Selasa, 22 Juni 2010

Terapi Cairan

Syok Kardiogenik
Doddy Yumam Prasetyo SKep

Syok merupakan sindrom gangguan patofisiologik berat yang berhubungan dengan metabolisme seluler yang abnormal, yang umumnya disebabkan oleh perfusi jarigan yang buruk. Disebut juga kegagalan sirkulasi perifer yang menyeluruh dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat (Tjokronegoro, A., dkk, 2003).

Syok dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori etiologi yakni ; Syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik dan syok lainnya (Reaksi anafilasis, hipoglikemia, kelebihan dosis obat, emboli paru, tamponade jantung, dll) (Tjokronegoro, A., dkk, 2003).
Kardiogenik syok adalah syok yang disebabkan kegagalan jantung, metabolisme miokard. Apabila lebih dari 40% miokard ventrikel mengalami gangguan, maka akan tampak gangguan fungsi vital dan kolaps kardiovaskular (Raharjo,S., 1997).
Perkiraan terbaru kejadian syok kardiogenik antara 5%-10% dari pasien dengan infark miokard. Perkiraan yang tepat sulit karena pasien yang meninggal sebelum mendapat perawatan di rumah sakit tidak mendapat diagnosa. Dalam membandingkan monitoring awal dan agresif dapat meningkatkan dengan jelas insiden syok kardiogenik. Studi dari Worcester Heart Attack, sebuah komunitas analisis terkenal, menemukan kejadian kardiogenik syok 7,5%. Insiden ini stabil dari tahun 1978-1988. Manfaat umum penggunaan streptokinase dan jaringan aktivator plasminogen untuk menghambat kerusakan arteri (GUSTO-1) sedang diteliti. Insiden kardiogenik syok 7,2% yakni sebuah rata-rata yang ditemukan pada percobaan trombolitik multisenter yang lain (Hollenberg, S., 2004).
Kebanyakan penyebab dari kardiogenik syok adalah infark miokard akut, walaupun infark yang kecil pada pasien dengan sebelumnya mempunyai fungsi ventrikel kiri yang membahayakan bisa mempercepat shock. Syok dengan onset yang lambat dapat menjadi infark, reocclusi dari sebelumnya dari infark arteri atau dekompensasio fungsi miokardial dalam zona noninfark yang disebabkan oleh metabolik abnormal. Itu penting untuk mengenal area yang luas yang tidak berfungsi tetapi miokardium viable dapat juga menjadi penyebab atau memberikan kontribusi untuk terjadinya perkembangan kardiogenik syok pada pasien setelah mengalami infark miokard (Hollenberg,S.,2003).
Kardiogenik syok karakteristik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari 90mHg), diikuti menurunnya aliran darah keorgan vital :
1.Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2.Gangguan mental, gelisah, sopourus
3.Akral dingin
4.Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktat kardial.
5.Meningkatnya adrenalin, glucose, free fatty acid cortisol, rennin, angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma.
Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolic (Raharjo,S., 1997).
Hipovolemia, komplikasi yang sering terjadi pada kardiogenik syok, disebabkan meningkatnya perspirasi-redistribusi cairan dari intravaskular keinterstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika (Raharjo, S., 1997).
II.1. Definisi
Kardiogenik syok adalah keadaan menurunnya cardiac output dan terjadinya hipoksia jaringan sebagai akibat dari tidak adekuatnya volume intravaskular. Kriteria hemodiamik hipotensi terus menerus (tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg). Sebagian besar disebabkan oleh infark miokardial akut (Hollenberg, 2004).

II.2. Etiologi
a.Gangguan fungsi miokard :
Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel kanan.
Penyakit jantung arteriosklerotik.
Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau kardiomiopati hipertropik.
b.Mekanis :
Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel
Aneurisma ventrikel masif
Obstruksi :
Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium
Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus, perikarditis/efusi perikardium.
c.Aritmia : Bradiaritmia/takiaritmia (Tjokronegoro, A., dkk, 2003).

II.3. Patofisiologi
Cycle of Events of Cardiogenic Shock.
End result is loss of effective entricular contractile mass.
LV = left ventricel
SVR = systemic vascular resistance


Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard.
Dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas miokard, akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada kondisi kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun, hal ini akan memperburuk keadaan. Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, dan apabila "Cardiac Index" kurang dari 1,8 ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata (Shoemaker, 1989; Mustafa, I, 1994).
Hipoperfusi miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan menyebabkan semakin memperjelek keadaan, kerusakan miokard ditandai dengan kenaikan ensim kardial, serta peningkatan asam laktat.
Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2) tergantung pada transport oksigen (Supply dependent), hutang oksigen semakin besar (oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif resusitasi bertujuan menghilangan VO2 yang "supplay-dependent", "oxygen debt" dan asidosis.
Di sisi lain dengan kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan tekanan kapiler pulmoral, selanjutnya diikuti dengan meningkatnya tekanan hidrostatis untuk tercetusnya edema paru, disertai dengan kenaikan "Pulmonary capilary wedge pressure" (PCWP), serta penurunan isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap hipotensi adalah vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR ("Sistimik Vaskuler Resistan") dan meninggikan "After load" (Raharjo, S., 1997)
Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup, peninggian SVR, LVEDP dan LVEDV.

II.4. GAMBARAN KLINIK
Gambaran syok pada umumnya, seperti takikardi, oligouri, vasokontriksi perifer, asidosis metabolik merupakan gambaran klinik pada kardiogenik syok.
Arythmia akan muncul dalam bentuk yang bervariasi yang merupakan perubahan ekstrem dari kenaikan denyut jantung, ataupun kerusakan miokard. Dengan adanya kerusakan miokard, enzim-enzim kardiak pada pemeriksaan laboratorium akan meningkat (Raharjo, S., (1997).
Sebagian besar penderita kardiogenik syok dengan edema paru disertai naiknya PCWP, LVEDP (Left Ventrikel Diastolic Pressure).
Edema paru akan mencetuskan dyspnoe yang berat ditunjukkan dengan meningkatnya kerja nafas, sianosis, serta krepitasi.
Sedang kardiogenik syok yang tidak tertangani akan diikuti gagal multi organ, metabolik asidosis, kesadaran yang menurun sampai koma, yang semakin mempersulit penanganannya.

II.5. Diagnosis
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vascular sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya pada IM inferior, dapat terjadi bradikardia (Daclhlan, R., & Nizar, R., (1989), Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
a.Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
b.Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
c.Tekanan diatrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal redah sampai meninggi.
d.Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
e.Resistensi sistemis.
f.Asidosis (Tjokronegoro, A., dkk, 2003).

II.6. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi abnormal, tanpa menyebabkan peninggian kebutuhan oksigen miokard.
Oleh karena jantung yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan after load, tahanan vaskuler sistimik harus dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting adalah mempertahankan pre load optimal (Raharjo, S., (1997).
Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik, optimalisasi O2 "miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.
A. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta pengobatan terhadap arrythia. Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok berulang, lakukan intubasi dan mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan penggunaan PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang berat.
B. Monitoring
1. Pengukuran tekanan arteri
Pengukuran tekanan vena dengan CVP
Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status mental penderita sebagai petunjuk perfusi jaringan
2. Penilaian lain :
EKG dan ensim kardial
AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
Hb, elektrolit, ureum, creatinin
C. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1. Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan status volume plasma.
2. Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan untuk menurunkan, serta tetap normotensip setelah loading cairan. Untuk memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan "mechanical circulatory assistance".
D. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya tidak memberatkan anoksia serebral.
Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan bantuan pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah (Raharjo, S., (1997).
Pasan galat pantau jantung dan tensi serta masukkan jalur arteri (arterial line) dengan pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter Swan – Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP), tekanan kapiler baji paru (TBKP) dan curah jantung.
Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).
Obat penenang : Valium atau lainnya.

II.7. Pengobatan
1.Bila karena aritmia
Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia atrium paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi (DC shock). Pada bradiaritmia diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit atau dengan pace maker (Raharjo, S., (1997).
2. Gangguan mekanis.
Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular dan aneurisma, dilakukan operasi.
3. Obstruksi aliran masuk (inflow)
Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin dan kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang terbaik untuk curah jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi aliran masuk oleh miksoma atau trombus, yang masih mobil di atrium kiri. Kalau perlu dilakukan operasi (Raharjo, S., (1997).
4. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik.
Memerlukan vasodilator (arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain). Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan untuk melakukan operasi.
5. Gangguan kontraktilitas.
a.Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100 cc/5-10 menit, lalu tekanan darah diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau tekanan darah. Perhatikan juga apakah pasien tambah sesak dan ronki basah di paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan. Dengan pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan memberikan cairan lebih cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3 cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah meninggi, berarti cairan perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta ronki juga bertambah, maka cairan dihentikan (Raharjo, S., (1997).
Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz, perhatikan tekanan atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru (TKBP).

TAK
TKBP
Koreksi Cairan
/N

+
N
N
Boleh coba (tes)
N/

Tak perlu

/N
+ (infark ventrikel kanan)

Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18 mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK 12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan. Pemberian cairan harus meninggikan tekanan darh dan menambah curah jantung serta indeks jantung (Raharjo, S., (1997).
b.Obat-obatan
1)Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan O2 miokard, sehingga tidak dapat memperluas infark jantung.
Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5% atau Metaraminol.
Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan, karena aliran darah ginjal dapat bertambah (Zunilda, SB., dkk.,1995).
2)Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner.
Na Nitroprusside mengurangi prabeban dan pasca beban (pre & afterload). Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit.
Captopril juga mengurangi prabeban dan pasca beban.
3)Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya pada takikardia.
4)Diuretik
Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
5)Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan (Benowitz,Neal., dkk., 1998).
6. Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah.
Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu noradrenalin atau metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila mungkin diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas agak
dingin, sebagai vasopresor dipakai Dopamin (Zunilda, SB., dkk., (1995).
Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam laktat pasti meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan darah turun maka volum ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan Dopamin (Raharjo, S., (1997).
7. Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan after load.
a. Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin, secara umum akan menaikkan tekanan arteri, perfusi koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi perifer (Zunilda, SB., dkk.,1995).
Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan potensial menimbulkan arrythmia.
b. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke 3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan aliran darah dan tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada kardiogenik syok (Mustafa I, 1994).
c. Dopamin
Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa dan dopaminergik. Dopamin juga mempunyai efek "tyramine like" yang akan menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin terhadap jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang pada dosis melebihi 10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistimik dan tekanan venosa, oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi miokard (Raharjo, S., 1997).
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 – 2 mcg/kgBB/menit.
Takikardi berlebihan, yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang digunakan sebagai pembanding. Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah umumnya menandakan terdapat hipovolemia (Benowitz,Neal., dkk., 1998).
Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 2–40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
d. Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio terapi yang rendah, sehingga kurang effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
e. Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
Shoemaker, 1989, penggunaan vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding penggunaan pada gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler begitu berat (Shoemaker, 1989).
Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal ventrikel kiri dan syok setelah infark miokard. Dosis awal 10 mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.
Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena, dengan mula kerja yang cepat, dosis 10-40 mcg/kgBB/menit.
Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa keadaan kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk mendapatkan status hemodinamika yang baik.
8. Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
a. IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi dengan EKG pada aorta. Balon dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat aliran koroner, perfusi koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan menurunkan tekanan aorta dan ventrikel "after load" (Raharjo, S., 1997).
Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
b. VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak menunjukkan manfaat.
Apabila PCWP, curah jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada kardiogenik syok (Mustafa, I. 1994).

Tidak ada komentar: