua lututnya ketika ruku'. Bila bangkit dari ruku', maka beliau mengangkat kedua tangannya seperti yang tadi. Kemudian beliau bersujud dengan dan meletakkan kedua telapak tangannya di tanah sejajar dengan kedua telinganya. Ketika beliau duduk diantara dua sujud, maka beliau duduk di atas kaki kirinya sambil meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kanannya, kemudian beliau melihat jari kelingking dan jari manisnya sambil melipat ibu jarinya di atas jari tengahnya. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya sambil menggerak-gerakkan. (HR Nasa'i)

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنِي سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِينَ رَكَعَ ثُمَّ حِينَ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُهُ مُمْسِكًا يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا جَلَسَ حَلَّقَ بِالْوُسْطَى وَالْإِبْهَامِ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

Dari Wail bin Hujr ia mengatakan “saya melihat Nabi saw ketika takbir mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dua telinganya kemudian ketika ruku lalu ketika mengucapkan samiallahuliman hamidah mengangkat kedua tangannya. Dan saya melihat beliau menggenggamkan tangan kanan pada tangan kiri beliau di dalam salat…”(H.R Ahmad)

C. Dalil-dalil tentang meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri saat i'tidal

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari lainnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ وَحَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ وَيَزِيدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ وَسَمِعَ اللَّيْثُ يَزِيدَ بْنَ أَبِي حَبِيبٍ وَيَزِيدُ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَلْحَلَةَ وَابْنُ حَلْحَلَةَ مِنْ ابْنِ عَطَاءٍ قَالَ أَبُو صَالِحٍ عَنْ اللَّيْثِ كُلُّ فَقَارٍ وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ كُلُّ فَقَارٍ
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حُمَيْدٍ السَّاعِدِيَّ فِي عَشْرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِمَ فَوَاللَّهِ مَا كُنْتَ بِأَكْثَرِنَا لَهُ تَبَعَةً وَلَا أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ وَيَقِرَّ كُلُّ عُضْوٍ مِنْهُ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ مُعْتَمِدًا لَا يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَقِرَّ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ وَيُجَافِي بَيْنَ يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَخُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ إِذَا سَجَدَ ثُمَّ يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَجْلِسُ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ مِنْهُ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَقُومُ فَيَصْنَعُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يُصَلِّي بَقِيَّةَ صَلَاتِهِ هَكَذَا حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي يَنْقَضِي فِيهَا التَّسْلِيمُ أَخَّرَ إِحْدَى رِجْلَيْهِ وَجَلَسَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ مُتَوَرِّكًا قَالُوا صَدَقْتَ هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

D. Hasil Analisa

1. Komentar dari Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz

"Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku' meletakkan kedua telapak tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari'atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi SAW membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya")

2. Nashiruddin al-Albani memberikan penjelasan sebagai berikut :

Maksud dari hadits di atas sudah jelas, yaitu tenang selama berdiri. Adapun sebagian ulama Hijaz dan lain-lain yang menjadikan hadis ini sebagai alasan bersedekap ketika berdiri i’tidal adalah hal yang sangat menyimpang, karena menyalahi sejumlah hadits. Sebagaimana telah dikenal oleh kalangan ahli fiqih, misalnya hadits tentang orang yang shalatnya salah. Sungguh ini adalah penetapan hukum yang keliru sebab bersedekap semacam itu sama sekali tidak disebutkan oleh hadits manapun ketika menyebutkan berdiri pertama. Oleh karena itu, bagaimana penafsiran semacam itu dapat dibenarkan bahwa sesudah bangkit dari ruku’ orang bersedekap? Sekiranya dianggap bahwa pendapat itu ditopang oleh sejumlah lafadz dalam hadits-hadits mengenai hal ini, pengertian lafadz-lafadz itu secara tersurat menyalahi pendapat tersebut. Sesungguhnya adanya sedekap ketika i’tidal itu tidak tepat dipahamkan dari hadits tersebut, sebab kata-kata ruas tulang yang dimaksud oleh hadits-hadits-hadits tersebut adalah ruas tulang belakang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga diperkuat oleh perbuatan Nabi S.A.W.” ..... Beliau berdiri tegak sampai setiap ruas tulang belakang mapan pada tempatnya”. Harap hal ini diperhatikan oleh orang yang mau mencari kebenaran.
Saya tidak ragu menyatakan bahwa bersedekap ketika berdiri i’tidal adalah perbuatan bid’ah yang sesat, sebab sama sekali tidak tersebut di dalam hadits-hadits shalat. Seandainya perbuatan itu benar, niscaya ada riwayat yang sampai kepada kita walaupun hanya satu hadits, padahal sungguh sangat banyak hadits-hadits tentang shalat. Juga tidak ada ulama salaf yang mengukuhkan pendapat semacam itu dalam perbuatannya dan tidak pula diriwayatkan dari seorang ahli hadits pun mengenai bersedekap ini sepanjang pengetahuan saya.
Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat yang dikutip oleh Syekh Tuwaijiri dalam bukunya halaman 18 dan 19 yang berasal dari Imam Ahmad. Beliau berujar: ”Orang boleh bersedekap setelah ruku’, dan boleh pula melepaskannya ke samping.” (Ini adalah kalimat yang dikutip oleh Shalih bin Imam Ahmad dalam kitab Masa’il, halaman 90 dari bapaknya). Akan tetapi riwayat ini tidaklah bersumber dari Nabi S.A.W. hanya merupakan ijtihad Imam Ahmad sendiri, sedangkan ijtihad terkadang salah dan terkadang benar. Apabila sudah ada dalil menyatakan bahwa perbuatan semacam itu bid’ah, seperti masalah yang sedang kita bicarakan ini, pendapat Imam Ahmad itu tidaklah meniadakan bid’ahnya bersedekap seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Taymiyah dalam beberapa kitabnya. Akan tetapi saya menemukan pada pendapatnya Imam Ahmad ini dalil yang menunjukkan bahwa bersedekap ketika i’tidal itu tidak ada haditsnya yang sah pada beliau. Jadi, orang boleh memilih apakah akan melakukannya atau tidak. Apakah dengan demikian Syekh Tuwaijiri juga beranggapan bahwa Imam Ahmad pun memberikan pilihan kepada orang untuk bersedekap atau tidak pada waktu berdiri sebelum rukuk? Yang jelas bahwa bersedekap ketika i’tidal sama sekali bukan berasal dari Sunnah Nabi, inilah maksud dari pembicaraan ini.

3. TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam Tanya Jawab Agama

TIM menyatakan bahwa dalam HPT belum dituntunkan secara tegas mengenai sikap atau posisi kedua belah tangan pada saat i’tidal. Demikian pula halnya dalam hadits-hadits yang dijadikan dasar dalam HPT tersebut tidak secara tegas menyebutkan sikap atau posisi pada kedua belah tangan pada saat i’tidal itu. Hadits yang pertama menegaskan sikap i’tidal secara umum yaitu berdiri tegak, demikian halnya pada hadits kedua, di dalamnya hanya dijelaskan adanya i’tidal, yaitu bangkit dari ruku’ (mengangkat tulang punggung) sambil membaca “sami’allahu liman hamidah”. Dan kemudian berdiri tegak, apabila sudah berdiri tegak maka hendaklah membaca “Rabbana wa laka al-hamdu”. Pada hadits yang dikutip berikutnya terdapat ungkapan :
فإذارفع رأسه استوى حتّى كلّ فقارمكانه
Apabila mengangkat kepalanya ia berdiri tegak, sehingga setiap tulang kembali ketempatnya seperti semula.

Dan ungkapan itu dapat dipahami, bahwa yang dimaksud semua tulang termasuk tulang-tulang kedua belah tangan. Agar tulang-tulang kedua belah tangan kembali ketempatnya seperti semula, maka kedua belah tangan itu tentu saja harus dilepaskan lurus ke bawah.



DO'A-DO'A NABI SAW
KETIKA SUJUD DAN TASYAHHUD


Pengertian Do’a
Do’a berasal dari bahasa Arab yaitu ad-du’a (الدعاء) yang secara etimologi berarti permohonan atau permintaan. Sedangkan menurut istilah do’a adalah permohonan manusia kepada Allah dengan penuh pengharapan agar tercapai segala sesuatu yang diinginkannya dan terhindar dari segala perkara yang ditakuti dan tidak diinginkan.
Menurut Ibnul Qayyim al Jauziyyah do’a itu ada dua macam, pertama; do’a yang bersifat sanjungan atau pujian. kedua; do’a yang bersifat permohonan. kedua-duanya dapat disampaikan kapan saja sesuai keinginan pemohonnya. Akan tetapi Nabi saw juga menganjurkan kepada kita untuk memanjatkan do’a pada waktu-waktu yang lebih maqbul untuk berdo’a, diantaranya ketika sujud dalam shalat, oleh karena itu beliau menganjurkan untuk memperbanyak do’a ketika sujud, Sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah r.a:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Bahwa Rasulullah saw bersabda:”Saat paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah takala ia sedang sujud Maka perbanyaklah berdo’a (pada saat itu)”

Hadits riwayat Rabi’ah bin Ka’ab al Aslamiy:

أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Aku bermalam bersama Rasulullah saw, lalu aku mendatangi beliau ketika beliau sedang berwudlu dan menunaikan hajatnya, kemudian beliau bertanya:”Apa yang kamu minta, lalu aku menjawab: aku meminta kepadamu agar aku dapat menyertaimu di Surga, lalu Rasul bertanya: sealin itu?, Aku menjawab: hanya itu. Kemudian beliau bersabda: bantulah aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud”.

Begitupula Nabi menganjurkan untuk berdo’a setelah Tasyahhud, dengan do’a yang disukai oleh pemohonnya. sebagaimana hadits riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a:

كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ وَفُلَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُولُوا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ وَلَكِنْ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah saw, kami membaca Assalaamu ‘alallaah min ‘baadihis salaam ‘ala fulaanin wa fulaanin. Lalu Rasulullah bersabda:”Janganlah kamu mengatakan Assalaamu ‘alallaah, karena Allahlah pemilik assalaam (keselamatan), tapi bacalah olehmu: Attaahiyyatu lillaah, wasshalawaatuwat thayyibaat assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh, assalamu ‘aainaa wa ‘ala ‘ibaadillaahis shaalihiin. Maka jika kamu mebacanya akan sampai kepada seluruh hamba yang ada di langit, atau yang ada di antara langit dan bumi. (lalu membaca) Asyhadu alaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhuu wa rasuuluh, kemudian pilihlah dari do’a yang kamu senangi dan berdo’alah dengannya”.

Sedangkan dalam riwayat Muslim yang juga bersumber dari Ibnu Mas’ud, teks haditsnya sebagai berikut:
…ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“…. Kemudian pilihlah dari permohonan (bacaan/do’a) yang dikehendaki”.

Imam An Nawawi mengatakan bahwa tidak disunnahkan membaca do’a sesudah tasyahhud awwal, bahkan menurutnya sebagian ulama memakruhkannya, karena tasyahhud awwal (harusnya) dilakukan dengan singkat supaya berbeda dengan tasyahhud akhir. Menurut Ibnul Qayyim al Jauziyyah Nabi saw duduk tasyahhud awwal dengan sangat singkat, bahkan (dinyatakan dalam hadits) seakan-akan beliau duduk di atas batu yang panas. Bahkan menurut Ibnul Qayyim pada tasyahhud awwal tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa beliau membaca shalawat atasnya. Sedangkan menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, setelah tasyahhud awwal dituntunkan untuk membaca shoalawat atas Nabi saw dan berdo’a sekehendak hati dengan do’a yang lebih pendek daripada do’a dalam tasyahhud akhir.
Mengenai do’a-do’a yang dapat dibaca ketika sujud maupun tasyahhud, sebagian ulama Ada yang berpendapat bahwa perintah memilih do’a tersebut bersifat mutlak, artinya kita dapat berdo’a dengan do’a apa saja yang kita kehendaki. Sedangkan Muhammad Nasyiruddin al Bani berpendapat bahwa yang utama ialah dengan mengikuti do’a-do’a yang ada dalam riwayat hadits, terlebih bila do’a-do’a itu sudah sesui dengan kebutuhan orang yang berdo’a. ia mengutip perkataan imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa bahwa Lam pada kata do’a maksudnya adalah do’a yang disukai Allah, bukan sembarang do’a. selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan:”Pendapat yang terbaik adalah bahwa membaca do’a seperti digariskan dalam riwayat-riwayat hadits dan yang bermanfa’at”.

Do’a-Do’a Nabi SAW Ketika Sujud

1.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah, ampunilah seluruh dosaku, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang telah dilakukan (dahulu) maupun yang belum dilakukan (yang akan dating), yang terang-terangan maupun yang tersembunyi”.

2.
اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْإِخْلَاصِ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بِالْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ
“Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas makhluk, hidupkanlah aku sekiranya menurut pengetahuan-Mu hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku sekiranya menurut pengetahuan-Mu kematian itu lebih baik bagiku. Dan aku memohon kepada-Mu agar selalu takut kepada-Mu, baik dalam hal yang tidak nampak (ghaib) maupun yang nampak. Dan aku memohon kepada-Mu untuk (senantiasa) dapat mengatakan kebenaran baik disaat senang maupun marah, dan aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak pernah habis dan pandangan yang menyenangkan yang tidak pernah putus. Aku memohon kepada-Mu kerelaan hati atas ketentuan (qadla)-Mu, dan aku memohon kepada-Mu kehidupan yang menyejukkan setelah (datangnya) kematian, aku memohon kenikmatan pandangan (ketika) melihat wajah-Mu dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa menimbulkan bahaya dan yang membahayakan, dan tidak menimbulkan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami juru dakwah yang menerima petunjuk”.

3.
رَبِّ أَعْطِ نَفْسِي تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Rabku, berilah ketakwaan pada diriku, sucikanlah diriku, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang dapat mensucikannya, Engkau adalah Penolong dan Kekasihnya”.

4.
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ مَاأَسْرَرْتُ وَمَاأَعْلَنْتُ
“Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik yang aku lakukan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan”.




5.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ شِمَالِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا أَوْ قَالَ وَاجْعَلْنِي نُورًا
“Ya Allah, berikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam pendengaranku cahaya, di dalam penglihatanku cahaya, Cahaya dari sebelah kananku, cahaya dari sebelah kiriku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, dan berikanlah cahaya pada seluruh tubuhku”.

6.
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, Aku berlindung dengan ridla-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan pengampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dari-Mu atas ketidak mampuan untuk menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri”.

Do’a tersebut dibaca nabi ketika sujud pada shalat lail.


Do’a – Do’a Nabi SAW Setelah Tasyahhud

1.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah sesungguhnya kau memohon kepadamu dari adzab jahanam, dari adzab kubur, dari fitnah hidup dan fitnah mati, dan dari kejahatan fitnah Dajjal”.

Dalam hadits Muslim yang juga bersumber dari Abu Hurairah, terdapat kalimat مِنْ التَّشَهُّدِ الْآخِرِ. Artinya do’a tersebut dibaca setelah tasyahhud akhir.

2.
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah sesungguhnya aku telah banyak melakukan kedzaliman terhadap diriku sendiri, dan tidak ada yang dapat mengampuni kecuali Engkau. Oleh karena itu berilah aku pengampunan dari sisiMu, dan kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Pengasih”.

3.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ إِنِّي أَسْأَلُكَ ، أَََسْأَلُكَ اْلَجَّنَةَ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, bahwa segala puji adalah milik-Mu, tidak ada tuhan melainkan Engkau, Engkau Maha Pemberi Karunia, wahai pencipta langit dan bumi, wahai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Pemurah, Wahai Tuhan yang Maha Hidup, yang Maha berdiri sendiri, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu surga, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab neraka”.

4.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, ya Allah, Tuhan yang Maha tunggal, tempat makhluk-Nya bergantung, tiada beranak dan tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya, ampunilah segala dosaku, sesungguhnya Engkau Maha pengampun dan pengasih”.

5.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, ampunilah segala dosaku pada masa lalu dan akan dating, yang aku lakukan dengan sembunyi-sembunyi atau yang aku lakukan dengan terang-terangan dan apa saja perbuatankau yang berlebihan, dan dosa-dosa lain yang Engkau lebih tahu daripadaku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terkemudian, tidak ada tuhan kecuali Engkau”.

6.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa-dosa dan terbelit hutang”.

Selain do’a-do’a tersebut yang secara tegas disebutkan tempatnya, juga terdapat do’a-doa yang tidak secara tegas disebutkan tempat/waktunyanya, dan hanya dijelaskan bahwa do’a-do’a tersebut dibaca di dalam shalat. Diantara do’a-do’a tersebut adalah:

5.
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingat kepada-Mu, dalam bersyukur kepada-Mu dan dalam melakukan ibadah yang baik kepada-Mu”.

6.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam urusanku dan keseriusan terhadap petunjuk, dan aku memohon kepada-Mu agar tetap mensyukuri nikmat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik, aku memohon kepada-Mu hati yang bersih dan lisan yang benar, dan kebaikan sesuatu yang Engkau ketahui, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kejahatan sesuatu yang Engkau ketahui, dan aku memohon kepada-Mu ampunan dari dosa yang Engkau ketahui”.

7.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku, dan berkatilah rezeki yang telah Engkau berikan kepadaku”.

8.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan”.

5.
اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
“Ya Allah, perhitungkanlah (amal)ku dengan perhitungan yang mudah”


ALASAN DALIL:

Do’a-Do’a Nabi SAW Ketika Sujud

1.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

Berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah r.a:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Bahwasanya Rasulullah saw membaca di dalam sujudnya: Allaahummaghfirlii dzambii kullahu diqahu wa jillahu wa awwalahu wa aahirahu wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu”.

2.
اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْإِخْلَاصِ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بِالْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ

Berdasarkan hadits riwayat Qais bin ‘Ubad r.a dari ‘Ammar bin Yasir:

صَلَّى عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ بِالْقَوْمِ صَلَاةً أَخَفَّهَا فَكَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوهَا فَقَالَ أَلَمْ أُتِمَّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ قَالُوا بَلَى قَالَ أَمَا إِنِّي دَعَوْتُ فِيهَا بِدُعَاءٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِ اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْإِخْلَاصِ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بِالْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ
“Bahwasanya ‘Ammar bin Yasir pernah shalat bersama orang-orang dengan meringkaskannya, kemudian mereka menyanggah perbuatannya, oleh karena itu ‘Ammar berkata:”Apakah saya tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud?, mereka menjawab: ya. Lalu ‘Ammar berkata: saya telah berdo’a dalam shalat dengan do’a yang dibaca Nabi saw, yaitu:”Allahumma bi’ilmikal ghaiba wa qudratika ‘ulal khalqi ahyinii maa ‘amiltal hayaata khairan lii wa asaluka khasyataka fil ghaibi wassyahaadati wa kalimatal ikhlaashi firridlaa walghadhabi wa asaluka na’iiman laa yanfudzu wa qurrata ‘ainin laa tanqathi’u wa asalukar ridlaa bil qadlaa’I wa bardal ‘aisyi ba’dal mauti wa ladzatan nadzari ila wajhika wasyauqa ila liqaa’ika wa a’uudzubika min dlarraa’a mudlirratin wa fitnatin mudlillatin, Allahumma zayyannaa biziinatil iimaani waj’alnaa hudaatab muhtadiin”.

3.
رَبِّ أَعْطِ نَفْسِي تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

Berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah r.a:

أَنَّهَا فَقَدَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَضْجَعِهِ فَلَمَسَتْهُ بِيَدِهَا فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ يَقُولُ رَبِّ أَعْطِ نَفْسِي تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Bahwasanya pada suatu malam siti ‘Aisyah tidak mendapatkan Nabi saw ditempat tidurnya, lalu ia mencarinya, dan ia memegang Nabi dengan tangannya, kemudian ia merebahkan diri atas Nabi. Pada saat itu Nabi sedang bersujud, dan membaca:”Rabbi a’thi nafsii taqwaahaa zakkahaa anta khairuman zakkaahaa anta waliyyuhaa wamaulaahaa”.

4.
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ مَاأَسْرَرْتُ وَمَاأَعْلَنْتُ
Berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah r.a:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَضْجَعِهِ فَجَعَلْتُ أَلْتَمِسُهُ وَظَنَنْتُ أَنَّهُ أَتَى بَعْضَ جَوَارِيهِ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
“Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidurnya, lalu aku mencari dan menenmukannya. Aku mengira beliau mendatangi sebagian dari isteri-isterinya, lalu aku merebahkan diri padanya, sedangkan pada saat iti beliau sedang bersujud dan membaca:”Allahummaghfirlii maa asrartu wa maa a’lantu”.

5.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ شِمَالِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا أَوْ قَالَ وَاجْعَلْنِي نُورًا

Berdasarkan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas r.a:

بِتُّ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَأَتَى الْقِرْبَةَ فَأَطْلَقَ شِنَاقَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بَيْنَ وُضُوءَيْنِ لَمْ يُكْثِرْ وَقَدْ أَبْلَغَ فَصَلَّى فَقُمْتُ فَتَمَطَّيْتُ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَرَى أَنِّي كُنْتُ أَتَّقِيهِ فَتَوَضَّأْتُ فَقَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِأُذُنِي فَأَدَارَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَتَتَامَّتْ صَلَاتُهُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ اضْطَجَعَ فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ فَآذَنَهُ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَكَانَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“Saya bermalam di rumah maimunah (isteri Nabi saw), kemudian Nabi bangun dan menyelesaikan hajatnya, beliau membasuh muka dan kedua tangannya lantas tidur. Kemudian beliau bangun lalu menuju ketempat air dan melepas tutupnya kemudian berwudlu diantara dua wudlu dengan tidak banyak (mempergunakan air), namun cukup sempurna. Kemudian beliau mengerjakan shalat dan saya bangun dengan dengan menggeliat karena tidak ingin beliau mengetahui bahwa saya memperhatikannya. Kemudian saya berwudlu dan berdiri mengerjakan shalat. Saya berdiri di sebelah kirinya, beliau lantas memegang telingaku dan memutarkan saya (untuk berdiri) di sebelah kanan beliau, lalu beliau menyempurnakan shalat 13 raka’at, kemudian berbaring lalu tidur dan mendengkur, beliau kalau tidur sering mendengkur. Lalu (terdengar) Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat tanpa berwudlu lagi. Di dalam do’anya, sering membaca:”Allahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii sam’ii nuuran wa fii basharii nuuran wa ‘an yamiinii nuuran wa ‘an syimaalii nuuran wa amaamii nuuran wa khlafii nuuran wa fauqii nuuran wa tahtii nuuran waj’al lii nuuran”.

6.
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah r.a:

كُنْتُ نَائِمَةً إِلَى جَنْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَقَدْتُهُ مِنْ اللَّيْلِ فَلَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ يَقُولُ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ عَائِشَةَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ وَزَادَ فِيهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ
“Aku tidur disisi Rasulullah sa, pada malam hari aku kehilangan Rasulullah saw (dari sisiku), lalu aku mencarinya dan tanganku menyentuh kedua kaki beliau, pada saat itu beliau sedang sujud. Beliau membaca do’a:”A’uudzu biridlaaka min sakhatik wa bimu’aafaatika min ‘uqubatika wa a’uudzu bika minka laa uhshii tsanaa’an ‘alaika anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik”.

Dalam riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Dawud yang juga bersumber dari ‘Aisyah, ada tambahan kata Allahumma A’uudzu … diawal do’anya.
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw di tempat tidurnya, lalu aku mencarinya dan tanganku menyentuh kedua kaki beliau, saat itu beliau sedang berada di masjid, sedang bersujud. Beliau membaca do’a:”Allaahumma a’uudzu biridlaaka min sakhatik wa bimu’aafaatika min ‘uqubatika wa a’uudzu bika minka laa uhshii tsanaa’an ‘alaika anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik”.

Do’a tersebut dibaca nabi ketika sujud pada shalat lail. Hadits ini bernilai shahih

Do’a – Do’a Nabi SAW Setelah Tasyahhud

1.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah r.a:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Rasulullah bersabda:”Apabila seseorang diantara kamu telah bertasyahhud, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat perkara. Lalu beliau membaca:”Allaahuma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarri fitnatil masiihid dajjaal”.

Sedangkan dalam hadits Muslim yang juga bersumber dari Abu Hurairah, terdapat kalimat مِنْ التَّشَهُّدِ الْآخِرِ. Hadits tersebut sebagai berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنْ التَّشَهُّدِ الْآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Rasulullah bersabda:”Apabila seseorang diantara kamu telah bertasyahhud, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat perkara. Lalu beliau membaca:”Allaahuma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarri masiihid dajjaal”.

2.
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Berdasarkan hadits riwayat Abu Bakar As Shiddiq r.a:

أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Rasulullah:”Ajarkanlah kepada sebuah do’a yang dapat aku baca disetiap shalatku:”Lalu Rasulullah mengajarkan (do’a):”Allahumma innii zalamtu nafsii zulman katsiiran wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta faghfirlii maghfiratan min ‘indika war hamnii innaka antal ghafuurur rahiim”.

3.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ إِنِّي أَسْأَلُكَ ، أَََسْأَلُكَ اْلَجَّنَةَ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

Berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik r.a:

كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا يَعْنِي وَرَجُلٌ قَائِمٌ يُصَلِّي فَلَمَّا رَكَعَ وَسَجَدَ وَتَشَهَّدَ دَعَا فَقَالَ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ إِنِّي أَسْأَلُكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ تَدْرُونَ بِمَا دَعَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى
“Aku duduk bersama Rasulullah saw, ketika itu seseorang sedang mengerjakan shalat, ketika dia ruku, sujud, dan tasyahhud, ia membaca:”Allahumma innii as’aluka bi anna lakalhamdu laa ilaaha illa anta al mannaan badi’us samaawaati wal ardli yaa dzal jalaali wal ikraam, yaa hayyun yaa qayyuum, innii as’aluka. Lalu Nabi saw bertanya kepada para shahabtanya;apakah kalian tahu apa yang ia baca. Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang paling tahu. Beliau bersabda: demi Dzat yang diriku ada di tangnNya, sungguh ia telah berdo’a kepada Allah dengan namaNya yang agung, yang apabila orang memohon Ia akan mengabulkannya, dan apabila orang meminta Ia akan memberinya”.

Dalam hadits riwayat Hakim yang juga bersumber dari Anas bin Malik terdapat tambahan أسألك الجنة ، وأعوذ بك من النار , hadits yang dimaksud adalah:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سمع رجلا يقول : اللهم إني أسألك بأن لك الحمد ، لا إله إلا أنت ، أنت المنان بديع السماوات والأرض ، ذو الجلال والإكرام ، أسألك الجنة ، وأعوذ بك من النار ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : « لقد كاد يدعو الله باسمه الذي إذا دعي به أجاب ، وإذا سئل به أعطى »
“Bahwa Rasulullah saw, mendengar seorang laki-laki membaca:” Allahumma innii as’aluka bi anna lakalhamdu laa ilaaha illa anta al mannaan badi’us samaawaati wal ardli dzul jalaali wal ikraam, as’alukal jannata wa a’uudzubika minannaar”. Sungguh dia telah berdo’a kepada Allah dengan (menyebut) nama-Nya, yang apabila seseorang memohon akan mengabulkannya, dan apabila seseorang meminta akan diberi”

4.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Berdasarkan hadits riwayat Mihjan bin Arda’:
دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَدْ قَضَى صَلَاتَهُ وَهُوَ يَتَشَهَّدُ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ قَالَ فَقَالَ قَدْ غُفِرَ لَهُ قَدْ غُفِرَ لَهُ ثَلَاثًا
“Rasulullah saw masuk ke masjid, beliau mendapati seseorang yang sedang menunaikan shalat, ketika itu ia sedang tasyahhud, dalam tasyahhudnya ia berdo’a: Allaahumma innii as’aluka ya Allahul ahadush shamadul ladzii lam yalid wa lam yuulad wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. An taghfira lii dzunubii innaka antal ghafuurur rahiim. Kemudian beliau bersabda: Sungguh ia telah diampuni, sungguh ia telah diampuni”.

5.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Berdasarkan hadits riwayat ‘Ali bin Abi Thalib r.a:

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَقُولُ بَيْنَ التَّشَهُّدِ وَالتَّسْلِيمِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Dari Rasulullah saw,:Beliau berdo’a diantara tasyahhud dan salam:”Allahummagh firlii maa qaddamtu wa maa akhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu wa maa asraftu wa maa anta a’lamu minnii antal muqaddimu wa antal muakhiru laa ilaaha illaa anta”.

6.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ





Berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Bahwa Rasulullah saw, beliau berdo’a dalam shalatnya:”Allahumma innii a’uudzubika min ‘adzaabil qabri wa a’uudzubika min fitnatil masiihid dajjaal, wa a’uudzubika min fitnatil mahyaa wa fitnatil mamaati. Allahumma innii a’uudzubika minal ma’tsami wal maghram”.
Selain do’a-do’a tersebut yang secara tegas disebutkan tempatnya, juga terdapat do’a-doa yang tidak secara tegas disebutkan tempat/waktunyanya, dan hanya dijelaskan bahwa do’a-do’a tersebut dibaca di dalam shalat. Diantara do’a-do’a tersebut adalah:

1.
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Berdasarkan hadits riwayat Mu’adz bin Jabbal r.a:


أَخَذَ بِيَدِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأُحِبُّكَ يَا مُعَاذُ فَقُلْتُ وَأَنَا أُحِبُّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَدَعْ أَنْ تَقُولَ فِي كُلِّ صَلَاةٍ رَبِّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Rasulullah saw memegang tanganku, lalu beliau bersabda:”Wahai Mu’adz sunggugh aku mencintaimu. Lalu aku berkata demi Allah akupun mencintaimu. Lalu Rasulullah bersabda: aku berpesan kepadamu beberapa kalimat dan jangan pernah tinggalkan membacanya dalam setiap shalat:”Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik"

Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud yang juga bersumber dari Mu’adz, terdapat kalimat فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ (fii duburi kulli shalaatin):

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Muadzd berkata:”Bahwasanya Rasulullah saw memegang tanganku, lalu beliau bersabda:”Wahai Mu’adz sunggugh aku mencintaimu. Lalu aku berkata demi Allah akupun mencintaimu. Lalu Rasulullah bersabda: aku berpesan kepadamu beberapa kalimat dan jangan pernahtinggalkan membacanya dalam setiap shalat:”Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik”

2.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Berdasarkan hadits riwayat Saddad bi Aus r.a:


سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا كَنَزَ النَّاسُ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ فَاكْنِزُوا هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:”Apabila orang-orang ingin menabung emas dan perak, maka tabunglah kalimat-kalimat (do’a) ini:” Allahumma inii as’alukatsabaata fil amri wal aziimata ‘ular rusydi wa as’aluka syukra ni’matika wa husna ‘ibaadatika wa as’aluka qalban saliiman wa lisaanan shaadiqan wa as’aluka min khairimaa ta’lam wa a’uudzu bika min syarri maa ta’lam wa astaghfiruka lima ta’lam wa astaghfiruka lima ta’lam innaka anta ‘allaamul ghuyuub”.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي




Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a:

سَمِعْتُ عُبَيْدَ بْنَ الْقَعْقَاعِ يُحَدِّثُ رَجُلًا مِنْ بَنِي حَنْظَلَةَ قَالَ رَمَقَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي فَجَعَلَ يَقُولُ فِي صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي وَبَارِكْ لِي فِيمَا رَزَقْتَنِي

“Aku mendengar ‘Ubaid bin Qa’qa’ bercerita, bahwasanya seseorang dari bani handzalah mendatangi Nabi saw, pada saat itu Rasulullah saw sedang shalat, (ia mendengar) Rasulullah membaca:”Allaahummaghfirlii dzambii wa wassi’ lii fii daarii wa baarik lii fiimaa razaqtanii”.

3.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ

Berdasarkan hadits riwayat Farwah bin Naufal dario ‘Aisyah :

قُلْتُ لِعَائِشَةَ حَدِّثِينِي بِشَيْءٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِهِ فَقَالَتْ نَعَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ
“Aku berkata kepada ‘Aisyah:”beritahukan kepadaku do’a yang dibaca Nabi dalam shalatnya, lalu ia berkata:”baiklah, Rasulullah saw, membaca do’a: Allahumma innii a’uudzubika min syarri maa ‘amiltu wa min syarri maa lam a’mal”.



4.
اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا


Berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah r.a:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
”Aku mendengar Nabi saw, beliau membaca dalam sebagian shalatnya:”Allaahumma haasibnii hisaaban yasiiraa”.



MENYINGKAP KESESATAN
PARA IMAM PALSU










Meluruskan Kesalahan Memahami
Jama'ah - Imaamah










Oleh : Abu 'Abdillah Al-Atsari




MENYINGKAP KESESATAN PARA IMAM PALSU
(Meluruskan Kesalahan Memahami Jama'ah - Imaamah)

Oleh : Abu 'abdillah Al-Atsari







إنّ الحد لله , نحمده ونستعينه ونشتغفره , ونعوذب الله من شرور أنفسنا ومن سيّئات أعمالنا , من يهده الله فلا مضلّ له ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إ لاّ الله وحده لا شريك له, وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًاو, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

" أمّا بعد فإنّ أصدق الحديث كتاب الله , وأحسن الهدي هدي محمّد, وشرَّ الأمور محدثاتها , وكلَّ محدثاتةٍ بدعة, وكلَّ بدعة ضلالة, وكلَّ ضلالة في النّار "




PENDAHULUAN
Hanya kepada Alloh  semata kita beribadah sesuai tuntunan Rosul-Nya dan hanya kepada-Nya pula kita senantiasa memohon taufik agar ditunjukkan kepada jalan al-haq dan semoga kita dijauhkan dari jalan-jalan syaitan yang sesat dan menyesatkan.
Sudah kita ketahui bersama bahwa kondisi umat islam sepeninggal Rosululloh  akan mengalami banyak perpecahan dan penyimpangan-penyimpangan terhadap syari'at yang dibawa oleh Rosululloh . Adapun yang menjadi penyebabnya adalah bukan karena mereka kehilangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Semua para da'i mengaku berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan keduanya senantiasa dibaca dan didengungkan kepada seluruh umat islam ini. Akan tetapi yang menjadi penyebab utama mengapa umat islam ini perbecah-belah dan terpuruk dalam kesesatan, hal itu karena mereka (para da'I, tokoh, kyiai, ustadz) memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman dan penafsiran sendiri, atau mengikuti tokoh tertentu atau kelompok tertentu. Maka kemudian lahirlah disana-sini perkara-perkara baru dan kelompok-kelompok baru (bid'ah) yang sesat dan menyesatkan.
Setiap orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu tafsir mereka sudah maklum bahwa; metode terbaik dalam menafsiri Al-Qur'an adalah dengan Al-Qur'an itu sendiri, karena yang global di suatu ayat telah dirinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas di suatu ayat maka dijabarkan pada ayat yang lain.
Jika antara ayat yang satu dengan yang lain belum ditemukan penjelasannya secara rinci maka wajib dicari di dalam Sunnah Rosululloh , karena Sunnah adalah penjelas dari Al-Qur'an, dan jika tidak ditemukan juga tafsir Al-Qur'an di dalam Sunnah maka wajib rujuk kepada penjelasan para sahabat, para tabi'ian dan tabi'ut tabi'in. (Lihat Muqoddimah fi Ushuli Tafsir, hal 93)
Al-Qur'an yang sekarang sudah dibukukan dalam mush-haf memang dapat dibawa kepada pemikiran dan pemahaman siapa saja sesuai dengan apa yang dikehendakinya, yang demikian itu karena di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang maknanya masih bersifat umum. Oleh karenanya sangat mungkin sekali bagi siapa yang membacanya akan menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.
Di dalam Al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang sifatnya mujmal yaitu ayat-ayat yang masih membutuhkan penjelasan secara rinci untuk sampai kepada bentuk pengamalannya. Perintah mengerjakan sholat, menunaikan zakat dan ibadah haji misalnya, semuanya belum dijelaskan di dalam Al-Qur'an secara rinci bagaimana cara mengerjakannya. Adapun penjelasan tentang tata cara sholat, jenis-jenis sholat, jenis-jenis zakat, prosentase zakat, serta bagaimana tata cara ibadah haji secara rinci hanya ada di dalam hadits Rosululloh .
Selain apa yang telah dijelaskan di atas di dalam Al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang harus dipahami secara tekstual (secara harfiyah) namun juga kadang ada ayat-ayat yang justru tidak mungkin bisa dipahami dengan cara demikian. Inti dari semua itu adalah bahwa orang yang awan dalam ilmu agama tidak mungkin mampu memahami Al-Qu'an dan Al-Hadits dengan baik dan benar kecuali mereka mengikuti penjelas dari para ahli dzikri (ahli Al-Qur'an) dan ahli hadits. Mereka adalah para ulama ahli tafsir dan ahli hadits tempat bagi kaum muslimin mengambil ilmu agama yang bermanfaat ini.
Oleh karena itu selain menurunkan Al-Qur'an Alloh  juga mengutus seorang Rosul  untuk menjelaskan tentang syari'at islam ini kepada umatnya dengan hadits-haditsnya yang juga merupakan wahyu Alloh . Namun demikian hadits-hadits Rosulpun yang merupakan penjelas terhadap Al-Qur'an juga dapat dipahami maknanya yang berbeda-beda oleh siapa saja yang membaca atau mendengarnya. Oleh karena itu Rosululloh  berwasiat kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para sahabat, para tabi'in dan tabi'ut tabi'in sebagaimana dijelaskan dalam haditsnya :
أُوْصِيْكُمْ بِأَصْحَابِي , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Aku wasiatkan kepada kalian (untuk mengikuti jalan) para sahabatku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka." (HR. Ahmad)
Apa yang telah diwasiatkan oleh Rosululloh  pada hadits di atas agar kaum muslimin mengikuti jalan para sahabat yang pertama generasi awal karena merekalah orang-orang yang telah menimba ilmu agama langsung dari Rosululloh  yang sudah barang tentu pemahaman mereka lebih baik dan lebih benar dari pada kaum yang datang sesudahnya. Sesudah generasi para sahabat maka tidak ada generasi yang lebih baik kecuali generasi tabi'in, yaitu mereka yang mengikuti jalan para pendahulunya demikian juga orang-orang yang mengikuti jejak para tabi'in yaitu tabi'ut tabi'in mereka kaum yang paling mulia pada generasinya karena mereka telah mengikuti para pendahulunya.
Adapun orang-orang yang tidak mau mengikuti jalan para pendahulunya sekalipun mereka hidup di zaman tabi'in seperti Washil bin Atho' yang menyelisihi Al-Hasan Al-Bashri seorang Imam dari kalangan tabi'in yang bermanhaj ahlus sunnah wal-jama'ah, maka Washil bi Atho' sama sekali tidak disebut sebagai tabi'in.
Orang-orang yang menafsiri Ayat Al-Qur'an atau Hadits Rosululloh  dengan mengikuti ro'yu maka mereka telah terjatuh pada kesesatan yang sesat-sesatnya. Apa lagi jika mereka nyata-nyata menyelisihi jalan para sahabat yang sudah terang dan tidak mau rujuk kepada pemahaman para salaful ummah, maka yang demikian mereka terancam dengan fiman Alloh  :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS. An Nisaa': 115)
Oleh karena itu dalam atsar yang shohih dari Ibnu Abbas , beliau berkata:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ أَوْبِمَا لاَ يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya atau dengan tanpa ilmu maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka". (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/10 cet. Darul Fikr)
Sudah tidak diragukan lagi jika terjadi perbedaan dari kalangan para da'I dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah maka masing-masing di antara mereka akan berprinsip dan beramal serta berdakwah sesuai dengan apa yang dipahami oleh dirinya. Akibat dari itu di sana-sini muncul para pemikir-pemikir islam yang mengibarkan paham-paham baru yang kemudian diikuti oleh para muqollid dan pengekornya yang jahil. Sebagian di antara tokoh dan pemikir-pemikir muslim yang sering digelari sebagai intelektual muslim mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan membuat kelompok-kelompok baru dengan mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi imam atau amir bagi jama'ahnya. Dari sinilah mereka kemudian memulai berdakwah mengajak kaum muslimin untuk masuk ke dalam kelompoknya, mewajibkan ba'iat kepada sang amir dan menghukumi kaum muslimin jahiliyah apabila mati belum berbai'at kepada amirnya.
Paham dan aliran sesat di Indonesia tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Dengan kejahilan dan kesesatannya yang sudah terang benderang mereka terus berdakwah dengan hawa nafsunya mengajak umat kepada kesesatan yang makin jauh dari al-haq. Para pendiri aliran dan paham sesat yang berkembang di Indonesia di antara mereka ada yang mengaku sebagai Imamul Muslimin atau Amirul Muslimin, Imam Mahdi, Nabi baru, Rosul baru dan seterusnya. Sungguh mereka-mereka semua adalah orang-orang yang jahil yang jauh dari bimbingan 'ulama ahlus sunnah oleh karena itu mereka tersesat dan menyesatkan banyak orang.
Kejahilan dan kesesatan mereka yang sangat membahayakan umat ini dan sering mengatasnamakan al-haq (Al-Islam) harus segera diungkap agar perkara kebatilan ini dapat diketahui oleh orang lain sehingga tidak memakan banyak korban orang-orang yang awam dalam agamanya.
Salah satu prinsip dakwah ahlus sunnah adalah amar ma'ruf nahi munkar dan salah satu wujud nahi munkar adalah mengungkap pemahaman-pemahaman kelompok muslimin yang sesat dan menyesatkan. Atas dasar itu dengan merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rosululloh  sebagaimana yang telah dipahami oleh generasi terbaik umat islam ini (salafus sholih) tulisan ini tidak ada maksud lain kecuali mengingatkan dan sekaligus meluruskan akidah yang sesat bagi para pejuang penegak Jama'ah Imaamah atau Daulah Islamiyah ini.
Beberapa aliran dan paham sesat yang berkembang di Indonesia yang berkaitan dengan Jama'ah-Imamah atau Kekhilafahan di antaranya adalah Gerakan Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India dan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1935 M. Mirza Ghulam telah dikafirkan oleh para ulama dan lembaga-lembaga Islam resmi, seperti Al-Majma' Fiqhi yang menginduk kepada Rabithah 'Alam Islami dan Hai'ah Kibar Ulama Saudi Arabia. Kelompok yang kedua adalah Islam Jama'ah yang sekarang berubah nama menjadi LDII didirikan oleh Nurhasan Ubaidah, sedangkan yang ketiga yaitu Gerakan Islam Hizbulloh yang kemudian berubah nama menjadi Jama'ah Muslimin (Hizbullah) didirikan oleh Wali Al-Fataah . Kelompok sesat yang keempat yaitu Jama'ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan Imamnya Ahmad Moshaddiq yang bergelar Michael Muhdats atau Al-Masih Al-Maw'ud. Jama'ah ini (Al-Qiyadah Al-Islamiyah) juga telah disesatkan berdasarkan Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007 bahwa ; "Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah berada di luar Islam dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad" MUI juga meminta pemerintah melarang penyebaran ajaran tersebut.
Disamping empat kelompok yang sudah saya sebutkan di atas juga masih banyak lagi kita dapatkan paham-paham sesat yang berkembang di Indonesia seperti kelompok Syi'ah, IM, HTI, NII, Isa Bugis, JIL, Lia Aminuddin dan yang lainnya.
Mungkin bagi orang jahil tulisan ini akan dianggap sebagai perbuatan ghibah, cacian atau fitnah terhadap sesama muslim, maka ketahuilah membicarakan pelaku kesesatan dan kebid'ahan yang menyelisihi manhaj Rosul dan para sahabatnya adalah perkara yang wajib bagi ahlus sunnah agar orang lain mengetahui tentang kesesatan dan kebid'ahannya.
Adapun orang islam yang kita wajib saling berkasih sayang hanyalah kepada orang-orang yang setia mengikuti ajaran Rosululloh  dan setia mengikuti jalannya orang-orang mukmin dari tiga generasi pertama umat islam yakni para sahabat, para tabi'in dan para tabi'ut tabi'in. Barangsiapa yang menyelisihi jalannya orang-orang mukmin (generasi pertama umat islam) maka sesungguhnya dia telah dipalingkan oleh Alloh  dari al-haq dan mereka dibiarkan dengan leluasa dalam kesesatannya sedangkan tempat kembali baginya di neraka Jahanam. (Lihat, QS. An-Nisaa : 115)
Semoga tulisan ini akan membuka mata hati dari gelapnya pandangan terhadap perkara yang sesungguhnya sangat terang benderang dan membuka telinga dari tulinya pendengaran mereka dikarenakan mereka menutup telinga, tidak mau mendengar nasehat para 'ulama sebagai pewaris para nabi yang diibaratkan oleh Rosululloh  dalam haditsnya seperti bulan purnama (yang menerangi manusia dari keadaan yang gelap gulita).

PENGERTIAN IMAM
Menurut kamus Al-Munawwir oleh Ahmad Warson Munawwir cetakan ke 25 tahun 2002 halaman 40, Al-Imaam bermakna pemimpin, atau orang yang menegakkan urusan, atau orang yang diikuti, atau komandan pasukan, atau penunjuk jalan atau kholifah dst. Demikian makna Al-Imaam secara bahasa.
Adapun secara istilah atau syari'at makna Al-Imaam dapat diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits nabi  dan juga dari penjelasan para ulama baik dari kalangan sahabat, tabi'in sampai kepada para ulama terkini adalah sebagai berikut:
1. Imam adalah pelindung bagi rakyatnya, baik mereka (rakyat) yang muslim maupun rakyat yang kafir (kafir dzimi ataupun kafir mu'ahad) yang tinggal di daerah kekuasaanya dan mereka mendapat jaminan keselamatan harta dan darahnya.
2. Imam adalah (panglima tertinggi) seorang yang memimpin perang dan ditakuti karena kekuatan pasukan dan kekuasaannya.
3. Imam adalah kholifah di dalam daerah kekuasaanya, sebutan bagi Imam adakalanya sulthon, malik, waliyul amri dll.
4. Imam adalah pemimpin yang menegakkan (hudud) hukum-hukum demi perlindungan keamanan rakyatnya dari bahaya orang-orang yang akan berbuat jahat.
5. Imam adalah pemimpin yang menjamin keamanan negerinya, menjaga perbatasan daerah kekuasaannya dari serangan dan gangguan musuh.
6. Imam adalah pemimpin yang membagi-bagi harta fa'I dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
7. Imam adalah orang yang berkuasa dalam suatu Negara atau daerah kekuasaannya yang dengan itu pula manusia tunduk di bawah kepemimpinannya.

PENJELASAN DARI AL-QUR'AN

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ ...
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...".(QS. An-Nuur: 55)
Janji Alloh Ta'ala tersebut telah terbukti sejak Rosululloh  dan orang-orang yang beriman dan beramal sholih berhijrah dari kota Mekah menuju kota Madinah kekuasaan sedikit demi sedikit diraih oleh kaum muslimin sebagai anugrah Alloh . Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai dengan hari ini kaum muslimin menikmati keindahan ibadahnya di bawah penguasa muslim.
Setelah Rosululloh  wafat kaum muslimin hidup di bawah kekuasaan para Khulafa'ur Rosyidin Al-Mahdiyyin, kemudian kekholifahan ini diteruskan oleh Hasan bin Ali bin Abi Tholib, Muawiyyah bin Abi Shofyan, Yazid bin Muawiyyah sampai Kekholifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 M. Dan pasca kekholifahan Turki Utsmani kaum muslimin hidup di masing-masing Negara yang berdaulat di bawah para pemimpin (penguasa) mereka.
Adapun Imam yang tunggal bagi umat Islam dalam sejarah hanya berlangsung sampai dengan pertengahan kekholifahan Bani Abbasiyah, setelahnya kaum muslimin terbagi-bagi di beberapa daerah atau negara yang telah berdaulat dan masing-masing daerah memiliki pemimpin yang berkuasa, meskipun demikian Daulah Abbasiyyah dan Utsmaniyyah nampak lebih dominan. Orang-orang Islam yang berkuasa sejak Khulafa'ur Rosyidin sampai dengan hari kiamat datang mereka semua adalah Imam bagi kaum muslimin yang berada di daerah kekuasaannya.
Hanya saja pada masa kepemimpinan Khulafa'ur Rosyidin Al-Mahdiyyin kaum muslimin dalam keadaan bertauhid dan berpegang-teguh dengan sunnah oleh karenanya Alloh  berikan kepada mereka para pemimipin yang sholih, yang menyuruh manusia dengan takwa dan berbuat adil. Sedangkan sekarang ini sebagian besar kaum muslimin khususnya di negeri ini banyak melakukan perbuatan syirik dan menyelisihi sunnah maka Alloh  berikan kepada rakyatnya pemimpin yang fasik.
Tidak diragukan lagi jika kaum muslimin menghendaki pemimpin yang adil dan yang menyuruh manusia dengan takwa maka ikutilah jalan yang telah ditempuh oleh Rosululloh  dan para sahabatnya yakni ajaklah manusia kepada tauhid sehingga tidak ada lagi kesyirikan di antara mereka dan ajaklah manusia kepada sunnah Rosululloh  sehingga tidak ada lagi kebid'ahan di antara mereka dan ajaklah manusia kepada Al-Jama'ah di bawah kepemimpinan penguasa muslim sehingga tidak ada lagi firqoh-firqoh pada kalangan umat islam. Jika tiga pokok dakwah ini belum dikerjakan dengan baik oleh para da'I di negeri ini, maka janganlah kaum muslimin di negeri ini bermimpi untuk mendapatkan kepemimpinan yang baik, adil dan amanah.

PENJELASAN DARI AL-HADITS
Rosululloh  bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ, كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه مسلم)
"Bahwasannya Imam adalah junnah (perisai / tameng) yang dilancarkan perang dari belakangnya terhadap musuh dan ditakuti, jika dia memerintah bertakwa kepada Allah dan berlaku adil ia mendapat pahala dengan sebab hal itu, dan jika dia memerintahkan dengan yang selainnya, dia mendapatkan dosa karena hal itu." (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim juz 12 hal 352, menjelaskan sebagai berikut : "Yang dimaksud imam itu perisai artinya imam berfungsi sebagai pelindung (melindungi rakyatnya). Karena imam dapat mencegah musuh agar jangan mengganggu kaum muslimin dan dapat mencegah rakyatnya untuk jangan saling mengganggu satu dengan yang lainnya. Imam itu juga dapat melindungi kelangsungan masyarakat islam, serta ditakuti oleh rakyatnya (karena memiliki kekuasaan) dan rakyat dalam keadaan takut dari hukumannya."
Pengertian Imam berdasarkan hadits yang mulia tersebut di atas sudah sangat jelas bahwa mereka adalah Imam yang dhohir yakni penguasa yang mampu membentengi rakyatnya dari serangan musuh dan mereka ditakuti oleh musuh karena memiliki kekuasaan dan kewibawaan dan juga ditakuti oleh rakyatnya karena hukum-hukum yang ditegakkannya. Inilah pengertian Imam berdasarkan hadits yang telah disyarah oleh Imam Nawawi.
Adapun orang jahil yang mengaku-aku sebagai imamul muslimin tetapi tidak berkuasa serta kaum muslimin didunia tidak mengenalnya maka yang demikian dinamakan Imam sir atau Imam rahasia yang hanya diakui oleh sekelompok kecil muslimin. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi muslimin untuk mengimaninya apalagi mentaatinya, bahkan haram hukumnya karena Imam yang seperti ini tidak memberikan manfaat sedikitpun bagi kaum muslimin justru sebaliknya keberadaan mereka hanya akan membawa kepada malapetaka yakni perpecahan umat islam, permusuhan bahkan peperangan sesama muslim.
Penjelasan hadits berikutnya datang dari Abu Bakrah, Rasulullah  bersabda :
إنّ السُّلطّانَ ظِلُّ الله فِي الْأرْضِ فَمَنْ أَهاَنَهُ أَهاَنَهُ الله وَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ الله
"Sesunggunhnya Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi, maka barang siapa yang menghina-kannya maka Allah akan menghinakannya dan barang siapa memulyakannya maka Allah akan memulyakannya." (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim, Ahmad, Ath-Thoyalisi, At-Tirmidzi dan Ibnu Hiban, dan dihasan-kan oleh Al-Albani)
Tidak ada perselisihan sedikitpun dari kalangan para ulama dan para ahli tafsir bahwa yang dimaksud As-Sulthon pada hadits di atas adalah para penguasa negara yang mereka itu muslim, seperti Raja Kerajaan Saudi Arabia, Kepala Pemerintahan Negara Indonesia dan seterusnya.
Sulthon atau penguasa negara adalah naungan Alloh atau sering disebut juga kholifatulloh fil ardh, maksudnya bahwa Alloh  adalah Raja yang kerajaan-Nya meliputi langit dan bumi kemudian Alloh menjadikan para penguasa di muka bumi sebagai pengatur kehidupan manusia agar tercipta kedamaian dan kesejahteraan. Di muka bumi ini ada penguasa yang kafir dan ada penguasa yang muslim, penguasa yang muslimpun adakalanya mereka orang yang adil yang mereka menyuruh atau memerintah dengan takwa dan juga ada kalanya mereka itu orang yang fajir yang mereka menyuruh atau memerintah dengan kemaksiatan.
Namun demikian manusia yang berkumpul di suatu negara atau wilayah sekalipun dipimpin oleh penguasa yang zolim akan jauh lebih baik keadaannya dari pada mereka tidak memiliki pemimpin. Jika sebuah Negara atau daerah yang banyak berkumpul manusia akan tetapi mereka tidak memiliki pemimpin/penguasa maka sudah bisa dipastikan yang akan terjadi adalah kekacauan-kekacauan.
Salah satu prinsip ahlussunnah adalah memuliakan sulthon/penguasa yang muslim, memberi nasihat dan taat kepada mereka, sedangkan salah satu prinsip warisan khowarij adalah menghinakan penguasa, mencelanya dan memisahkan diri darinya atau memberontak mereka sekalipun mereka muslim, mengerjakan sholat dan membayar zakat karena dalam pandangan kaum khowarij tidak ada penguasa yang adil yang menerapkan hukum Alloh dengan sempurna.
Salah satu ciri para khowarij zaman sekarang adalah mereka lebih senang membaca atau memuji buku " Saudi di Mata Seorang Al-Qa'idah (khowarij)" dari pada membaca catatan atau mendengar taushiah " Saudi di Mata Seorang Ulama Ahlus sunnah" . Atau mereka lebih senang menyimak buku "Aku Melawan Terorois" karya seorang teroris Imam Samudra dari pada membaca buku "Mereka Adalah Teroris" karya Al-ustadz Luqman bin Muhammad Ba'abduh. Tentu saja sudut pandang dan hasilnya sangat jauh berbeda wahai kaum khowarij.
Judul buku "Saudi di Mata Seorang Al-Qa'idah" dikarang oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi seorang penulis beraliran khowarij yang jauh dari bimbingan ulama ahlus sunnah sehingga ia tidak paham bagaimana menyikapai keadaan penguasa menurut Rosululloh . Mereka sebarkan kejelekan-kejelekan pemerintah Saudi melalui tulisan sebagai bentuk provokasi dan merendahkan martabat seorang penguasa.
Adapun prinsip ahlus sunnah yang berikutnya adalah dalam hal menasehati seorang penguasa, mereka tidak berbicara di atas mimbar dan podium atau menulis di beberapa media cetak agar diketahui masyarakat ramai. Cara-cara seperti itu adalah bagian dari provokasi gaya khowarij, adapun ahlus sunnah bila menasehati penguasa muslim adalah dengan cara yang lembut dan rahasia, bila perlu dengan pertemuan empat mata. Inilah ajaran agama yang lurus lagi mulia tapi sebagian besar manusia mengikuti hawa nafsunya dan tidak mau kembali kepada Alloh  dan Rosul-Nya .
Dari Iyadh bin Al-Ghanim dia berkata Rasulullah  bersabda :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لَذَيْ سُلْطَان فَلاَ يَبْدَهُ عَلاَنِيَة وَلِيَأ خُذُ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاّ كَانَ أَدَى الّذيْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, hendaknya ia pegang tangannya, jika menerimanya maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka dia telah menunaikan beban kewajibannya". (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dan Dishahihkan oleh Al-Albani)
Sulthon adalah penguasa wilayah di dalam hadits sebutan bagi penguasa wilayah terkadang menggunakan lafad; Sulthon, Amir, Malik, Imam, kholifah dan yang sejenisnya.
Dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Rasulullah  bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa menjumpai sesuatu yang tidak disukai dari pemimpinnya hendaklah ia bersabar, sesungguhnya orang yang telah memisahkan diri dari penguasa sejengkal saja lalu mati, tiada lain kematiannya melainkan kematian Jahiliyah". (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad, lafadz oleh Bukhari)
Dalam hadits ini sekaligus dijelaskan oleh Rasulullah  bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَمِير adalah السُّلْطَان, yang dimaksudkan dengan kalimat Imam atau Amir adalah penguasa.
Kelompok pemuja Imam palsu yang memiliki pemahaman baru hasil perselingkuhan antara paham khowarij dan mu'tazilah ini, mereka benar-benar tidak memahami kaidah-kaidah agama dengan baik. Semangat jihadnya yang berapi-api mengakibatkan mereka bermudah-mudah dalam mengkafir-kafirkan penguasa muslim dan menganggap mereka adalah thoghut yang harus diperangi. Dengan dalih itu mereka menganggap dunia islam tidak lagi memiliki Imam, karena penguasa yang ada dianggap telah keluar dari syari'at Islam. Oleh karenanya mereka berijtihad untuk mengangkat "dirinya" sebagai Amir atau Imam bagi seluruh umat Islam. Maka jadilah mereka itu Imam palsu (imam bawah tanah) karena kepemimpinan mereka tidak diketahui dan tidak diakui oleh para ulama dan kaum muslimin di seluruh dunia.

PENJELASAN DARI PARA SAHABAT
Kholifah Ali bin Abi Tholib  , beliau berkata: "Manusia harus memiliki Imam baik Imam yang lurus maupun yang durhaka." Ditanyakan kepada beliau, "Wahai Amirul Mukminin, orang yang memiliki Imam yang baik sudah kami kenal, lalu bagaimana dengan Imam yang durhaka tersebut?" Ia menjawab "Dengannya hudud ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh diperangi, dan harta fa'i dibagi-bagikan."
Wahai pembaca yang budiman siapakah yang membuat negeri ini menjadi aman? Siapakah yang menjaga kehormatan harta dan darah kita di negeri ini? Siapakah yang menegakkan hukum di negeri ini sehingga orang-orang jahat tidak leluasa dengan kejahatannya? Lalu siapakah yang menjaga perbatasan negeri ini sehingga negeri ini menjadi aman dari serangan musuh? Dan siapakah yang telah mencanangkan progran bantuan makanan dan pengobatan bagi rakyat yang miskin? Jawabannya seperti apa yang telah dikatakan oleh Kholifah yang mulia Ali bin Abi Tholib , karena negeri ini masih memiliki Imam yakni penguasa yang membentengi rakyatnya dari gangguan dan kekacauan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Adapun orang-orang yang mengaku sebagai Imam seperti Mirza Ghulam Ahmad dan penerusnya, Nurhasan Ubaidah dan penggantinya, Wali Al-Fattaah dan pemegang estafet tongkat palsu keamirannya, ataupun Rosul palsu Ahmad Moshaddiq maka kaum muslimin dan manusia umumnya di negeri ini sedikitpun tidak mengambil manfaat dari kepemimpinan mereka. Sekalipun mereka dengan kedustaannya mengaku sebagai Imam, maka kaum muslimin dan manusia umumnya di negeri ini sedikitpun tidak membutuhkannya.
Berkata Ibnu Mas'ud  , "Apa yang tidak kalian sukai dalam penguasa itu lebih baik dari apa yang kalian sukai dalam perpecahan (kelompok, organisasi,partai, jama'ah-jama'ah dll)". {Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam at-tafsir (7/75-76) Al-Ajurri dalam Asy Syari'ah (1/298-299) telah dishahihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/555)}
Berkata Ibnu Abbas  , "Mengunyah garam di bawah penguasa muslim lebih aku sukai daripada makan roti yang lezat di atas perpecahan". {Telah dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (13/200)}

PENJELASAN DARI PARA ULAMA
Imaam Ahlussunah dari kalangan Tabi'in Hasan Bashri rahimahulloh mengatakan: "Para penguasa (Imaam) itu memerintah dan mengurusi 5 perkara kita sebagai umatnya:
1. Al-Jum'ah, didirikan sholat jum'ah
2. A-Jama'ah, didirikan sholat 5 waktu berjama'ah
3. Al-A'yad, (menetapkan tanggal qomariyah, menentukan 2 hari raya, 'idul fitri dan 'idul adha dan hari-hari penting bagi umat islam dalam rangkaian ibadah).
4. Ats-Tsughur, (menjaga perbatasan wilayah kekuasaan kaum muslimin dari masuknya musuh-musuh islam dan muslimin)
5. Al-Hudud, (ditegakkannya hukum-hukum berdasar syari'at islam (hukum cambuk, potong tangan, rajam, qishos, penarikan zakat orang islam dan pajak bagi orang kafir, dll).
(dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam "Adab Hasan Al-Bashri" dan Ibnu Rojab dalam "Jami'ul Ulum wal Hikam)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti' (8/12): Imam adalah penguasa tertinggi dalam Negara, tidak disyari'atkan ia harus seorang imam bagi seluruh kaum muslimin, karena Imam yang umum telah hilang semenjak lama, dan Nabi Saw bersabda: "Dengar dan taatlah sekalipun kamu diperintah oleh seorang budak Habsyi".
Syaikh 'Abdussalam bin Barjas dalam bukunya "Al Amru bi luzumi Jama'atil Muslimin wa Imamihim wat Tahziru min Mufaroqatihim" mengatakan; "Pemerintahan kerajaan Saudi Arabia - misalnya – adalah jama'ah muslimin di wilayah ini, wajib untuk ditaati dalam perkara ketaatan kepada Alloh  dan Rosululloh  serta haram keluar melakukan penentangan terhadap pemimpin kaum muslimin yang berkuasa di wilayah tersebut".
Demikian pengertian Imam berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits serta sederet penjelasan para ulama ahlus sunnah yang berlandaskan dengan dalil-dalil yang shohih, dan yang demikian ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan sedikitpun di antara mereka. Adapun orang-orang yang tidak memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits serta tidak mengikuti para ulama salaf, mereka adalah orang-orang jahil yang berfikir dan berbuat di atas kejahilan oleh karena itu mereka sesat dan menyesatkan umat islam.

SIFAT-SIFAT IMAM YANG MUSLIM
Telah dijelaskan dalam hadits Rosululloh  bahwa ; Tidak akan ada nabi lagi sepeninggal Beliau, karena Muhammad  adalah penutup para Nabi, tetapi akan ada sesudah Beliau yaitu para kholifah dalam jumlah yang banyak. Sedangkan para kholifah yang terbimbing dan mendapatkan petunjuk berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yakni sejak kholifah Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan kholifah Ali bin Abi Tholib ridhiallohu 'anhum.
Adapun para Kholifah atau Imam sesudah Khulafa'ur Rosyiddin Al-Mahdiyyin sampai dengan didatangkannya Imam Mahdi dan Al-Masih Isa bin Maryam yang akan memimpin kaum muslimin sebagai kholifah di akhir zaman, sebagian di antara mereka digolongkan sebagai Imam yang sholih atau bertaqwa dan sebagian lainnya digolongkan sebagai Imam yang fasik atau fajir.
Berdasarkan hadits-hadits yang shohih maka sifat Imam atau penguasa muslim ini dapat digolongan menjadi dua yakni yang pertama adalah Imam yang adil dan takwa dengan berbagai tingkat keadilan dan ketakwaan di antara mereka dan yang kedua adalah Imam yang zolim dan fasik dengan berbagai tingkat kezoliman dan kefasikan di antara mereka.

1. IMAM yang Baik, Adil & Bertakwa
Rosululloh  bersabda:

فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ, كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ... (رواه مسلم)
"... Apabila Ia (Imam) memerintah dengan takwa dan berlaku adil, maka Ia akan mendapatkan pahala karenanya...". (HR. Muslim)
Dari Auf bin Malik Al-Asyja'iy berkata saya mendengar Rosululloh  bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ... (رواه مسلم و أحمد)
"Sebaik-baik Imam kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendo'akan mereka dan mereka mendo'akan kalian...".(HR. Muslim dan Ahmad)
Imam yang adil dan yang menyuruh manusia dengan takwa, yang mencintai rakyatnya serta mendo'akannya adalah sebaik-baik Imam bagi kaum muslimin. Namun hadirnya Imam yang adil merupakan hubungan sebab akibat yang tidak bisa berdiri sendiri. Jika masyarakat dalam suatu negeri didominasi oleh orang-orang yang bertauhid, sholeh dan bertakwa maka mereka akan menjadikan orang yang paling baik di antara mereka menjadi pemimpin, maka lahirlah Imam yang adil dan berbuat kebaikan. Sebaliknya jika masyarakat dalam suatu negeri didominasi oleh orang-orang yang jahil, berbuat syirik dan berbuat banyak kerusakan-kerusakan maka mereka juga akan menjadikan pemimpin bagi mereka orang yang sepadan di antara mereka, maka lahirlah pula Imam yang fajir dan fasik.

2. IMAM yang Jelek, Zolim & Berbuat dosa
وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه مسلم)
"...Dan apabila Ia (imam) memerintah dengan yang selainnya (bukan dengan taqwa dan berlaku adil) Ia akan mendapatkan balasan dari (perbuatan) nya".(HR. Muslim)
Dari Auf bin Malik Al-Asyja'iy berkata saya mendengar Rosululloh  bersabda:
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ... (رواه مسلم و أحمد)
"Dan seburuk-buruk Imam kalian adalah yang kalian benci kepada mereka dan mereka membenci terhadap kalian dan kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian...". (HR. Muslim dan Ahmad)
Ahlus sunnah dan para pengikutnya menerima secara syar'i adanya Imam yang adil atau bertakwa dan juga Imam yang zolim atau fasik. Adanya Imam yang adil wajib disyukuri dan datangnya Imam yang zolim wajib kita shobar dalam keta'atan yang ma'ruf.
Sekalipun negeri Indonesia tidak seperti negeri Saudi Arabia namun penguasa negeri ini tidak pernah menghalangi kaum muslimin untuk masuk surga, bertauhid tidak dilarang, sholat lima waktu selalu dikumandangkan adzan, sholat jum'at dan sholat hari raya diselenggarakan, puasa yang wajib dan yang sunnah dipersilahkan, zakat diselenggarakan, infaq mau sebesar gunung uhud pemerintah tidak melarang, ta'lim mau setiap hari tidak ada yang melarang, bagi wanita berjilbab dan bercadar juga tidak dilarang, demikian seterusnya terbuka di negeri ini untuk beramal dengan islam yang sebenar-benarnya.
Akan tetapi orang-orang jahil dan pengikut hawa nafsu mereka datang merusak kebersamaan dan keindahan kaum muslimin di negeri ini. Mereka memecah-belah persatuan umat islam dengan mendeklarasikan partai-partai islam dan kelompok-kelompok islam. Pola pikir yang demikian adalah warisan dari prinsip khowarij dan mu'tazilah yang tidak mau menerima adanya Imam yang zolim atau fasik. Padahal Rosululloh  telah bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)
"Bakal ada sesudahku pemimpin-pemimpin yang tidak berpetunjuk dengan petunjukku dan tidak berjalan dengan sunnahku. Dan di tengah mereka akan bangkit orang-orang yang hati mereka seperti hati syaitan-syaitan dalam bentuk manusia." Aku (Hudzaifah) bertanya, apa yang harus saya lakukan ya Rasulullah, kalau saya menjumpai hal itu? Beliau bersabda: "Engkau harus mendengar dan mentaati pemimpin dan jikapun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka dengarlah dan taatlah." (HR. Muslim)
Janganlah sekali-kali kaum muslimin terpedaya dengan bisikan syaitan yang mengalir pada pemikiran sebagian para da'I yang sering mengatasnamakan jihad, mengingkari thoghut dan menegakkan syariat islam dengan mengingkari ketaatan kepada para penguasa yang zolim.
Hadits di atas sesungguhnya sudah sangat jelas menerangkan bagaimana kaum muslimin menyikapi para Imam atau para penguasa yang zolim, yakni Rosululloh  memerintahkan agar kaum muslimin tetap untuk mendengar dan taat kepada Amir sekalipun mereka memukul punggung dan merampas harta rakyatnya. Dan hadits di atas adalah menggambarkan sosok penguasa yang amat zolim.

IMAM TIDAK HARUS SATU BAGI SELURUH MUSLIMIN DI DUNIA
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy- Syaikh Utsaimin rohimahulloh beliau berkata: Imam adalah penguasa tertinggi dalam Negara, tidak disyari'atkan ia harus seorang imam bagi seluruh kaum muslimin, karena Imam yang umum telah hilang semenjak lama, dan Nabi Saw bersabda: "Dengar dan taatlah sekalipun kamu diperintah oleh seorang budak Habsyi". (Syarhul Mumti' (8/12)
Apa yang telah diucapkan oleh seorang ulama besar yakni Asy-Syaikh adalah merupakan perkara yang telah dipahami oleh para ulama ahlus sunnah wal jama'ah dari generasi pertama hingga akhir zaman, oleh karena itu pernyataan Asy-Syaikh tadi tidak ada dari kalangan para ulama yang membantahnya kecuali orang dungu keturunan khowarij.
Prinsip yang harus dipegang dalam agama Islam adalah manusia harus memiliki Imam baik imam yang adil maupun yang durhaka, dan imam adalah penguasa tertinggi dalam sebuah Negara yang berdaulat, apakah negara itu menjadi satu di dunia atau terbagi-bagi menjadi beberapa daerah kekuasaan.
Kalau lafadz Imam, sulthon, malik, kholifah, ulil amri dan seterusnya dalam ayat Al-Qur'an dan banyak hadits bukan untuk penyebutan penguasa negara, maka apa istilah para penguasa negara itu dalam Al-Islam? Bagaimana sikap kita kepada penguasa negara? Sedangakan seorang budak dan pembantu saja disebutkan dalam Al-Qur'an dan Al-hadits, bahkan binatang melata saja di sana juga disebutkan.
Para pengikut hawa nafsu ahlu bid'ah punya hobi suka mengada-ada dalam urusan islam dan tidak mau menerima kebenaran hadits-hadits Rosululloh  yang telah dijelaskan oleh para ulama sebagai pewaris para nabi.
Mereka menghendaki kholifah yang tunggal bagi dunia islam, semangat juangnya tinggi tapi tidak mau belajar islam kepada para ulama. Sebagian di antara mereka ada yang terus-menerus melakukan sosialisasi kepada kaum muslimin dan mengadakan konferensi atau kongres khilafah di mana-mana untuk kembali menegakkan khilafah yang tunggal. Sebagian yang lain berijtihad untuk memperjuangkan islam melalui partai politik. Sebagian lagi ada yang berkumpul-kumpul di tingkat RT kemudian mereka sepakat mengakat salah seorang di antara mereka menjadi Imam atau kholifah bagi seluruh muslimin. Padahal yang berkumpul dan mengangkat kholifah hanya segelintir orang yang tak dikenal oleh dunia islam, tapi dengan sombongnya mereka mengaku sebagai Ahlul halli wal aqdi dan berbicara mengatasnamakan Islam dan kaum muslimin yang berjumlah hampir 1.5 Milyar di dunia ini. Ini adalah kedustaan dan kedunguan dalam berijtihad padahal tidak ada seorang ulamapun ada ditengah-tengah mereka. Oleh karena itu ijtihad mereka senantiasa diliputi kegelapan dan kesesatan karena mereka berijtihad dengan tanpa ilmu.
Hingga dengan hari ini para Imam palsu dan para da'I dari keempat kelompok sesat di atas tidak berani berdakwah kepada para ulama. Orang jahil memang hanya mampu berdakwah kepada orang yang lebih jahil oleh karenanya yang menjadi sasaran dakwah mereka adalah orang-orang jahil yang sedang tersesat, nasib mereka ibarat peribahasa keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.

WAJIBNYA TAAT KEPADA IMAM
1. Dalil-dalil dari Al-Qur'an
Alloh  berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan menjadikan (manusia) di muka bumi sebagai penguasa".(QS. Al-Baqarah: 30)
Alloh  tidak begitu saja menciptakan kehidupan manusia di dunia ini tanpa keteraturan dan kedamaian bagi penghuninya. Oleh karena itu agar kehidupan antar umat manusia di dunia saling kenal dan dapat bekerjasama satu dengan yang lainnya maka Alloh  jadikan sebagian di antara mereka menjadi pemimpin atau penguasa bagi sebagian yang lainnya.
Dijadikannya pemimpin atau penguasa bagi sebagian yang lain tidak lain agar masyarakat dapat hidup tentram dan damai di bawah penguasa. Untuk itu kebaradaan penguasa yang muslim adalah merupakan keharusan yang wajib ditaati perintah-perintahnya bagi masyarakat muslim dalam perkara yang ma'ruf.
Alloh  berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ...
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...". (QS. An-Nisaa': 59)
Adapun yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Penguasa Muslim (kepala negara/kholifah/raja) dan para Ulama yang mengikuti manhaj para sahabat, hal ini sesuai dengan tafsir para ahli tafsir dan ahli ilmi dari kalangan salaf sebagaimana penjelasan mereka sebagai berikut:
Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir رحمه الله :"Tampaknya – wallahu 'alam – ayat ini umum mencakup seluruh ulil amri, apakah dari kalangan para penguasa ataupun para ulama". (Tafsir Qur'anil Adzim, juz 1, hal 530, Darul Ma'rifah, Bairut, cetakan pertama)
Berkata Ibnu Taimiyah رحمه الله : "Ulil amri ada dua golongan, para ulama dan para penguasa". (Majmu' Fatawa juz 28, hal 170, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kairo, Mesir)

2. Dalil-dalil dari Al-Hadits
Rosululloh  bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ...
"Aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar bertakwa kepada Alloh  , mendengar dan taat (kepada imam) sekalipun yang memimpin kalian seorang budak habasyi...". (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Beliau  juga bersabda:
...تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)
"...Kalian (wajib) mendengar dan taat kepada Amir jikapun dipukul punggungmu dan dirampas hartamu dengarlah dan taatlah". (HR. Muslim)

3. Konsensus para Ulama
Abul Hasan Al-Asy'ari –Tatkala menyebutkan perkara-perkara yang merupakan ijma' para -Salafus Sholih- berkata, "Ijma' ke empat puluh delapan. Mereka (para salaf) berijma' untuk senantiasa setia mendengar dan taat kepada para penguasa kaum muslimin, dan barang siapa yang berhasil menguasai pemerintahan kaum muslimin baik dengan cara yang diridhoi atau dengan cara kudeta dan akhirnya kekuasaan berada padanya –baik ia adalah orang baik maupun jahat- maka tidak boleh untuk memberontak dengan mengangkat senjata kepadanya baik ia berlaku jahat atau adil. Dan wajib untuk berperang bersama mereka (para penguasa) melawan musuh…". (Risaalah ila Ahli Ats-Tsaghr 296-297)
Imam An-Nawawi berkata: "Adapun memberontak dan memerangi para penguasa maka (hukumnya) haram dengan dasar ijma' (konsensus) kaum muslimin, meskipun mereka (para penguasa) adalah orang-orang yang fasik dan zalim. Dan sangat banyak hadits-hadits yang semakna dengan apa yang saya sebutkan ini. Ahlus Sunnah telah ijma' (berkonsensus) bahwasanya seorang penguasa tidaklah serta merta terlepas kekuasaannya hanya karena ia melakukan kefasikan." (Syarh Shahih Muslim 12/229)
Ibnul Qayyim juga berkata, "Pasal tentang apa yang merupakan ijma' (konsensus) umat dari perkara-perkara aqidah (as sunnah). Tentang perkara-perkara agama dari sunnah-sunnah yang telah disepakati oleh umat dan penyelisihan terhadap perkara-perkara ini adalah bid'ah dan dhalalah (kesesatan)…." [Ijtimaa' Al-Juyuusy Al-Islaamiyah hal 83]. Kemudian beliau menyebutkan perkara-perkara yang merupakan konsensus tersebut di antaranya… : "Setia mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin dan setiap orang yang menjadi penguasa urusan kaum muslimin baik dengan kekuasaan itu ia peroleh dengan keridha-an ataupun dengan cara kudeta dan keras pijakannya baik dari pemimpin yang baik (sholeh) maupun fajir. Maka tidak boleh memberontak kepadanya baik dia (seorang penguasa yang) zalim ataupun yang adil…". (Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah hal 86)

BATAS-BATAS KETA'ATAN KEPADA IMAM

1. Selama Penguasa Muslim Masih Menegakkan Sholat
Dari Auf bin Malik Al-Asyja'iy berkata :

قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
"Kami berkata ya Rosulalloh ; 'Apakah tidak kami perangi saja mereka (para imam yang jahat) apabila kami menjumpai yang demikian? Berkata Rosululloh  ; 'Tidak selagi mereka menegakkan sholat di tengah-tengah kalian, Tidak selagi mereka menegakkan sholat di tengah-tengah kalian...". (HR. Muslim dan Ahmad)
Hadits di atas menjelaskan bahwa; jika seorang Imam bermaksiat kepada Alloh  seperti berbuat murka dan melaknati kepada rakyatnya, berlaku kejam dan tidak adil atau yang semisalnya maka kefasikan atau kezoliman seorang Imam tidak dapat menggugurkan kewajiban rakyat untuk mentaati perintahnya selama mereka masih menegakkan sholat bersama rakyatnya.
Kalimat "menegakkan sholat di tengah-tengah kalian" pada hadits di atas tidak bisa dikinayahkan dengan "menegakkan hukum-hukum islam di tengah-tengah kalian". Ini adalah pemahaman sesat gaya mu'tazilah.

2. Sekalipun menampakkan Kemaksiatan Tetapi Tidak Menampakkan Kekufuran
Rosululloh  bersabda:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)

"Engkau harus mendengar dan mentaati pemimpin dan jikapun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka dengarlah dan taatlah." (HR. Muslim)
Hadits di atas memberikan contoh yang lebih kongrit lagi terhadap batas-batas ketaatan yaitu jikapun seorang penguasa berlaku sewenang-wenang semisal memukul punggung rakyatnya dan merampas harta rakyatnya maka rakyat tetap wajib mendengar dan taat kepada Imam yang masih muslim dan tidak menampakkan kekafirannya.
Rosululloh  bersabda:

أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم و أحمد)
"Ingatlah barang siapa yang dipimpin oleh seorang Imam kemudian dia melihat sesuatu yang tidak disukai dari memaksiati Alloh maka bencilah terhadap kemaksiatannya kepada Alloh dan janganlah ia melepaskan tangan dari keta'atan". (HR. Muslim dan Ahmad)
Hadits ini nampak sangat jelas bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh Imam atau penguasa tidak serta-merta menghalalkan untuk memeranginya atau menggulingkannya ataupun memisahkan diri dari penguasa dengan mengangkat Imam tandingan untuk menyusun kekuatan, membentuk dan membangun jama'ah tertentu dengan mengatasnamakan persatuan dan sebagainya.

3. Selama Perintahnya Adalah Perkara Yang Ma'ruf & Bukan Perintah Untuk Bermaksiat
Alloh  berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ...
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...". (QS. An-Nisaa: 59)
Orang-orang beriman diperintahkan agar mentaati perintah-perintah Alloh  dan Rosul-Nya secara mutlak. Karena kebenaran adalah segala sesuatu yang datang dari Alloh , perintah-Nya pasti benar dan tidak mungkin salah. Dan Rosul-Nya adalah hamba Alloh yang ma'sum yakni terpelihara dari kesalahan.
Adapun manusia selain nabi dan rosul seperti Imam atau ulil amri mereka bukanlah manusia yang ma'sum, oleh karena itu pada ayat di atas lafadz ulil amri tidak diawali dengan kalimat - atii'uu – sebagaimana lafadz Alloh dan Rosul hal ini menunjukkan bahwa ketaatan seorang muslim kepada ulil amri tidak bersifat mutlak tetapi hal itu hanya sebatas dalam perkara yang ma'ruf.
Rosululloh  :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
"Tidak ada ketaatan (kepada imam) dalam bermaksiat kepada Alloh  sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma'ruf". (HR. Muslim)
Rosululloh  bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Mendengar dan taatlah dengan sebenar-benarnya selama tidak diperintah dengan maksiat, apabila dia memerintah dengan maksiat maka janganlah mendengar dan jangan pula taat". (HR. Bukhori)
Rosululloh  telah bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada Alloh azza wa jall".(HR. Ahmad)


IMAM YANG BOLEH DIPERANGI/DIGULINGKAN

1. Telah Nyata Kekufurannya
Diriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayyah  dia berkata: kami masuk kerumah Ubadah bin Ash-Shomit  ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya, "Sampaikan hadits kepada kami semoga Alloh  menyehatkan engkau dengan hadits yang kau dengar dari Rosululloh  yang Alloh akan memberikan manfaat dengannya untuk kami, maka iapun berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi  memanggil kami kemudian kami membai'atnya dan di antara bai'atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) ketika kami suka maupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperbuat tidak adil, serta agar kami tidak mencabut (memberontak) kepemimpinan dari yang menjabatnya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dimana kalian memiliki bukti dalam hal ini dari Alloh". (HR. Bukhori dan Muslim)

2. Terang-terangan Meninggalkan sholat
Dari Auf bin Malik Al-Asyja'iy berkata :
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
"Kami berkata ya Rosulalloh ; 'Apakah tidak kami perangi saja mereka (para imam yang jahat) apabila kami menjumpai yang demikian? Berkata Rosululloh  ; 'Tidak selagi mereka menegakkan sholat pada kalian, Tidak selagi mereka menegakkan sholat pada kalian...". (HR. Muslim dan Ahmad)
Pada hadits di atas telah dijelaskan ketika para sahabat menyampaikan keinginan untuk memerangi Imam atau penguasa yang fajir dan yang zolim maka Rosululloh  mencegahnya dengan catatan selagi Imam tadi masih mengerjakan sholat. Sholatnya seseorang adalah sebagai pembeda antara orang yang muslim dan orang yang kafir. Oleh karena itu salah satu yang menjadi penghalang bagi Imam utnuk diperangi adalah jika ia masih mengerjakan sholat, dengan kata lain apabila sang Imam tadi nyata-nyata meninggalkan sholat dan menjadi sebab ia menjadi kafir maka hal ini boleh saja bagi Imam tadi untuk diperangi atau digulingkan.

3. Tidak Menimbulkan Mudhorot Yang Lebih Besar
Dalam perkara ini merupakan kaidah dalam agama bahwa menghilangkan kemungkaran tidak boleh dengan mendatangkan kemungkaran yang serupa, apalagi dengan mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Oleh karena itu memerangi Imam atau penguasa yang telah nyata kekufurannya tetap tidak diperbolehkan apabila akan menimbulkan mudhorot yang lebih besar yakni mengakibatkan banyaknya korban harta, darah dan nyawa di pihak kaum muslimin karena kekuatan imam dan pasukannya jauh lebih besar dari pada kaum muslimin. Dan terlebih-lebih lagi manakala Imam atau penguasa masih didukung oleh sebagian besar kaum muslimin hal ini akan mengakibatkan pertumpahan darah sesama muslim.
Al-Imam Ibnul Qoyiim rohimahulloh dalam hal ini memberikan penjelasan; "Jika mengingkari kemungkaran terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci lloh  dan Rosul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Alloh  membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya. Hal ini seperti pengingkaran kepada para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa...". (I'lamul Muwaqqi'in, 3/6)

SEMUA KELOMPOK (HIZB) YANG DIADA-ADAKAN SEPENINGGAL RASULULLOH  ADALAH PERKARA BID'AH YANG SESAT DAN MENYESATKAN

Ahlussunnah, Al-Jama'ah, Jama'ah Muslimin, Thoifah Manshuroh, Firqotun Najiyyah dan yang semisalnya bukanlah sebuah nama kelompok atau organisasi hizbiyyin yang sering ditulis pada bendera, papan nama, kartu nama, kop surat dan lain seterusnya sebagai lambang kebanggaan bagi kelompoknya yang bersifat hizbiyyah dan eksklusif. Akan tetapi semua nama-nama tersebut adalah merupakan julukan atau sebutan bagi orang-orang yang setia mengikuti sunnah Rosululloh  dan sunnah para sahabatnya, oleh karena itu ia merupakan suatu manhaj yang bersifat inklusif, universal, terbuka dan tidak dibatasi oleh ruang organisasi atau kelompok.
Sebagai contoh dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dalam potongan hadits yang panjang Rosululloh  berkata kepada sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman  : "Talzamu Jama'atal muslimiina wa Imaamahum" potongan hadits ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah " Engkau tetap pada pemerintahan kaum muslimin dan pemimpinnya". Bukan perintah kepada Wali Al-Fattaah untuk merubah nama firqoh "Gerakan Islam Hizbulloh" menjadi kelompok yang bernama Jama'atul Muslimin apalagi ditambahi Hizbulloh, kemudian nama Jama'ah Muslimin (Hizbulloh) dibuat label, stempel atau kop surat dan seterusnya. Demikian itu hanyalah ide-ide lucu dari seorang wartawan dan Doktor ahli berpolitik yang menggabung-gabungkan ayat dan hadits untuk mencocoki apa yang dimaui sendiri tanpa mau belajar kepada para ulama sebagai pewaris para Nabi, tempat kaum muslimin bertanya yang diibaratkan oleh Nabi  seperti bulan yang menerangi bumi.
Demikian pula pada hadits yang menjelaskan tentang golongan yang selamat Rosululloh  menjawab pertanyaan sahabat dengan sabdanya: هِيَ الْجَماَعَةُ "Mereka itu adalah Al-jama'ah" dan dalam riwayat lain مَنْ كَانَ عَلَ مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيْوْمَ وَأَصْحَابِيْ "Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku pada hari ini". Jadi Al-jama'ah bukanlah sebuah nama perkumpulan atau kelompok tertentu akan tetapi dijelaskan oleh hadits yang lain yaitu orang-orang yang mengikuti Rosululloh  dan para sahabatnya seperti yang mereka lakukan pada hari itu kemudian diikuti oleh para tabi'in, tabi'ut tabiin dan seterusnya mereka diikuti oleh orang-orang yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Lahirnya jama'ah-jama'ah dari kelompok muslimin yang menjamur khususnya di Indonesia tidak lain disebabkan karena kejahilan mereka dalam memperjuangkan Al-Islam ini. Padahal tidak ada satu ayat dan haditspun yang menyuruh kepada kaum muslimin untuk membentuk, mendirikan suatu kelompok atau jama'ah umat islam dimana setiap kelompok mengangkat imam/amir bagi kelompoknya dengan menyelisihi pemerintahan muslim yang sah. Perbuatan seperti ini bahkan suatu perkara yang sangat tercela karena menyebabkan umat islam menjadi terpecah-belah dan terkotak-kotak. Juga tidak ada satu ayat atau haditspun yang memberitahukan akan adanya Nabi atau Rosul baru setelah Nabi dan Rosululloh Muhammad .
Sebaliknya yang diperintahkan Alloh  dan Rosul-Nya adalah agar kaum muslimin seluruhnya berpegang-teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetap taat kepada penguasa kaum muslimin di manapun mereka berada dan mengikuti jama'ah muslimin generasi pertama umat islam, yakni jama'ah para sahabat Rosululloh  yang kemudian diikuti oleh jama'ah generasi berikutnya secara terus-menerus dan turun-temurun hingga akhir zaman. Jadi al-jama'ah atau maa ana 'alaihil yaum wa ashhaabii sebagai golongan yang selamat sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang perpecahan umat, maksudnya adalah jama'ah para sahabat yang secara terus-menerus dan turun-temurun senantiasa ada dan tidak pernah hilang, adapun anggapan bahwa al-jama'ah telah hilang sejak berakhirnya Kholifah Rosyidah adalah anggapan yang jahil, sesat dan bertentangan dengan banyak hadits sebagaimana Rosululloh  mengatakan:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى كَذَلِكَ
"Akan senantiasa ada (tidak akan hilang) di antara ummatku sekelompok orang yang eksis di atas kebenaran (al-jama'ah/thoifah al-manshuroh), tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas cukup banyak jumlahnya, adapun maksud hadits tersebut adalah bahwa kelompok muslimin yang mereka di atas kebenaran senantiasa ada sepanjang zaman, yaitu sejak zaman Rosululloh  hingga akhir zaman (mendekati hari kiamat), mereka tidak pernah terputus apalagi menghilang sekalipun orang-orang yang tidak suka mencercanya, mengucilkannya dan menelantarkannya, mereka tetap senantiasa di atas kebenaran sekalipun ia seorang diri. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas'ud bahwa ; "Al-jama'ah adalah siapa-siapa yang di atas kebenaran sekalipun ia seorang diri". Adapun orang-orang yang jahil dan pengikut al-ahwa memahami al-jama'ah adalah sebuah jama'ah tertentu yang apabila orang masuk ke dalam jama'ahnya mereka semua akan masuk surga satu paket dengan Imamnya. Yang demikian karena mereka memahami hadits dengan hawa nafsunya sendiri, bisanya cuma mendoktrin selamat bagi jama'ahnya. Cara-cara seperti ini persis seperti cara-cara para pendeta nasrani dalam berdakwah kepada manusia.
Sebagaimana agama nasrani telah dijelaskan dalam hadits Rosululloh  akan berpecah-belah menjadi 72 golongan maka mereka kaum muslimin yang memisahkan diri dari penguasa muslim juga akan berpecah-belah menjadi 72 golongan dan nasib mereka semua sama yakni sama-sama berada di dalam neraka.
Sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan kelompok penegak kebenaran yang selamat (thoifah al-manshuroh) adalah para 'ulama ahli hadits yang dimulai sejak zaman para sahabat, zaman tabi'in, zaman tabi'ut tabi'in dan semua kaum muslimin yang mengikuti manhaj mereka dengan baik sampai dengan datangnya hari kiamat.
Berkata Musa bin Harun rohimahulloh :Aku telah mendengar Ahmad bin Hambal rohimahulloh ketika ditanya tentang hadits yang berbunyi "Umat akan berpecah menjadi 73 golongan, semua masuk neraka kecuali satu golongan". Beliau mengatakan: "Jika yang dimaksud bukan thoifah al-manshuroh yakni - ahli hadits – maka aku tidak tahu lagi siapa mereka ini". (diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Ma'rifah ulumul hadits)
Hal ini berbeda dengan apa yang sering dipahami oleh orang-orang jahil yang mengatakan bahwa al-jama'ah adalah jama'atul muslimin wa imaamhum yang telah hilang sejak berakhirnya Khulafa'ur Rosyiddin atau sebagian muslimin lain menyatakan setelah berakhirnya Khilafah Turki Utsmani. Kemudian sebagian kelompok ahli bai'at menyatakan bahwa Al-Jama'ah ini telah ditetapi kembali pada tahun 1953 setelah Wali Al-Fattaah dibai'at sebagi satu-satunya Imamul Muslimin yang sah sesuai syari'at. Sedangkan kelompok Nurhasan Ubaidah mengklaim telah menetapi Al-Jama'ah sejak tahun 1941 dengan mem-BAI'AT Nurhasan Ubaidah sebagai Amirul muslimin oleh sebagian muslimin. Kedua kelompok tersebut masing-masing mengklaim sebagai Imam bagi Muslimin yang sah sedangkan kepemimpinan selain daripadanya adalah batil. Padahal kalau keduanya mau iman dan patuh dengan hadits Rosululloh  apabila dalam suatu negeri ada dua kholifah yang dibai'at maka ada perintah bagi kholifah yang pertama dibai'at untuk membunuh atau memerangi kholifah yang kedua agar umat islam tidak berpecah-belah. Oleh karena itulah Rosululloh  bersabda:
إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
"Apabila dibai'at dua orang Khalifah (dalam satu wilayah kekuasaan), maka bunuhlah (Khalifah) yang terakhir dari antara keduanya". (HR. Muslim)
Hadits di atas tidak bisa diamalkan oleh kedua imam palsu itu, mengapa ? Karena memang keduanya bukanlahlah imam yang dimaukan oleh Rosululloh . Adapun yang dimaukan oleh Rosululloh  adalah apabila telah ditetapkan seorang imam yang berkuasa dalam suatu negeri dengan bai'at oleh ahlul hall wal aqdi kemudian datang sekolompok pemberontak yang juga mengakat Imam atau kholifah maka imam yang pertama berkuasa tadi bersama kaum muslimin dan pasukannya wajib memerangi mereka agar kesatuan dan persatuan muslimin tidak terpecah-belah oleh dualisme kepemimpinan. Jika dibiarkan ada dualisme kepemimpinan dalam satu negeri maka akan mengakibatkan permusuhan dan pertumpahan darah sesama muslim yang lebih besar dan berkepanjangan. Inilah pemahaman yang benar, yang telah dipahami oleh salafus sholih dan pengikut ahlussunnah sampai akhir zaman.
Adapun cara-cara hizbiyyin dan ahli bid'ah dalam memperjuangkan islam mereka tidak mengikuti salafus sholih akan tetapi mengikuti hawa nafsunya dengan mengatasnamakan syari'at islam, mereka saling memperebutkan kepemimpinan, masing-masing mengklaim sebagai imam yang sah dan yang lainya adalah batil. Padahal kalau mau mencari siapa di antara mereka yang lebih awal di-BAI'AT menjadi Imam, maka Mirza Ghulam Ahmadlah yang lebih sah menjadi Imam, bahkan dia mengaku sebagai Nabi serta Imam Mahdi, jadi lebih lengkap dan sempurna.
Demikian pula jama'ah-jama'ah takfiri dari kalangan muslimin yang lainnya di seluruh dunia semua berkeyakinan hanya jama'ah merekalah yang paling benar dan selainnya adalah batil, musyrik atau kafir. Ini adalah pemahaman yang ngawur dan serampangan dan telah keluar dari manhaj para As-salafus sholih.
Janganlah heran wahai kaum muslimin jika di zaman sekarang ada banyak orang yang mengaku-ngaku dengan kejahilannya sebagai Kholifah atau sebagai Nabi baru bahkan ada di antara mereka yang mengaku sebagai Rosul baru sebagaimana pimpinan kelompok al-qiyadah al-islamiyah, mereka semua sesungguhnya hanyalah kholifah gembel, nabi palsu dan rosul gadungan yang bukan pada tempatnya bagi muslimin untuk mengimaninya apalagi menta'atinya, na'udzubillah min dzalik.
Kesesatan para imam palsu ini dikarenakan mereka memahami islam dengan ro'yunya dan keluar dari pemahaman para sahabat dan para tabi'in serta para tabi'ut tabi'in. Seandainya saja mereka mau bersabar sedikit kemudian belajar dengan teliti kepada generasi terbaik umat ini dan tidak terburu-buru menakar islam dengan ro'yunya tentu mereka akan memahami makna Jama'ah, Imaamah dan Bai'at ini dengan benar. Sebagaimana penjelasan di muka Imaam Hasan Bashri rahimahulloh mengatakan: "Para penguasa (Imaam) itu memerintah dan mengurusi 5 perkara kita sebagai umatnya:
1. Al-Jum'ah, didirikan sholat jum'ah
2. A-Jama'ah, didirikan sholat 5 waktu berjama'ah
3. Al-A'yad, pengurusan tentang hari raya (menetapkan tanggal qomariyah)
4. Ats-Tsughur, penjagaan perbatasan wilayah kekuasaan kaum muslimin
5. Al-Hudud, ditegakkannya hukum-hukum berdasar syari'at islam.
Demikian pemahaman yang benar tentang tanggung jawab seorang Imam bagi kaum muslimin yang padanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang penguasa yang memiliki wilayah dan menegakkan hudud untuk kemaslahatan umat. Seandainya saja para Imam palsu juga mau bersabar sedikit kemudian membuka lembaran sejarah umat islam ini sejak zaman khulafa'ur Rosyidin hingga zaman kekhilafahan Turki Utsmani tentu mereka akan paham siapa para Imam kaum muslimin dan bagaimana keadaan mereka.
Kita semua sepakat bahwa mereka adalah para pemimpin umat yang berkuasa atas daerah kekuasaannya dan mereka juga menegakkan hudud. Kita juga akan mendapati pula sebagian mereka ada penguasa yang adil dan ada juga yang dzolim, di antara mereka ada penguasa yang beraqidah ahlussunnah dan ada juga yang beraqidah mu'tazilah, ada penguasa yang mendapatkannya dengan keridhoan Alloh  (dibai'at oleh ahli hall wal aqdi) dan ada juga penguasa yang merebutnya dengan pedang (kudeta yang menumpahkan darah kaum muslimin). Dan tidak ada satupun diantara mereka yang disebut Imaam atau Kholifah yang pada mereka tidak memiliki daerah kekuasaan serta tidak menegakkan hudud. Tidak pernah dianggap Imam seorang yang memimpin sebagian umat Islam dengan tidak memiliki daerah kekuasaanya dan tidak membuktikan penegakkan hudud.
Para sahabat dan juga generasi yang mengikutinya dengan ihsan telah sepakat untuk tetap ta'at terhadap Imam (penguasa) yang dzolim, yang bermaksiat dan yang mereka merubah hukum Alloh  sebagaimana telah dicontohkan oleh sahabat yang mulia Ibnu Umar  ketika beliau membai'at Abdul Malik bin Marwan, padahal Abdul Malik bin Marwan menjadi kholifah dengan cara menumpahkan darah kaum muslimin, memberontak Ibnu Zubaer sebagai kholifah yang yang sah bahkan beliau berhasil membunuhnya melalui tangan Hajaj bin Yusuf sekalipun Ibnu Zubaer telah berlindung di Masjidil Harom.
Umat islam memang wajib memiliki Imam tetapi yang dimaksudkan dengan imam yaitu penguasa wilayah atau Waliyul Amri sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ahlussunnah dari kalangan Tabi'in Hasan Al-Bashri dan juga dijelaskan oleh Kholifah Ali bin Abi Tholib, beliau berkata: "Manusia harus memiliki kepemimpinan, baik kepemimpinan yang lurus maupun yang durhaka." Ditanyakan kepada beliau, "Wahai Amirul Mu'minin, orang yang memiliki kepemiminan yang baik sudah kami kenal, lalu bagaimana dengan kepemimpinan yang durhaka tersebut?" Ia menjawab, "Dengannya hudud ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh diperangi, dan harta fa'i dibagi-bagikan."
Adapun kepemimpinan Rosululloh Muhammad  yakni beliau diutus di tenggah-tengah masyarakat yang jahiliyah dan banyak berbuat syirik, sehingga dakwah yang beliau prioritaskan adalah mangajak umatnya kepada tauhid dan perbaikan akhlak sesuai dengan wahyu yang diterimanya secara bertahap. Alloh  tidak menghendaki mengutus seorang Rosul dari kalangan penguasa yang demikian itu karena Alloh  hendak menguji keimanan orang-orang yang mendengar dakwah tauhid ini dari seorang Rosul yang ummi dan bukan dari seorang bangsawan atau penguasa yang tentu saja mempunyai pengaruh dan power lebih besar dari pada seorang yang ummi. (Allohu Ta'ala A'lam)
Namun demikian di tengah perjalanan dakwahnya, Rosululloh  pernah ditawari sebagai Raja oleh penguasa musyrik Quraisy namun beliau menolaknya. Penolakan tersebut juga bukan berarti bahwa Rosululloh anti dengan kekuasaan akan tetapi lebih kepada konsekuensi dari dakwahnya apabila Beliau  menerima tawaran tersebut, yakni Beliau  harus berbaik hati dan bertoleransi dengan kaum musyrikin yang telah mengangkatnya menjadi raja sebagai bentuk balas budi. Tentu saja bukan demikian cara menebarkan dakwah tauhid kepada masyarakat, dakwah tauhid ini harus ditebarkan di atas syari'at dan tidak mencampurkan antara yang haq dan yang batil. Oleh karena itu Alloh berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholih bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi. Sebagaimana hal ini telah difirmankan oleh Alloh  dalam salah satu ayat-Nya yang berbunyi:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ...
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa...". (QS. An-Nuur : 55)
Dan janji itu benar-benar terbukti dimulai dari kota Madinah Rosululloh  mendapatkan tempat yang terhormat dimana beliau diterima oleh penduduk Madinah sebagai pemimpin setelah melakukan hijrah dari Mekah. Setelah kota Madinah dapat dikuasai, kemudian bersama kaum muslimin Beliau  berperang melawan kaum musyrikin Mekah yang memusuhi dakwah tauhid hingga kota itu dapat ditaklukan, dan dengan ijin Alloh  melalui penguasa Saudi Arabia yang mulia hingga hari ini dua kota suci yakni kota Madinah dan Mekah masih terlindungi menjadi tanah haram untuk dimasuki orang-orang kafir.
Keberhasilan Muhammad  mempimpin umat dengan tauhid sekaligus mempimpin manusia dengan menegakkan hudud sebagai penguasa membuktikan bahwa didatangkan Islam adalah sebagai ad-diin dan ad-daulah. Islam sebagai ad-diin dan juga sebagai ad-daulah juga terus diwujudkan oleh Khulafa'ur Rasyiddin dan para Imam setelah mereka. Memisahkan Islam sebagai ad-diin dan juga sebagai ad-daulah adalah termasuk sekularisme, dan paham inilah yang diamalkan oleh para Imam palsu yang hanya mengambil islam sebatas urusan sholat, infaq dan ukhuwah hizbiyyah (bukan ukhuwah islamiyah) tetapi meninggalkan kemaslahatan yang begitu besar bagi umat manusia.

KESESATAN-KESESATAN PARA IMAM PALSU

Mengajak Kepada Hizbiyah dan Perpecahan Umat
Sekalipun para IMAM PALSU dan JAMA'AHNYA, mereka sering berdakwah mengatasnamakan Syari'at Islam dan Persatuan, maka pada hakekatnya mereka justru berdakwah kepada kesesatan dan perpecahan umat. Para Imam Palsu dari kelompok Ahmadiyah, LDII dan Gerakan Hizbulloh yang berubah nama menjadi Jama'ah Muslimin (Hizbullah) dan Rosul Palsu Ahmad Moshaddiq, mereka berdakwah kepada muslimin agar mereka masuk ke dalam jama'ahnya, membai'at imamnya serta ta'at dan patuh kepadanya. Menganggap siapa saja diluar jama'ah mereka adalah batil, sesat bahkan ada yang menganggapnya kafir atau musyrik, yang demikian itu karena mereka berkeyakinan setiap muslim harus punya imam, kalau dia mati tidak memiliki imam maka matinya seperti bangkai jahiliyah dan imam yang dimasudkannya adalah hanya imam mereka saja. Oleh karenanya orang yang berbai'at kepada mereka diyakini dia telah mendapatkan hidayah, telah berhijrah dari kesesatan bahkan dikatakan dia telah taslim (selamat atau masuk islam) sekalipun para ahli bai'at tersebut hobinya merokok, motong jenggot, isbal, nonton televisi atau film-film drama cinta yang mengumbar aurat, mendengarkan musik, ikhtilat dan perbuatan-perbuatan jahil yang lain yang tidak pantas dilakukan oleh para pejuang yang sering mengatasnamakan syari'at dan persatuan muslimin.
Mereka memahami Imam atau Kholifah dengan kejahilannya kerena mereka memang bukan 'ulama oleh karena itu mereka sesat dan banyak menyesatkan umat islam. Sekali lagi bukan ayat atau haditsnya yang salah akan tetapi pemahaman mereka yang menyimpang dari apa yang telah dipahami oleh para sahabat, para tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Tidak ada satu sahabatpun, atau dari para tabi'in yang memahami bahwa Imam atau Kholifah adalah bukan penguasa dan tidak ada satupun para Imam atau Kholifah dari dulu hingga sekarang yang mereka itu bukan penguasa. Disebut Imam atau pemimpin karena mereka mempimpin umat dengan kekuasaannya dan memiliki daerah kekuasaan. Perintah hukum cambuk, potong tangan, rajam, qishosh, berperang adalah perintah syari'at yang sangat jelas kepada para penguasa kaum muslimin dan bukan kepada para imam palsu yang tidak punya kekuasaan.
Apabila dalam satu negeri terdapat 10 kelompok jama'ah yang dipimpin oleh para Imam palsu seperti ini dan mereka masing-masing memiliki senjata sedangkan di antara mereka tidak ada penguasa negri, maka tidak mustahil mereka akan saling berebut kekuasaan dan saling melancarkan perang sesama muslim. Inilah dakwah jahiliyah yang mengakibatkan lahirnya perpecahan umat bahkan dimungkinkan terjadinya peperangan dan pertumpahan darah sesama muslim. Sebagaimana hal ini terjadi di negeri Palestina, Somalia dan seterusnya.
Adapun Ahmad Moshoddiq yang bergelar Michael Muhdats atau Al-Masih Al-Maw'ud telah mengklaim dirinya sebagai Rosul baru yang menerima wahyu dari Alloh , oleh karena itu mereka menganggap kafir dan musyrik orang-orang yang tidak mengimani kerosulannya. Dalam kerosulannya yang baru Ia mengingkari adanya hadits-hadits Rosululloh Muhammad  yang shohih, kemudian Ia mencukupkan hanya perpedoman kepada Al-Qur'an dengan penafsirannya sendiri. Beberapa ajaran sesatnya adalah Ia telah merubah dua kalimat syahadat yang telah dijarkan oleh Muhammad Rosululloh  dan menggantinya dengan kalimat sebagai berikut "Aku bersaksi bahwa tiada yang hak untuk diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa anda Al-Masih Al-Maw'ud adalah utusan Alloh". (Ruhul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Muw'ud, edisi I, Februari 2007, oleh Michael Muhdats, hal 178)
Ia juga tidak mewajibkan kepada pemeluknya untuk mengerjakan sholat wajib lima waktu sebagaimana yang diajarkan oleh Muhammad  tetapi lebih mengutamakan sholat malam atau sholat tahajud. Pokok ajaran Rosul palsu ini adalah menghapus seluruh syari'at yang diajarkan oleh Muhammad  dan menghapus syiar-syiar Islam kecuali syaria't yang ada di dalam Al-Qur'an dengan penafsirannya sendiri.
Rosul palsu ini memiliki lima tahapan untuk mendakwahkan ajaran barunya yaitu sirron, jahron, hijrah, qital dan khilafah. Pada saat sekarang ini menurutnya masih dalam tahapan dakwah sirron dengan mencontoh dakwah Muhammad  selama tiga tahun pertama di mekah. Rosul palsu itu telah merencanakan akan melakukan hijroh pada tahun 2024 M dan setelah itu kemudian dia bersama pengikutnya akan memerangi orang-orang yang tidak mengimani kerosulannya. Kita do'akan saja semoga sebelum tahun 2024 Michael Muhdats, sang Rosul palsu itu sudah lebih dulu meninggal dunia dengan demikian para pengikutnya dapat menyadari kesesatannya dan dunia menjadi aman tanpa perang saudara sebagaimana yang ia rencanakan.
Alhamdulillah pada saat kami menulis tulisan ini, terdengar kabar bahwa sang Rosul Palsu Ahmad Musshoddiq telah menyerahkan diri kepada Ulil Amri (aparat kepolisian), namun demikian di masa yang akan datang aliran sesat ini akan lebih berbahaya dan mungkin akan terus berkembang setelah urusuan dengan pihak yang berwajib selesai. Karena semua tahu siapa dibalik seorang pensiunan PNS ini yang tiba-tiba mengaku sebagai Rosul.
Bila melihat apa yang diajarkan oleh Rosul palsu secara dhohir mereka hendak memadukan antara agama Islam dengan agama Nasrani, melakukan pemurtadan terhadap agama Islam secara halus dan mengajarkan agama Nasrani dengan mentakwil ayat-ayat Al-Qur'an.

Keyakinan di Luar Jama'ahnya Adalah Sesat, Kafir atau Musyrik
Setiap kelompok dari kaum muslimin yang di dalamnya ada Imam yang dibai'at oleh ma'mumnya untuk dita'ai perintahnya, pada hakekatnya mereka memiliki keyakinan yang sama bahwa muslimin yang berada di luar jama'ahnya adalah sesat, batil, bahkan ada yang sampai menghukumi kafir atau musyrik, yang demikian itu karena mereka salah dalam memahami syari'at Jama'ah, Imaamah dan Bai'at.
Adapun yang menjadi alasan bagi mereka para Imam-Imam palsu dan pengikutnya adalah hadits-hadits seperti di bawah ini:
Rosululloh  bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ
"Barangsiapa keluar dari al-jama'ah sejengkal saja sungguh dia telah melepaskan tali ikatan ke-Islaman dari lehernya." (HR.Ahmad)
Mereka memahami bahwa yang namanya keluar dari al-jama'ah adalah keluar dari jama'ah mereka, sehingga orang-orang yang keluar dari LDII, Jama'ah Muslimin (Hizbulloh), Ahmadiyah atau Al-Qiyadah Al-Islamiyah diyakini telah keluar dari Islam, atau murtad yakni kembali menjadi kafir. Sedangkan orang-orang ahli tauhid dan para 'ulama ahlus sunnah yang menolak kepemimpinannya dianggap sebagai kelompok Abu Jahal dan Abu Lahab. Ini adalah pemahaman yang sesat, tidak ada satu ulamapun yang memiliki pemahaman demikian, lalu kepada siapa umat islam ini minta bimbingan kebenaran dalam urusan islam kalau bukan kepada para ulama padahal Alloh  telah mengatakan:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada ahlu dzikri ('Ulama) jika kalian tidak mengetahui (suatu perkara islam) ". (QS. Al-Anbiyaa': 7 dan An Nahl: 43)
Dengan dasar ayat tersebut di atas maka muslimin wajib memiliki ahli dzikir atau ulama. Ulama adalah pewaris para nabi, yaitu orang-orang yang telah mengambil ilmu dari Rosululloh  (para sahabat) dan juga orang-orang yang mengambil ilmu dari mereka (para tabi'in) dan demikian seterusnya ilmu agama ini diajarkan secara langsung dan turun-temurun. Mereka jumlahnya sangat sedikit pada setiap masanya kehadirannya sangat diperlukan untuk menjelasakan perkara-perkara agama sepeninggal Rosululloh .
Hadits lain yang juga dijadikan alasan bagi mereka adalah sabda Rosululloh :
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa yang mati tidak mempunyai Imam kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah". (HR.Muslim)
Mereka dengan kejahilannya karena tidak mau belajar islam kepada para ulama ahlus sunnah telah memahami yang dimaksud Imam pada hadits di atas adalah Imam mereka. Atau sebelumnya mereka beranggapan bahwa ; zaman ini sebelum mereka dibai'at menjadi Imam adalah zaman jahiliyah sepert zaman sebelum Muhammad diutus menjadi Rosululloh  oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk untuk menjadi Imam yang sah menurutnya, tanpa mengerti yang dimaukan Imam oleh syari'at itu yang bagaimana. Dengan demikian semua orang muslim sekalipun ahlus sunnah dan ahlut tauhid apabila tidak ber-BAI'AT kepada mereka kemudian mati maka matinya seperti mati jahiliyah. Padahal yang dimaksud dengan Imam pada hadits di atas, sesuai dengan pemahaman As-salafus sholih adalah pemimpin, yaitu orang muslim yang berkuasa memimpin manusia dan mereka tunduk pada kekuasaannya.
Para Imam palsu juga menjadikan hadits di bawah ini sebagai hujah bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk ber-BAI'AT kepada dirinya, apabila tidak kemudian ia mati, maka matinya seperti bangkai jahiliyah sekalipun mereka ahlut tauhid. Haditsnya sebagai berikut:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa yang mati tanpa bai'at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyah". (HR. Muslim)
Padahal yang di pahami oleh para As-salafus sholih, yakni para ulama terdahulu yang dalam ilmu agamanya bahwa BAI'AT hanya diberikan oleh oleh kaum muslimin sebagai rakyat melalui Majlis suro (Ahlul hall wal aqdi) kepada penguasanya yang muslim. Adapun maksud bai'at bagi rakyat muslim adalah mengakui penguasa muslim sebagai pemimpin dan menta'atinya dalam perkara yang ma'ruf serta tidak melakukan pemberontakan-pemberontakan dan pengacauan terhadap keamanan negeri.
Hadits berikutnya yang sering dijadikan hujah untuk menta'ati dirinya adalah sabda Rosululloh :

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa keluar dari ta'at dan berpisah dari al-jama'ah, lalu dia mati maka matinya seperti mati jahiliyah". (HR.Muslim)
Pemahaman yang benar pada hadits di atas adalah: Barangsiapa yang keluar dari keta'atan kepada penguasa Muslim dan memisahkan diri dari pemerintahannya, lalu dia mati maka matinya seperti mati orang jahiliyah yang tidak terpimpin. Hadits tersebut merupakan ancaman bagi para pemberontak pemerintahan muslim dan orang-orang yang suka melakukan gerakan pengacau keamanan, sekaligus ancaman balik bagi para Imam palsu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Waliyul amri yang sah.
Akan tetapi para imam palsu memahami hadits-hadits di atas semau wudelnya sendiri, tidak mau merujuk kepada orang yang telah Rosululloh wasiatkan agar kaum muslimin mengikuti jalan mereka yaitu, para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in serta ulama yang ittiba' kepada mereka. Padahal apa yang dimaukan dengan kata Imam adalah penguasa muslim dan apa yang dimaukan dengan kalimat Jama'ah adalah pemerintahan kaum muslimin yang di bawah penguasanya.
Sebenarnya pengertian Amir atau Imam juga telah dijelaskan oleh beberapa hadits bahwa dia adalah Sulton atau penguasa. Rosululloh  bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa menjumpai sesuatu yang tidak disukai dari pemimpinnya hendaklah ia bersabar, sesungguhnya orang yang telah memisahkan diri dari penguasa sejengkal saja lalu mati, tiada lain kematiannya melainkan kematian Jahiliyah"(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad, lafadz oleh Bukhari)

Mengaku Sebagai Imam Tapi Meninggalkan Hudud, Adalah Sebuah Pengakuan Imam yang Zolim dan Fasik
Mereka yang mengaku sebagai Imam atau Kholifah memiliki sebuah konsekuensi dan akan memikul dari apa-apa yang mereka dakwahkan. Pengakuannya sebagai seorang Imam atau kholifah mestinya memiliki kewajiban untuk menegakkan hudud yakni berhukum dengan hukum Alloh , karena pengertian kholifah yang benar adalah Assulthoonul 'adhiim yaitu penguasa yang tertinggi di dunia sebagai Kholifatulloh, oleh karena itu wajib bagi mereka menegakkan hukum-hukum Alloh  . Alloh  mengatakan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (Al-Maaidah: 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim" (Al-Maaidah: 45).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" (Al-Maaidah: 47).
Ayat tersebut di atas bermakna umum kalimat من berarti siapa saja termasuk bagi orang yang mengklaim dirinya sebagai Imamul Muslimin atau Kholifah. Kalau mereka tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Alloh  maka dia adalah kafir, dzolim dan fasik. Walaupun menurut tafsir Ibnu Abbas makna kafir di situ adalah kufrun duuna kufrin, yaitu kufur 'amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Akan tetapi stempel tebal dan berwarna merah bagi mereka yang mengaku sebagai kholifah adalah bahwa mereka tergolong orang-orang yang zolim dan fasik.
Wahai para imam palsu dan pejuang penegak khilafah...kembalilah kepada cara-cara pendahulu kita dalam memperjuangkan Al-Islam termasuk dalam hal penegakkan khilafah. Jika kita dapati ada seorang muslim yang telah berkuasa maka dialah Imam bagi kaum muslimin yang berada di daerah kekuasaannya, maka wajib bagi muslimin yang ada di dalam kekuasaannya untuk memberikan nasehat dengan cara-cara yang hikmah jika mereka melihat penguasa kita melakukan kesalahan-kesalahan termasuk jika sang penguasa tidak berhukum dengan hukum Alloh . Bukan dengan cara-cara yang batil dan sesat yang hanya mengajak kepada permusuhan sesama muslim.
Adapun apabila penguasa tidak mau menerima nasehat agar mereka kembali dengan hukum-hukum Alloh , maka terlepaslah kewajiban kita sebagai seorang mukmin, namun demikian kaum muslimin tetap wajib ta'at dalam perkara yang ma'ruf. Dosa seorang penguasa yang tidak mau berhukum dengan hukum Alloh tidak akan dibebankan kepada rakyatnya selama rakyat (orang yang berilmu) tersebut sudah memberikan nasehat dengan ma'ruf dan hikmah.

Memisahkan Islam Sebagai Ad-diin dengan Ad-daulah adalah "Sekularisme"
Para Imam palsu yang mengaku sebagai kholifah telah memisahkan pengertian Islam sebagai Ad-diin dan sebagai Ad-daulah. Mereka telah banyak menipu umat dengan berdusta dan berpura-pura sebagai pemimpin padahal mereka bukanlah pemimpin yang sebenarnya. Pekerjaan mereka hanyalah memungut infaq, shodaqoh dan zakat kepada jama'ahnya dengan cara yang batil, yaitu mengatasnamakan sebagai Imam, akan tetapi mereka tidak pernah memberi hukuman (hudud), juga tidak mampu membentengi harta dan darah kaum muslimin karena mereka bukan penguasa.
Apabila ada harta kaum muslimin yang dirampas pencuri, Imam palsu ini akan diam tak berdaya, tidak perlu mencari pencuri itu karena sekalipun pencuri itu tertangkap sang Imam palsu juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya hukum yang melindungi harta kaum muslimin. Perintah potong tangan bagi pencuri dalam Al-Qur'an dilanggar, kalau Al-Qur'an sudah berani dilanggar ini namanya Imam zolim dan fasik.
Apabila Imam palsu itu mendapati orang yang berzina dengan bukti-bukti yang terang, maka Imam palsu ini juga diam tak berdaya, mau diapakan orang-orang yang berbuat zina tadi, ya Imam palsu ini bingung karena memang mereka hanyalah kholifah gadungan yang tidak berkuasa untuk menjalankan syari'at Alloh . Sungguh amat jahat pengakuan mereka para Imam palsu itu mereka benar-benar telah mendustai muslimin, mendustai Rosul dan mendustai Alloh .
Sementara itu kemaksiatan, kesyirikan, kebid'ahan bergelimangan di depan mata para Imam palsu, tapi sekali lagi namanya juga Imam palsu maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini sangat jauh, jauh sekali dengan kepemimpinan khulafa'ur Rasyidin yang selalu menerapkan setiap ayat demi ayat dan hadits demi hadits dalam memimpin umatnya.
Apabila perkara-perkara tersebut dipertanyakan kepada para Imam palsu mereka kemudian berdalil dengan mencontoh Rosululloh  ketika Beliau berdakwah di Mekah. Pada saat itu Rosululloh belum berkuasa, tidak ada hukum cambuk, potong tangan, rajam, peperangan dll tetapi kenabianya tetap sah. Sesungguhnya dalil yang digunakan oleh mereka membuktikan tentang kejahilan diri mereka sendiri, mereka tidak sadar bahwa Al- Qur'an diturunkan kepada Muhammad  secara bertahap ayat demi ayat, surat demi surat sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah qital dan penegakan hudud diturunkan di Madinah ketika kondisi muslimin sudah memiliki kekuatan.
Adapun sekarang ini kaum muslimin mewarisi Al-Islam dalam keadaan telah sempurna sebagai petunjuk hidup bagi mukminin untuk diamalkan bukan untuk dipolitisir dan dipelintir-pelintir. Islam adalah agama yang mengatur bagaimana seorang hamba beribadah kepada Alloh  (ad-diin) dan bagaimana seorang pemimpin mengatur masyarakat dengan syari'atnya (ad-daulah). Oleh karena itu manusia memiliki dua fungsi yaitu sebagai Hamba Alloh dan juga sebagai Kholifatulloh. Kholifah adalah penguasa negeri, pemimpin manusia yang "Dengannya hudud ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh diperangi, dan harta fa'i dibagi-bagikan." Demikian perkataan Ali bin Abi Tholib .

Syubhat Islam Non Politik
Steatment bahwa "Islam non Politik" yang digagas oleh Wali Al-Fattaah pendiri gerakan Islam Hizbulloh merupakan syubhat baru dalam Islam yang harus dirinci dengan jelas apa maksud dibalik kalimat itu. Apabila kalimat itu maksudnya untuk memisahkan Islam sebagai agama dan islam sebagai daulah atau kekuasaan negera, maka jelas ini adalah paham sekular yang bertujuan menjauhkan muslimin dari hukum-hukum pidana dan perdata Islam.
Jika maksud yang terkandung dari politik adalah menata kehidupan kaum muslimin dalam bermasyarakat dan bernegara agar sesuai dengan syari'at maka yang demikian justru dibenarkan oleh Islam, dan ini bagian tugas dan tanggung jawab seorang penguasa muslim.
Islam memang telah sempurna tidak mengenal sistim demokrasi dan politik produk barat, namun demikian jika seorang penguasa kemudian berpolitik untuk mempertahankan kekuasaannya bukan berarti kekuasaan atau kepemimpinan mereka tidak sah. Bahkan apabila ada seorang muslim yang mendapatkan kekuasaannya dengan melakukan kudeta kemudian mereka berkuasa secara kokoh maka mereka adalah Imam atau kholifah yang sah bagi kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya.
Mereka para imam palsu hanya mampu mengambil islam sebagai bentuk ibadah maghdhoh yang diajarkan kepada jama'ahnya, seperti ibadah sholat, puasa, zakat, infaq, haji, ta'lim dan seterusnya, itupun tanpa bimbingan ulama karena memang tidak ada ulama satupun di antara mereka.
Oleh karena itu ibadah-ibadah yang dipraktekkanpun banyak bercampur dengan amalan-amalan bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Demikian pula dengan perkara-perkara yang haram atau yang syubhat yang sudah sepantasnya dijauhi oleh seorang muslim, sang imam palsu juga tidak berdaya untuk mencegah kemungkaran.
Saya mendapatkan diantara anggaota jama'ah-jama'ah mereka masih banyak yang merokok, minum khomer, menipu, berikhtilat, bermuamalat dengan riba, tapi sang imam seakan menutup mata. Bahkan ada pelaku pencurian dan perbuatan zina yang menyerahkan diri kepada sang amir tetapi mereka semua aman-aman saja karena sang imam palsu tadi berbaik hati kepada jama'ahnya, mungkin sang Imam palsu takut jama'ahnya pada kabur jika hudud ditegakkan atau mereka takut kepada Imam yang berkuasa.
Mengapa pelangaran-pelanggaran terhadap syari'at seperti di atas disikapi pula dengan melanggar syari'at? Tidak menegakkan hudud kepada mereka? Jawabannya adalah karena mereka tidak punya daerah kekuasaan untuk berhukum dengan hukum Alloh dalam menegakkan hudud atau dengan kata lain mereka takut dengan penguasa negeri ini yang juga seorang muslim.
Kalau begitu apakah kekuasaan itu perlu? Beberapa da'i mereka mengatakan; Ya,,, kami butuh kekuasaan tetapi kekuasaan Alloh yang akan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki. Lalu saya bertanya dengan cara apa kalian akan mendapatkan kekuasaan? Sebagaian da'i mereka mengatakan; Kami hanya mengamalkan syari'at berjama'ah dan berimamah sesuai kadar kemampuan, dan sebagian da'i lainya menggambarkan kondisi jama'ahnya seperti periode dakwah Rosululloh  waktu di Mekah dan akan mendapatkan kemenangan seperti Rosululloh  di Madinah setelah hijrah.
Wahai kaum muslimin....para imam palsu, mereka selamanya tidak akan pernah menjadi imam yang sebenarnya kecuali mereka benar-benar telah berkuasa, menegakkan hudud, berperang menjaga darah dan harta kaum muslimin dari musuh-musuh sebagaimana telah dijelaskan di atas berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-hadits serta penjelasan dari para ulama.
Dan bagi para imam palsu hanya ada dua cara menuju kepada kekuasaan tersebut yakni dengan menggulingkan penguasa dan kaum muslimin yang berada dibelakangnya jadilah perang saudara dan pertumpahan darah sesama muslim atau dengan mencalonkan diri dalam pemilu atau pesta demokrasi. Namun demikian kedua cara tersebut hanya dapat dilakukan jika mereka memiliki masa yang banyak oleh karena dakwah mereka adalah mencari masa untuk masuk ke dalam jama'ahnya.
Wahai saudaraku...kembalilah kepada jalan yang benar yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rosul dan 3 generasi pertama dari kalangan salafussholih. Belajarlah kepada mereka dan ikuti jalannya, janganlah kalian menyimpanginya dengan mengedepankan ro'yunya.

Menyakini Bahwa Masa Sekarang Adalah Masa Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah
Berbeda dengan kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mereka meyakini masa sekarang adalah masa jahiliyah sebagaimana masa sebelum diutusnya Rosul Muhammad , ketiga kelompok di atas menyakini bahwa masa sekarang adalah masa khilafah 'ala minhajin nubuwwah sebagai periode terakhir kepemimpinan umat islam.
Benarkah demikian? Jelas mereka semuanya adalah salah besar, masa sekarang ini bukanlah masa jahiliyah sebagaimana yang dipahami oleh kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan bukan pula masa khilafah 'ala minhajin nubuwwah akan tetapi masa sekarang ini adalah masa di mana kaum muslimin di bawah penguasa para mulkan. Di Saudi, Iran, Turki, Yordan, Yaman, Indonesia, Malysia dan di negeri-negeri lain kaum muslimin dipimpin oleh para mulkan atau kepala pemerintahan yang kebanyakan di antara mereka adalah fajir. Masa sekarang juga masa dimana kaum muslimin dalam keadaan menemui perselisihan yang banyak bukan masa khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang mampu menyatukan umat islam dari fitnah perpecahan.
Rosululloh  bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
"Bakal ada sesudahku pemimpin-pemimpin yang tidak berpetunjuk dengan petunjukku dan tidak berjalan dengan sunnahku. Dan di tengah mereka akan bangkit orang-orang yang hati mereka seperti hati syaitan-syaitan dalam bentuk manusia".(HR.Muslim)
Masa sekarang ini adalah masa seperti yang telah dijelaskan oleh Rosululloh  sebagaimana hadits di atas. Kenyataan ini dapat kita buktikan bahwa seluruh muslimin yang jumlahnya hampir 1.5 milyar mereka tidak memiliki pemimpin yang tunggal tetapi mereka hidup di bawah para penguasa di setiap Negara.
Rosululloh  pada hadits di atas juga menggunakan kalimat أَئِمَّة sebagai bentuk jamak dari إمام maksudnya adalah kaum muslimin dalam satu masa akan dipimmpin oleh banyak imam dibeberapa Negara yang terpisah-pisah dan masa seperti ini sedang terjadi sekarang ini.
Rosululloh  juga berwasiat :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ إيَّا كُمْ ومُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ, فَإِنَّ وكلَّ محدثةٍ بدعةٌ, وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ, (رواه الترمذى و أبو داود)
"Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Alloh, mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup (panjang) niscaya (nanti) akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa'ur Rosyidin Al-Mahdiyyin pegang-teguhlah dengannya, gigitlah ia dengan gigi geraham, jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat". (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud)
Hadits di atas juga menjelaskan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin yang dhohir bagi muslimin maka wajib didengar dan ditaati sekalipun ia adalah seorang budak Habsyi, tidak mengharuskan kepada pemimpin yang tunggal bagi seluruh dunia muslim.
Penjelasan hadits berikutnya adalah kaum muslimin akan menemukan suatu masa dimana mereka dalam keadaan berselisih dengan perselisihan yang banyak dan jalan keluarnya adalah kembali kepada sunnah Rosululloh  dan sunnah khulafa'ur Rosyidin Al-Mahdiyyin. Bukan mendirikan jama'ah-jamah baru dengan mengangkat Imam yang menyelisihi kaum muslimin.
Adapun masa kepimimpinan umat Islam yang terakhir yakni masa khilafah 'ala minhajjin nubuwah berdasarkan hadits yang sampai kepada derajat mutawatir adalah masa turunnya Nabi Isa bin Maryam sebagai pemimpin kaum muslimin dan Ia akan mengembalikan ahli kitab kepada Al-Islam sebagai agama yang haq. Nabi Isa alaihi salam turun ke bumi sebagai hakim yang adil. Ia akan memecahkan salib, membunuh babi, tidak memungut jizyah, dan harta ketika itu melimpah dan tidak ada seorangpun yang mau menerimanya.
Persoalan umat islam yang sangat besar di akhir zaman dan mereka berhadapan dengan musuh-musuh yang tidak mungkin tertandingi dari segi persenjataan tidak akan pernah terjawab dengan hadirnya seribu Imam palsu seperti Mirza Ghulam, Nurhasan Ubaidah, Wali Al-Fattaah dan Ahmad Mushoddiq. Kehadiran mereka di bumi ini justru memperkeruh keadaan umat islam, menambah perpecahan dan mengajarkan muslimin kepada kehidupan gaya khowarij dan mu'tazilah.
Disamping itu jama'ah-jamah minal muslimin sebagaimana yang dipraktekkan oleh Ahmadiyah, LDII, Jama'ah Muslimin (Hizbulloh), Al-Qiyadah Al-Islamiyah sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh dan para sahabatnya. Rosululloh tidak pernah memisahkan diri dari kaum muslimin, demikian pula para sahabat beliau serta para tabi'in dan tabi'ut tabi'in juga tidak pernah memisahkan diri dari kaum muslimin dan penguasanya. Mereka genarasi terbaik umat islam tidak pernah membuat kelompok-kelompok baru di tengah-tengah kaum muslimin.

Mengingkari Ijma' Adalah Mengingkari Sunnah dan Al-Qur'an
Sebagaimana telah menjadi sebuah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa sumber hukum Al-Islam adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' Ulama atau Pendapat Mayoritas Ulama. Adapun mereka yang mengingkari Ijma' para Ulama adalah kaum pengikut hawa nafsu yang membanggakan ro'yunya dan tidak mau mengambil qoi'dah yang benar didalam berislam.
Sesungguhnya bukan hanya Ijma' dari ulama yang mereka ingkari tetapi juga juga banyak hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia telah mereka ingkari salah satunya adalah perintah Alloh  :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada ahlu dzikri ('Ulama) jika kalian tidak mengetahui (suatu perkara islam) ". (QS. Al-Anbiyaa': 7 dan An Nahl: 43)
Para Imam palsu, mereka mendirikan jama'ah dan mengangkat Imam dengan tidak menanyakan masalah ini kepada para ulama, padahal semua tahu bahwa Mirza Ghulam, Nurhasan Ubaidah, Wali Al-Fattaah dan Ahmad Moshaddiq bukanlah termasuk ahli ilmu, bukan ahli tafsir, dan bukan ahli fiqih. Mereka semua tidak terdaftar sebagai para ulama yang diakui keilmuannya oleh kaum muslimin. Akan tetapi mereka adalah sang pendusta umat islam, mereka menawarkan surga tetapi sesungguhnya mereka adalah para da'I yang mengajak kepintu-pintu jahanam. Mereka adalah para "dajjal" sebelum muncul Al- Masih Ad-Dajjal yang sebenarnya.
Sedikitpun tidak pantas mensejajarkan orang-orang jahil seperti mereka yang tidak jelas kepada siapa mereka belajar Islam dengan para ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud rodhiyallohu 'anhum. Juga apakah pantas mereka disejajarkan dengan Imam dari kalangan tabi'in Hasan Al-Bashri, Imam madzhab yang empat dan ahli hadits yang sembilan rohimahumulloh. Apakah pantas mereka disejajarkan dengan ulama besar seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, Imam Nawawi dan Abdulloh bin Abdul Wahab rohimahumulloh. Apakah pantas mereka disejajarkan dengan Syaikh Nashirudin Al- Albany, Syaikh Bin Baz, syaikh Utsaimin dan seterusnya.
Wahai Para Imam palsu mereka adalah para ulama ahlu sunnah, ahlu tafsir dan ahlu fiqh yang sangat dalam ilmu mereka tentang Islam, mereka tidak beramal seperti kalian yaitu mendirikan jama'ah, memisahkan diri dari kesatuan kaum muslimin karena yang demikian adalah perkara bid'ah.
Lalu siapakah yang kalian ikuti wahai para Imam palsu? Apakah Rosululloh  dan para Khulafa'ur Rosyiddin? Sejak kapan Rosululloh dan para Khulafa'ur Rosyiddin memisahkan diri dari kaum muslimin, kemudian membentuk jama'ah minal muslimin seperti jama'ah kalian?
Wahai para Imam palsu para khulafa'ur Rosyiddin menjadi kholifah atas kesepakatan umat islam dan semua kaum muslimin tunduk di bawah kepemimpinannya. Lalu apakah kalian demikian? Umat islam mana yang sepakat dan yang tunduk kepada kepemimpinan kalian?
Wahai para Imam palsu para khulafa'ur Rosyiddin adalah para penguasa yang memegang hukum paling tertinggi, mereka menegakkan hudud, memerangi kesyirikan, memerangi orang yang tidak membayar zakat, mengambil jizyah kepada kaum kafir. Lalu apakah kalian demikian? Kalian biarkan orang-orang berbuat syirik, kalian biarkan para pencuri dan perampok beraksi, kalian biarkan perzinaan di mana? Apakah kepemimpinan kalian lebih membawa manfaat bagi kaum muslimin dari pada kepemimpinan penguasa ngeri ini?
Wahai para Imam palsu mengapa kalian tidak mendengarkan kesepakatan para ulama. Lalu siapakah ulama menurut kalian? Padahal Rosululloh telah mengingatkan dalam hadits nya agar kita mengikuti kesepakatan ummat.
Dari Anas bin Malik  bahwasanya saya mendengar Rosululloh  bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَم
"Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan, maka jika kalian melihat perselisihan maka wajib bagi kalian mengikuti (pendapat) mayoritas". (HR.Ibnu Majah)
Hadits yang semakna dengan ini cukup banyak jumlahnya dan hadits di atas merupakan qo'idah di dalam mengikuti sunnah yakni Alloh tidak akan membiarkan umatnya berada dalam kesesatan manakala mereka bersatu dan bersepakat dalam suatu perkara. Adapun yang dimaksud kesepakatan umat adalah kesepakatan para ulama karena ulama adalah ikutan bagi umat islam.
Dengan demikian apabila para ulama salafus sholih telah bersepakat dalam suatu perkara, maka wajib bagi umat islam yang kemudian untuk mengikutinya dan haram bagi mereka menyelisihinya.
Beberapa yang telah menjadi kesepakatan para ulama diantaranya adalah wajib taat kepada penguasa yang muslim dalam hal yang ma'ruf sekalipun terhadap penguasa muslim yang suka bermaksiat sebagaimana hal ini telah dibahas di muka.
Sedangkan para Imam palsu telah mengikari Ijma tersebut yaitu mereka tidak mengakui para penguasa muslim yang sekarang (pemerintahan Negara ini) sebagai pemimpin mereka. Kemudian mereka membuat kepemimpinan sendiri dengan mengumpulkan sekelompok orang maka lahirlah di sana-sini jama'ah-jama'ah min al-muslimin dan lahirlah perpecahan-perpecahan di kalangan umat Islam.
Di antara para pemimpin mereka dengan sombongnya ada yang mengaku sebagai Amirul Mukminin atau Imamul Muslimin, ada pula yang mengaku sebagai Imam Mahdi atau Nabi baru, dan ada yang dengan Pe-De-nya mengaku sebagai Rosul baru. Sesungguhnya mereka semua adalah dajjal (para pendusta) yang mendustakan ayat-ayat Alloh  untuk menyesatkan kaum muslimin.
Wahai saudaraku pemuja Imam palsu dari kelompok Jama'ah Muslimin (Hizbulloh) perhatikanlah, kalian mendengar hadits "Talzamu Jama'atal Muslimin wa Imaamahum" karena Imam Bukhori dan Imam Muslim telah meriwayatkan hadits tersebut dari sanad-sanad yang shohih. Perhatikanlah wahai saudaraku mengapa Imam Bukhori dan Imam Muslim yang telah meriwayatkan hadits tersebut tidak menetapi jama'ah Muslimin (Hizbulloh) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Wali Al-Fattah?
Jawabannya adalah karena Imam Bukhori dan Imam Muslim serta seluruh ulama ahli hadits meyakini bahwa Imam adalah penguasa dan Jama'ah muslimin adalah pemerintahannya yang demikian itu senantiasa ada dan tidak pernah hilang selama kaum muslimin masih dipimmpin oleh penguasa mereka.
Imam Al-Bukhori berkata: "Dan kita tidak berusaha merebut kekuasaan dari para pemiliknya (Imam yang sah)… dan tidak membolehkan untuk mengangkat pedang (mengangkat senjata) terhadap umat Muhammad". (Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’i dalam kitab beliau "Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah" 1/172-176 no 320)
Demikian Imam Bukhori menjelaskan bahwa Imam adalah orang yang memiliki kekuasaan yang tidak boleh direbut atau dirampas dengan pedang kerena mereka adalah umat Muhammad yang masih muslim dengan tanda-tandanya.
Hal ini berbeda dengan keyakinan seorang wartawan Wali Al-Fattah yang tidak jelas guru agamanya, dimana beliau meyakini setelah meninggalnya kholifah Ali bin Abi Tholib  maka "Jama'ah Muslimin wa Imaamahum" sejak itu ditinggalkan oleh kaum muslimin, sekian abad berlalu muslimin tidak punya Imam sampai akhirnya pada tahun 1953 M Jama'ah Muslimin ditetapi kembali dengan dibai'atnya Wali Al-Fattaah sebagai Imam. Laa haula wa lla quwata illa billah....

Nasihat Bagi Para Imam Palsu
Wahai para Imam palsu sesungguhnya kaum muslimin di dunia ini dan manusia yang lainnya tidak membutuhkan kepemimpinan seperti kalian yang tidak memberikan manfaat dan kemaslahatan sedikitpun bagi mereka. Kalian tidak menjaga kehormatan harta-harta mereka, tidak menjaga darah mereka, tidak menjaga keamanan negeri ini, tidak menghukumi mereka orang-orang yang berbuat jahat, tidak memerangi orang muslim yang tidak membayar zakat, tidak memerangi musuh-musuh mereka, kalian biarkan kesyirikan di mana-mana, pantaskah kalian mengaku sebagai kholifah? Lalu apa tugas kalian? Apakah kalian hanya bisa mengatur jadwal ta'lim? Menghitung pendapatan infak? Musyawarah yang tidak pernah mufakat?
Wahai para imam palsu kembalilah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan ikutilah jalan para sahabat yaitu mereka yang telah memahami agama Islam ini dengan sempurna dibandingkan kalian.
Alloh  berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. At Taubah: 100)
Wahai para Imam palsu siapakah para pendahulu kalian? Siapakah orang yang kalian ikuti? Jika kalian menisbatkan diri kepada Rosululloh  dan kepada para khulafa'ur Rosyiddin maka kalian adalah para pendusta. Rosululloh dan juga para Khulafa'ur Rosyiddin tidak pernah mengelompokkan diri dan berpisah dari kaum muslimin. Mereka adalah para pemimpin bagi seluruh manusia yang berada di daerah kuasaan mereka dengan cara menegakkan syari'at (hukum-hukum) Islam.
Dan juga firman Alloh  :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS. An Nisaa': 115)
Wahai para Imam palsu jalan siapakah yang telah kalian tempuh dengan tidak mengakui penguasa negeri ini sebagai Imam? Para pendahulu kaum muslimin yakni para sahabat yang mulia tidak pernah melakukan seperti yang kalian lakukan, para tabi'in juga tidak melakukan seperti yang sedang kalian lakukan, para tabi'ut tabi'in juga tidak melakukan seperti yang kalian lakukan, para Imam madzhab yang empat juga tidak melakukan seperti yang kalian lakukan, para ahli hadits yang sembilan juga tidak melakukan seperti yang kalian lakukan? Dengan pemahaman siapa kalian berkumpul mengelompokkan diri menjadi Imam? Kalian menjadi Imam bagi siapa? Apakah umat islam di dunia membutuhkan kepemimpinan kalian? Apakah ada para ulama yang duduk di majlis kalian dan membenarkan ijtihad kalian?
Sungguh mereka para Imam palsu telah meninggalkan para Ulama ahlus sunnah sebagaimana Washil bin Atho' telah meninggalkan Ulama Ahlus sunnah Al-Hasan Al-Bashri.
Sabda Rosululloh  :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi setelah mereka (tabiin), kemudian generasi setelah mereka (tabiut tabiin)". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sabda Beliau  :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى كَذَلِكَ
"Akan senantiasa ada (tidak pernah putus) di antara ummatku sekelompok orang yang eksis di atas kebenaran (shirotol mustaqiem), tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)
Bersabda pula  :
أُوْصِيْكُمْ بِأَصْحَابِي , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Aku wasiatkan kepada kalian (untuk mengikuti) para sahabatku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka." (HR. Ahmad)
Wahai pembaca yang budiman tidak ada manusia yang lebih baik setelah nabi Muhammad , kecuali para sahabat, para tabi'in dan tabi'ut tabi'in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan. Adapun para tokoh pendiri jama'ah-jama'ah sesat dan para penerusnya mereka telah keluar dari manhaj para salafush sholih, mereka adalah ahlu bid'ah, para da'i yang menyeru kepada pintu-pintu jahanam.
Berhati-hatilah dengan munculnya banyak "dajjal" yang datang mendustakan Alloh dan Rosul-Nya serta mendustakan kaum muslimin. Di sisi mereka ada surga dan neraka, jika mereka menawarkan surga maka sesungguhnya yang ia tawarkan adalah neraka.

Allohu a'lam bishshowwab.




PEDOMAN MEMAHAMI BID’AH

A. PENDAHULUAN.
1. Kesempurnaan Ajaran Islam dan Perintah Mengikutinya.
Firman Allah swt:

1. اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا. (المائدة 3 )
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

. 2. أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « ما تركت شيئا مما أمركم به الله إلا وقد أمرتكم به ، وما تركت شيئا مما نهاكم الله عنه إلا وقد نهيتكم عنه » شعب الإيمان للبيهقي - (ج 3 / ص 239(

Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “ Tidaklah aku tinggalkan sesuatupun dari apa yang telah diperintahkan Allah kepada kalian kecuali sungguh telah aku perintahkan pada kalian dengannya, dan tidaklah aku tinggalkan sesuatupun dari apa yang dilarang oleh Allah pada kalian kecuali sungguh telah aku larang kalian terhadapnya.” ( HR. Baihaqi)

2. { وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا } (سورة الحشر الآية : 7)

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu.

3. { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا } سورة الأحزاب الآية : 21

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
4. ياأيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك فإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس (ألمائدة:57)

Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia

5. وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ( التوبة) الآية : 100)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

2. Larangan dan Bahaya Melakukan Bid’ah

Firman Allah swt:

1. شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ )الشورى/13، (

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

2. {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} (سورة النور الآية : 63)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

Sabda Nabi Muhammad saw:
3. عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة .(رواه أبو داود و غيره)

“Tetaplah kalian kepada sunahku dan sunah khulafaurrasyidin yang diberi petunjuk setelahku dan berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah kalian terhadap bid’ah karena setiap yang diada-adakan itu bid’ah, sedangkan bid’ah itu sesat.” ( HR. Abu Daud dan selainnya)

4. وإن أصدق الحديث كتاب الله وان احسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار .(رواه النسائ و مسلم)
Sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bidah (yang diada-adakan) itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan masuk neraka. (HR. Nasa'i dan Muslim)


5. « إياكم والغلو في الدين فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين » رواه الإمام أحمد والنسائي وابن ماجه والحاكم عن ابن عباس .
“Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim dari Ibnu Abbas)

6. من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد. (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak.”
7. ( إن الله احتجر التوبة عن كل صاحب بدعة حتى يدع بدعته ).
رواه الطبراني والضياء المقدسي وغيرهما بسند صحيح وحسنه المنذري

“Sesungguhnya Allah swt menghalangi (tidak menerima) taubat orang yang berbuat bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani dan ad-Dziya’ al-Maqdasi dan lainnya dengan sanad shahih dan dihasankan oleh al-Mundziri)

8. عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي وَأَشَارَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ) سنن الترمذي –ج 12 /ص 122(

Dari Hudzaifah ra. berkata: adalah kami duduk-duduk di samping Rasulullah saw. lalu ia bersabda: “sesungguhnya aku tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada kalian setelah aku meninggal, maka ikutilah oleh kalian pada orang-orang setelahku, beliau menunjuk pada Abu Bakar dan Umar.” ( Sunan Tirmidzi)
B. PENGERTIAN BID’AH

1. Menurut Bahasa.

البِدْعة اسمٌ من ابتدَع الأمرَ إذا ابتدأه وأحْدثه ) المغرب في ترتيب المعرب - (ج 1 / ص 62)
Bid’ah adalah bentuk isim (kata benda) berasal dari fi’il (kata kerja) ibtada’al amra yang berarti ia telah memulai suatu perkara dan mengadakannya/menciptakannya yang baru

البدعة: كل محدث جديد على غير مثال سابق
) معجم لغة الفقهاء -ج 1/ص 104(
Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan, yang baru dengan tidak ada contoh yang mendahuluinya.

Dari kata bid’ah, terbentuklah lafadz al-Badi’ sebagai salah satu nama Allah swt yang berarti Pencipta sesuatu yang sebelumnya tidak ada.

Allah swt berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (البقرة:117)
Allah Pencipta (yang sebelumnya tidak ada) langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.

Lafadz bid’ah juga digunakan oleh Allah swt untuk menjelaskan keberadaan Nabi Muhammad saw bahwa beliau bukanlah seorang bid’an (orang yang tidak didahului Rasul sebelumnya)
Allah swt berfirman:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ [الأحقاف/9]
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama ( tidak ada sebelumku) di antara rasul-rasul


Bid’ah dalam pengertian bahasa dibagi menjadi 2, bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang buruk (sayyi’ah). Jika ia sesuai dengan sunnah, maka itu yang baik tetapi jika bertentangan dengan sunnah maka itulah bid’ah yang buruk.
Ibnu Rajab berkata, “ Adapun yang terdapat dalam perkataan ulama’ salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah dimaksudkan bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian istilah. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarwih pada bulan Ramadlan di satu tempat dengan dipimpin seorang Imam, maka beliau berkata:
Umar bin Khathab berkata:
[ نِعْمَت البِدْعة هذه ]

2. Menurut Istilah
a. Menurut Al-Jauhariy, bid’ah ialah:
الحدث في الدين بعدالاكمال
“Sesuatu yang baru dalam agama sesudah sempurna”.
b. Menurut Al-Fairuzabadiy, bid’ah ialah:
الحدث في الدين بعدالاكمال اومااستحدث بعدالنبي ص.م. من الاهواء الاعمال
“Sesuatu yang baru dalam agama sesudah sempurna, atau sesuatu yang baru diadakan sesudah Nabi saw, karena ingin memperturutkan hawa nafsu atau memperbanyak amal”.

c. Abu Syamah berkata:
وقد غلب لفظ البدعة على الحدث المكروه في الدين وهومالم يكن في عصرالنبي ص.م.ممافعله اواقر عليه اوعلم من قواعدشريعته

“Lafadz bid’ah itu biasa digunakan untuk menyebut sesuatu yang baru, yang dibenci di dalam agama; bid’ah ialah apa saja yang tidak ada pada masa Nabi saw, baik berdasarkan pelacakan terhadap apa yang ia perbuat atau yang ia tetapkan ataupun berdasarkan apa yang dapat diketahui dari kaidah-kaidah agamanya”.
d. Sebagian Ulama Hadis mengatakan:
البدعة هي الأمرالمحدث في الدين: عقيدة اوعبادة اوصفة للعبادة لم يكن عليهارسول الله ص.م.
“Bid’ah ialah urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah ataupun sifat ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw”.

e. Sebagian Ulama lagi mengatakan:
البدعة هي الزيادة في الدين اونقصان منه الحادثان بعدالصحابة بغيراذن من الشارع لاقولاولافعلاولاصريحاولااشارة ولايتناول العادات اصلا بل تقتصر على بعض الاعتقادات وبعض صورالعبادات
“Bid’ah ialah tambahan dalam agama atau pengurangan dari agama yang baru terjadi sesudah masa sahabat tanpa izin dari pembuat syari’at, tidak dengan perkataan, perbuatan, terang-terangan dan tidak pula dengan isyarat. Jadi ia tidak mencakup urusan-urusan adat sama sekali, tetapi terbatas pada sebagian urusan I’tiqad dan rupa-rupa ibadah”.
Dari ta’rif-ta’rif tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang baru dalam agama, baik berupa i’tiqad maupun ibadah atau sesuatu yang menyerupai ibadah, yang belum pernah ada atau belum pernah terjadi pada masa Nabi atau pada masa sahabat. Atau tambahan atau pengurangan dalam agama yang terjadi sesudah masa sahabat dengan tidak mendapat dukungan dari Allah atau Rasulullah, baik dukungan perkataan ataupun perbuatan, baik dukungan pernyataan ataupun isyarat. Bid’ah sama sekali tidak mencakup urusan adat. Ia hanya mencakup urusan i’tiqad dan ibadat.

Dengan perkataan lain, bid’ah ialah:
الأمرالدينى الذى لم يكن في عصرالنبي ص.م. ولافي عصرالصحابة
“Urusan agama yang pada masa Nabi dan pada masa sahabat tidak ada”.
Atau:
الأمرالدينى الذى لم يكن النبي صل الله عليه وسلم عليه واصحابه
“Urusan agama yang tidak diajarkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya”
Atau:
الأمرالدينى الذى لم يدل عليه دليل شرعي سواء اكان من الكتاب اومن السنة اومما اجتهد عليه الصحابة
“Urusan agama yang tidak ditunjukkan oleh dalil syara’, baik dari Al-Kitab, dari As-Sunnah ataupun dari hasil ijtihad para sahabat”.

C. UNSUR-UNSUR BID’AH
Suatu perkara dikatakan bid”ah jika terhimpun di dalamnya 3 unsur, yakni:
1. Al-ihdats sesuatu yang baru
Yang dimaksud dengan al-ihdats adalah mendatangkan, membuat-buat sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya.
Rasulullah saw bersabda.
فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة .(رواه أبو داود و غيره)
2. Sesuatu yang baru itu disandarkan pada ad-din (agama)
Rasulullah saw:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
) صحيح البخاري - (ج 2 / ص 959(
"Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami ini yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Yang dimaksud dengan amruna (urusan kami) dalam Hadist di atas adalah amru ad-din (urusan agama) dan syari’atnya, sesuai dengan tugas diutusnya Rasulullah saw. Jadi, suatu perkara dikatakan bid’ah jika sesuatu yang baru tersebut disandarkan kepada syari’at dan dihubungkan dengan ad-din (agama) dalam salah satu sisinya. Makna tersebut bisa tercapai bila mengandung salah satu dari tiga unsur berikut ini. Pertama, perkara tersebut dilakukan dalam rangka ta’abbudi (beribadah) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan. Kedua, perkara tersebut keluar/ menentang (aturan) agama. Ketiga, perkara tersebut juga mencakup segala hal yang dapat menggiring kepada terciptanya bid’ah baru.
Maka, hal-hal yang baru dalam masalah-masalah materi dan perkara-perkara dunia yang tidak menjadi tugas terutusnya Rasulullah saw, tidak termasuk bid’ah.
Dalam hal ini beliau mengatakan:
أنتم أعلم بأمور دنياكم) جامع الأحاديث - (ج 41 / ص 494(
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”

Begitu juga perbuatan-perbuatan maksiyat dan kemungkaran-kemungkaran yang baru, yang belum pernah terjadi pada masa dahulu, bukan dikatakan bid’ah, kecuali jika ia dilakukan dengan tujuan atau cara yang menyerupai taqarrub kepada Allah swt atau ketika melakukannya bisa menyebabkan adanya anggapan bahwa hal itu termasuk bagian agama.
3. Hal yang baru tersebut tidak berlandaskan syari’at, baik secara khusus maupun umum.
Rasulullah saw bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد. (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak”
Dengan batasan ini maka tidak termasuk dalam pengertian bid’ah hal-hal baru yang berhubungan dengan agama yang mempunyai landasan syar’i yang umum ataupun yang khusus. Landasan syar’i yang umum adalah hal-hal yang ditetapkan melalui al-mashalih al-mursalah, seperti pengumpulan al-Qur’an oleh para sahabat. Adapun contoh yang khusus adalah pelaksanaan shalat tarawih secara berjamaah pada zaman Umar bin Khatab

D. DASAR-DASAR PENETAPAN BID’AH
Ada tiga dasar pokok untuk menetapkan semua macam bid’ah.
1. Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan.
Hal ini meliputi beberapa kaidah sebagai berikut:
1. كل عبادة تستند الى حديث مكذوب على رسول لله صعلم فهي بدعة
Setiap ibadah yang berlandaskan hadits maudhu’(palsu) yang disandarkan kepada Rasulullah adalah bid’ah.
2. كل عبادة تستند الى الرأي المجرد والهوى فهي بدعة كقول بعض العلماء أو العباد أو عادات بعض البلاد أو الحكايات والمنامات
Setiap ibadah yang berlandaskan pada pendapat semata dan hawa nafsu, maka itu bid’ah, seperti pendapat sebagian ulama atau ‘ubbad (ahli ibadah) atau kebiasaan sebagian daerah atau sebagian hikayat dan manamat (apa yang didapatkan di dalam tidur).
3. اذا ترك الرسول صعلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضى لها قائما ثابتا والمنع منها منتفيا فان فعلها بدعة
Jika Rasulullah meninggalkan suatu ibadah, padahal faktor dan sebab yang menuntut adanya pelaksanaan itu ada dan faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah itu adalah bid’ah. Seperti mengumandangkan adzan untuk shalat Tarwih.

4. كل عبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة فان فعلها فهي بدعة
Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh As-Salaf Ash-Shalih dari kalangan sahabat, maka melakukan perbuatan tersebut adalah bid’ah.
5. كل عبادة مخالفة لقواعد الشريعة ومقاصدها فهي بدعة
Semua ibadah yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syari’at adalah bid’ah.

6. كل تقرب الى الله بفعل شيئ من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة
Semua taqarrub kepada Allah dengan adat kebiasaan atau muamalah dari sisi yang tidak dianggap (tidak diakui) oleh syari’at adalah bid’ah
7. كل تقرب الى الله بفعل ما نهى عنه سبحانه فهو بدعة
Setiap taqarrub kepada Allah dengan cara melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah adalah bid’ah.
8. كل عبادة وردت فى الشرع على صفة مقيدة فتغييرهذه الصفة بدعة
Setiap ibadah yang dibatasi dalam syari’at, maka merubah tata cara (batasan) ini adalah bid’ah.
9. كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان ومكان أو نحوهما بحيث يوهن هذا التقييد أنه مقصود شرعا من غير أن يدل الدليل العام علي هذا التقييد فهو بدعة
Setiap ibadah muthlaq yang tetap dalam syari’at dengan dalil umum, maka membatasi kemuthlaqan ibadah ini dengan waktu atau tempat tertentu sehingga menimbulkan anggapan bahwa pembatasan inilah yang dimaksud dalam syari’at tanpa ada dalil umum yang menunjukkan pembatasan ini, maka termasuk bid’ah.

10. الغلو في العبادة بالزيادة فيها علي القدر المشروع والتشدد والتنطع في الإتيان بها بدعة
Ghuluww (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan menambah di atas batasan yang telah ditentukan atau tasyaddud (mempersulit diri) serta tanaththu’ (memberatkan diri) dalam pelaksanaan ibadah tersebut adalah bid’ah.

2. Keluar menentang aturan agama.
Hal ini meliputi beberapa kaidah berikut ini:
1. كل ما كان من الإعتقادات والاراء و العلوم معارضا لنصوص الكتاب والسنة أو مخالفا لإجماع سلف الامة فهو بدعة
Setiap keyakinan, pendapat atau ilmu yang menentang nusush (Al-Kitab dan As-Sunnah) atau berlawanan dengan ijma’ salaful ummah maka itu semua adalah bid’ah.

2. مالم يرد فى الكتاب والسنة ولم يؤثر عن الصحابة رضي الله عنهم من الاعتقاد فهو بدعة
Keyakinan yang tidak ada dalam Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak didapatkan dari sahabat adalah bid’ah.

3. الزام الناس بفعل شيئ من العادات والمعاملات وجعل ذلك كالشرع الذى لايخالف والدين لايعارض بدعة
Mewajibkan manusia untuk melakukan suatu adat dan muamalat serta menjadikan hal itu seperti syari’at yang tidak boleh ditentang dan agama yang tidak boleh dibantah adalah bid’ah.

4. الخروج علي الاوضاع الدينية الثابتة وتغييرالحدود الشرعية المقدرة بدعة
Keluar menentang aturan-aturan agama, dan merubah sanksi-sanksi syar’i yang sudah ditentukan batasannya adalah bid’ah.

5. مشابهة الكافرين فيماكان من خصائصهم من عبادة أوعادة أو كليهما بدعة
Menyerupai orang-orang kafir dalam hal yang khusus bagi mereka, baik berupa ibadah, adat, atau keduanya adalah bid’ah.

6. الإتيان بشيئ من أعمال الجاهلية التي لم تشرع في الإسلام بدعة
Melakukan sesuatu dari amalan-amalan jahiliyyah yang tidak disyari’atkan di dalam Islam adalah bid’ah.

3. Peluang-peluang yang menggiring ke arah bid’ah
Hal ini meliputi beberapa kaidah-kaidah berikut ini:
1. إذا فعل ماهو مطلوب شرعا علي وجه يوهم خلاف ماهو عليه في الحقيقة فهو بدعة
Bila mengerjakan sesuatu yang dituntut secara syari’at, tetapi dengan cara yang dapat menimbulkan anggapan yang berbeda dengan keadaan sebenarnya maka hal itu termasuk bid’ah.
2. إذا فعل ماهو جائز شرعا علي وجه يعتقد فيه أنه مطلوب شرعا فهو ملحق بالبدعة

Bila suatu pekerjaan menurut syariat hukumnya jaiz (mubah), tetapi ia diyakini hukumnya sunnah atau wajib menurut syariat, maka ia termasuk bid’ah.
3. إذا عمل بالمعصية العلماءالذين يقتدي بهم علي وجه الخصوص وظهرت من جهتهم حتي أن المنكر عليهم لايلتفت إليه,بحيث يعتقد العامة أن هذه المعصية من الدين فهذا ملحق بالبدعة
Bila perbuatan maksiat dilakukan oleh ulama yang menjadi panutan dengan cara khusus, yang pada akhirnya orang-orang awam meyakini bahwa perbuatan maksiat ini termasuk bagian agama, maka hal seperti itu dikelompokkan dalam bid’ah.
4. إذا عمل بالمعصية العوام وشاعت فيهم وظهرت ,ولم ينكرها العلماء الذين يقتدي بهم وهم قادرون علي الإنكار,بحيث يعتقد أن هذه المعصية مما لابأس به فهذا ملحق بالبدعة
Bila perbuatan maksiat dilakukan oleh orang-orang awam sehingga mewabah dan tersebar di antara mereka sedangkan para ulama yang menjadi panutan tidak mengingkarinya, sehingga hal itu menimbulkan keyakinan orang awam bahwa perbuatan maksiat ini tidak apa-apa maka ini digolongkan bid’ah.

5. كلما يترتب علي فعل البدع المحدثة في الدين من الإتيان ببعض الأمورالتعبدية أو العادية فهوملحق بالبدعة, لأن ما أنبني علي المحدث محدث
Segala sesuatu yang terjadi dan timbul akibat pelaksanaan bid’ah muhdatsah di dalam agama, seperti melakukan beberapa hal yang sifatnya ibadah atau adat istiadat, maka itu semua dikelompokkan juga dalam bid’ah, sebab sesuatu yang dibangun di atas muhdats adalah muhdats juga.

6. MACAM-MACAM BID’AH
a. Ditinjau dari segi bahaya bagi pelakunya, bid’ah terbagi menjadi 2 macam yaitu: bid’ah Mukaffirah dan bid’ah Mufassiqah
Bid’ah Mukaffirah ialah bid’ah yang dapat menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam kekufuran sehingga ia menjadi kafir karenanya, seperti:
1) Melakukan thawaf di sekeliling kubur dengan tujuan mendekatkan diri kepada penghuninya.
2) Bernadzar, berdo’a dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan-kekutan ghaib, seperti Nyi Roro Kidul, Dewi Sri, dan lain-lain.
3) Memiliki keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti keyakianan adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw, keyakinan relativitas kebenaran al-Qur’an, dan lain-lain.
4) Meyakini bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar, tetapi agama selain Islam pun benar adanya (paham pluralism agama).
Sedangkan bid’ah Mufassiqah ialah bid’ah yang dapat menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam kefasikan, sehingga ia terkena dosa, namun tetap dalam keislaman, seperti:
1) Membangun rumah-rumah di kuburan untuk tempat berdo’a kepada Allah.
2) Membuat tata-cara tertentu dalam beribadah seperti tahlilan, yasinan, shalawatan, manaqiban, dan lain-lain
3) Hidup membujang dengan tujuan agar lebih dekat kepada Allah swt.
4) Berdo’a bersama

b. Ditinjau dari segi keterkaitannya dengan syari’ah, bid’ah terbagi 2 macam yaitu: Bid’ah Haqiqiyah dan Bid’ah Idhofiyah.
Bid’ah Haqiqiyah ialah bid’ah yang sama sekali tidak terkait dengan ibadah tertentu yang dituntunkan oleh Rasulullah saw. seperti:
1) Puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya), puasa pati geni, puasa mutih, dan sebangsanya.
2) Mengadakan selamatan mitoni/ ningkepi dan mrocati, puputan, selapanan, dan mandap siti
3) Tabattul/ hidup membujang, tidak nikah untuk tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan
4) Mengadakan upacara sesaji pada pohon dan bernadzar pergi ke kubur wali.
5). Mengheningkan cipta , sebagaimana layaknya dilakukan oleh bangsa Jepang
6). Menyiksa diri untuk tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bid’ah Idhofiyah ialah bid’ah yang dikaitkan kepada ibadah tertentu yang dituntunkan oleh Rasulullah saw.
1) Shalat Raghaib, yaitu shalat 12 rakaat pada malam Jum’at yang pertama dalam bulan Rajab, dengan cara-cara tertentu.
2) Shalat Nishfu Sya’ban, yaitu shalat 100 rakaat pada malam tanggal lima bulan Sya’ban, dengan cara-cara tertentu.
3) Menetapkan Rabo terakhir bulan Shafar agar dilakukan Shalat Sunat setelah Dzuhur dan dianjurkan para jamaah membawa air untuk tolak bala.
4) Mengumandangkan adzan dan iqamat untuk mayit sehabis dikubur untuk adzan untuk calon jamaah haji yang akan berangkat ke tanah suci.
5) Mentalqin orang yang sudah meninggal dunia.
6) Berdzikir sampai tak sadarkan diri (sakran fidz dzikri)

c. Ditinjau dari segi perwujudannya, bid’ah dibagi 2 yaitu: Bid’ah Fi’liyah dan Bid’ah Tarkiyah
Bid’ah Fi’liyah ialah bid’ah dalam wujud mengerjakan sesuatu, baik berupa pekerjaan, tindakan maupun ucapan., seperti:
1) Membaca shalawat sebelum mengumandangkan adzan
2) Membaca surat an-nas, al-falaq, al-ikhlas sebelum mendirikan shalat.
3) Melafadzkan niat dalam berwudlu’, shalat, dan berpuasa.
4) Menyelenggarakan upacara tahlilan, kirim pahala bagi si mayit.
Bid’ah Tarkiyah ialah bid’ah dalam wujud meninggalkan sesuatu
seperti:
1) Meninggalkan keramaian (bertapa) untuk bersemedi di gunung-gunung
2) Berpantang makanan tertentu yang didasari oleh keyakinan yang keliru.
Termasuk Bid’ah Tarkiyah juga adalah bid’ah yang terjadi karena meninggalkan sesuatu yang dihalalkan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan, atau tanpa alasan sama sekali, seperti meninggalkan makan daging kambing dan meninggalkan minum air yang bergula karena ingin mendapat pahala dari meninggalkannya. Tetapi kalau meninggalkan Nikah karena khawatir akan menyengsarakan orang yang akan dinikahi, meninggalkan makan daging kambing karena khawatir darah tingginya akan kambuh dan meninggalkan minum air bergula karena khawatir kencing manisnya akan parah, maka meninggalkannya tidak termasuk bid’ah.

d. Ditinjau dari segi ajarannya, bid’ah dibagi dua yaitu: Bid’ah i’tiqadiyah dan Bid’ah ‘Amaliyah
Bid’ah I’tiqadiyah ialah bid’ah yang berupa ajaran-ajaran yang bersifat aqidah/keyakinan, seperti:
1) Faham yang membenarkan semua agama dan pemeluk-pemeluk agama non Islam dapat masuk Surga (Pluralisme Agama)
2) Faham yang memisahkan ajaran Allah dalam kehidupan manusia (Sekularisme)
3) Kepercayaan bahwa Tuhan itu berjism.
4) Kepercayaan bahwa Tuhan itu menyerupai makhluk.
5) Kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak mempunyai kebebasan penuh dalam berbuat.

Bid’ah ‘Amaliyah ialah bid’ah yang berupa ajaran-ajaran yang bersifat amaliah badaniyah. seperti:
1) Puasa Mutih dan puasa ngrowot.
2) Menggerak-gerakkan kepala dengan tujuan ta’abbudi ketika membaca kalimah thayyibah
3) Menyelenggarakan acara-acara manaqiban, barzanji, yasinan, dan lain-lain.
4) Menentukan bacaan-bacaan khusus secara bersama-sama disela-sela shalat tarwih.
5) Mengirimkan bacaan al-fatihah untuk orang-orang telah meninggal dunia.

e. Ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya, bid’ah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Bid’ah Zamaniyah, Bid’ah Makaniyah dan Bid’ah Haliyah
Bid’ah Zamaniyah ialah bid’ah yang dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu seperti:
1) Mengadakan perayaan-perayaan pada hari Maulid.
2) Mengadakan selamatan-selamatan sehabis panen.
3) Mengadakan selamatan-selamatan di akhir bulan Sya’ban.
4) Mengadakan tahlilan setiap malam jum’at kliwon.
Bid’ah Makaniyah ialah bid’ah yang dikaitkan dengan tempat-tempat tertentu seperti:
1) Membangun cungkuk di atas kubur.
2) Mengadakan selamatan di atas kubur orang yang dipandang keramat.
3) Tidur di atas kubur seraya memohon sesuatu kepada yang dikubur.
4) Membaca al-Qur’an di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Bid’ah Haliyah ialah bid’ah yang dikaitkan dengan peristiwa- peristiwa/kondisi-kondisi tertentu, seperti:
1) Mengadakan upacara-upacara karena lahirnya seorang bayi.
2) Mengadakan upacara-upacara karena matinya seorang anggota keluarga.
3) Mengadakan upacara selamatan gerhana bulan/matahari.
4) Ramai-ramai berdzikir waktu mengantar jenazah
5) Meniru-niru orang kafir dalam merayakan agama mereka.


والله أعلم بالصواب


Sumber Rujukan:

1. Al-Qur’anul Karim
2. Kitab-Kitab hadits
3. Kaidah memahami bid’ah. Oleh: Muhammad bin Husain Al Jizani
4. Makalah Pesantren Ramadlan. Oleh Drs. A. Daelan.
5. Al-Bida’ wal Muhkalifat fil hajji. Oleh: Abdul Muhsin bin Muhammad Samih, dkk.
6. As-Sunan wal Mubtadi’at.







MAKTABAH ABU SALMA
52 Kiat
Agar Suami Disayang Isteri
Oleh : Adil Fathi Abdillah
1. Berhiaslah untuk isteri anda sebagaimana anda senang apabila ia berhias
untuk anda.
2. Merayu isteri dan mencandainya.
3. Mempergaulinya dengan lemah lembut dan kasih sayang.
4. Penuhi kesenangannya untuk berbicara dan bercakap-cakap
(bercengkerama).
5. Panggillah isteri dan nama kesukaannya.
6. Jauhilah sikap emosional dan tempramental.
7. Berilah isteri anda rasa aman dan tenang.
8. Membuatnya gembira dengan pemberian yang mengejutkan.
9. Masuklah ke dalam rumah dengan wajah berseri-seri dan tersenyum.
10. Berlemahlembutlah dalam berbicara.
11. Bicarakanlah sesuatu yang menyenangkannya.
12. Memujinya di hadapan keluarga anda dan keluarganya.
13. Menghargai penampilannya.
14. Berikanlah hadiah (romantis) semisal bunga atau selainnya sebagai
penguat cinta diantara keduanya.
15. Hilangkanlah kejenuhan rutinitas sehari-hari dengan bertamasya (rihlah)
atau selainnya.
16. Terimalah kekurangan-kekurangannya karena tidak ada manusia yang
sempurna.
17. Jagalah diri dari perkara-perkara sepele yang dapat bertumpuk menjadi
masalah besar.
18. Bantulah isteri anda dalam urusan-urusan rumah tangga.
19. Jangan kikir dengan perasaan anda. Ekspresikan perasaan anda kepadanya
dengan kelembutan dan kejujuran.
20. Hargai akal dan buah pemikirannya.
21. Selalulah berbaik sangka kepada dirinya.
22. Bangkitkanlah perasaannya bahwa ia adalah wanita yang ideal bagi anda.
23. Bantulah ia meningkatkan kemampuannya.
24. Jagalah perasaannya terutama di saat haidh dan hamil.
25. Bantulah dirinya di dalam mengurusi anak-anak.
26. Hormati keluarganya, berbuat baik kepada mereka dan tidak melarangnya
untuk mengunjungi keluarganya.
27. Makan bersama di rumah atau tempat lain yang tenang dan aman dari
fitnah.
28. Berikan pujian dan sanjungan kepada dirinya.
29. Jagalah rahasianya dan janganlah menyebarkannya.
30. Jagalah hak-haknya dan janganlah menyia-nyiakannya.
31. Berbuat adillah kepada dirinya.
32. Perlakukanlah dirinya dengan baik dan lemah lembut.
33. Bersikaplah realistis dan jadikanlah dirinya sebagai isteri yang ideal bagi
anda.
34. Bekerja sama dengannya di dalam ketaatan kepada Alloh.
35. Janganlah anda terlalu sering meninggalkan dirinya dan rumah.
36. Yang lalu biarlah berlalu dan jangan suka mengungkit-ungkit kesalahan
yang telah berlalu.
37. Jangan memberikan peluang kepada orang lain untuk mencampuri urusan
rumah tangga anda.
38. Jauhi motivasi yang buruk tatkala menikah.
39. Jagalah kesehatannya secara intensif.
40. Ajaklah isteri anda ke dalam kebahagiaan anda.
41. Kirimlah surat kepadanya apabila anda jauh darinya.
42. Jelas dan tidak tergesa-gesa apabila anda meminta sesuatu padanya
sehingga dia faham dan tidak bingung dengan apa yang anda inginkan.
43. Maklumilah kecemburuannya dan maafkanlah.
44. Bantulah dirinya di dalam menghadapi persoalan-persoalan yang
menyusahkan dan membosankan.
45. Ikutilah petunjuk Islam ketika isteri anda berpaling.
46. Jangan menganggap diri anda selalu benar.
47. Mengikuti petunjuk Islam tatkala melakukan hubungan intim.
48. Tidak mendatangi isteri dari dubur atau tatkala haidh.
49. Menjaganya dari pandangan-pandangan jahat manusia.
50. Memberinya anggaran khusus selain biaya hidup sehari-hari.
51. Nikmatilah nikmatnya lupa terutama yang berkaitan dengan musibahmusibah
yang menyedihkan, kesalahan-kesalahan dan perilaku isteri di masa
lalu.
52. Janganlah anda menunggu-nunggu mukjizat, karena isteri anda adalah unik
dengan karakternya dan janganlah anda memaksanya berubah sekehendak
anda. Terimalah dirinya apa adanya, tutuplah mata dari kelemahankelemahannya
dan bukalah mata dari kelebihan-kelebihannya. Insya Alloh
isteri anda akan semakin mencintai anda.
Sumber : Kiat-kiat disayang isteri, Pustaka al-Sofwa, pent. Akhyar ash-Shidiq Muhsin, Lc., Editor : Kholid Syamhudi, Lc. Judul Asli :
Kayfa Taj’al Zawjataka Tuhibbuka
HOME >>>




Sikap sabar adalah suatu kemestian
Ahad, 17 April 2005 - 20:45:49 :: kategori Aqidah
Penulis: Bulletin Al Wala wal Bara' Edisi V/03/20
.: :.
Ayat-ayat Al Qur'an tentang Sabar

Allah Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (Aali 'Imraan:200)

Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah:155)
Dan Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (Az-Zumar:10)
Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
"Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (Asy-Syuuraa:43)

Dan Allah Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah:153)

Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kalian." (Muhammad:31)

Dan ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menerangkan keutamaannya sangat banyak dan dikenal.

Pengertian dan Jenis-jenis Sabar

Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: "qutila shabran" yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari'at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para 'ulama.

Jenis sabar yang pertama: yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.
Yang penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah bagi jiwa dan badan, sehingga butuh kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung." (Aali 'Imraan:200)

Allah juga berfirman
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (Thaahaa:132)

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنْزِيلاً(23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." (Al-Insaan:23-24)

Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena sesungguhnya Al-Qur`an itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.

Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya." (Al-Kahfi:28)
Ini adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Jenis sabar yang kedua: yaitu bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya, karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr, mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.

Maka kita harus menahan diri kita dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini tentunya perlu kesabaran dan butuh pengendalian jiwa dan hawa nafsu.

Diantara contoh dari jenis sabar yang kedua ini adalah sabarnya Nabi Yusuf 'alaihis salaam dari ajakan istrinya Al-'Aziiz (raja Mesir) ketika dia mengajak (zina) kepadanya di tempat milik dia, yang padanya ada kemuliaan dan kekuatan serta kekuasaan atas Nabi Yusuf, dan bersamaan dengan itu Nabi Yusuf bersabar dan berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
"Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (Yuusuf:33)
Maka ini adalah kesabaran dari kemaksiatan kepada Allah.

Jenis sabar yang ketiga: yaitu sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia).

Karena sesungguhnya taqdir Allah 'Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.

Taqdir yang bersifat menyenangkan; maka butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah). Adapun taqdir yang bersifat menyakitkan; yaitu yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji pada badannya dengan adanya rasa sakit atau yang lainnya, diuji pada hartanya –yaitu kehilangan harta-, diuji pada keluarganya dengan kehilangan salah seorang keluarganya ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya dengan difitnah, direndahkan ataupun yang sejenisnya.
Yang penting bahwasanya macam-macam ujian itu sangat banyak yang butuh akan adanya kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, maka seseorang harus menahan jiwanya dari apa-apa yang diharamkan kepadanya dari menampakkan keluh kesah dengan lisan atau dengan hati atau dengan anggota badan.

Allah berfirman:
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
"Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." (Al-Insaan:24)
Maka masuk dalam ayat ini yaitu hukum Allah yang bersifat taqdir.

Dan diantara ayat yang menjelaskan jenis sabar ini adalah firman Allah:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka." (Al-Ahqaaf:35)

Ayat ini menerangkan tentang kesabaran para rasul dalam menyampaikan risalah dan dalam menghadapi gangguan kaumnya.

Dan juga diantara jenis sabar ini adalah ucapan Rasulullah kepada utusan salah seorang putri beliau:
مُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
"Perintahkanlah kepadanya, hendaklah bersabar dan mengharap pahala kepada Allah (dalam menghadapi musibah tersebut)." (HR. Al-Bukhariy no.1284 dan Muslim no.923)

Keadaan Manusia Ketika Menghadapi Musibah

Sesungguhnya manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah ada empat keadaan:
Keadaan pertama: marah
Keadaan kedua: bersabar
Keadaan ketiga: ridha
Dan keadaan keempat: bersyukur.

Inilah empat keadaan manusia ketika ditimpa suatu musibah.

Adapun keadaan pertama: yaitu marah baik dengan hatinya, lisannya ataupun anggota badannya.

Adapun marah dengan hatinya yaitu dalam hatinya ada sesuatu terhadap Rabbnya dari kemarahan, perasaan jelek atau buruk sangka kepada Allah - dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini- dan yang sejenisnya bahkan dia merasakan bahwa seakan-akan Allah telah menzhaliminya dengan musibah ini.

Adapun dengan lisan, seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan, seperti mengatakan: "Duhai celaka, duhai binasa!", atau dengan mencela masa (waktu), yang berarti dia menyakiti Allah 'Azza wa Jalla dan yang sejenisnya.

Adapun marah dengan anggota badan seperti menampar pipinya, memukul kepalanya, menjambak rambutnya atau merobek bajunya dan yang sejenis dengan ini.
Inilah keadaan orang yang marah yang merupakan keadaannya orang-orang yang berkeluh kesah yang mereka ini diharamkan dari pahala dan tidak akan selamat (terbebas) dari musibah bahkan mereka ini mendapat dosa, maka jadilah mereka orang-orang yang mendapatkan dua musibah: musibah dalam agama dengan marah dan musibah dalam masalah dunia dengan mendapatkan apa-apa yang tidak menyenangkan.

Adapun keadaan kedua: yaitu bersabar terhadap musibah dengan menahan dirinya (dari hal-hal yang diharamkan), dalam keadaan dia membenci musibah dan tidak menyukainya dan tidak menyukai musibah itu terjadi akan tetapi dia bersabar (menahan) dirinya sehingga tidak keluar dari lisannya sesuatu yang dibenci Allah dan tidak melakukan dengan anggota badannya sesuatu yang dimurkai Allah serta tidak ada dalam hatinya sesuatu (berprasangka buruk) kepada Allah selama-lamanya, dia tetap bersabar walaupun tidak menyukai musibah tersebut.

Adapun keadaan ketiga: yaitu ridha, di mana keadaan seseorang yang ridha itu adalah dadanya lapang dengan musibah ini dan ridha dengannya dengan ridha yang sempurna dan seakan-akan dia tidak terkena musibah tersebut.

Adapun keadaan keempat: bersyukur, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut, dan adalah keadaannya Rasulullah apabila melihat sesuatu yang tidak disukainya, beliau mengatakan:
الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
"Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan."

Maka dia bersyukur kepada Allah dari sisi bahwasanya Allah akan memberikan kepadanya pahala terhadap musibah ini lebih banyak dari apa-apa yang menimpanya.
Dan karena inilah disebutkan dari sebagian ahli ibadah bahwasanya jarinya terluka lalu dia memuji Allah terhadap musibah tersebut, maka orang-orang berkata: "Bagaimana engkau memuji Allah dalam keadaan tanganmu terluka?" Maka dia menjawab: "Sesungguhnya manisnya pahala dari musibah ini telah menjadikanku lupa terhadap pahitnya rasa sakitnya."

Tingkatan Sabar

Sabar itu ada tiga macam, yang paling tingginya adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, kemudian sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, kemudian sabar terhadap taqdir Allah. Dan susunan ini ditinjau dari sisi sabar itu sendiri bukan dari sisi orang yang melaksanakan kesabaran, karena kadang-kadang sabar terhadap maksiat lebih berat bagi seseorang daripada sabar terhadap ketaatan, apabila seseorang diuji contohnya dengan seorang wanita yang cantik yang mengajaknya berbuat zina di tempat yang sunyi yang tidak ada yang melihatnya kecuali Allah, dalam keadan dia adalah seorang pemuda yang mempunyai syahwat (yang tinggi), maka sabar dari maksiat seperti ini lebih berat bagi jiwa. Bahkan kadang-kadang seseorang melakukan shalat seratus raka'at itu lebih ringan daripada menghindari maksiat seperti ini.

Dan terkadang seseorang ditimpa suatu musibah, yang kesabarannya dalam menghadapi musibah ini lebih berat daripada melaksanakan suatu ketaatan, seperti seseorang kehilangan kerabatnya atau temannya ataupun istrinya. Maka engkau akan dapati orang ini berusaha untuk sabar terhadap musibah ini sebagai suatu kesulitan yang besar.

Akan tetapi ditinjau dari kesabaran itu sendiri maka tingkatan sabar yang tertinggi adalah sabar dalam ketaatan, karena mengandung ilzaaman (keharusan) dan fi'lan (perbuatan). Maka shalat itu mengharuskan dirimu lalu kamu shalat, demikian pula shaum dan haji… Maka padanya ada keharusan, perbuatan dan gerakan yang padanya terdapat satu macam dari kepayahan dan keletihan.

Kemudian tingkatan kedua adalah sabar dari kemaksiatan karena padanya hanya ada penahanan diri yakni keharusan bagi jiwa untuk meninggalkannya.

Adapun tingkatan ketiga, sabar terhadap taqdir, maka sebabnya bukanlah dari usaha seorang hamba, maka hal ini bukanlah melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu, akan tetapi semata-mata dari taqdir Allah. Allahlah yang memberi taufiq.

Diringkas dari Al-Qaulul Mufiid dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin.

(Dikutip dari Bulletin Al Wala' wa Bara', Edisi ke-5 Tahun ke-3 / 24 Desember 2004 M / 12 Dzul Qo'dah 1425 H. Judul asli Sabar, Suatu Kemestian. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=5&th=3)






KEUTAMAAN PUASA

Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

SHIFATI SHAUMIN NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN

Muqadimah

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah kepada sayyid para Rasul, kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba'du.

Buku ini -wahai saudaraku para penuntut ilmu- adalah cetakan terbaru dari kitab kami Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan. Kami persembahkan pada kalian dengan bentuk yang bagus yang berisi faedah-faedah tambahan dan masalah-masalah yang ringan. Mudah-mudahan Allah menuliskan pahala dan manfaat bagi kami dengan mengarang kitab ini.

Dalam cetakan kali ini, kami berpikir untuk mentakhrij kembali hadits-hadits dalam kitab ini dengan takhrij manhaji ilmi yang dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah diwariskan para imam dan ulama kita Rahinmahullah.

Sebagai tambahan kami ingin katakan :

Dalam cetakan yang pertama dari kitab ini terdapat beberapa kekeliruan dan kesalahan, kali ini kami telah berusaha keras untuk menjauhinya. Mengingat yang benar dan hak Insya Allah Yang Maha Mulia urusan-Nya dan kami minta ampun kepada Allah dan kesalahan yang timbul dari kami.

Kami ulangi sekarang apa yang selalu kami ucapkan :

Semua kitab selain Al-Qur'an, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat kesalahan pena, atau kesalahan paham hendaknya membenarkan dan meluruskan. Hati kami lapang dan telinga-telinga kami bersedia untuk menerimanya.

Dua penulis
25 Rabi'ul Tsani 1409H
Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Salim Al-Hilaly
25 Ramadhan 1403H
________________________________________

Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath'i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah.
"Artinya : Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar" [A-Ahzab : 35]
Dan firman Allah.
"Artinya : Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah : 184]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.

1. Puasa Adalah Perisai [1]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa'[2] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah[3] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih]
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [4]

Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).

2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.

Dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) :
"Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? ; beliau menjawab : "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas *

4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan*

5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk*
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [5] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : 'Aku sedang berpuasa'[6]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[7] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya" [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari]
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan).
"Artinya : Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya"
Di dalam riwayat Muslim.
"Artinya : Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman : "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku" Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk"
6. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa'at" [8]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan sempurnkanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta'ala juga berfirman.
"Artinya : Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]

"Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]

"Artinya : Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
8. Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Foote Note.
1. Pelindung
2. Maksudnya memutuskan syahwat jiwa
3. Yang mampu menikah dengan berbagai persiapannya
4. Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH
5. Yakni : Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas.
6. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : "Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya" (Muttafaqun 'alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Walallahu a'lam.
7. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
8. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu'aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin 'Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu' Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : "Dan perawinya adalah perawi shahih"
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta'ala berfirman.
"Artinya : (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka" [Al-Baqarah : 3]



KEUTAMAAN PUASA

Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

SHIFATI SHAUMIN NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN

Muqadimah

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah kepada sayyid para Rasul, kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba'du.

Buku ini -wahai saudaraku para penuntut ilmu- adalah cetakan terbaru dari kitab kami Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhan. Kami persembahkan pada kalian dengan bentuk yang bagus yang berisi faedah-faedah tambahan dan masalah-masalah yang ringan. Mudah-mudahan Allah menuliskan pahala dan manfaat bagi kami dengan mengarang kitab ini.

Dalam cetakan kali ini, kami berpikir untuk mentakhrij kembali hadits-hadits dalam kitab ini dengan takhrij manhaji ilmi yang dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah diwariskan para imam dan ulama kita Rahinmahullah.

Sebagai tambahan kami ingin katakan :

Dalam cetakan yang pertama dari kitab ini terdapat beberapa kekeliruan dan kesalahan, kali ini kami telah berusaha keras untuk menjauhinya. Mengingat yang benar dan hak Insya Allah Yang Maha Mulia urusan-Nya dan kami minta ampun kepada Allah dan kesalahan yang timbul dari kami.

Kami ulangi sekarang apa yang selalu kami ucapkan :

Semua kitab selain Al-Qur'an, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat kesalahan pena, atau kesalahan paham hendaknya membenarkan dan meluruskan. Hati kami lapang dan telinga-telinga kami bersedia untuk menerimanya.

Dua penulis
25 Rabi'ul Tsani 1409H
Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Salim Al-Hilaly
25 Ramadhan 1403H
________________________________________

Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath'i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah.
"Artinya : Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar" [A-Ahzab : 35]
Dan firman Allah.
"Artinya : Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah : 184]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.

1. Puasa Adalah Perisai [1]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa'[2] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah[3] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih]
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [4]

Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).

2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.

Dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) :
"Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? ; beliau menjawab : "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas *

4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan*

5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk*
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [5] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : 'Aku sedang berpuasa'[6]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[7] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya" [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari]
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan).
"Artinya : Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya"
Di dalam riwayat Muslim.
"Artinya : Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman : "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku" Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk"
6. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa'at" [8]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan sempurnkanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta'ala juga berfirman.
"Artinya : Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]

"Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]

"Artinya : Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
8. Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Foote Note.
1. Pelindung
2. Maksudnya memutuskan syahwat jiwa
3. Yang mampu menikah dengan berbagai persiapannya
4. Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH
5. Yakni : Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas.
6. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : "Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya" (Muttafaqun 'alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Walallahu a'lam.
7. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
8. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu'aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin 'Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu' Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : "Dan perawinya adalah perawi shahih"
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta'ala berfirman.
"Artinya : (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka" [Al-Baqarah : 3]




LARANGAN MENDAHULUI PUASA RAMADHAN
DENGAN PUASA SEHARI

Hadist No.1230
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan dari Nabi, sabdanya: “Janganlah seseorang diantara kamu mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali kalau seseorang itu memang biasa berpuasa, maka silakan puasa pada hari itu”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan
Hadist ini melarang seseorang dengan sengaja mendahului puasa sehari atau dua hari sebelum masuk Ramadhan, dengan harapan memperoleh pahala yang lebih banyak. Tetapi, kalau seseorang itu sudah biasa puasa, misalnya puasa Daud atau Senin-Kamis, kemudian tepat kurang sehari Ramadhan itu adalah hari dia berpuasa, maka puasa ketika itu tidak apa-apa.
Pelajaran Dari Hadist
Ibadah itu adalah tauqifi, artinya suatu ketentuan yang tidak bisa ditambah atau dikurangi, betapapun niatnya baik.
Hadist No.1232
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, katanya: Rasulullah bersabda: “Apabila bulan Sya’ban itu tinggal separo, maka janganlah kamu berpuasa”.(HR.Tirmidzi,iapun berkata:Hadis ini Hasan Shahih).
Penjelasan
Larangan puasa nishfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) ada keterkaitannya puasa khusus karena hendak mencari pahala sebanyak-banyaknya. Tetapi kalau seseorang itu sudah terbiasa dengan puasa Daud atau Senin-Kamis seperti diterangkan terdahulu, maka hal itu tidak mengapa. Adapun tujuan larangan ini, agar seseorang dapat mengerjakan puasa Ramadhan dengan baik dan sempurna.
KEUTAMAAN PUASA MUHARRAM, SYA’BAN
DAN BULAN-BULAN HARAM
Hadist No.1253a.
Aisyah r.a. meriwayatkan, katanya:Belum pernah Rasulullah berpuasa yang begitu banyak, selain dibulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau pernah puasa Sya’ban itu sebulan penuh.(HR. BUKHARI dan Muslim).
Hadist No.1253b.
Dalam sebuah riwayat dikatakan: Beliau pernah puasa sya’ban itu hampir sebulan penuh, tinggal beberapa hari saja.(HR.BUKHARI dan MUSLIM).
Penjelasan
Dua riwayat diatas, kalau masing-masing berdiri sendiri, maka berarti Rasulullah pernah puasa sya’ban sebulan penuh, dan pernah juga tidak sampai sebulan penuh. Tetapi, kalau dua riwayat itu berarti satu, dengan arti yang kedua menerangkan yang pertama, maka puasa sya’ban Rasulullah itu tidak sampai sebulan. Sehingga dengan demikian, tidak ada puasa sebulan penuh, kecuali bulan Ramadhan.
Ibnu Hajar Al ‘Ashqalani yang biasa disebut Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4:213 membawakan beberapa pendapat para ulama’ sekitar masalah tersebut. Namun, kelihatannya beliau lebih condong pada pendapat yang kedua, dengan alasan Hadist ‘Aisyah r.a. juga yang mengatakan:
“Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan penuh, selain Ramadhan, dan tidak pula aku melihat beliau lebih banyak berpuasa, selain Sya’ban. (HR.Bukhari).
Dan katanya juga:
“Dan sama sekali beliau tidak pernah berpuasa sebulan penuh, sejak kedatangannya ke Madinah, selain Ramadhan”. (HR. MUSLIM dan Nasai).
Dengan demikian kata “Kullahu” (semuanya) dalam Hadis 1253a di atas berarti “kabanyakannya”. Dalam ilmu Mantiq, Kullun yang bermakna demikian itu disebut “Kulliyun”(kebanyakan,pada umumnya), bukan “kulliyah” yang berarti semuanya. Wallahu a’lam.
Dinukil dari kitab “Syarah Riyadhush Shalihin” Jilid 4, alih bahasa H.MU’AMMAL HAMIDY, Penerbit PT.BINA ILMU.




Allah Memberi Kekayaan Sesuai Keadilan-Nya
Berikut adalah tafsir surat Asy Syuraa ayat 27 tentang keadilan Allah dalam memberikan
rizki dan kekayaan. Semoga bermanfaat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ
خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi
Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hambahamba-
Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka
akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu
melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah
yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi
mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته
لكفر
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah
membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan
padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[2] Hadits ini dinilai dho’if (lemah), namun maknanya adalah
shahih karena memiliki dasar shahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan Mereka
Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan
kekufuran. Artinya disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam
kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang
yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk
semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah musyrikin Mekkah dalam surat Al Qolam.
Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ آَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ ( 17 ) وَلَا يَسْتَثْنُونَ ( 18 ) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ
( وَهُمْ نَائِمُونَ ( 19
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun,
ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. dan mereka tidak menyisihkan
(hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam:
17-19), silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Orang-orang yang berdusta ini diuji dengan kebaikan dan harta yang melimpah untuk mereka. Mereka diberikan harta yang begitu
banyak, juga diberikan keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai dengan kemauan mereka. Dan pemberian ini
bukanlah diberikan karena kemuliaan mereka di sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat mereka semakin terlena
dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]



Suara Penyiksaan Alam Kubur



"Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.

Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"
[Al Hajj , Ayat 5 dan 6]




Penemuan suara penyiksaan alam kubur ini ditemukan oleh seorang peneliti dari Soviet bernama Dr. Azzacove (seorang komunis), berikut ini adalah penuturan ceritanya :

"Penemuan terakhir ini adalah penemuan yang sangat mengejutkan pendengaran kami, dengan penemuan ini banyak dari peneliti kami yang berhenti dari pekerjaan ini karena ketakutan. Pada awalnya kami hanya hendak mendengarkan pergerakan bumi dengan interval tertentu dan mendengarkan Super Sensitive Microphone yang masuk ke dalam bilik-bilik atau lubang-lubang bumi dan reruntuhan galian.

Pada awalnya kami menyangka apa yang kami dapat itu adalah gesekan dari alat-alat kami pada dinding-dinding perut bumi, tetapi suara ini menghancurkan seluruh logika kami. Setelah beberapa penyesuaian kami berkasimpulan bahwa suara ini berasal dari interior bumi, jadi seakan-akan di dalam perut bumi ini ada ruang lain yang berbeda dari tempat yang kami gali, dan dari ruangan tersebutlah kami tidak mempercayai apa yang kami dengar.

Kami mendengar dari ruang bumi yang lain itu ada suara manusia berteriak keras dalam kesakitan. Walaupun satu suara didengar, kami dapat mendengar ribuan bahkan jutaan latar belakang suara manusia yang sedang dalam kesakitan akibat penyiksaan. Setelah penemuan yang sangat mencenangkan ini, setengah dari peneliti kami berhenti karene takut.

Yang sangat mengejutkan lagi, bagi orang Soviet itu adalah setelah suara tersebut direkam, pada malam yang sama, keluarlah semacam gas atau kabut yang terang dari lokasi penggalian gas. Gas atau kabut tersebut keluar dengan membentuk pilar-pilar dan tulisan yang membentuk seperti sayap kelelawar (seperti lafadz ALLAH, wallahu a'lam), lalu menampakkan dengan sendirinya dengan bahasa Rusia yang artinya AKU TELAH MENAKLUKKAN atau AKU TELAH MENUNDUKKAN. Tulisan itu terlihat di awan Siberia yang gelap.

Kejadian itu sangat tidak masuk akal orang-orang Soviet, karena sedang akan diteror beberapa saat setelah itu datanglah ambulance ke kumpulan orang-orang tersebut dan memberikan obat yang dapat menghilangkan memori dengan singkat. Sebagai perawatan kepada korban yang melihat keajaiban itu (ini mungkin agar kejadian ini tetap dirahasiakan).

Nah, sebagai komunis, Saya tidak percaya adanya surga dan Injil, tetapi sebagai Ilmuwan sekarang Saya percaya adanya NERAKA. Sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata, apa yang Kami temukan, apa yang Kami lihat dan apa yang Kami dengar. Dan sekarang kami yakin bahwa kami menggali dekat, dekat sekali dengan PINTU NERAKA.". Lalu Dr. Azzacove melanjutkan, "mesin penggali tiba-tiba berputar dengan sangat cepat ketika Kami mencapai salah satu kulit bumi, tempereturnya menunjukkan hingga 2000 derajat Fahrenhait, lalu kami mendekatkan microphone itu disana untuk mendengarkan pergerakan bumi, tetapi, yang terdengar adalah suara manusia, bahkan teriakan manusia dalam kesakitan. Pertama kami mengira suara itu adalah suara mesin. Tetapi setelah melakukan kajian ulang atas suara itu, suara yang terdengar adalah suara manusia bukan hanya satu orang, mungkin jutaan manusia yang sedang dalam siksaan dan kesakitan.

Apakah Anda tahu kenapa Jacques Costeau, seorang penjelajah dalam air berhenti beberapa saat sebelum dia mati. Dia berhenti karena dia juga pernah mendengar suara jeritan manusia di dalam air ketika ia sedang menjelajah di dalam air. Dan dalam kesempatan lain juga salah satu anak buahnya menemukan hal yang sama ketika ia sedang melakukan penjelajahan di sekitar SEGITIGA BERMUDA. Setelah ia sembuh dari shock yang sangat berat, kemudian ia menceritakan bahwa ia mendengar jeritan manusia yang banyak yang sedang disiksa di dalam perut bumi.

Untuk mendengarkan suara hasil penemuan tersebut lengkap dengan penjelasan ayat quran dan haditsnya silahkan download file MP3nya disini. Filenya berukuran 12 MB. Dalam file ini juga ada ceramahnya terlebih dahulu yang menerangkan tentang Hakikat Ruh.

Anda boleh percaya atau tidak, tetapi terlepas dari benar atau tidaknya suara tersebut, kita semua harus meyakini bahwa Alam Kubur dan Siksa Kubur itu ada, yang jadi pertanyaan sekarang adalah sudah siapkah kita untuk menghadapi alam Kubur ?



KEAJAIBAN SEDEKAH

Jik kita membuka Ensiklopedia Mukjizat Alquran & Hadis saya menemukan sebuah kisah dari penggalan ayat Al-Qur’an, surat Al-Kahfi 18
: 32. Petikannya seperti ini :
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir)
dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan
ladang.”
Ada banyak keterangan yang menjelaskan identitas dua orang laki-laki tersebut tapi menurut Muhammad bin Al-Hasan Al-Muqri’, dua
orang laki-laki tersebut bernama Tamlikha & Qurthus.
Semula kedua orang itu bekerja sama, lalu mereka membagi rata kekayaannya masing-masing 3.000 dinar. Seorang yang beriman
(Tamlikha) membelanjakan 1.000 dinar untuk membebaskan seorang budak. 1.000 dinar yang kedua dibelanjakan baju untuk dibagikan
kepada kaum dhuafa & 1.000 dinar sisanya dibelanjakan makanan dan dibagikan kepada orang-orang yang kelaparan.
Kisahnya kita lanjutkan…bagaimana dengan kisah Qurthus (hamba Allah yang tidak beriman)?
Qurthus memanfaatkan aset yang ia miliki dengan menikahi seorang perempuan kaya & membeli hewan ternak dan sapi. Ia kemudian
mengembangbiakkan ternaknya hingga terus bertambah. Hingga akhirnya Qurthus menjadi orang yang paling kaya.
Tapi yang membuat saya terharu ketika membaca kisah yang sama versi Atha’ :
Dua orang ini mulanya bekerjasama. Mereka berdua memiliki kekayaan masing-masing 8.000 dinar (sekitar Rp.10 Milyar!). Salah
seorang membeli sebidang tanah seharga 1.000 dinar, sementara yang lain berkata,” Ya Allah, saudaraku telah membeli sebidang tanah
seharga 1.000 dinar. Aku akan membeli dari-Mu sebidang tanah surga dengan cara bersedekah sebesar 1.000 dinar.”
Orang yang pertama tadi membeli tanah lalu membangun rumah yang menghabiskan 1.000 dinar, sementara yang lain berkata,”Ya Allah,
saudaraku telah membangun rumah dengan dana sebanyak 1.000 dinar. Aku akan membeli dari-Mu rumah di surga dengan cara
menyedekahkan uang 1.000 dinar.”
Konsultan Pribadi Anda Online (http://www.biindit.com
/cpc.php?c=MDAyMDFhcmllZmhpa21haC5jb23ZMDAxMDUwMdlodHRwOi8vaXMuZ2QvZE9MaVL
Dapatkan Solusi Cepat Tepat
Jawaban Pertanyaan Anda!
KEAJAIBAN SEDEKAH | Arief Hikmah http://ariefhikmah.com/keajaiban/keajaiban-sedekah/
1 of 7 8/25/2010 5:46 PM
Setelah melihat temannya menikah, saudaranya yang rajin bersedekah itu berkata,”Ya Allah, saudaraku telah menikahi seorang
perempuan dengan mahar 1.000 dinar. Aku meminang dari-Mu seorang bidadari surga dengan cara bersedekah sebesar 1.000 dinar.
Saudaraku membeli gelang & perhiasan lainnya seharga 1.000 dinar. Aku akan membeli gelang & perhiasan dari surga dengan cara
bersedekah seharga 1.000 dinar.”
Pada satu kisah, Tamlikha sedang diuji Allah SWT dengan kesulitan finansial. Dia berpikir akan meminta bantuan kepada temannya,
Qurthus, agar bisa dipekerjakan di kebun miliknya. Mudah-mudahan ia mau membantuku, batin Tamlikha.
Ketika dua orang sahabat ini bertemu, Tamlikha menyampaikan niatnya. Lalu Qurthus bertanya,
“Bukankah aku telah memberikan setengahnya? Lalu apa yang kamu perbuat atas hartamu?” Tamlikha pun menjawab,”Aku
membelanjakan hartaku untuk sesuatu yang lebih baik dan lebih kekal bagi Allah.”
Singkat cerita Qurthus mengusir Tamlikha. Sesuai dengan yang diberitakan dalam Al-Kahfi ayat 82 orang kaya ini melindungi kebunnya
tetapi Allah SWT melenyapkannya dengan mengirim musibah dari langit.
Kisahnya cukup panjang, anda bisa baca lanjutan kisahnya di Ensiklopedia Mukjizat Alquran & Hadis no.6 “Kemukjizatan tumbuhan &
buah-buahan”.
Mari kita sama-sama simak Surat Al-Baqarah ayat 281 :
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian
masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).
Di ayat yang lain Allah SWT akan mencabut perasaan takut & khawatir bagi orang-orang yang gemar bersedekah.



keajaiban-sholatshubuh
RSS Feed (http://ariefhikmah.com/feed/)
(http://ariefhikmah.com)
Home (http://ariefhikmah.com)
Ensiklopedi Muhammad (http://ariefhikmah.com/ensiklopedi-muhammad/)
Ensiklopedi Bocah Muslim (http://ariefhikmah.com/ensiklopedi-bocah-muslim/)
Ensiklopedia Mukjizat Al Quran (http://ariefhikmah.com/ensiklopedia-mukjizat-al-quran-dan-hadits/)
ILMA (http://ariefhikmah.com/i-love-my-al-quran-ilma/)
Koleksi Cerita Balita (http://ariefhikmah.com/koleksi-cerita-balita/)
Keajaiban Di Balik Perintah Shalat Subuh
Posted by admin on June 26th, 2010
(http://www.mukjizatalquran.com
/wp-content/uploads
/2010/02/ruku.jpg)
keajaiban-sholat-shubuh
Keajaiban Sholat Subuh
Kenapa Harus Bangun pagi buta untuk Sholat Subuh?? Bagi seorang muslim mungkin pertanyaan ini dengan mudah
dijawab ; karena sholat subuh adalah bagian dari ibadah wajib yang harus dikerjakan sebagai bukti ketaatan pada
Tuhannya. Tapi kenapa ya harus pagi buta gitu sholatnya?? lagi enak-enak tidur kok disuruh sholat.???
Pertanyaan-pertanyaan ini untuk sebagian orang mungkin dianggap bodoh dan bisa dianggap nyeleneh. Tapi untuk
Konsultan Pribadi Anda Online (http://www.biindit.com
/cpc.php?c=MDAyMDFhcmllZmhpa21haC5jb23ZMDAxMDUwMdlodHRwOi8vaXMuZ2QvZE9MaVL
Dapatkan Solusi Cepat Tepat
Jawaban Pertanyaan Anda!
Keajaiban Di Balik Perintah Shalat Subuh | Arief Hikmah http://ariefhikmah.com/hikmah/keajaiban-di-balik-perintah-shalat-subuh/
1 of 8 8/25/2010 6:12 PM
orang-orang yang berfikir ilmiah pertanyaan tersebut adalah stimulasi ide besar untuk pembuktian. Kenapa harus
dibuktikan?? Yang jelas tidak ada satu halpun yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan kepada umatnya tanpa
kebermanfaatan.
Jika kita amati, ada satu hal yang berbeda dari ritual sholat subuh dibandingkan sholat lima waktu lainnya. Kalimat yang
terdengar dari suara adzan sedikit berbeda dengan adzan pada sholat yang lain. Kalimat “ash shalatu khairun minan
naum”, menjadi titik perbedaannya. Arti kalimat itu adalah shalat itu lebih baik dari pada tidur. Kenapa kalimat itu hanya
muncul pada adzan subuh dan tidak pada adzan lainnya ?
Memang ada banyak hikmah yang bisa diambil dari ritual di pagi buta ini. Dari peluang rezeki yang besar karena sudah
mulai sejak subuh sampai manfaat terhindar dari kemacetan terutama di kota metropolitan seperti Jakarta. Ternyata bukan
itu saja arti kebermanfaatan yang Allah berikan. Sholat subuh juga mempunyai manfaat mengurangi kecenderungan
terjadinya gangguan kardiovaskular.
Di dalam tubuh manusia ada kekuatan yang terus bekerja tanpa kita komando. Apakah kita sedang tersadar atau tidur.
Kekuatan yang mengatur gerak usus kita sehingga bisa dikeluarkan menjadi feses setelah menyerap zat-zat bermanfaat
untuk tubuh. Kekuatan syaraf otonom mempunyai 2 fungsi yang bekerja secara antagonis, biasa kita sebut sebagai syaraf
simpatis dan syaraf parasimpatis.
Kita mempunyai irama tubuh yang biasa disebut irama sirkadian tubuh dimana mulai jam 3 dini terjadi peningkatan
adrenalin. Akibatnya tekanan darah manusia juga meningkat. Padahal kita sedang tidur pulas. Biasanya adrenalin kita
bekerja saat kita beraktifitas atau dalam keadaan stress. Selain itu terjadi pula penyempitan pembuluh darah otak yang
menyebabkan oksigenasi otak berkurang sehingga kita merasa berat kalo bangun pagi dan cenderung mengantuk.
Peningkatan adrenalin juga mengaktivasi sistem pembekuan darah dimana sel-sel trombosit berangkulan membentuk suatu
trombus. Trombus inilah yang menyebabkan gangguan kardiovaskuler pada manusia. Semuanya adalah kerjaan saraf
simpatis.
Lalu apa hubungannya dengan Sholat???
Hasil penelitian Furchgott dan Ignarro serta Murad tentang suatu zat didalam dinding sel yang dapat melebarkan pembuluh
darah menjawab pertanyaan di atas. Zat yang ditemukan itu bernama NO (Nitrit Oksida). Yang luar biasa adalah ternyata
Nitrit Oksida ini diproduksi terus menerus selama istirahat termasuk ketika manusia tidur. Zat ini juga mencegah
terbentuknya trombus dengan menghambat agregasi/penempelan trombosit. Hasil temuan ini mendapat hadiah NOBEL
tahun 1998.
Aktivitas Bangun pagi untuk sholat subuh apa lagi dengan berjalan ke mesjid untuk berjamaah dapat
meningkatkan kadar Nitrit oksida dalam pembuluh darah sehingga oksigenasi ke otak juga bertambah akibat
melebarnya pembuluh darah otak dan yang pasti trombosit dicegah untuk saling menempel jadinya pembuluh
darah tidak bertambah sempit. Aktivitas mengejan yang ditimbulkan pada gerakan rukuk dalam sholat
meningkatkan tonus syaraf parasimpatis yang melawan efek dari syaraf simpatis seperti yang sudah dijelaskan di
atas.
Subhanallah bukan?? dengan menjalankan sholat subuh apa lagi dengan berjalan ke mesjid (terutama untuk yang laki-laki
ni) kita dapat mencegah proses gangguan pada sistem kardiovaskular kita.
Untuk orang-orang yang berfikir, demikian hikmah dari ajakan-Nya “ash shalatu khairun minan naum”.
Sumber : mukjizatalquran.com
Keajaiban Di Balik Perintah Shalat Subuh | Arief Hikmah http://ariefhikmah.com/hikmah/keajaiban-di-balik-perintah-shalat-subuh/2



Rahasia Fisioterapi Wudhu
Posted by admin on July 4th, 2010
Rukun shalat yang satu ini tentu tidak akan pernah kita lewatkan. Tentu tidak sah jika kita hendak mengerjakan shalat lima waktu tetapi
meninggalkan yang satu ini…ya, apalagi kalau bukan wudhu.
Masih terkagum-kagum dengan perintah Allah SWT dengan pekerjaan remeh yang satu ini. Kenapa tidak?? lalu bagaimana tangan
bersama dengan air menyentuh anggota-anggota tubuh. Kenapa wajah yang dibasuh? Kenapa mesti telinga?
Lama sekali direnungkan sampai saya bertemu dengan buku ini (http://ariefhikmah.com/ensiklopedia-mukjizat-al-quran-dan-hadits/),
tersibaklah sudah misteri yang menyelimuti wudhu. Setelah membaca ulasan ini saya yakin kita tidak akan menganggap enteng tentang
apa arti perintah Wudhu…
Banyak argumentasi yang semakin mendukung. Yuk kita buka satu-persatu misteri wudhu ini :
Setiap perintah Allah SWT tentu memiliki hikmah kebaikan dibaliknya. Bayangkan bahwa wudhu adalah ritual pengkondisian seluruh aspek
hidup, mulai dari psikologis & fisiologis. Lima panca indera…kok kena semua tanpa terkecuali disapu oleh air wudhu. Mata, hidung,
telinga & seluruh kulit tubuh. Ini betul-betul luar biasa.
Ahli syaraf/ neurologist pun telah membuktikan dengan air wudhu yang mendinginkan ujung-ujung syaraf jari-jari tangan dan jari-jari kaki
berguna untuk memantapkan konsentrasi pikiran.
Anda tentu pernah mendengar akupunktur kan? Coba cari tahu dimana saja letak titik-titik sensitif yang sering digunakan dalam ilmu
akupunktur? Lalu kemudian amati pola wudhu. InsyaAllah anda akan segera menemukan benang merah diantara keduanya.
Coba bayangkan…
Pada anggota badan yang terkena perlakuan wudhu terdapat ratusan titik akupunktur yang bersifat reseptor terhadap stimulus berupa
basuhan, gosokan, usapan, dan tekanan/urutan ketika melakukan wudhu. Stimulus tersebut akan dihantarkan melalui meridian ke sel,
jaringan, organ dan sistim organ yang bersifat terapi. Hal ini terjadi karena adanya sistem regulasi yaitu sistem syaraf dan hormon
bekerja untuk mengadakan homeostasis (keseimbangan). Titik-titik akupunktur, suatu fenomena yang menarik bila dikorelasikan dengan
kaifiyat wudhu yang disyari’atkan 15 abad yang lalu.
Mainkan Game Avanzanation (http://www.biindit.com
/cpc.php?c=MDAyMDFhcmllZmhpa21haC5jb23ZMDAwNzkwMdlodHRwOi8vYXBwcy5mYWNlYm9v
Game RTS Facebook 1st
Buatan Indonesia
Rahasia Fisioterapi Wudhu | Arief Hikmah http://ariefhikmah.com/hikmah/rahasia-fisioterapi-wudhu/
1 of 7 8/25/2010 6:10 PM
Setelah dihitung-hitung…ternyata terdapat 493 titik reseptor pada anggota wudhu!!
Anggota Wudhu(rukun dan sunat) Jumlah Titik Akupunktur
Wajah 84
Tangan 95
Kepala 64
Telinga 125
Kaki 125
Jumlah 493
Subhanallah!! Bayangkan jika kita melakukan itu setiap hari paling sedikit 5 kali sehari…
Ternyata kita harus semakin teliti saat menjalani wudhu. Mengapa? Coba ingat-ingat saat kita membasuh telapak kaki & tangan…apakah
sela-sela jari sering kita abaikan? Ternyata ada fakta menarik yang tidak boleh luput :
Satu diantaranya adalah ketika melakukan takhlil, diantara sela-sela jari tangan dan kaki terdapat masing-masing satu titik istimewa (Ba
Sie pada sela-sela jari tangan & Ba Peng pada sela-sela jari kaki). Jadi, keseluruhannya terdapat 16 titik akupunktur. Berdasarkan riset
fakar akupunktur, titik-titik tersebut apabila dirangsang dapat menstimulir bio energi (Chi) guna membangun homeostasis. Sehingga
menghasilkan efek terapi yang memiliki multi indikasi, seperti untuk mengobati migren, sakit gigi, tangan-lengan merah, bengkak, dan jari
jemari kaku.
Lain lagi tentang telinga…ternyata ada 30 hadist yang mendukung ini. BTW, saya pernah coba sebuah produk akupunktur yang
menggunakan tenaga listrik. Lucu juga, karena alat ini disimpan di daun telinga. Dan ketika dialiri listrik rasanya seperti telinga ditusuktusuk.
Saya semakin paham bahwa daun telinga, selain sebagai aksesoris, ternyata terkandung banyak sekali titik reseptor syaraf.
Makanya, saat menyapu telinga itu jangan cuma membasuh saja, tapi harus dengan pijatan juga. Ini namanya aurikulopressure alias pijat
akupunktur telinga.
Subhanallah…luar biasa ternyata kandungan rahasia wudhu…





BAGIAN OTAK YANG MENGENDALIKAN GERAK KITA
"Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka." (Al Qur'an, 96:15-16)
Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam ayat di atas sungguh menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun belakangan mengungkapkan bahwa bagian prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama kurun waktu 60 tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya 1400 tahun lalu. Jika kita lihat bagian dalam tulang tengkorak, di bagian depan kepala, akan kita temukan daerah frontal cerebrum (otak besar). Buku berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan terakhir hasil penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan:
Dorongan dan hasrat untuk merencanakan dan memulai gerakan terjadi di bagian depan lobi frontal, dan bagian prefrontal. Ini adalah daerah korteks asosiasi…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211; Noback, Charles R.; N. L. Strominger; and R. J. Demarest, 1991, The Human Nervous System, Introduction and Review, 4. edition, Philadelphia, Lea & Febiger , s. 410-411)
Buku tersebut juga mengatakan:
Berkaitan dengan keterlibatannya dalam membangkitkan dorongan, daerah prefrontal juga diyakini sebagai pusat fungsional bagi perilaku menyerang…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211)
Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi dorongan, dan memulai perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas perkataan benar dan dusta.
Jelas bahwa ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada penjelasan di atas. Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini, telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.
KELAHIRAN MANUSIA
Terdapat banyak pokok persoalan yang disebutkan dalam Al-Qur'an yang mengundang manusia untuk beriman. Kadang-kadang langit, kadang-kadang hewan, dan kadang-kadang tanaman ditunjukkan sebagai bukti bagi manusia oleh Allah. Dalam banyak ayat, orang-orang diseru untuk mengalihkan perhatian mereka ke arah proses terciptanya mereka sendiri. Mereka sering diingatkan bagaimana manusia sampai ke bumi, tahap-tahap mana yang telah kita lalui, dan apa bahan dasarnya:
"Kami telah menciptakan kamu; maka mengapa kamu tidak membenarkan? Adakah kamu perhatikan (benih manusia) yang kamu pancarkan? Kamukah yang menciptakannya? Ataukah Kami yang menciptakannya?" (Al Qur'an, 56:57-59)
Penciptaan manusia dan aspek-aspeknya yang luar biasa itu ditegaskan dalam banyak ayat. Beberapa informasi di dalam ayat-ayat ini sedemikian rinci sehingga mustahil bagi orang yang hidup di abad ke-7 untuk mengetahuinya. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
1. Manusia tidak diciptakan dari mani yang lengkap, tetapi dari sebagian kecilnya
(spermazoa).
2. Sel kelamin laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin bayi.
3. Janin manusia melekat pada rahim sang ibu bagaikan lintah.
4. Manusia berkembang di tiga kawasan yang gelap di dalam rahim.
Orang-orang yang hidup pada zaman kala Al Qur'an diturunkan, pasti mengetahui bahwa bahan dasar kelahiran berhubungan dengan mani laki-laki yang terpancar selama persetubuhan seksual. Fakta bahwa bayi lahir sesudah jangka waktu sembilan bulan tentu saja merupakan peristiwa yang gamblang dan tidak memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Akan tetapi, sedikit informasi yang dikutip di atas itu berada jauh di luar pengertian orang-orang yang hidup pada masa itu. Ini baru disahihkan oleh ilmu pengetahuan abad ke-20.





SETETES MANI
Selama persetubuhan seksual, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki pada satu waktu. Sperma-sperma melakukan perjalanan 5-menit yang sulit di tubuh si ibu sampai menuju sel telur. Hanya seribu dari 250 juta sperma yang berhasil mencapai sel telur. Sel telur, yang berukuran setengah dari sebutir garam, hanya akan membolehkan masuk satu sperma. Artinya, bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil darinya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur'an :
"Apakah manusia mengira akan dibiarkan tak terurus? Bukankah ia hanya setitik mani yang dipancarkan?" (Al Qur'an, 75:36-37)
Seperti yang telah kita amati, Al-Qur'an memberi tahu kita bahwa manusia tidak terbuat dari mani selengkapnya, tetapi hanya bagian kecil darinya. Bahwa tekanan khusus dalam pernyataan ini mengumumkan suatu fakta yang baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern itu merupakan bukti bahwa pernyataan tersebut berasal dari Ilahi.
Pada gambar di samping, kita saksikan air mani yang dipancarkan ke rahim. Dari keseluruhan sperma berjumlah sekitar 250 juta yang dipancarkan dari tubuh pria, hanya sedikit sekali yang berhasil mencapai sel telur. Sperma yang akan membuahi sel telur hanyalah satu dari seribu sperma yang mampu bertahan hidup. Fakta bahwa manusia tidak diciptakan dengan menggunakan keseluruhan air mani, tapi hanya sebagian kecil darinya, dinyatakan dalam Al Qur'an dengan ungkapan, "setetes mani yang ditumpahkan".



CAMPURAN DALAM AIR MANI

Cairan yang disebut mani tidak mengandung sperma saja. Cairan ini justru tersusun dari campuran berbagai cairan yang berlainan. Cairan-cairan ini mempunyai fungsi-fungsi semisal mengandung gula yang diperlukan untuk menyediakan energi bagi sperma, menetralkan asam di pintu masuk rahim, dan melicinkan lingkungan agar memudahkan pergerakan sperma.
Yang cukup menarik, ketika mani disinggung di Al-Qur'an, fakta ini, yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, juga menunjukkan bahwa mani itu ditetapkan sebagai cairan campuran:
"Sungguh, Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, lalu Kami beri dia (anugerah) pendengaran dan penglihatan." (Al Qur'an, 76:2)
Di ayat lain, mani lagi-lagi disebut sebagai campuran dan ditekankan bahwa manusia diciptakan dari "bahan campuran" ini:
"Dialah Yang menciptakan segalanya dengan sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina." (Al Qur'an, 32:7-8)
Kata Arab "sulala", yang diterjemahkan sebagai "sari", berarti bagian yang mendasar atau terbaik dari sesuatu. Dengan kata lain, ini berarti "bagian dari suatu kesatuan". Ini menunjukkan bahwa Al Qur'an merupakan firman dari Yang Berkehendak Yang mengetahui penciptaan manusia hingga serinci-rincinya. Yang Berkehendak ini ialah Pencipta manusia.
JENIS KELAMIN BAYI
Kromosom Y membawa sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X berisi sifat-sifat kewanitaan. Di dalam sel telur ibu hanya dijumpai kromosom X, yang menentukan sifat-sifat kewanitaan. Di dalam air mani ayah, terdapat sperma-sperma yang berisi kromosom X atau kromosom Y saja. Jadi, jenis kelamin bayi bergantung pada jenis kromosom kelamin pada sperma yang membuahi sel telur, apakah X atau Y. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, penentu jenis kelamin bayi adalah air mani, yang berasal dari ayah. Pengetahuan tentang hal ini, yang tak mungkin dapat diketahui di masa Al Qur'an diturunkan, adalah bukti akan kenyataan bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah.
Hingga baru-baru ini, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh sel-sel ibu. Atau setidaknya, dipercaya bahwa jenis kelamin ini ditentukan secara bersama oleh sel-sel lelaki dan perempuan. Namun kita diberitahu informasi yang berbeda dalam Al Qur'an, yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki atau perempuan diciptakan "dari air mani apabila dipancarkan".
"Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan." (Al Qur'an, 53:45-46)
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang seperti genetika dan biologi molekuler telah membenarkan secara ilmiah ketepatan informasi yang diberikan Al Qur'an ini. Kini diketahui bahwa jenis kelamin ditentukan oleh sel-sel sperma dari tubuh pria, dan bahwa wanita tidak berperan dalam proses penentuan jenis kelamin ini.
Kromosom adalah unsur utama dalam penentuan jenis kelamin. Dua dari 46 kromosom yang menentukan bentuk seorang manusia diketahui sebagai kromosom kelamin. Dua kromosom ini disebut "XY" pada pria, dan "XX" pada wanita. Penamaan ini didasarkan pada bentuk kromosom tersebut yang menyerupai bentuk huruf-huruf ini. Kromosom Y membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X membawa gen-gen yang mengkode sifat-sifat kewanitaan.
Pembentukan seorang manusia baru berawal dari penggabungan silang salah satu dari kromosom ini, yang pada pria dan wanita ada dalam keadaan berpasangan. Pada wanita, kedua bagian sel kelamin, yang membelah menjadi dua selama peristiwa ovulasi, membawa kromosom X. Sebaliknya, sel kelamin seorang pria menghasilkan dua sel sperma yang berbeda, satu berisi kromosom X, dan yang lainnya berisi kromosom Y. Jika satu sel telur berkromosom X dari wanita ini bergabung dengan sperma yang membawa kromosom Y, maka bayi yang akan lahir berjenis kelamin pria.
Dengan kata lain, jenis kelamin bayi ditentukan oleh jenis kromosom mana dari pria yang bergabung dengan sel telur wanita.
Tak satu pun informasi ini dapat diketahui hingga ditemukannya ilmu genetika pada abad ke-20. Bahkan di banyak masyarakat, diyakini bahwa jenis kelamin bayi ditentukan oleh pihak wanita. Inilah mengapa kaum wanita dipersalahkan ketika mereka melahirkan bayi perempuan.
Namun, tiga belas abad sebelum penemuan gen manusia, Al Qur'an telah mengungkapkan informasi yang menghapuskan keyakinan takhayul ini, dan menyatakan bahwa wanita bukanlah penentu jenis kelamin bayi, akan tetapi air mani dari pria.



SEGUMPAL DARAH YANG MELEKAT DI RAHIM
Pada tahap awal perkembangannya, bayi dalam rahim ibu berbentuk zigot, yang menempel pada rahim agar dapat menghisap sari-sari makanan dari darah ibu. Gambar di atas adalah zigot yang terlihat seperti sekerat daging. Informasi ini, yang ditemukan oleh embriologi modern, secara ajaib telah dinyatakan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu dengan menggunakan kata "'alaq", yang bermakna "sesuatu yang menempel pada suatu tempat" dan digunakan untuk menjelaskan lintah yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah.
Jika kita terus mempelajari fakta-fakta yang diberitakan dalam Al Qur'an mengenai pembentukan manusia, sekali lagi kita akan menjumpai keajaiban ilmiah yang sungguh penting.
Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, intisari bayi yang akan lahir terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai "zigot" dalam ilmu biologi ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi "segumpal daging". Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop.
Namun, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. (Moore, Keith L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud, Gerald C. Goeringer, Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992, Human Development as Described in the Qur'an and Sunnah, Makkah, Commission on Scientific Signs of the Qur'an and Sunnah, s. 36)
Di sini, pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Qur'an terungkap. Saat merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata "'alaq" dalam Al Qur'an:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq (segumpal darah). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah." (Al Qur'an, 96:1-3)
Arti kata "'alaq" dalam bahasa Arab adalah "sesuatu yang menempel pada suatu tempat". Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah.
Tentunya bukanlah suatu kebetulan bahwa sebuah kata yang demikian tepat digunakan untuk zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa Al Qur'an merupakan wahyu dari Allah, Tuhan Semesta Alam

PEMBUNGKUSAN TULANG OLEH OTOT

Tahapan-tahapan perkembangan bayi dalam rahim ibu dipaparkan dalam Al Qur'an. Sebagaiman diuraikan dalam ayat ke-14 surat Al Mu'minuun, jaringan tulang rawan pada embrio di dalam rahim ibu mulanya mengeras dan menjadi tulang keras. Lalu tulang-tulang ini dibungkus oleh sel-sel otot. Allah menjelaskan perkembangan ini dalam ayat: "…dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging".
Sisi penting lain tentang informasi yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur'an adalah tahap-tahap pembentukan manusia dalam rahim ibu. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa dalam rahim ibu, mulanya tulang-tulang terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus tulang-tulang ini.
"Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik" (Al Qur'an, 23:14)
Embriologi adalah cabang ilmu yang mempelajari perkembangan embrio dalam rahim ibu. Hingga akhir-akhir ini, para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio terbentuk secara bersamaan. Karenanya, sejak lama banyak orang yang menyatakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun, penelitian canggih dengan mikroskop yang dilakukan dengan menggunakan perkembangan teknologi baru telah mengungkap bahwa pernyataan Al Qur'an adalah benar kata demi katanya.
Penelitian di tingkat mikroskopis ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam rahim ibu terjadi dengan cara persis seperti yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama, jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian sel-sel otot yang terpilih dari jaringan di sekitar tulang-tulang bergabung dan membungkus tulang-tulang ini.
Peristiwa ini digambarkan dalam sebuah terbitan ilmiah dengan kalimat berikut:
Dalam minggu ketujuh, rangka mulai tersebar ke seluruh tubuh dan tulang-tulang mencapai bentuknya yang kita kenal. Pada akhir minggu ketujuh dan selama minggu kedelapan, otot-otot menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang. (Moore, Developing Human, 6. edition,1998.)
Singkatnya, tahap-tahap pembentukan manusia sebagaimana digambarkan dalam Al Qur'an, benar-benar sesuai dengan penemuan embriologi modern.

TIGA TAHAPAN BAYI DALAM RAHIM
Dalam ayat ke-6 surat Az Zumar, disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam rahim ibu dalam tiga kegelapan. Embriologi modern telah mengungkap bahwa perkembangan ebriologi bayi terjadi pada tiga daerah yang berbeda dalam rahim ibu.

Dalam Al Qur'an dipaparkan bahwa manusia diciptakan melalui tiga tahapan dalam rahim ibunya.
"... Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (Al Qur'an, 39:6)
Sebagaimana yang akan dipahami, dalam ayat ini ditunjukkan bahwa seorang manusia diciptakan dalam tubuh ibunya dalam tiga tahapan yang berbeda. Sungguh, biologi modern telah mengungkap bahwa pembentukan embrio pada bayi terjadi dalam tiga tempat yang berbeda dalam rahim ibu. Sekarang, di semua buku pelajaran embriologi yang dipakai di berbagai fakultas kedokteran, hal ini dijadikan sebagai pengetahuan dasar. Misalnya, dalam buku Basic Human Embryology, sebuah buku referensi utama dalam bidang embriologi, fakta ini diuraikan sebagai berikut:
"Kehidupan dalam rahim memiliki tiga tahapan: pre-embrionik; dua setengah minggu pertama, embrionik; sampai akhir minggu ke delapan, dan janin; dari minggu ke delapan sampai kelahiran." (Williams P., Basic Human Embryology, 3. edition, 1984, s. 64.)
Fase-fase ini mengacu pada tahap-tahap yang berbeda dari perkembangan seorang bayi. Ringkasnya, ciri-ciri tahap perkembangan bayi dalam rahim adalah sebagaimana berikut:

- Tahap Pre-embrionik
Pada tahap pertama, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan terbentuklah segumpalan sel yang kemudian membenamkan diri pada dinding rahim. Seiring pertumbuhan zigot yang semakin membesar, sel-sel penyusunnya pun mengatur diri mereka sendiri guna membentuk tiga lapisan.
- Tahap Embrionik
Tahap kedua ini berlangsung selama lima setengah minggu. Pada masa ini bayi disebut sebagai "embrio". Pada tahap ini, organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk dari lapisan- lapisan sel tersebut.
- Tahap fetus
Dimulai dari tahap ini dan seterusnya, bayi disebut sebagai "fetus". Tahap ini dimulai sejak kehamilan bulan kedelapan dan berakhir hingga masa kelahiran. Ciri khusus tahapan ini adalah terlihatnya fetus menyerupai manusia, dengan wajah, kedua tangan dan kakinya. Meskipun pada awalnya memiliki panjang 3 cm, kesemua organnya telah nampak. Tahap ini berlangsung selama kurang lebih 30 minggu, dan perkembangan berlanjut hingga minggu kelahiran.
Informasi mengenai perkembangan yang terjadi dalam rahim ibu, baru didapatkan setelah serangkaian pengamatan dengan menggunakan peralatan modern. Namun sebagaimana sejumlah fakta ilmiah lainnya, informasi-informasi ini disampaikan dalam ayat-ayat Al Qur'an dengan cara yang ajaib. Fakta bahwa informasi yang sedemikian rinci dan akurat diberikan dalam Al Qur'an pada saat orang memiliki sedikit sekali informasi di bidang kedokteran, merupakan bukti nyata bahwa Al Qur'an bukanlah ucapan manusia tetapi Firman Allah.

AIR SUSU IBU

Air susu ibu adalah suatu campuran ciptaan Allah yang luar biasa dan tak tertandingi sebagai sumber makanan terbaik bagi bayi yang baru lahir, dan sebagai zat yang meningkatkan kekebalan tubuhnya terhadap penyakit. Bahkan makanan bayi yang dibuat dengan teknologi masa kini tak mampu menggantikan sumber makanan yang menakjubkan ini.
Setiap hari ditemukan satu manfaat baru air susu ibu bagi bayi. Salah satu fakta yang ditemukan ilmu pengetahuan tentang air susu ibu adalah bahwa menyusui bayi selama dua tahun setelah kelahiran sungguh amat bermanfaat. (Rex D. Russell, Design in Infant Nutrition, http:// www. icr.org/pubs/imp-259.htm)
Allah memberitahu kita informasi penting ini sekitar 14 abad yang lalu, yang hanya diketahui melalui ilmu pengetahuan baru-baru ini, dalam ayat-Nya "…menyapihnya dalam dua tahun…".
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (Al Qur'an, 31:14)

TANDA PENGENAL PADA SIDIK JARI

Setiap orang, termasuk mereka yang terlahir kembar identik, memiliki pola sidik jari yang khas untuk diri mereka masing-masing, dan berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, tanda pengenal manusia tertera pada ujung jari mereka. Sistem pengkodean ini dapat disamakan dengan sistem kode garis (barcode) sebagaimana yang digunakan saat ini.
Saat dikatakan dalam Al Qur'an bahwa adalah mudah bagi Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya, pernyataan tentang sidik jari manusia secara khusus ditekankan:
"Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna." (Al Qur'an, 75:3-4)
Penekanan pada sidik jari memiliki makna sangat khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang adalah khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain.
Itulah mengapa sidik jari dipakai sebagai kartu identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan untuk tujuan ini di seluruh penjuru dunia.
Akan tetapi, yang penting adalah bahwa keunikan sidik jari ini baru ditemukan di akhir abad ke-19. Sebelumnya, orang menghargai sidik jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa makna khusus. Namun dalam Al Qur'an, Allah merujuk kepada sidik jari, yang sedikitpun tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian kita pada arti penting sidik jari, yang baru mampu dipahami di zaman sekarang.