Senin, 24 Mei 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan World Health Organization pada tahun 1998 jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia, setelah India, Rusia dan Jepang. Hasil penelitian menyatakan Diabetes mellitus tercantum menduduki urutan yang sama yaitu keempat dari prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif, dimana prioritas pertama adalah penyakit kardiovaskuler, kemudian disusul penyakit sereviovaskuler, geriatrik, DM, rematik dan katarak (Nugroho, 1999). Ancaman Diabetes mellitus sekitar 12 – 20% penduduk dunia dan setiap 10 detik di dunia orang meninggal akibat komplikasi yang ditimbulkannya (WHO, 2000).

Menurut penelitian epidemologis yang sampai saat ini telah dilaksanakan di Indonesia, kekerapan Diabetes Melitus berkisar antara 1,4-1,6%, kecuali di dua tempat yaitu Pekajangan (Jawa Tengah) dan Manado yang agak meningkat sebesar 2,3% dan 6% berturut-turut. Suatu penelitian terakhir di Jakarta tahun 1993, kekerapan Diabetes Melitus di daerah urban (yaitu di Kelurahan Kayu Putih sebesar 5,69%) sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin (kutipan) di daerah Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Tetapi di Jawa Timur tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Melihat tendensi kenaikan kekerapan Diabetes Melitus di Indonesia akan meningkat secara global yang terutama di sebabkan oleh peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dapat dimengerti bila suatu saat terutama dalam kurun waktu satu atau dua dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2004).

Menurut Iskandar Tjokropawiro (1999) di perkirakan pada tahun 2010, penderita Diabetes Mellitus di Indonesia mencapai minimal lima juta jiwa dan di dunia menjadi 239,3 juta jiwa penderita dan World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa penyakit Diabetes mellitus di dunia akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Berdasarkan keadaan tersebut dapat dimungkinkan bila dimasa yang akan datang penyakit Diabetes Melitus dengan komplikasinya akan berkembang menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia (Suminarti et.al, 2002).

Dengan majunya keadaan sosio-ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang semakin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit degeneratif termasuk Diabetes Melitus akan makin meningkat. Diabetes Melitus dapat menyerang segala tingkat umur dan sosio-ekonomi. Dari penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan angka prevalensi sebesar 1,5-2,3 persen pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (PERKENI, 1998). Dan resiko diabetes setiap tahunnya meningkat 30 persen yaitu terjadi seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia (Waspadji, 2002).

Prevalensi Diabetes Melitus di Yogyakarta diperkirakan sekitar 150 per 10.000 penduduk (Dinkes DIY, 2004). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Yogyakarta pada tahun 2007, penyakit Diabetes Melitus menempati urutan ke-enam dari sepuluh besar penyakit yaitu Nasofaringitis akut (common cold), Influenza, Myalgia, Hipertensi primer (esensial), penyakit pulpa dan jaringan periapikal, faringitis akut, penyakit gusi dan periodontal, dermatitis lain tidak spesifik, gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan, penyakit lain-lain. Jumlah penderita Diabetes Melitus 10,022 dari 303,777 jumlah total seluruh pengunjung pusat pelayanan kesehatan di Kabupaten Bantul (Dinkes Kabupaten Bantul, 2007).

Sampai saat ini Diabetes Mellitus tidak dapat disembuhkan, namun hal ini sangat potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan untuk memperlambat terjadinya komplikasi (Waspadji, 1999). Pengendalian tersebut dilakukan melalui pengelolaan Diabetes Melitus sebagai pilar utama yakni: Edukasi atau penyuluhan, Perencanaan diet, Aktivitas atau latihan fisik dan Intervensi farmakologis (Perkeni, 2002). Diabetes Melitus merupakan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup (Waspadji, 2002). Dan perubahan perilaku hidup akan kepatuhan diet terkait pada kebiasaan makan kurang sehat (Willet dkk, 2001).

Hasil penelitian dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian Diabetes Melitus yang baik dapat mengurangi komplikasi kronik antara lain 20 – 30 %. Penelitian tingkat kepatuhan penderita Diabetes Melitus terhadap pengelolaan diet Diabetes Melitus, didapati 20 % diantaranya menyuntik insulin dengan cara yang tidak tepat, 5 % memakai dosis yang salah, dan 75 % adalah tidak mengikuti diet yang dianjurkan.

Keberhasilan pengelolaan Diabetes Melitus sangat tergantung dari individu itu sendiri dalam mengubah perilakunya sehinngga individu bersangkutan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya dengan menjaga agar kadar gula darahnya dapat tetap terkendali (Rejeki, 1998).

Kadar gula darah dapat dikendalikan sedemikian rupa sehingga setara dengan kadar glukosa darah normal (Waspadji, 2005). Apabila tidak dikendalikan dan ditangani dengan baik maka dapat mengakibatkan komplikasi, baik komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang atau komplikasi kronis (ADA, 2003). Menurut Sidaratawan tahun 1999, komplikasi dapat dicegah dengan mengendalikan kadar gula darah agar mendekati normal yaitu 126 mg/dl untuk puasa dan 200 mg/dl untuk gula darah sewaktu, pengendalian tersebut dilakukan hanya dengan merubah gaya hidup yang lebih aktif melakukan kegiatan jasmani dan mengatur makanan.

Pada tahun 1999, Asdie mengungkapkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur sesuai program dan prasyarat tertentu bagi penderita Diabetes Melitus akan dapat meningkatkan kepekatan insulin sehingga kadar gula darah dalam tubuh dapat turun mendekati normal dan terkandali. Aktivitas fisik harus memenuhi prinsip kontinuitas, interval, progresif dan ketahanan, dapat dilakukan 3 hari dalam seminggu (Asdie, 2000). Setelah selama 10 menit kebutuhan tubuh akan glukosa akan meningkat 15 kali jumlah kebutuhan pada keadaan biasa dan bila dilakukan 30 menit atau lebih, sumber energi utama berupa asam lemak bebas yang berasal dari liposis jaringan adiposa dengan aktivitas fisik 3 – 4 kali selama seminggu terjadi pembakaran lemak di jaringan adiposa yang akan terus menurunkan tumpukan lemak tubuh dan akhirnya akan menurunkan berat badan (Ilyas, 1999). Menurut Kushartanti (2003) penurunan kadar glukosa darah mencegah kegemukan, mengurangi resiko jantung koroner, dan meningkatkan kualitas hidup bagi diabetesi yang merupakan manfaat yang diperoleh dari melakukan aktivitas fisik pada penderita Diabetes Melitus.

Menurut Khaufman (1989) yang dikutip oleh Ilyas (1999) aktivitas fisik dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa, sehingga secara tidak langsung hal ini menyebabkan penurunan kadar gula darah dan penurunan berat badan. Penanganan secara serius menghindari komplikasi jangka panjang yakni morbiditas dan mortalitas, sehingga penderita Diabetes Melitus dapat hidup lebih lama dan bahagia, jumlah hari sakit dapat ditekan, mampu merawat dirinya sendiri, dapat berperan aktif dalam masyarakat serta produktif (Basuki, 1999). Tujuan pengelolaan Diabetes Melitus jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan atau gejala Diabetes Melitus sehingga penderita dapat menikmati kehidupan yang sehat dan nyaman. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mengontrol metabolik yang baik yang dicerminkan dengan normalnya kadar glukosa dalam darah melalui kontrol diet makanan dan aktivitas fisik (Syahbudin, 2002).

Prinsip pemberian diet diabetes adalah 3 (tiga) J yaitu: Jenis, Jumlah, dan Jadwal makanan. Prinsip 3 J tersebut juga dianjurkan bagi penderita Diabetes Melitus yang menjalani rawat jalan. Jenis dan Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi harus benar-benar diperhatikan, demikian halnya dengan Jadwal atau waktu mengkonsumsi makanan. Menurut Salman (2003) dalam penelitiannya membuktikan bahwa penderita Diabetes Melitus yang menerapkan standar diet asupan zat gizi sesuai standar kebutuhan tubuhnya, terutama zat gizi makro maka kadar glukosa darahnya dapat dikendalikan atau terkontrol.

Dari hasil penelitian Waspadji (2003), membuktikan bahwa setiap bahan makanan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kenaikan kadar glukosa darah, karena faktor sifat bahan makanan itu sendiri maupun cara memasak atau penyajiannya. Adanya perbedaan tersebut sangat penting untuk diperhatikan dalam pengaturan diet seseorang, agar didapatkan pengendalian glukosa darah seoptimal mungkin dan akhirnya mengarah pada pengendalian penyakit Diabetes Melitus dengan komplikainya.

Berdasarkan data yang diperoleh Di PUSKESMAS Bantul I Kabupaten Bantul Yogyakarta jumlah penderita Diabetes Melitus yang berkunjung selama bulan Januari sampai bulan juni 2008 tercatat 344 orang penderita dengan 1250 pengunjung dari 11.838 jumlah keseluruhan pengunjung, yang terdiri dari 672 orang laki-laki dan 578 oarang diantaranya adalah perempuan. Jadi jumlah penderita Diabetes Melitus sebanyak 344 per 11.838 jumlah total pengunjung yang datang untuk melakukan pengobatan Di PUSKESMAS Bantul I Yogyakarta.

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti saat studi pendahuluan pada 7 responden penderita Diabetes Melitus yang datang berkunjung untuk melakukan pengobatan Di PUSKESMAS Bantul I Yogyakarta, mereka mengatakan bahwa selama ini dilakukan program pengelolaan penderita Diabetes Melitus yaitu Memberikan jadwal pola diet, Memberikan jadwal kebugaran jasmani, Memberikan obat diabetes sesuai dengan indikasi dari dokter, Melakukan pemeriksaan glukosa darah secara rutin, Memantau setiap ada keluhan dan Memeriksakan atau Kontrol ke pusat pelayanan kesehatan terdekat. Mereka mengatakan bahwa mereka jarang memperhatikan pola diet dan olahraga pada penderita Diabetes Melitus dan hanya memeriksakan penderita deabetes Melitus jika ada keluhan, sehingga gula darahnya sudah meningkat diatas normal pada saat dilakukan pemeriksaan. Dari masalah yang melatarbelakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang: ”Hubungan Aktivitas Fisik dan Kepatuhan Diet terhadap Kadar Gula Darah pada penderita Diabetes Melitus Di Puskesmas Bantul I Yogyakarta.”.

Tidak ada komentar: